Gadis Payung Hitam

Gadis Payung Hitam - Hallo semuanya Pembaca Berita, Pada postingan berita kali ini yang berjudul Gadis Payung Hitam, telah di posting di blog ini dengan lengkap dari awal lagi sampai akhir. mudah-mudahan berita ini dapat membantu anda semuanya. Baiklah, ini dia berita terbaru nya.

Judul Posting : Gadis Payung Hitam
Link : Gadis Payung Hitam
Widi tak habis pikir ketika tiba-tiba seorang gadis telah berada di hadapannya. Segelas es teh kandas separoh -- kenikmatan di puncak kemarau, hari yang panas. Persis di depan warung makan pasar Sakagiri gadis itu hanya diam disertai tatapan mata memelas. Jarinya mempermainkan tangkai payung hitam yang separoh menutup wajahnya.

"Lapar, Dik?"

Tak keluar jawaban dari mulutnya kecuali tubuhnya molat-molet sambil tangannya memutar-mutar gagang payung. Wajahnya kumal. Begitu pula kaos yang membungkus tubuhnya, tipis kusam seperti saringan santan. Bola matanya masih menatap ke arah Widi seakan penuh harap minta diterjemahkan.

"Siapa namamu. Belum sarapan?"

Ia membalikkan wajahnya pertanda bukan itu yang dia mau.

"Mbah Ewa tahu anak siapa itu?" katanya kepada pemilik warung dijawab gelengan kepala. Dua ribu perak untuk segelas es teh dan sepiring nasi dilemparkan begitu saja ke atas meja. Tapi, mata itu, mata itu, seperti ingin terus mengajaknya bercakap, berkabar tentang sesuatu yang dia sendiri belum tahu.

Mungkinkah ia anak pengemis kaki satu yang sering singgah di rumahnya minta sebungkus nasi tiap akhir pekan, ataukah ia pelarian dari sebuah panti asuhan. Mungkinkah ia bawa pesan penting untukku sedang orang lain yang bergerombol di warung ini pun tak diperhatikan.

"Mencari siapa?" Aku bermaksud mendekat tapi urung begitu wajahnya cepat-cepat ditenggelamkan di balik payung hitam, seperti bekicot.

Kupandangi gadis itu. Tubuhnya timbul tenggelam ditelan laju orang-orang pasar mengejar uang. Dalam jarak dua meter aku bisa menyaksikan, dari sorot matanya ia memang punya maksud tertentu, setidaknya kepadaku, setidaknya bukan buat orang-orang itu.

Gadis itu beranjak mendekat ke pohon waru. Astaga, kakinya tak beralas apapun padahal trotoar ini cukup panas, padahal seorang peminta-minta paling miskin pun mampu membeli sepasang sandal jepit tapi kenapa ia malah membiarkan telapak kakinya pelan-pelan digoreng aspal. Dari balik payung hitam samar-samar bertuliskan pesan sponsor obat pilek, matanya seperti mengajakku untuk mengikuti langkahnya, seperti pula hendak berkata mari cepatlah kemari.

Ia bergerak lagi tapi belum mencapai lima langkah tubuhnya berbalik dan tangannya secepat kilat memungut benda yang terjatuh dari balik payung hitam, ah tidak, dari lehernya. Bukan, bukan, dari balik bajunya. Ah, persetan. Tapi benar itu emas. Ya, kalung emas. Emas. Emas kuno.

"Dik. Dik. Dik." Kupanggil ia tapi jalannya makin cepat zig-zag menembus kerumunan. Kutoleh kiri kanan guna memastikan tak ada seorang pun tahu itu. Kukejar ia dengan bayangan keuntungan berlipat.

Ya, emas kuno. Persis. Aku sering mendengar kabar, juga sering melihat langsung bahwa beberapa orang di kawasan Klaten kerap menemu benda semacam itu, sebentuk harta karun yang mereka sebut emas budha. Warnanya kuning agak kusam serupa emas muda. Harta karun karunia bumi itu, konon, hanya diperoleh orang-orang tertentu. Itupun lewat perantara mimpi, tepatnya bukan sembarang mimpi.

"Dik, kemari, Dik." Brengsek. Langkahnya terlalu cepat. Aku pun terengah dibuatnya. Sekali lagi kupastikan orang-orang pasar tak ada yang tahu peristiwa ini ketika ia berbelok menuju tempat sepi di los belakang yang kosong. Persetan bau anyir dari unggun timbun sampah itu. Huh, orang-orang pasar yang jorok.

Gadis kecil itu berhenti. Ia merapatkan tubuhnya ke tembok. Pikirku, kebetulan tak ada seorang pun tahu. Kubayangkan segepok uang segera berpindah ke kantong
Masalahnya tinggal menunggu waktu yang tepat untuk merayu dia. Toh hanya seorang bocah paling-paling dengan beberapa lembar rupiah saja ia serahkan perhiasan itu. Dan inilah saatnya.

"Kau jual berapa, Dik? Sepuluh Ribu?" Kurogoh selembar uang dari kantong celanaku. Tapi gadis kecil itu tak menjawab kecuali hanya selintas menatap uang yang kuacungkan lalu menyembunyikan wajahnya di balik payung hitam. Untuk beberapa saat aku ikut diam sambil sesekali menoleh guna sekali lagi memastikan tak ada seorang pun tahu. Jantungku berdegup terbayang rejeki nomplok di depan mata.

"Sepuluh ribu tak mau?"

Tak ada jawaban kecuali tangannya bergerak memberi acungan dua jari. Secepat itu pula aku menyimpulkan gadis itu bisu. Benar, bisu. Kasihan kau anak malang, ah persetan.

"Dua puluh ribu?"

Kali ini ia menggeleng, payungnya ikut bergoyang.

"Lho, dua puluh ribu tidak mau lalu berapa? Dua puluh lembar uang seribuan mau?"

Ia menggeleng lagi. Meski aku tak sekelas Anthony T Podesta, pelobi ulung yang pernah dinobatkan majalah The Washingtonian sebagai salah satu dari 50 pelobi ulung yang memiliki pengaruh kuat di Amerika Serikat 1), namun yang kuhadapi hanya gadis kecil, apa susahnya, paling tidak aku sudah punya bekal menjadi makelar.

Benar, aku tak tahu dan tak perlu tahu siapa namanya. Mungkin Reni, mungkin Evi, mungkin Ninuk. Tak soal, asalkan emas itu segera berpindah ke tanganku sebelum keduluan yang lain. Kesempatan hanya sekali datang habis itu hilang bersama angin.

"Lalu berapa?" Aku tak sabar sembari menahan geram. "Masak dua ratus ribu, buat apa?"

Ia tersenyum sambil mengeluarkan kalung yang disembunyikan di balik payungnya. Ada percikan cahaya kuning pantulan matahari siang, tapi hanya sebentar karena ia cepat-cepat memasukkan benda itu ke balik bajunya.

Baiklah, aku berhitung sekarang. Masih ada uang Rp 250 ribu di dompet, separoh gajiku hasil bertarung dengan malam. Jika saja emas itu berhasil kubeli berarti ada keuntungan dua kali lipat. Juragan emas Liem Kim Hoek pasti akan ringan tangan mengeluarkan Rp 500 ribu. Sama-sama kuning tapi ia tahu benar mana emas sejarah mana emas mentah.

"Seratus Ribu?" Sekali lagi kucoba menawar. Lagi, ia geleng kepala. "Dasar keras kepala."

Payung hitam makin rapat di wajahnya. Ia tahu aku baru saja mengumpat. Di atas kepala, matahari siang 90 derajad. Panas makin menyengat. Kulihat di wajahnya meleleh satu dua tetes keringat. Tapi aku telah habis kesabaran, segala rayuan mautku mental. Buat apa terlalu capek berpikir.

Akhirnya…

"Yah, dua ratus ribu, bawa kemari kalung itu." Kurogoh uang dengan perasaan ringan.

Ia melangkah menuju ke arahku. Tangan kanannya meraih uang dari genggamanku, tangan kirinya menyerahkan emas dan langsung kumasukkan saku. Persis transaksi narkoba. Aman, tak seorang pun tahu kecuali Tuhan. Sebelum pergi, gadis itu sekali lagi menatapku, sebentar tersenyum, lalu hilang ditelan pasar. Aku pun bernyanyi sepanjang gang. Ingin aku tertawa menyaksikan orang-orang pasar pontang-panting mengejar uang sedangkan aku tak sampai setengah jam mendapatkannya dengan mudah.

Di toko Liem siulku makin nyaring. Heaven isn't too far away...2). Dengan kode khusus Liem merangkulku menuju ruang belakang.

"Berani berapa?" Aku langsung pasang harga.

"Yang model begini cuma Rp 450 ribu."

"Lima ratus."

"Ini aku sudah rugi belum lagi tambah ongkos melebur."

"Tambah sedikit."

"Pas."

"Ya sudah. Ambil."

Liem meraih alat tes sebentuk botol kecil berisi cairan khusus yang diikatkan di tali pinggangnya. Di atas meja kecil diteteskannya ujung kalung itu. Liem berpaling ke arahku.

"Palsu," ujarnya ringan, "lain kali datang lagi kemari bawakan aku yang asli."

"Hah, palsu."

Tiba-tiba tubuhku terasa mengapung ringan. Kuning. Redup. Kuning. Gelap. Ketika
bangun kucium aroma karbol rumah sakit.


Demikianlah Info postingan berita Gadis Payung Hitam

terbaru yang sangat heboh ini Gadis Payung Hitam, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sekian info artikel kali ini.

Anda sedang membaca posting tentang Gadis Payung Hitam dan berita ini url permalinknya adalah https://indodongeng.blogspot.com/2013/11/gadis-payung-hitam.html Semoga info lowongan ini bisa bermanfaat.

Subscribe to receive free email updates: