Senandung Musim Gugur (Bagian III)

Senandung Musim Gugur (Bagian III) - Hallo semuanya Pembaca Berita, Pada postingan berita kali ini yang berjudul Senandung Musim Gugur (Bagian III) , telah di posting di blog ini dengan lengkap dari awal lagi sampai akhir. mudah-mudahan berita ini dapat membantu anda semuanya. Baiklah, ini dia berita terbaru nya.

Judul Posting : Senandung Musim Gugur (Bagian III)
Link : Senandung Musim Gugur (Bagian III)
Ipung datang dan pergi dan datang lagi, sampai akhirnya menyulitkan Lia.

Dengan disaksikan kedua polisi itu, setelah berkonsultasi dengan pimpinannya pengawas mau juga membuat surat perjanjian untuk membayar semua tuntutan dan ganti rugi bagi ketiga TKI itu. Ia juga menjanjikan akan memberikan ganti rugi yang layak untuk deraan fisik yang pernah diterima ketiga TKI, sebagai bentuk penyelesaian di luar pengadilan.

Melalui Hyun-jin dan Lia, jaminan pun diberikan oleh pihak lembaga untuk ketiga TKI itu, meskipun semula kedua polisi itu sempat mempertanyakan legalitas ketiga TKI. Dengan adanya jaminan itu, permasalahan legalitas status mereka sebagai tenaga kerja akan bisa diselesaikan secara baik dalam beberapa hari mendatang, dan tidak menutup kemungkinan bagi ketiga TKI itu untuk disalurkan bekerja di tempat yang direkomendasikan lembaga.

Hari sudah malam ketika Lia sampai kembali di apartenya. Hatinya gembira karena permasalahan ketiga TKI itu dapat diselesaikan dengan baik.

Baru saja Lia menikmati istirahat, ketika telepon di apartenya berdering. Dengan kening berkerut Lia mengangkat telepon itu. “Yoboseyo,” sapa Lia, meniru ucapan halo khas Korea.

Suara John terdengar dari balik gagang telepon. Entah kenapa, Lia merasa senang mendengar suaranya. Benar-benar seperti ABG saja, pikir Lia sambil tertawa di dalam hati.

“Selamat malam, Lia, mudah-mudahan aku tidak mengganggu. Aku hanya ingin sekedar menanyakan bagaimana kabarmu hari ini?”

“Oh baik John, baik.”

“Apakah masalah TKI-TKI itu sudah bisa diselesaikan dengan baik? Maaf, aku jadi ingin tahu.”

“Ya, syukurlah semuanya selesai dengan baik-baik.”

“Apakah polisi jadi mengirim orangnya ke sana?”

“Hei, dari mana kau tahu kami dibantu dua orang polisi untuk menyelesaikan masalah itu?

Terdengar tawa John yang renyah dari balik gagang telepon. “Terus-terang setelah mendengarkan ceritamu kemarin, aku agak mengkhawatirkanmu. Itulah sebabnya, maaf, bukan aku ingin mencampuri urusanmu, tapi tadi siang aku mengecek alamat kantor lembagamu dan mencari nomor teleponnya. Dari mereka aku tahu ke mana kau dan orang-orang itu akan pergi. Instingku mengatakan rasanya perlu kehadiran polisi di tempat itu, untuk menjaga kemungkinan terburuk. Berikutnya tinggal mencari nomor telepon kantor polisi sektor terdekat dengan pabrik itu. Yah, kemampuan bahasa Koreaku, ah, not bad-lah. Aku cerita sedikit, dan mereka sudah tahu apa yang harus dilakukan dengan mengirim patroli polisi ke tempat itu. Benar kan?”

Di seberang telepon, John tersenyum. Wajahnya membayangkan kelegaan. Wanita yang sangat, sangat disukainya itu syukurlah dalam keadaan baik-baik saja.

Lia pura-pura marah. “Kau ini, bisa-bisanya mencampuri urusan orang, memangnya kau siapa, ayahku?”

Terdengar lagi suara tawa John. “Oke, simpan saja kemarahanmu itu pada saat kita makan siang besok. Sudah ya Lia, aku senang kamu baik-baik saja. Besok kau harus cerita yang lengkap soal kejadian hari ini padaku. Aku tahu sekarang pasti kau ingin beristirahat. Baiklah, selamat malam Lia,” terdengar suara gagang telepon diletakkan oleh John.

Perlahan-lahan Lia meletakkan gagang telepon itu.

Lia terharu. Mungkin tak salah jika ia berkesimpulan lelaki Amerika yang sehari-hari terkesan pendiam itu menaruh hati padanya. Tak sulit mendeteksi perubahan sikap John terhadapnya, sama mudahnya dengan membaui udara musim gugur yang lembap dan membangun suasana biru dalam hatinya. Biru yang sendu.

Musim gugur pertama yang dilalui Lia di Korea tampaknya mendatangkan kesan tersendiri buatnya. Dari hari ke hari, keduanya semakin dekat saja. Ya, Lia dengan John. Ketika hari-hari yang semakin dingin justru dilalui dengan perasaan hangat, diam-diam Lia harus mengakui, dalam banyak hal dia merasa cocok dengan laki-laki pemalu itu. Di balik sikapnya yang terkesan pendiam, John ternyata memiliki kepribadian yang hangat. Sikapnya yang tenang memang terasa berlawanan dengan kepribadian Lia yang terkadang meletup-letup.

Mungkin akan lebih mudah buat Lia memutuskan perasaannya sendiri kepada John, kalau saja sore itu tidak datang kabar yang membuatnya tersentak dan memaksanya memikirkan kembali langkah yang harus diambilnya. Bermula dari suatu hari di penghujung musim gugur ini. Di luar sore mengambang, langit berawan, dan telepon di aparte Lia kembali berdering.

Sigap Lia mengangkat telepon itu, dan terkesiap ketika suara yang sangat dikenalnya itu langsung menyapa dalam bahasa ibunya, ”Selamat sore Lia.”

”Selamat sore,” Lia menjawab perlahan.

”Masih ingat suara siapa ini?”

Tentu saja Lia masih mengingatnya dengan jelas. Ia tertegun, kehilangan kata-kata. Sampai suara di balik gagang telepon itu kembali menegurnya, ”Lho, kok diam. Ke mana lidahmu yang biasanya lincah dan tajam itu. Apakah bahasa Korea telah membuatmu kehilangan kemampuan bicara Indonesia?” Suara di balik telepon itu tertawa. Suara tawa yang diam-diam pernah dirindukannya.

Cepat Lia menguasai diri. Bagaimanapun, ia tak ingin terkesan tolol jika berbicara dengan lelaki itu. Lia menjerit senang, suaranya mengalun lincah dan riang, ”Aih Pung, mana bisa aku melupakan suara tokoh legendaris di kalangan mahasiswa demonstran beberapa tahun lalu. Apa kabar? Eh dari mana kau tahu nomor teleponku? Ini SLI, ya?”

”Hai, satu-satu, Non. Ya, ini Ipung, masih Ipung yang sama. Tentu saja gampang mencari nomor teleponmu. Dan ehm, tebak aku ada di mana sekarang?”

”Mana aku tahu?”

Ipung tertawa. Masih suara tawa yang sama. Masih Ipung yang sama. Wajahnya, senyumnya, berlintasan di benak Lia. Di luar aparte, senja yang dingin membuat daun-daun berwarna kemerahan semakin merunduk, lebih banyak lagi yang melayang gugur ke tanah.

”Aku ada di Seoul sekarang.”

”Hah, yang benar?”

”Surprise, kan? Memang aku tidak ingin memberi tahu kamu lebih dulu. Namanya juga kejutan. Aku sudah dua hari di sini, mengikuti delegasi Indonesia dalam pertemuan dan seminar HAM Asia Pasifik. Dua hari lagi aku bebas. Selesai.”

”Wah, sudah jadi tokoh aktivis beneran rupanya. Kau tahu, Seoul-Busan hanya sekitar lima jam dengan kereta. Empat jam malah, kalau kau naik Seomaul, kereta ekspres.”

”Apakah ini sebuah undangan? Aku memang berencana mampir untuk menengok kamu. Itu pun kalau kamu tidak keberatan.”

Wajah Lia berseri. Bagaimanapun, setelah sekian lama, pertemuan dengan Ipung di sebuah negeri asing ketika ia merasa sendirian tentu akan menjadi peristiwa yang menyenangkan. ”Hei, aku tak akan mengulang tawaranku dua kali. Memangnya kau tak rindu kepadaku ya. Kapan acaramu selesai?”

”Jumat siang.”

”Oke, Sabtu dan Minggu aku bebas. Datanglah ke Busan dan menginaplah di tempatku barang satu dua hari. Tanggal penerbangan kembalimu ke Indonesia masih bisa diubah kan? Kau naik apa? Garuda? Mungkin Senin, pukul sebelas siang, kau bisa pakai Garuda rute Seoul-Jakarta untuk kembali. Nah, kalau kau langsung berangkat ke Busan, Jumat malam kita sudah bisa ketemu di Busan Yok, Stasiun Busan. Minggu malam kau bisa kembali ke Seoul, naik bus atau kereta. Bagaimanapun, aku senang bakal ketemu kamu.”

”Aku juga. Aku rindu kamu Lia.”

Malam itu Lia sulit memejamkan matanya. Kenangan lama pun merembes seperti udara dingin musim gugur di luar apartenya, merasuki sukmanya, membawanya terbang memasuki kembali hari-hari yang lewat dan pernah melengkapi album hidupnya.

Beberapa tahun lalu, Lia ingat, neneknya langsung menyongsongnya ketika ia baru saja sampai di rumah selepas kuliah. Sejak kuliah Lia memang memilih tinggal bersama kakek dan neneknya.

Nenek Sunarti langsung bercerita, ”Tadi sore Romo Hadi ke sini. Ia juga sempat menanyakanmu. Katanya kau sempat janji mau membantunya mengajar di sekolah darurat untuk anak-anak pemulung di dekat pembuangan sampah kota ini. Apa benar?”

”Oh iya. Aku memang pernah janji mau membantu Beliau. Kapan Lia bisa mulai?”

”Minggu depan, katanya. Romo ingin ketemu kamu dulu. Tadi Romo Hadi kemari ditemani pemuda, siapa namanya, Pak?”

Kakek Subroto tersenyum. ”Ipung? Namanya Ipung? Katanya dia kenal baik sama kamu.”

Lia tersentak mendengar nama itu. Ipung? Ipung kembali ke kota ini? Wajah Lia tampak berubah. Matanya yang semula redup karena lelah menjadi bercahaya.

”Anaknya spontan dan lucu, lho. Sambil ketawa dia bilang sama Eyang bahwa sebenarnya Lia itu sudah lama naksir dia. He he, dasar anak bengal. Apa benar itu Lia?” tanya Eyang Subroto sambil tersenyum geli melihat perubahan wajah Lia.

”Huh, bohong, Yang. Terbalik itu. Dia yang naksir berat sama aku.”

Ah, Ipung. Si kurus gondrong yang senang menarik kuncir Lia waktu posma, kakak kelas dua tahun di atas Lia. Terbayang senyumnya yang menyenangkan, sikapnya yang hangat seperti matahari pagi. Kenangan Lia langsung berlarian kepada pengalaman beberapa tahun sebelumnya.

Saat itu ia merasa meninggalkan jejak-jejak masa remajanya di gedung SMU yang tua dengan dinding-dinding yang dapat bercerita, bersiap memasuki dunia manusia dewasa yang tidak sepenuhnya ia pahami, namun sangat ingin ia rasakan.

Lia merasa beruntung menjadi mahasiswa di tengah perubahan besar yang bakal terjadi di negerinya. Ketika tanpa ia sadari mimpi-mimpi masa remajanya langsung tanggal bersama kenyataan hidup bangsanya yang berenang di telaga air matanya sendiri.

Saat itu buat Lia yang tengah sibuk merampungkan skripsi S1-nya, tetap tidak ada alasan untuk duduk diam seperti anak manis sambil berpangku tangan. Unjuk rasa menjadi pilihan efektif untuk mengatakan ”tidak” kepada penguasa yang menulikan telinganya sendiri dari jerit tangis rakyatnya.

Lia berada di sana. Mengikuti semuanya, ikut mengkoordinir demonstrasi demi demonstrasi, terlibat dalam rencana ”pendudukan” gedung wakil rakyat. Selebihnya ia ikut berdebar dan berkeringat setiap kali berlarian dikejar aparat keamanan di jalanan, atau menghindari gas air mata.

Saat-saat itulah ia semakin akrab dengan Ipung yang sudah lebih dulu aktif sebagai aktivis. Ah, siapa mahasiswa yang langganan ikut demonstrasi di kota itu yang tidak mengenal Ipung. Ipung yang punya jam terbang tinggi sebagai aktivis jalanan tampak menonjol saat itu. Ia pandai memancing empati dengan pidatonya di tengah kerumunan mahasiswa. Hubungannya luas dengan berbagai tokoh kritis dan oposisi. Ipung juga pandai bernegosiasi dan meyakinkan orang, sebagaimana beberapa kali dibuktikannya ketika ia berhasil meyakinkan kepala polisi di kota itu untuk ”melepaskan” beberapa mahasiswa yang tertangkap dalam kegiatan demonstrasi. Beberapa kali Ipung sendiri terkena pukulan dan tendangan dalam unjuk rasa, atau diincar untuk ditangkap. Namun ia selalu kembali di barisan terdepan.

Lia merasa, Ipung juga ingin tahu lebih banyak tentang dirinya. Paling tidak, Ipung dengan sikapnya yang SKSD, sok kenal sok dekat, mulai mencoba menarik perhatiannya. Naluri kewanitaan Lia menyadari itu. Lia senang, dan untuk pertama kalinya merasakan getaran aneh di hatinya berhadapan dengan lawan jenis dan makhluk seperti Ipung. Namun ia juga merasa tak nyaman melihat Ipung ternyata sadar betul dengan daya tariknya, sebagaimana tercermin dari kesediaan beberapa wanita yang mau dipacarinya, bahkan bertindak lebih jauh dari sekadar pacaran.

Lia kembali cukup intens bertemu dengan Ipung dekat menjelang keberangkatannya ke Australia untuk studi S2-nya. Kegiatan bersama Romo Hadi dan Ustad Harunlah yang mempertemukan mereka. Setelah tiran tua itu turun, Lia memilih menggeser kegiatannya sebagai aktivis ke dalam karya yang dirasakannya lebih langsung bisa dirasakan orang kecil. Ia terlibat dalam kegiatan kemanusiaan yang dirancang Romo Hadi. Dengan Ipung ia sempat ketemu beberapa kali, merasakan ketertarikannya tak juga berkurang, tapi sekaligus tidak berani membuka ruang untuk sebuah komitmen lebih menyangkut hubungan mereka.

Sampai akhirnya Ipung menghilang. Imbas perubahan struktur pemerintahan pusat dan arah angin politik memungkinkan sejumlah tokoh kritis yang beroposisi sebelumnya, kini justru masuk ke dalam jaring-jaring kekuasaan. Salah seorang yang dulunya tokoh oposisi mengajak Ipung terlibat dalam persiapan langkah-langkah dan organisasi politiknya. Ipung merasa itu kesempatan ikut membangun kultur politik yang lebih baik dan terbuka. Paling tidak itu yang dikatakannya kepada Lia. Paling tidak itu keyakinannya, mengapa tidak? Ipung menerima tawaran itu, meninggalkan kota mereka, meninggalkan Lia yang tak kunjung mantap dengan perasaannya sendiri. Cukup lama mereka sempat kehilangan kontak. Lia sempat merasa kehilangan. Sesekali Ipung masih suka menelepon. Lama-lama suaranya menghilang, tersesat dalam rimba kesibukannya yang baru. Begitu juga Lia.

Sampai datang kabar itu: Ipung kembali! Dan Lia masih mengingat pertemuan-pertemuan terakhir itu.

Hari itu Lia bergegas meninggalkan rumah untuk menemui Romo Hadi. Ah, Romo Hadi yang ganteng. Masih muda, energetik, belum lama ditahbiskan sebagai pastor. Siapa menyangka jika pria bersuara tenang, berat, dan mantap, dengan sosok mirip Roy Marten di masa mudanya, adalah seorang pastor. Apa lagi ketika sehari-hari jika sedang tidak memakai seragam dinasnya saat bertugas memimpin misa di gereja, Romo Hadi lebih suka mengenakan celana jins dan kemeja kotak-kotak warna cerah. Lia sempat kesengsem ketika awal mula kenalan. Pikirannya yang nakal melayang, sayang rasanya mengetahui pria itu memilih menghabiskan umurnya sebagai pelayan Tuhan.

Lia tahu ke mana ia bisa menemui Romo Hadi. Ke sebuah perkampungan kumuh di pinggiran kota, dekat tempat pembuangan sampah raksasa yang menampung sampah hasil peradaban seluruh penduduk kota. Masih tercium bau sampah basah menyengat dalam radius tiga kilometer. Kepulan asap sampah yang dibakar mengambang di udara seperti halimun di pegunungan, juga dalam radius beberapa kilometer.

Perkampungan kumuh yang berdiri di atas tanah negara itu dihuni lebih dari seribu jiwa. Lengkap dengan nilai-nilai kehidupannya yang tersendiri. Kebanyakan kepala keluarga bekerja sebagai pemulung atau buruh lepas harian, pengangguran, pemabok, pencopet, pecandu magadon dan obat-obatan kelas kambing lainnya, pengemis dan jembel, bahkan residivis. Kejahatan ala jalanan dan kaki lima menjadi peristiwa sehari-hari. Juga wanitanya, ditambah dengan mereka yang menjajakan barangnya yang paling pribadi, menjadi pelacur murahan yang jasanya sebagai tempat pelampiasan birahi lelaki iseng, bisa dibarter dengan sedikit uang senilai beberapa bungkus rokok. Makian dan umpatan menjadi bahasa sehari-hari di tempat itu. Banyak pasangan telah bersama bertahun-tahun dan menghasilkan keturunan, tanpa bisa menjelaskan atau menunjukkan bukti sah perkawinan mereka.

Lia takjub bagaimana Romo Hadi secara kreatif bisa menemukan dan memilih tempat itu sebagai ladang pengabdiannya. Hari-hari yang berlalu di tempat itu bisa diringkas dalam sebuah pertanyaan sederhana: apa bisa kita makan hari ini? Ya, soal makan sehari-hari menjadi persoalan hidup dan mati di tempat itu. Karena itu, jangan tanya pandangan mereka tentang sekolah dan pendidikan anak-anaknya. Itu sudah masuk kriteria kemewahan buat mereka. Lagi pula, anak-anak malah bermanfaat untuk diperas tenaganya, dieksploitir, bisa membantu mencari nafkah buat keluarga. Mereka toh bisa disuruh mengamen, menyemir sepatu, jualan koran, mengemis, mencari calon korban pencopetan atau penodongan, bahkan melacurkan diri.

Begitu sampai di perkampungan itu, Lia menghadapi pandangan mata menyelidik dari para penghuninya. Hidup sehari-hari yang tidak adil membuat mereka menjadi gampang curiga terhadap sesama. Bangunan-bangunan kumuh semi-permanen tumbuh merapat, kebanyakan terbuat dari kayu dan seng, bertebaran tak beraturan seperti kotak-kotak korek api di atas papan monopoli. Bisa dibayangkan seperti apa panasnya jika matahari tepat berada di atas ubun-ubun. Lia berusaha menebar senyum dan menjaga gerak-geriknya sewajar mungkin. Beberapa anak pemulung yang tak berbaju dengan ingus menempel sampai ke pipi mengikuti langkah Lia. Langkah mereka terhenti ketika Lia memasuki sebuah bangunan sederhana, mirip bedeng, terbuat dari kayu dan beratap asbes. Lantainya hanya disemen, dinding-dinding kayunya tidak dicat. Di dalamnya dibuat seperti ruang kelas dengan kursi dan meja kayu seadanya.

”Hai Lia, masuklah,” kata Romo Hadi sambil tersenyum lebar ketika Lia sudah berdiri di pintu sambil mengucap salam.

Hari itu, Lia beroleh teman baru. Selain Ustad Harun sahabat Romo Hadi yang sudah lebih dulu dikenalnya, ia berkenalan dengan Pak Iyang, lelaki berwajah sabar yang belum lama dipecat dari pekerjaannya sebagai guru sebuah sekolah dasar swasta terkemuka di kota itu. Pak Iyang dipecat dari sekolah macam itu lantaran berani menolak permintaan pengurus yayasan sekolah untuk mengatur kenaikan kelas anak seorang dermawan yang rajin membantu melengkapi fasilitas sekolah itu.

Ada Pak Item, lelaki yang dituakan, bos pemulung, di pemukiman itu. Dan, siapa itu lelaki gondrong yang tersenyum-senyum sambil mengulurkan tangannya kepada Lia? Ipung. Ya, Ipung. Lia diam-diam berdoa agar Ipung tidak melihat semburat merah yang mewarnai pipinya.

”Apa kabar, Pung? Kukira kau masuk daftar aktivis korban penculikan yang tak pernah kembali,” Lia berusaha agar suaranya terdengar sewajar mungkin, meskipun gemuruh di dadanya tak bisa ia bohongi.

”Baik Lia. Yang pasti, aku kangen sama kamu,” kata Ipung tanpa malu-malu. Romo Hadi tersenyum. Begitu pula yang lain.

”Sudah, Pung. Jangan menggoda Lia. Mengajar di tempat semacam ini saja sudah tidak mudah buatnya. Apa lagi harus menghadapi laki-laki penggoda seperti kamu,” kata Romo Hadi.

”Romo jangan mengecilkanku. Aku cukup tangguh lho. Apa lagi hanya sekadar menghadapi cowok macam Ipung. Kau sendiri Pung, kenapa kau balik ke kota ini. Kecewa dengan kelakuan tokoh-tokoh politik yang dulu kau bela dan kini lupa diri setelah berkuasa?”

”Jangan sinis begitu, Lia. Itu kan bisa kita obrolkan nanti saja. Berdua,” kata Ipung sambil mengedipkan mata.

Dia tak bisa menolak keinginan Ipung untuk mengantarkannya pulang. Sebenarnyalah ia juga tak ingin menolak. Sepanjang perjalanan, Ipung yang sibuk mengemudikan sepeda motor Lia, tak banyak bicara. Ia terlihat lebih matang dari sebelum pergi meninggalkan kota mereka. Namun, akhirnya Lia tahu juga sebabnya mengapa Ipung memutuskan kembali.

”Ya, kau benar, Lia. Aku memang kecewa begitu menyadari manusia gampang sekali berubah. Banyak sekali perubahan yang terjadi akhir-akhir ini di negara kita. Bayangkan jika kau tiba-tiba tersadar bahwa selama ini kau hanya bermimpi,” kata Ipung sesudah sampai di rumah Lia. Sore di beranda rumah masih menyisakan panas tadi siang. Hanya sesekali angin melintas, menggoyang pelan tanaman penghias halaman.

”Bukankah itu tak sepenuhnya buruk? Bukankah terkadang mimpi juga yang mendorong manusia mengubah hidupnya? Kau ini kenapa sih? Biasanya kau kan malah meledek kecengengan orang lain.”

”Memalukan, Lia. Apa yang kusangka sebagai manusia-manusia istimewa karena berani melawan penguasa yang sewenang-wenang beberapa tahun lalu, kini sudah berubah menjadi seperti penguasa yang dulu mereka kritik. Kini mereka sendiri yang saling serang dan berebut kekuasaan.”

Lia tertawa. ”Kau sih, aktivis macam apa kau ini? Sudah tahu kekuasaan cenderung korup, kok malah mendekat-dekatkan diri dengan kekuasaan. Sekarang kau kena batunya, kecewa sendiri dengan mereka. Tapi syukurlah kalau kau sendiri menyadari bahwa hal itu memuakkan dan tidak justru ikut larut di dalamnya.”

Ipung tersenyum pahit. ”Yang aku sesalkan hanyalah, kekuasaan nyatanya memang bisa mengubah manusia. Padahal rasanya baru kemarin mereka teriak-teriak menghantam kekuasaan yang dipergunakan tidak semestinya.”

”Jadi itu alasanmu kembali ke kota ini?”

”Iya, kupikir di sini aku bisa lebih bermanfaat. Bersama orang-orang seperti Romo Hadi, aku bisa mengerjakan hal-hal yang bisa dirasakan langsung manfaatnya oleh orang-orang kecil di kota ini.”

”Bukan karena ada aku di sini?” Goda Lia.

”Mungkin juga itu jadi sebagian alasanku untuk kembali,” Ipung menatap Lia sambil tersenyum penuh arti. Lia membuang pandangan ke arah jalan raya. Ia tak ingin Ipung memergoki wajahnya yang kembali merona merah.

Lia senang dengan kegiatannya membantu Romo Hadi dan kawan-kawan. Lagi pula, di tempat itu juga ada Murni yang telah mencuri hatinya. Anak bungsu Pak Item yang baru enam tahun usianya itu terlalu lucu dan manis untuk terdampar di tempat menyedihkan macam itu. Anaknya berani, cerdas, dan tidak pemalu. Ia juga langsung lengket dengan Lia yang pada dasarnya memang suka anak-anak. Sedih Lia membayangkan masa depan macam apa yang menanti Murni seandainya ia terus terjebak di tempat semacam itu. Tidak berani Lia membayangkan lebih jauh hal-hal yang bisa menjadi lebih buruk daripada mimpinya yang terburuk.

Di tengah keasyikan mengajar di tempat itu, Lia mulai merasakan adanya kecemasan yang mengambang di udara. Keadaan hanya tenang sebentar, sudah muncul lagi gangguan yang dirasakan langsung oleh penghuni pemukiman itu. Mulai datang satu dua laporan kepada Romo Hadi dan kawan-kawan tentang ulah preman-preman yang semakin mengkhawatirkan.

Pihak pemda tampaknya justru merestui ”pemukiman liar” itu dihapus dari peta kota. Lagi pula, bukankah lebih baik jika pihak swasta mengambil alih tempat itu untuk usaha apa pun. Ini kan tugas mulia, bisa mengurangi angka pengangguran. Bukankah ini juga akan mendatangkan tambahan pemasukan buat pemda, ketimbang membiarkan tempat itu menjadi hunian kaum pinggiran yang hanya membuat suntuk pandangan warga kota yang terhormat?

Dengan logika berpikir kekuasaan yang semacam itu, Romo Hadi dan kawan-kawan praktis sendirian membantu memenangkan warga di pemukiman itu. Berbagai upaya telah coba mereka lakukan: menghubungi beberapa pihak, berunjuk rasa ke DPRD untuk meminta dukungan wakil rakyat, beberapa kali ke pemda mencoba menemui kepala daerah, namun hasilnya nihil. Teman-teman lama aktivis kampus bermunculan, menghubungi Lia dan Ipung, menanyakan bantuan apa yang bisa mereka berikan. Belakangan, dari pihak yang berkuasa malah muncul tuduhan bahwa Romo Hadi dan teman-teman punya agenda politik tersendiri untuk menjatuhkan pemda.

Romo Hadi hanya bisa geleng-geleng kepala menghadapi tuduhan dan fitnah semacam itu. Ketika mereka tengah berkumpul di sekolah darurat itu, dengan nada pahit Ustad Harun berkata, ”Yang berubah di negeri ini hanyalah figur orang-orang yang berkuasa. Selebihnya, perilakunya masih tetap sama. Bahkan model intimidasinya pun masih tetap sama, tidak kreatif.”

Sudah beberapa kali sekolah darurat itu kedatangan tamu tidak diundang. Kadang barang-barang yang sudah dirapikan menjadi berantakan. Beberapa fasilitas mengajar bahkan hilang. Beberapa orang tua mulai melarang anaknya mengikuti sekolah darurat itu. Mudah sekali isu mempengaruhi orang-orang sederhana itu. Untunglah berkat usaha Pak Item, warga di tempat itu tidak kehilangan kepercayaan kepada Romo Hadi dan kawan-kawan. Bukankah suara hati nurani tidak bisa dimanipulasi dan dibohongi?

Malam baru saja turun di kotanya ketika telepon mengejutkan itu akhirnya datang juga ke rumah Lia. Subroto terkejut melihat wajah Lia berubah pucat. Lia tampak bergegas mengambil jaket dan helm.

”Mau ke mana kamu, Nak? Sudah malam lho,” Sunarti bertanya dengan lembut. Ia bisa merasakan kegelisahan dan kesedihan di hati Lia.

Lia menjawab dengan suara bergetar, ”Mereka jadi juga menggusur tempat itu, Yang. Ipung ada di sana sekarang. Ia yang mengabari tadi lewat telepon. Sekolah kita, ahÖ.” Lia tertunduk. Suaranya hilang ditelan kesedihannya.

”Kenapa dengan sekolah itu?” tanya Subroto sambil memegang bahu Lia.

”Mereka bertindak terlalu jauh. Semestinya mereka tidak perlu mencoba membakar bangunan-bangunan di tempat itu. Kejam sekali mereka.”

”Oh, orang-orang zalim,” Sunarti memeluk Lia.

”Yang, izinkan aku ke sana. Barangkali masih ada yang bisa diselamatkan dari sekolah itu.”

Bersambung ke Bagian IV-TAMAT


Demikianlah Info postingan berita Senandung Musim Gugur (Bagian III)

terbaru yang sangat heboh ini Senandung Musim Gugur (Bagian III) , mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sekian info artikel kali ini.

Anda sedang membaca posting tentang Senandung Musim Gugur (Bagian III) dan berita ini url permalinknya adalah https://indodongeng.blogspot.com/2013/11/senandung-musim-gugur-bagian-iii.html Semoga info lowongan ini bisa bermanfaat.

Subscribe to receive free email updates: