Senandung Musim Gugur (Bagian I)

Senandung Musim Gugur (Bagian I) - Hallo semuanya Pembaca Berita, Pada postingan berita kali ini yang berjudul Senandung Musim Gugur (Bagian I) , telah di posting di blog ini dengan lengkap dari awal lagi sampai akhir. mudah-mudahan berita ini dapat membantu anda semuanya. Baiklah, ini dia berita terbaru nya.

Judul Posting : Senandung Musim Gugur (Bagian I)
Link : Senandung Musim Gugur (Bagian I)
Di kelas, Lia tetaplah kyosu, dosen yang harus dihormati. Di luar, bolehlah para mahasiswa itu menganggapnya onni atau nunna, kakak wanita yang galak, tapi tetap dekat dengan mereka.

Ketika Lia keluar aparte pagi itu, hidungnya langsung menyergap aroma udara sejuk awal musim gugur. Ya, musim gugur telah merentangkan sayap-sayapnya di semenanjung Korea, mengubah warna daun-daun yang semula hijau menjadi kuning kemerahan, untuk kemudian rontok satu per satu. Entah dari mana munculnya perasaan ringan dan keriangan di dalam hatinya itu. Udara seolah bertabur konfeti dari pesta ulang tahun ke-17 seorang dara.

Ia memalingkan wajahnya ke arah matahari yang bersinar lembut keperakan. Membiarkan matahari mengulurkan sinarnya untuk menyentuh kulit wajahnya yang halus dan dihiasi sepasang mata yang begitu hidup dan bercahaya, bibir yang seolah selalu tersenyum, pipi yang kemerahan, dan hidung yang menguatkan kesan manis pada wajahnya. Wajah seorang wanita Jawa yang menjelma sebagai merpati yang berani terbang jauh, sendiri, meninggalkan negerinya di lingkar khatulistiwa.

Awan putih seperti kapas berarak di pucuk-pucuk langit yang seolah diselimuti warna ganih. Ia mengancingkan blazernya. Udara sejuk ini ih hitam yang semula disangkanya masih kerabat gagak di Jawa--yang terbang melintas terdengar. Orang Korea percaya, bila burung itu bersuara, pertanda orang yang dirindukan akan tiba. Persis seperti orang-orang tua di Jawa dulu mengatakan akan ada tamu yang datang jika ada kupu-kupu yang tersasar masuk ke dalam rumah. Ah, Korea, Indonesia, sama saja.

Lia menarik napas dalam-dalam. Baru beberapa minggu lalu ia merasakan sengatan matahari musim panas di semenanjung Korea yang dirasakannya lebih panas daripada Jakarta. Sekarang ia sudah harus mengenakan baju kerja yang lebih tebal untuk menahan serbuan udara yang berubah menjadi lebih sejuk dan berangin.

Wanita muda itu melangkahkan kakinya menuju kampus tempatnya mengajar. Ini semester keduanya di Korea Selatan. Beberapa bulan lalu ketika pertama kali tiba di kota ini, ia langsung jatuh cinta begitu melihat kampus itu. Letaknya yang unik, diapit oleh perbukitan hijau yang mengelilinginya, memanjakan mata Lia yang terbiasa dengan datarnya pemandangan metropolitan seperti Jakarta yang dibangun tanpa perencanaan dan tatakota yang matang. Sebentar lagi pemandangan kehijauan di sekitar kampusnya itu akan berubah, seiring dengan tibanya musim gugur. Daun-daun mulai berubah warna, untuk kemudian rontok seiring udara yang semakin dingin. Kecuali pinus, tentunya, yang perkasa melintasi musim demi musim.

Musim gugur konon melekatkan orang pada kenangan yang menyertai perjalanannya. Begitu pula dengan Lia, sambil berjalan menuju kampus, kenangan demi kenangan mencuri muncul di benaknya.

Lia tiba di Busan, metropolitan kedua setelah Seoul, akhir Februari tahun ini, ketika musim dingin bersiap berangkat meninggalkan semenanjung Korea. Awalnya, Prof. Howard Jones, pembimbing tesis S-2-nya di salah satu satu universitas di Australia, yang menawarinya pekerjaan itu.

"Lia, saya punya teman di Busan, Korea, dari Peninsula University of Foreign Studies. Namanya Prof. Lim Chun-Do. Dulu kami pernah sama-sama riset di Indonesia dan Malaysia. Kebetulan kami memiliki minat yang sama, mengamati perkembangan Asia Tenggara, khususnya Malaysia dan Indonesia. Prof. Lim malah lulus S-2 dari Gajah Mada, bidangnya sama denganmu, ilmu bahasa, sebelum melanjutkan ke Amerika untuk mengambil gelar doktor. Sekarang ia menjadi Ketua Departemen Malay-Indonesia di universitas itu."

"Lalu, Prof?"

"Kami secara teratur terus berkirim-kiriman email. Ia cerita sedang cari dosen dari Indonesia, native speaker, untuk mengajar di tempatnya, minimal S-2. Saya langsung ingat kamu, Lia. Saya bilang sama dia, saya juga punya murid dari Indonesia, baru saja rampung menyelesaikan S-2. Saya pikir ini kesempatan bagus untukmu mencoba menjadi dosen tamu di sana."

"Mengapa saya, Prof?"

"Coba saja, kalau kamu bersedia, saya akan rekomendasikan kamu pada Prof. Lim. Saya tawarkan kesempatan ini kepadamu karena saya tahu potensimu, meskipun kamu terkadang bisa juga menjengkelkan karena keras kepala dan senang membantah," kata Howard Jones sambil tertawa keras.

"Ah, masak sih saya semenjengkelkan itu, Prof?"

Profesor Australia yang meskipun galak namun bisa bersikap hangat seperti seorang ayah itu, mengangguk-angguk seperti burung pelatuk. Matanya bersinar-sinar jenaka. Ia melanjutkan perkataannya, "Selain mengajar, kamu bisa tetap mengembangkan diri di sana, menjadi peneliti mandiri, atau bahkan menulis buku. Kamu kan pernah bilang sama saya ingin serius jadi peneliti ilmu sosial yang baik. Ini kesempatanmu sekarang. Sekalian carilah beasiswa, kalau mungkin, untuk studi lanjutan S3-mu di sana.Tentu hal semacam ini tidak mudah kamu lakukan di Indonesia, jika kamu memilih pulang sekarang-sekarang ini. Saya tahu kesulitan negaramu. Well, bagaimana? Kamu belum ingin buru-buru menikah, kan?"

Lia tertawa. "Ah, Prof ini. Bagaimana mau menikah, pacar saja saya belum punya."

"Masak sih, kamu kan punya 2B, beauty and brain. Behavior-mu, hahaha, juga not bad, meskipun saya merasa kadang-kadang kamu bisa membuat pria takut. Tapi urusanmulah itu. Bagaimana, kamu mau tidak?"

Tawaran itu menarik sekali. Namun, apakah ia akan sanggup melakoninya?

"Beri saya waktu untuk berpikir, Prof," kata Lia.

"Ya, jangan lama-lama, maksimal tiga hari. Beberapa hari lagi saya harus memberikan jawaban kepada Prof. Lim. Ia minta kabar secepatnya. Kalau kamu tidak bersedia, biar dia cari sendiri dosen tamu langsung dari Indonesia. Saya tidak akan merekomendasikan orang lain."

Waktu sependek itu digunakan Lia untuk mempertimbangkan tawaran itu baik-baik. Ia baru saja menyelesaikan S2-nya di Australia. Sempat ada pikiran untuk sekalian saja mencari beasiswa untuk studi S3-nya di negeri kanguru. Muncul juga dorongan cukup kuat untuk langsung kembali ke Indonesia, dan mungkin kembali ke almamater untuk menjadi dosen. Namun Lia sebelumnya sudah sempat merasakan, menjadi dosen di Indonesia, apa lagi dosen muda, dosen yunior, berarti juga harus siap berhadapan dengan birokrasi pendidikan yang menjemukan itu. Belum lagi mentalitas "pangreh praja" yang ternyata juga menghinggapi sebagian kalangan terdidik macam sikap senior-seniornya itu.

Lagi pula ia masih muda, baru 26 tahun, jalan 27. Ah, tawaran itu merupakan kesempatan emas untuk menempa kehidupannya kembali. Bukankah tinggal di negeri yang berbeda akan semakin mematangkan dirinya dan membuatnya lebih menghargai kemajemukan? Bahwa hidup yang sesungguhnya tidaklah terdiri dari warna tunggal, tapi berbagai warna yang menjelma menjadi pelangi kehidupan itu sendiri?

Dengan antusias akhirnya ia menerima tawaran itu. Dasar rezekinya sedang bagus, garis nasib tampaknya sudah menentukan demikian. Setelah melalui tahapan-tahapan seleksi, Lia ternyata diterima. Paling tidak sampai saat ini ia merasa pilihannya itu tidaklah salah.

Bulan-bulan pertama di negara asing selalu merupakan bulan-bulan penyesuaian. Ketika ia tiba akhir Februari lalu, musim dingin tengah bersiap angkat kaki, namun buatnya yang terbiasa dengan sengatan matahari Jakarta, tetap merupakan persoalan tersendiri.

"Tidak apa-apa Ibu Lia, nanti juga udara berangsur-angsur hangat. Lagi pula, Busan tetap lebih hangat dibanding Seoul," kata Lim Kyosunim (Profesor), panggilan Prof. Lim Chun-Do yang bertubuh pendek gemuk itu.

Wajahnya ramah dan matanya yang sipit seolah tenggelam dalam pipinya yang tembam dan kemerahan serta kacamata minusnya yang lebar. Sikapnya hangat dan bersahabat.

Lia kembali merasakan menemukan figur seorang bapak dari sikap Lim Kyosunim. Kecuali jika profesor yang potongannya mengingatkan pada sosok aktor Danny de Vito itu sedang banyak minum—kebiasaan yang sering dilakukan bersama koleganya atau dengan mahasiswa selepas kuliah.

Ah, kebiasaan minum orang Korea memang luar biasa. Bahkan untuk ukuran Lia yang sebenarnya juga tidak terlalu antiminuman beralkohol. Seolah minum menjadi pilihan, mekanisme yang efektif, untuk melupakan tekanan beratnya hidup dan pekerjaan di negeri semenanjung yang berambisi mengalahkan Jepang, seteru lamanya itu.

Dengan cepat Lia menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya itu. Juga dengan makanan Korea yang bagaimanapun tetaplah tidak terlalu asing untuk lidah Asianya. Kimchi, sejenis asinan yang hampir selalu ada setiap kali orang Korea makan, mula-mula dirasakannya sebagai teror di meja makan, karena rasanya yang aneh dan menyengat. Namun lama-lama ia pun bisa menyukainya.

Sesekali ia juga mampu membuat mahasiswanya bertepuk tangan setiap kali mereka makan bersama, karena di hadapan mereka Lia berani menunjukkan ia pun mampu menenggak soju (wiski) beberapa seloki. Meskipun kesudahannya sudah bisa ditebak: begitu sampai di aparte, isi perutnya akan keluar semua. Muntah. Tidak apa, ini pengorbanan untuk mendekati dan merebut hati mereka, meskipun ia juga tidak sungkan untuk memarahi mahasiswanya jika mereka malas atau membuat ribut di kelas.

Di kelas, Lia tetaplah kyosu, dosen yang harus dihormati. Di luar, bolehlah para mahasiswa itu menganggapnya onni atau nunna, kakak wanita yang galak, tapi tetap dekat dengan mereka. Maklum karena terkadang Lia harus bekerja ekstrakeras memacu motivasi belajar mereka yang justru menurun setelah menjadi mahasiswa. Mungkin energi mereka sudah habis semasa menjadi pelajar di sekolah dasar dan sekolah menengah yang begitu penuh dengan tekanan dan kewajiban. Inilah risiko dari ambisi bangsa Korea yang begitu besar untuk mengejar Jepang, di samping setiap orang memang harus bekerja keras karena Korea miskin sumber daya alam.

"Jadi, kenapa kita tidak membiarkan mereka menikmati masa muda dan memberi saja mereka suasana liburan selama beberapa tahun di universitas ini," kelakar Martin Ashford, dosen Departemen Inggris asal Australia yang sepintas mirip dengan Paul Hogan, si pemeran Crocodile Dundee itu. Ia meledek Lia yang terlihat selalu serius mempersiapkan diri untuk mengajar di kelas.

Ketika Lia bertanya kenapa, dengan tersenyum bujangan berusia 50-an tahun itu ("Menikah hanya cari masalah," katanya) menyahut sekenanya, "Ya, mudah saja Lia. Kau tahu tekanan yang mereka hadapi semasa menjadi pelajar di sekolah dasar dan sekolah menengah. Begitu juga setelah lulus universitas nanti, mereka harus babak belur mencari pekerjaan. Apa yang akan mereka dapat? Sebagian besar dari mereka hanya akan mendapat pekerjaan yang buruk dan tidak bisa dibanggakan, dengan gaji kecil dan jam kerja yang begitu panjang. Itulah sebabnya mahasiswa di jurusanmu sebagian berharap bisa bekerja di perusahan-perusahaan Korea di Indonesia. Dengan nilai rupiah yang hanya sekitar sepertujuh nilai won, sementara biaya hidup jauh lebih murah, mereka serasa akan tinggal di surga, menikmati hidup jauh lebih baik dari kebanyakan orang Indonesia sendiri, dan tetap bisa menabung. Walaupun sebelumnya mereka hanya mahasiswa dengan motivasi rendah dan malas belajar. Ironis bukan?"

Martin, Martin, dasar Australia satu ini mungkin masih keturunan preman Inggris yang dibuang di koloni Australia di abad lalu, mbok kalau menembak jangan langsung begitu. Gara-gara dia, pikiran Lia langsung menerawang ke tanah airnya sendiri. Seberat-beratnya kehidupan mereka, anak-anak Korea itu, rasanya masih lebih baik dibandingkan anak-anak muda di negerinya sendiri.

Gambaran pahit itu bermunculan di benak Lia: barisan kaum muda yang menganggur di Indonesia rasanya semakin bertambah panjang dari tahun ke tahun. Begitu keluar dari rumah, sesosok masa depan yang muram menunggu di balik pintu. Belum lagi mereka yang kehilangan pekerjaan karena PHK. Padahal kekayaan alam apa yang tidak ada di Indonesia? Negeri kelahiran yang terkadang dirindukannya itu sudah terlalu lama babak belur lantaran keserakahan segelintir orang dan hukum yang sudah lama doyong, hampir ambruk.

Huh, tentu saja Crocodile Dundee itu hanya bercanda. Ia sendiri dalam penglihatan Lia termasuk dosen asing yang serius mempersiapkan diri untuk proses transfer ilmu dengan mahasiswanya. Karena itu Lia tetap giat dan mencoba melaksanakan tugasnya secara profesional, apa lagi ia juga terpacu dengan motivasi tinggi yang diperlihatkan sebagian mahasiswanya dalam belajar. Terutama anak laki-laki yang sudah menjalani wajib militer selama 26 bulan, kelihatan sekali tanggung jawabnya dalam membangun hidup dan masa depannya sendiri.

Untuk pergi ke kampus, Lia hanya perlu berjalan kaki. Apartenya hanya berjarak sekitar 15 menit dari tempatnya mengajar. Berangsur-angsur warna coklat di perbukitan yang mengelilingi kampus itu di musim dingin berubah menjadi hijau ketika udara menjadi lebih hangat. Hijau di mana-mana. Bau dedaunan mengambang di udara. Waktu-waktu favoritnya adalah ketika musim semi tiba. Bunga-bunga bermekaran di mana-mana, cantik sekali. Halaman sekolah dipenuhi bunga-bunga sakura yang berumur singkat, hanya sekitar dua minggu. Bunga itu keluar mendahului daunnya, seolah menandai tibanya musim semi. Orang Korea menyebut bunga itu "Bot". Namun nama Sakura tetap kedengaran lebih menyenangkan di telinga Lia.

Tak terasa satu semester pun berlalu. Ia tak merasa menemukan kesulitan berarti dalam menjalaninya. Hubungannya juga cukup baik dengan dosen-dosen asing lainnya maupun dosen asli Korea sendiri. Ada dosen asing dari Cina, Jepang, Rusia, Vietnam, di samping beberapa dosen penutur asli bahasa Inggris dari Amerika, Inggris, Kanada, Australia, dan Selandia Baru. Rasa kangen terhadap segala yang berbau Indonesia dibunuhnya dengan menenggelamkan diri dalam pekerjaan, belajar bahasa Korea, dan melakukan riset mandiri mengenai perolehan bahasa asing mahasiswanya.

Ketika liburan musim panas tiba, Lia nekat melakukan perjalanan ke berbagai kota di Korea, sendiri, menggunakan jalan darat. Melihat kemajuan negara itu, ia terkesan dengan pencapaian bangsa Korea. Memang tak ada yang gratis dalam hidup ini. Mimpi dan masa depan hanya dapat direngkuh melalui kerja keras hari ini. Ah, ia pun tersengat ketika merasakan betapa di musim panas udara di beberapa kota di Korea, termasuk Busan, ternyata bisa lebih panas dari Jakarta atau Surabaya.


agi serasa berkabut ketika Lia sampai di ruang dosen asing. Masih sekitar 40 menit dari jam kuliah pertamanya. Ia memang sengaja datang lebih pagi untuk membuka internet dan mengecek email serta membaca sebentar berita-berita dari Indonesia. Namun ternyata ia bukan yang pertama sampai di tempat itu. Ketika ia masuk, Michael Hughes yang besar di Denver, Colorado, dan bapaknya pernah ikut dalam batalyon marinir AS yang diterjunkan dalam Perang Korea di tahun ‘50-an itu, langsung tersenyum lebar menyambut kedatangannya.

"Selamat pagi, Non, kopi atau teh," suara Michael terdengar begitu ceria. Ia tampak tengah mengaduk cangkir tehnya.

"Pagi, Mike, thanks, aku sudah ngopi tadi di aparte. Mengapa gembira sekali kelihatannya kau pagi ini?" sahut Lia sambil menghampirinya.

Mata Michael berputar-putar jenaka, tangannya bergerak luwes memindahkan cangkir tehnya dan duduk di dekat Lia. Selama satu semester sebelumnya, mereka berteman cukup akrab. Amerika berambut keriting yang satu ini lucu dan teman bicara yang menyenangkan. Apa lagi ditopang dengan sikapnya yang halus dan luwes meskipun tubuhnya tinggi besar. Keluwesan dan gayanya mengingatkan Lia pada salah satu bekas menteri Orde Baru yang diisukan gay. Tapi berbeda dengan bekas menteri itu, Michael cukup terbuka dan jujur. Ketika pertemanan di antara mereka semakin akrab, Michael tidak ragu-ragu mengakui bahwa ia juga gay. Dan Lia menghargai kejujuran dan keterus-terangannya.

"Aku tahu kenapa kau kelihatan gembira pagi ini. Karena…," Lia tidak meneruskan kata-katanya. Matanya mengedari ruang kantor dosen asing, dan tertumbuk pada dua buah mata yang biru seperti danau di pagi hari. John Taylor mengangguk sopan dan mengucapkan salam selamat pagi kepadanya. Sejenak Lia terpana melihat senyumnya. Uh, bodoh kamu Lia, seperti tidak pernah melihat orang Barat ganteng saja, pikirnya sambil membalas anggukan pria itu dan membalas salamnya.

"Karena apa, Lia?" bisik Michael seolah tak ingin terdengar oleh orang lain.

"Kamu punya boyfriend baru, ya?" balas Lia berbisik.

"Bagaimana kamu bisa tahu?" Michael yang berusia sekitar 35 tahun itu terlihat penasaran.

"Simpel, boy, tidak perlu kecerdasan khusus untuk membaui orang yang lagi kasmaran. Siapa, orang Korea?"

"Hus, jangan keras-keras. Nanti si iceberg itu mendengar," mata Michael mengerling ke arah John Taylor.

"Bagaimana apa?"

"Si iceberg itu, kelihatannya dia suka kamu, lho?" goda Michael.

Lia melirik lelaki itu, yang baru masuk sebagai dosen di Departemen Inggris semester musim panas ini. John Taylor terkesan pendiam. Itulah sebabnya Michael diam-diam menjulukinya iceberg.

Namun, sejak awal kehadirannya mampu mencuri perhatian Lia. Lia seolah dapat menyelami kedalaman danau biru di matanya. Mukanya klimis, dengan rahang yang kokoh dan kulit berwarna kehijauan bekas bercukur setiap hari. Rambutnya yang kemerahan dibiarkan agak sedikit gondrong. Dengan tubuh tinggi atletis, Lia tampak begitu mungil jika berdiri di dekatnya.

Ketika John baru beberapa hari mengajar di kampus ini, Lia sempat tersenyum ketika tidak sengaja mendengar komentar beberapa mahasiswi departemen Inggris yang mengagumi dosen baru itu.

"Tampan ya," kata salah satu dari mereka. "Tidak, lebih tepat macho," kata temannya yang lain. "Wah, mau aku jadi pacarnya," celetuk mahasiswi ketiga. Ketiga mahasiswi itu pun cekikikan dengan genitnya.

"Hai Lia, kamu mendengar aku bicara tidak, malah melamun," goda Michael. Ah, Lia berusaha bersikap biasa dan mencoba mengatasi ketersipuan pada wajahnya. Sialan, tidak sepenuhnya berhasil. Pasti londo edan yang satu ini sudah melihat rona merah pada wajahnya. Terbukti dari senyum menggoda yang menempel di bibir Michael.

Seolah tahu dirinya sedang dibicarakan, John Taylor mengangkat mukanya dan melempar senyum mautnya itu. Lia mengutuk dadanya yang bergetar melihat senyum itu. Gombal, kok dirinya merasa seperti ABG saja. Lia, Lia, tabahkan hatimu. Ayo, bangun, Lia, masa-masa itu sudah lewat. Lupakan, lupakan makhluk itu, pejantan yang satu itu. Masih banyak yang harus ia kejar di sini, masih banyak yang harus ia kerjakan sebelum menyerahkan dirinya jatuh ke pelukan laki-laki. Siapapun dia. Bara di dalam hatinya itu tidak boleh padam hanya karena terserempet urusan lelaki.

Lia bergerak menjauh menuju ke mejanya sendiri untuk menutupi ketersipuannya. Ia coba menyibukkan diri membaca ulang materi pelajaran yang akan diberikannya pagi itu pada mahasiswanya.

John Taylor memang dosen asing paling baru di kampus ini. Dia mulai mengajar pada permulaan semester musim panas, satu semester setelah Lia datang. Selepas studi doktor sastra Inggris dari Ohio State University dua tahun lalu, John langsung dihadapkan pada kenyataan, bahkan untuk seorang Ph.D. seperti dia pun tidak mudah mendapatkan pekerjaan yang pas sesuai selera di negeri kelahirannya, negeri Paman Sam. Sang super power sedang ikut limbung karena hantaman krisis ekonomi global. Tidak cukup banyak pekerjaan tersedia untuk anak-anak mudanya.

Lagi pula ia masih muda, baru 28 tahun. Ia masih asyik dengan mimpi-mimpinya menjadi penulis besar. Pekerjaan apa lagi yang tetap memberinya ruang dan waktu untuk mengejar cita-citanya itu, selain menjadi guru atau dosen. Menuruti gelora mudanya, ia langsung terima tawaran menjadi dosen di Korea. Siapa tahu ia bisa menuliskan novel pertamanya yang cukup bernilai di negeri ini. Mudah buatmu mencari pekerjaan sebagai guru atau dosen bahasa Inggris di Korea, asal kamu penutur asli bahasa Inggris. Lebih mudah lagi jika kamu punya gelar minimal master. Hakwon atau lembaga kursus bahasa Inggris bertebaran di mana-mana, belum lagi sekolah menengah, college, atau universitas.

Karena itu, ketika datang tawaran mengajar di salah satu universitas di Pulau Cheju yang konon merupakan tempat terindah di Korea Selatan, ia langsung menyambar kesempatan itu. Pengalaman tinggal di negeri asing dinilainya juga perlu untuk memperkaya wawasan, jika ia ingin menjadi penulis yang baik. Dua tahun di pulau yang memang indah itu cukup membuatnya betah. Hanya saja kemudian ia butuh mengajar di kota besar lainnya di Korea, untuk pergantian suasana. Peninsula University of Foreign Studies di Busan menjadi tempat persinggahan berikutnya.

Bersambung ke Bagian II


Demikianlah Info postingan berita Senandung Musim Gugur (Bagian I)

terbaru yang sangat heboh ini Senandung Musim Gugur (Bagian I) , mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sekian info artikel kali ini.

Anda sedang membaca posting tentang Senandung Musim Gugur (Bagian I) dan berita ini url permalinknya adalah https://indodongeng.blogspot.com/2013/11/senandung-musim-gugur-bagian-i.html Semoga info lowongan ini bisa bermanfaat.

Subscribe to receive free email updates: