Senandung Musim Gugur (Bagian II)

Senandung Musim Gugur (Bagian II) - Hallo semuanya Pembaca Berita, Pada postingan berita kali ini yang berjudul Senandung Musim Gugur (Bagian II) , telah di posting di blog ini dengan lengkap dari awal lagi sampai akhir. mudah-mudahan berita ini dapat membantu anda semuanya. Baiklah, ini dia berita terbaru nya.

Judul Posting : Senandung Musim Gugur (Bagian II)
Link : Senandung Musim Gugur (Bagian II)
Berhadapan dengan pemilik pabrik Korea itu, Lia merasakan ketegangan yang sama seperti saat menjadi aktivis jalanan.

Melalui beberapa kali kesempatan berbincang, dan sesekali makan siang bersama di kantin khusus dosen, Lia dan John Taylor sedikit demi sedikit mulai bisa berbincang lebih lepas. Udara musim gugur yang semakin sejuk tampaknya justru membuka jalan untuk mendekatkan mereka.

Lia sempat tertawa dalam hati melihat pemuda pemalu itu tampak berusaha keras mencari bahan perbincangan yang bisa menarik perhatiannya. Namun lama kelamaan pria itu bisa membuktikan dirinya teman berbincang yang menyenangkan. Mereka sama-sama kutu buku, sama-sama penyantap film-film seni.

“Lihat Lia, semakin banyak daun yang gugur,” John menunjuk pada gugusan pohon di taman kampus sore itu.

Mereka tengah berjalan pulang bersama menuju aparte mereka yang berdekatan letaknya. Langit warna kelabu, pohon-pohon di perbukitan yang mengelilingi kampus dan daerah tempat tinggal mereka mulai kelihatan cabang dan rantingnya yang kehilangan daun. Lia mengedarkan pandangannya. Udara dingin mengelus kulitnya yang halus. Angin mengibarkan sebagian rambutnya.

Ia tak sepenuhnya menangkap apa yang dikatakan John Taylor. Pikirannya sedang mengembara.

“Apa, John?”

“Hei, kau melamun ya? Tampaknya ada yang memberatkan pikiranmu?” John tersenyum simpatik. Lia mengalihkan pandangannya ke arah perbukitan. Hanya tinggal beberapa blok lagi, mereka akan sampai di aparte.

“Ya, sedikit.”

“Ceritakanlah kepadaku, biasanya kita akan merasa lebih ringan setelah berbagi cerita yang mengganggu hati kita.”

Lia memandang John, mencoba menyelami kedalaman sinar matanya. Apa maksud John dengan tawarannya itu? Apakah ia ingin membuka lembaran baru ke arah hubungan yang lebih personal. Ah, Lia, Lia, kau terlalu berlebihan menilainya. Mungkin ia hanya ingin bersikap baik, menjadi teman yang menyenangkan karena kepeduliannya. Lia menghela napas, mencoba mengusir getaran yang kembali muncul di hatinya, mengandalkan kekuatan yang selama ini dimilikinya dalam menghadapi laki-laki. Toh ia merasa bisa mempercayai laki-laki itu. Setelah berpikir sejenak, ia pun berkata, “Mampirlah ke aparteku sekarang, kalau kau ada waktu. Kita bisa ngobrol sambil minum kopi.”

Hanya sesaat memang, tapi Lia bisa melihat sejenak mata biru itu berbinar, seolah ia sudah menunggu cukup lama munculnya tawaran semacam itu meluncur dari mulut Lia. Lia berusaha menekan perasaannya sendiri dan bersikap biasa.

Sesampainya di aparte Lia di lantai empat, John Taylor langsung bisa merasakan perbedaan kediaman pria dengan wanita. Langsung tercium bau segar menyenangkan dari dalam aparte Lia yang jelas lebih bersih dan nyaman dibandingkan apartenya sendiri. Meskipun ukurannya sama saja kecilnya. Begitu pintu terbuka, langsung terlihat sedikit ruang untuk dapur di sebelah kiri, bersebelahan dengan kamar mandi. Persis di sebelah kamar mandi, terdapat kamar tidur berukuran tiga kali tiga meter. Sebuah ruang yang berukuran kurang lebih sama terletak di sebelah kanan kamar tidur itu. Lia menata ruang kecil itu untuk ruang tamu, dengan jendela yang bisa dibuka. Di musim panas, sinar matahari dapat menerobos masuk dengan leluasa melalui jendela itu. Dari jendela itu juga dapat terlihat aparte tempat tinggal John yang terletak berseberangan dengan gedung aparte yang ditempati Lia.

“Duduk John, biar aku buatkan kopi untukmu,” ucap Lia.

John mengangguk sambil mengucapkan terima kasih. Ia mengedarkan pandangannya menikmati ruang tamu yang kecil itu. Pandangannya tertumbuk pada pigura foto yang tampak mencolok terletak di meja tulis. Di foto itu tampak Lia tengah tersenyum, diapit beberapa laki-laki. Dan siapa itu pria berambut gondrong di sebelah kanan yang tersenyum lebar, tangannya merangkul bahu Lia?

Seakan tahu ke arah mana pandangan John diarahkan, setelah meletakkan dua cangkir kopi panas di atas meja, Lia mengambil foto itu. “Ini fotoku bersama teman-teman lama, aktivis di kota kelahiranku. Kami dulu menyelenggarakan sekolah informal untuk anak-anak pinggiran di kota kami. Kau lihat, ini Father Hadi. Ya, dia seorang pastor. Kami memanggilnya Romo Hadi. Ia mengkoordinir kami menyelenggarakan sekolah itu.”

“Dan ini siapa? Pacarmu?” Lia tersenyum. Ia seolah dapat merasakan, ada nada cemburu dalam cara John bertanya, meskipun ia mencoba menyamarkannya dengan cara bertanya yang terkesan sambil lalu.

“Bisa dibilang begitu,” Lia tersenyum samar.

“Oh,” hanya ucapan pendek itu yang keluar dari mulut John. Roman mukanya tampak sedikit berubah.

“Aku sendiri tidak tahu kategori hubunganku dengannya,” Lia mencoba menetralisir perasaan John. “Ya, biar waktu yang memutuskannya nanti, akan ke mana arah hubungan kami. Sudahlah, kau masih mau mendengar ceritaku?”

“Tentu saja,” John mengangguk mantap. Lia duduk di samping John, dan mulai menceritakan secara ringkas persoalan yang tengah dihadapinya.

Seusai makan siang tadi, Lia dipanggil Prof. Lim Chun-do. Ternyata bukan persoalan sekolah yang ingin dibicarakan. Prof. Lim dengannya.

“Duduk, Ibu Lia,” kata Prof. Lim sambil tersenyum. Wajah Prof. Lim tampak lelah. Meja kerjanya berantakan dengan buku dan berkas-berkas kantor. Dengan sigap dia menyiapkan sendiri secangkir teh ginseng untuk Lia, kopi krim untuk dirinya sendiri. Memang tidak ada semacam pesuruh sekolah yang bisa dimintai tolong untuk membuatkan kopi atau teh. Untuk membersihkan dan merapikan ruang dosen, setiap profesor Korea dibantu oleh satu dua mahasiswa yang menjadi pengurus organisasi mahasiswa jurusan.

Kesempatan itu digunakan Prof. Lim justru untuk menceritakan masalah lain. “Mungkin Ibu Lia bisa bantu,” katanya dengan tenang sambil duduk di hadapan Lia.

Prof. Lim bersama beberapa aktivis dan intelektual Korea yang memiliki hubungan khusus dan pertautan batin dengan Indonesia mendirikan lembaga swadaya masyarakat yang membantu menyelesaikan masalah-masalah tenaga kerja Indonesia di Busan dan kota-kota sekitarnya. Mereka juga menyediakan kursus gratis pemahaman hukum perburuhan di Korea, kursus bahasa Korea dan bahasa Inggris.

Di waktu-waktu senggangnya, Lia ikut mengajar kursus bahasa Inggris buat TKI. Jika ada waktu, ia pun bergabung dengan TKI yang belajar bahasa Korea, karena dia tahu, penguasaan bahasa Koreanya masih jauh dari memadai.

Ada beberapa relawan lain yang mengajar bahasa Korea di tempat itu. Salah satunya adalah Choi Hyun-jin, salah seorang mahasiswa Lia yang tergolong pintar di jurusan Malay-Indonesia. Lia bangga karena Hyun-jin bahkan sudah berani menggunakan bahasa pengantar Indonesia dalam pelajaran bahasa Korea yang diberikannya, meskipun masih terpatah-patah..

Ribuan pencari kerja itu terbang jauh dari Indonesia, laki-laki dan wanita. Seperti kupu-kupu, mereka mencari tempat-tempat yang dilumuri madu di berbagai kota di negeri ginseng, bahkan sampai ke pelosok yang jauh dari keramaian kota besar. Mereka bergabung dengan ribuan pencari kerja lainnya dari Vietnam, Thailand, Bangladesh, Pakistan, India, Filipina, Rusia, dan beberapa negeri lain pecahan Uni Soviet.

Dari salah seorang TKI, Lia akhirnya tahu apa bedanya trainee atau training dengan “swasta”. Trainee adalah TKI yang masuk ke Korea melalui jalur resmi penyalur tenaga kerja. Sedangkan “swasta” adalah sebutan untuk TKI ilegal. Yang ilegal ini justru jauh lebih banyak. Mereka masuk ke Korea hanya dengan menggunakan paspor turis. Ada juga mereka yang semula TKI resmi, beralih menjadi “swasta”. Itu terjadi ketika kontrak mereka dengan perusahaan atau pabrik tempat mereka bekerja habis, tetapi mereka enggan kembali ke Indonesia karena tahu susahnya mencari pekerjaan yang layak di negeri sendiri. Bisa juga karena mereka lari dari tempat bekerja sebelumnya lantaran tidak tahan dengan beban kerja yang terlalu berat dan perlakuan buruk. Tidak sedikit yang sebelumnya bekerja sebagai pelaut, kemudian memilih bekerja di darat.

Ya, mereka lebih memilih menjadi TKI ilegal, menjalani jenis-jenis pekerjaan berat di berbagai pabrik atau peternakan yang dihindari orang Korea sendiri, daripada kembali ke negeri kelahiran yang terus dirundung awan gelap ketidakpastian masa depan.

Cukup banyak masalah yang harus ditangani lembaga perlindungan pekerja asing itu. Kadang persoalan justru muncul dari TKI sendiri. Peliknya masalah itu bersumber dari rendahnya pemahaman TKI terhadap hak dan kewajibannya sebagai pekerja asing. Banyak di antara mereka memang berlatar pendidikan rendah, bukan pendidikan keahlian. Banyak di antara mereka yang sebelumnya menginjak Jakarta pun belum pernah, langsung lompat dari kampung halamannya ke negeri ginseng.

Pernah Lia berada di tengah situasi yang tidak nyaman dan memalukan. Ketika diadakan pertandingan persahabatan antara TKI dari Busan dengan TKI dari kota lain untuk merayakan Tujuhbelas Agustusan yang juga dihadirinya, terjadi perkelahian hanya karena salah satu pihak tidak puas dengan hasil pertandingan persahabatan itu.

“Itu masih mending, Ibu Lia. Tempo hari sebelum Ibu Lia datang, malah ada TKI sampai masuk rumah sakit karena luka tikam, setelah perkelahi di antara mereka sendiri. Terpaksa lembaga kami urunan mencari dana untuk biaya rumah sakit,” cerita Prof. Lim sambil tertawa, seolah itu merupakan kejadian biasa.

Lia terhenyak tak habis pikir. Mengapa kultur kekerasan itu terbawa jauh sampai ke negeri orang, seolah menggenapi pengetahuan dunia tentang rangkaian kekerasan tak berujung yang terus terjadi di negeri kelahirannya?

Namun yang diceritakan Prof. Lim kali ini bukan tentang kekerasan di antara TKI sendiri, melainkan kasus tiga orang TKI yang dilanggar haknya oleh pabrik pengolahan dan pengalengan ikan tempatnya bekerja.

“Kalau Bu Lia ada waktu, sempatkan temui mereka di kantor lembaga kita. Kasihan mereka, sudah bekerja ekstra keras sekian bulan, belum menerima bayaran, dianiaya pula. Pabrik itu tahu mereka pekerja ilegal, mereka diancam akan dilaporkan pada pihak imigrasi jika berani mengungkap kesewenang-wenangan yang mereka terima. Posisi mereka memang lemah. Sebagai orang Korea, saya malu karena masih ada kejadian semacam itu di negeri saya. Mungkin kepada bu Lia mereka siap menceritakan semua masalahnya,” kata Prof. Lim dengan wajah muram.

Prof. Lim juga meminta tolong agar Lia menemani ketiga TKI itu menemui pihak pabrik tempat mereka bekerja. “Nanti mahasiswa kita Hyun-jin akan pergi bersama-sama dengan Bu Lia dan ketiga TKI itu. Saya sudah instruksikan kepada Hyun-jin untuk menekan pihak pabrik. Kita akan menuntut mereka jika masih menolak memberikan ganti rugi dan membayar hak-hak ketiga TKI itu. Kita akan bela mereka dengan sungguh-sungguh….”

“Itulah yang memberatkan pikiranku hari ini, John. Kasihan nasib para TKI itu. Kasus semacam itu bukan yang pertama, yang pasti juga bukan yang terakhir. Ya, kebetulan besok aku bebas jam mengajar. Aku akan menemui mereka di kantor lembaga, dan siangnya bersama-sama pergi ke pabrik itu,” kata Lia sambil memandang pemuda itu.

“Ceritamu menarik, Lia,” kata John setelah Lia menutup ceritanya. “Betapapun aku kagum kepada TKI-TKI itu. Mereka pergi jauh meninggalkan keluarga dan harus menjalani beban kerja yang begitu berat di sini, kadang lebih dari 12 jam sehari, dengan upah lebih murah dari orang Korea sendiri. Hanya orang-orang tangguh yang bisa menjalani kehidupan semacam itu.”

“Kau salah, John. Itu bukan karena mereka tangguh atau apa. Nasib pekerja migran di mana-mana sama saja. Lupakah kau alasan pekerja-pekerja migran dari Cina, Italia, Asia Selatan, Amerika Tengah dan Amerika Selatan yang berbondong-bondong masuk ke negerimu, menjadi imigran gelap, bekerja dengan upah rendah di perkebunan atau pabrik. Itu karena negerinya sendiri suram dan tidak bisa menawarkan masa depan yang lebih baik.”

“Bagaimanapun, bagiku sama saja, mereka tetap manusia-manusia tangguh yang berani terbang jauh ribuan mil, seperti pelikan yang terbang berkilo-kilometer untuk mencari makanan buat keluarganya,” kata John menukas.

Lia tertawa. Tawa yang terdengar merdu di telinga John.

“Hahaha, dasar pengarang, senang meromantisir sesuatu. Wake up man, mereka tidak nantinya mau banting tulang di negeri orang kalau saja ada sedikit peluang untuk memperbaiki nasib di negeri sendiri. Dan kau tahu ironi dari mimpi-mimpi mereka John?”

John menggeleng. Jiwa aktivis nona manis dari Indonesia ini mulai muncul lagi, katanya dalam hati.

“Cukup banyak kasus TKI-TKI itu terpaksa kembali ke negeri ginseng. Mereka gagal membangun hidup dan masa depannya sendiri ketika pulang ke tanah air. Kau tahu mengapa? Itu karena mereka tergoda berlaku konsumtif, tak pandai mengelola tabungan hasil jerih payah sendiri. Hasil kerja keras mereka habis begitu saja. Ironis bukan?”

John terhenyak. Nona manis ini tahu banyak tentang perilaku bangsanya sendiri. Dan jelas ia memang punya kepedulian. John menghela napas. Rasanya ia makin suka pada wanita di hadapannya itu. Rasanya ingin ia memeluknya dan menyandarkan kepala mungil itu di dadanya. Ah, pikiran konyol, godaan kekanak-kanakan, katanya sambil tertawa dalam hati.


ia menghela napas, mencoba mengatasi keterharuan yang tanpa permisi meruyak di dadanya. Ya, ia terharu melihat keadaan ketiga TKI yang ditemuinya di kantor lembaga siang itu. Memar bekas penganiayaan masih tampak pada tubuh mereka.

Yang tertua bertubuh tinggi kurus, usianya mungkin baru sekitar 35 tahun. Jaket kulit cokelatnya yang mulai pudar warnanya terlihat kotor dan kumal. Wajah Kosasih, nama TKI itu, terlihat lebih tua daripada usianya yang sesungguhnya. Garis-garis pada wajahnya seolah bercerita, hidup memang terkadang begitu tidak ramah dan berat untuk orang-orang sepertinya. Sosok Kosasih melengkapi gambaran ketidakmenentuan masa depan yang dengan gampang bisa ditemui di negeri sendiri.

Dua TKI lainnya lebih muda daripada Kosasih, tampak pemalu dan sama lusuhnya. Namanya Agus dan Yadi. Mereka menghindari kontak mata dengan Lia. Ia dapat memahami kesan tidak percaya diri pada kedua orang itu. Mungkin karena selama ini mereka juga hidup dalam suasana tertekan.

“Saya pernah dengar sebelumnya nama Ibu Lia. Saya senang bisa bertemu Ibu,” kata Kosasih dengan sopan, suaranya berlogat penduduk pantai utara Jawa.

Lia terharu menerima ungkapan tulus yang disampaikan dengan terbata-bata itu. Sudah beberapa kali ia bertemu dengan TKI yang merasa senang dapat mengenalnya. Mereka tidak bisa menyembunyikan rasa senang mengetahui ada orang Indonesia yang melakoni jenis pekerjaan yang berbeda dengan pekerjaan mereka sendiri di Korea. Kadang-kadang jika libur bekerja, mereka main ke aparte Lia, tentunya ketika Lia juga sedang memiliki waktu senggang.

Dengan singkat, mewakili kedua rekannya, Kosasih menceritakan pengalaman pahit yang menimpa mereka. Mereka sampai di Korea sekitar setahun lalu.

Kenyataan ternyata jauh panggang dari api. Apa yang dijanjikan penyalur tenaga kerja ternyata tidak terbukti. Semula mereka bekerja di laut, ikut kapal penangkap ikan. Tidak tahan dengan kerasnya kapten kapal, mereka melarikan diri dan mencari pekerjaan di darat. Jadilah mereka pekerja ilegal, “swasta”, sementara paspor pun masih ditahan sang kapten kapal.

Peluang pun datang untuk bekerja di pabrik pengolahan ikan mentah di dekat pantai Tadaepo. Nyatanya garis nasib memang tak tertebak. Di sini pun kemalangan mereka belum berakhir. Upah yang dijanjikan tak kunjung terbukti, tenaga diperas dalam kerja belasan jam, terkadang bisa mencapai 24 jam. Duapuluh empat jam, alias sehari semalam. Kalau tidak mau, tak jarang deraan fisik harus mereka terima dari pengawas di pabrik itu. Pihak pabrik tahu mereka hanya tenaga kerja ilegal yang lemah posisinya dari segi hukum positif.

“Saya tidak tahu lagi ke mana harus mencari keadilan. Untuk pulang kampung sekarang pun saya tak punya muka, masih ada utang begitu besar kepada rentenir yang meminjamkan uang untuk biaya ke sini,” ungkap Kosasih dengan wajah orang kalah.

“Kalau begitu tunggu apa lagi, ayo kita berangkat,” ajak Lia dengan bersemangat. Ia segera bangkit dari duduknya. Serasa ia kembali ke dalam dunia lamanya sebagai aktivis, melakukan advokasi untuk orang-orang terpinggirkan.

Dengan ditemani Choi Hyun-jin, mereka pun berangkat ke pabrik tempat ketiga TKI itu pernah bekerja. Ketika mereka sampai, sudah dapat diduga sambutan macam apa yang akan didapat.

“Bagus ya, kalian masih berani datang kemari setelah lari begitu saja,” bentak pengawas pabrik yang bertubuh tambun itu.

Ketiga TKI itu tampak mencoba mengumpulkan keberanian. Lia menengok sekeliling, pabrik itu tidak terlalu besar sebenarnya. Udara dingin musim gugur bercampur amis daging ikan mengambang di permukaan. Beberapa buruh pabrik terlihat tengah bekerja mengangkuti ikan-ikan segar. Angin laut berembus ke arah daratan dari arah pantai Tadaepo.

Lia menengok kepada Choi Hyun-jin.

Hyun-jin mengangguk. “Biar saya bicara dulu dengannya. Ibu Lia tenang saja.” Hyun-jin mengajak Kosasih menghampiri orang itu.

Lia tidak bisa menangkap sepenuhnya apa yang mereka bicarakan karena kemampuan bahasa Koreanya masih sangat terbatas. Sesekali terdengar suara bantahan Kosasih. Rupanya dia lebih percaya diri sekarang, karena kehadiran Lia dan mahasiswanya. Juga dari nada bicara Hyun-jin yang terdengar tegas, terasa anak itu tidak kalah gertak. Terlihat muka sang pengawas berubah. Beberapa kali tangannya menuding-nuding ke arah ketiga TKI dan mengeluarkan suara keras. Beberapa buruh mulai tertarik mendengar suara keras itu dan menghentikan pekerjaannya sejenak.

Lia sendiri tidak sabar, ia segera menghampiri ketiga orang yang tengah berbicara keras dan berbantah-bantahan itu. “Bagaimana, Hyun-jin?” tanya Lia.

“Dia ngotot pihak pabrik tidak salah, Bu. Menurutnya, ketiga TKI itu yang salah. Saya sudah bilang kita akan melaporkan pabrik ini kepada pihak yang berwenang karena mengambil keuntungan dari tenaga kerja. Kalau perlu kita ambil jalan hukum. Biar pabrik ini kena denda yang besar dan masuk daftar hitam. Dia bilang pihaknya tidak takut ancaman itu,” kata Hyun-jin.

Lia menatap dengan tajam pengawas itu sambil bertolak pinggang. Sebentar kemudian terdengar suara Lia yang lantang. Hanya bermodal sedikit bahasa Korea yang dikuasainya dan dicampur dengan bahasa Inggris, Lia menggempur pengawas itu dengan berondongan kalimat, aturan hukum perburuhan internasional yang diketahuinya. Pengawas itu terlongong-longong, tidak menduga dirinya akan dibentak-bentak seorang wanita asing di depan buruhnya sendiri. Beberapa orang yang berada di tempat itu mulai tertawa. Choi Hyun-jin juga tampak tersenyum.

“Sudah, Bu Lia,” katanya, “Sudah jelas dia tidak paham bahasa Inggris. Bahasa Korea Ibu juga masih susah dipahami,” bisik Hyun-jin.

Lia langsung menghentikan ceramahnya dan merasa geli sendiri. Kok bisa-bisanya dia mengomeli orang dengan bahasa yang tidak dipahami seperti itu.

Sebaliknya dengan pengawas itu. Ia merasa dilecehkan. Sebentar kemudian dia sudah bergerak memberi tanda. Beberapa orang berbadan kekar mendatangi tempat itu dengan sikap mengancam. Tampaknya mereka kaki tangan pengawas. Kosasih mendekati Lia, “Hati-hati Bu, mereka tampaknya mau main kasar.” Lia mengerling ke arah Hyun-jin. Anak itu memandang Lia, meminta pendapat. Kedua TKI yang lain juga merapat, sehingga Lia berada dalam kondisi aman di tengah-tengah mereka.

Adrenalin memompa aliran darah Lia menjadi lebih kencang. Sudah lama ia tidak mengalami saat-saat seperti ini, ketegangan yang terkadang muncul dari balik kabut mimpi, serasa sebuah kerinduan yang absurd. Membayang di benaknya pengalaman sebagai aktivis jalanan beberapa tahun lalu, unjuk rasa demi unjuk rasa ketika ia masih mahasiswa. Dan bukankah itu masih debar yang sama di jantungnya?

“Tidak apa Hyun-jin, kalau terpaksa, kita hadapi saja mereka,” bisik Lia.

Mata Hyun-jin membelalak, tidak menyangka Lia akan mengeluarkan isyarat itu. Namun kemudian dia mengangguk, begitu pula ketiga TKI yang mendengar bisikan itu, segera bersikap waspada.

Untunglah sebelum orang-orang berbadan kekar itu sempat melakukan sesuatu, dari arah kejauhan terlihat mobil patroli polisi bergerak mendekat. Wajah pengawas itu berubah. Ia kembali memberi tanda, dan anak-anak buahnya yang berbadan kekar itu pun bergerak menjauh.

Kehadiran dua orang polisi yang keluar dari mobil patroli itu disambut dengan gembira oleh rombongan Lia, dan sebaliknya, wajah si pengawas pun berubah masam. Kedua polisi itu rupanya diam-diam sudah mengamati dari kejauhan. Lia sempat berpikir sejenak, dari mana kedua polisi itu bisa berada di tempat itu pada waktu yang tepat dan mencegah keributan yang mungkin timbul? Ah, mungkin mereka hanya kebetulan lewat, pikir Lia. Namun pertanyaan itu sebentar kemudian lenyap oleh kesibukan negosiasi, dengan ditengahi kedua polisi itu.

Choi Hyun-jin bertindak sebagai juru runding yang ulet dan sabar, dan Lia membantunya memberikan berbagai masukan dalam negosiasi itu. Dengan gigih mereka menekan sang pengawas, sehingga akhirnya setelah melalui negosiasi yang cukup panjang, hasil yang menggembirakan pun didapat.

Bersambung ke Bagian III


Demikianlah Info postingan berita Senandung Musim Gugur (Bagian II)

terbaru yang sangat heboh ini Senandung Musim Gugur (Bagian II) , mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sekian info artikel kali ini.

Anda sedang membaca posting tentang Senandung Musim Gugur (Bagian II) dan berita ini url permalinknya adalah https://indodongeng.blogspot.com/2013/11/senandung-musim-gugur-bagian-ii.html Semoga info lowongan ini bisa bermanfaat.

Subscribe to receive free email updates: