Cendana dan Cendini

Cendana dan Cendini - Hallo semuanya Pembaca Berita, Pada postingan berita kali ini yang berjudul Cendana dan Cendini, telah di posting di blog ini dengan lengkap dari awal lagi sampai akhir. mudah-mudahan berita ini dapat membantu anda semuanya. Baiklah, ini dia berita terbaru nya.

Judul Posting : Cendana dan Cendini
Link : Cendana dan Cendini
Kisah ini menceritakan usaha dua anak yatim piatu bekerja keras menyambung hidup. Mereka tinggal di hutan, membuka lahan, dan menanam pelbagai macam tanaman. Pada suatu waktu, sang kakak merantau, sementara sang adik kebagian tugas menjaga kebun. Tak disangka-sangka, sang adik dimangsa seekor raksasa. Didasari rasa sepenanggungan dengan adiknya, sang kakak berhasil membunuh sang raksasa dan menghidupkan jasa sang adik. Kisah ini mengajarkan agar hidup dijalani dengan kerja keras dan tolong menolong antar sesama, terutama saudara sendiri.

Di kaki Gunung Muteran, hiduplah sepasang kakak beradik, laki-laki dan perempuan. Yang kakak bernama Cendana, sedangkan adiknya bernama Cendini. Keduanya sudah lama ditinggal ibu dan bapaknya. Sehari-harinya mereka bermain di kaki gunung itu. Rimbun dan hijau hutan itu pun mengajari keduanya bagaimana menikmati keindahan yang disuguhkan alam.

Setiap hari mereka selalu menikmati pagi yang cerah. Mereka sudah hapal bagaimana matahari pelan-pelan bangkit dan menelusupkan sinar kuning keemasannya di sebalik rimbun daun pepohonan. Mereka pun sudah akrab dengan macam-macam burung berceracau di ranting-ranting. Sesekali kawanan burung itu terbang dan melumuri bulu-bulunya dengan embun yang tersisa di daun-daun. Cendana, untuk sejenak terpana, melihat perilaku makhluk-makhluk kecil yang lucu itu. Lalu ditatapnya Cendini. Sang adik masih terlelap di atas lantai tanah yang digelari dengan tumpukan dedaun sebagai penghangat.

Setelah lama mematung dengan tatapan lurus tertuju pada rimbun huan pagi hari di sekitar gubuknya, Cendana akhirnya bergegas masuk kembali. Ruangan di dalam terasa sepi. Keheningan memantul antara dinding gubuk ke lantai, lalu ke atap dan mungkin juga memantul ke dalam hatinya.

“Aku harus melakukan sesuatu,” gumamnya.


Matanya terpaku pada wajah adiknya. Cendana mendekat dan merabai kening adiknya. Lelaki kecil itu menggeliat lemah. Kehangatan kasih sayang seorang kakak mengalir sebegitu dalam hingga mengusik mimpi tidur Cendini.



“Kakak sudah bangun?” tanya Cendini dengan mulut yang sesekali terlihat masih menguap.

Cendana mengangguk. “Sudah dari tadi. Kau tidur dengan sangat nyenyak. Aku tak ingin mengganggu,” jawab Cendana dengan ramah.

“Kau belum cuci muka. Pergilah ke kali belakang,” suruh Cendana. Cendini menurut. Ia segera pergi meninggalkan kakaknya yang masih asyik menikmati udara pagi hutan dari bale-bale gubuk. Matahari semakin meninggi, namun udara di hutan masih dingin. Cendana menghela napas dalam-dalam. Ingatannya kembali tertuju pada kedua orangtua yang sudah lama meninggalkan mereka.

Desau angin dari daun-daun yang bergesekan bersekutu dengan gejolak rasa di dada Cendana. Begitu kelam. Sekelam lebat hutan yang tak bisa diselami dengan rasa takut dan miris. Bulir air berpucuk di ujung kedua bola matanya. Satu-satu menetes.

“Kakak menangis?”“Ah…, tidak apa-apa. Kau sudah selesai. Cepat sekali,” kata Cendana setengah tergeragap.

Cendini tak bertanya lebih jauh perihal kakaknya pagi itu. Angin masih terus menerpa kedua wajah mereka yang selalu menampakkan keriangan.



“Cendini, hari ini kakak mau memaras semak dan menebang beberapa pohon di sekitar gubuk ini. Nantinya kan bisa kita gunakan untuk bertanam. Kau mau membantu?”

“Menebangi pohon-pohon di hutan kan membahayakan, Kak?”

“Itu kalau berlebihan. Kita hanya perlu menebang beberapa batang pohon saja. Asal cukup untuk kebutuhan kita berkebun,” jawab Cendana datar.

Demikianlah, keduanya hari itu saling membantu merambas semak, menebang beberapa batang pohon. Semak yang terkumpul kemudian mereka bakar agar nantinya bisa digunakan sebagai penyubur tanah. Cendana tersenyum melihat hasil usahanya hari itu. Matanya berbinar cerah selaksa warna langit yang sanggup menampung kilau-kilau bintang dan warna pelangi. Kedua tangannya berkacak.

“Lihatlah, Cendini. Aku telah melakukan yang terbaik hari ini.”

Cendini diam tak menanggap. Sesungging senyumnya terbias dari bibirnya yang mungil. Matanya berkilatan memendam binar-binar yang serupa. Hatinya terasa tenteram oleh sepuhan kasih yang begitu besar dari kakaknya. Aih, hari yang mempesona untuk dilewati. Meski hanya hidup berdua dengan kakaknya, namun Cendini merasa telah memiliki semuanya. Kepada Yang Maha Kuasa ia mesti mengucap syukur yang teramat dalam.

Namun sesuatu terjadi pada suatu malam yang lengang dan kelam. Bintang-bintang malas muncul. Cendana duduk di depan perapian yang ia buat sejak sore tadi. Hangat menjalar dari pori-pori kulitnya hingga ke kedalaman sumsum. Malam itu Cendana tak memakai baju. Demikian pula Cendini. Mereka hanya menutup bagian-bagian tertentu dari tubuhnya dengan rajutan daun-daun.

“Cendini, rasanya tak ada lagi pakaian yang layak untuk kita pakai,” kata Cendana sambil membalik ubi dan singkong yang dibakarnya. Kebun yang mereka garap sudah memberikan hasil yang memuaskan.

“Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan?” tanya Cendini.

“Besok, tanamlah kapas di kebun. Sedangkan aku akan pergi ke Jawa dan Bali untuk membeli keperluan menenunmu kelak.”

“Apa?” suara Cendini meninggi berbaur dengan rasa kagetnya. “Aku akan ditinggal sendirian di hutan ini. Tidak, Kakak. Aku takut. Kalau boleh aku akan menemani Kakak ke sana,” bantah Cendini dengan wajah sedikit menghiba.

“Kalau kau ikut, lalu siapa yang akan menjaga dan merawat kebun-kebun kita yang hampir panen itu,” Cendana menolak. Dan Cendini pun terdiam. Raut mukanya segetas batu-batu yang terhampar di seantero hutan. Di lubuk hatinya, teramat inginnya Cendini memaksa kakaknya agar ia bisa ikut serta. Namun, kali ini rasanya memang tidak mungkin, karena kebun sudah hampir panen. Ia harus menjaganya kalau masih ingin bertahan hidup di rimba hutan.

Waktu pun ditentukan. Cendana sudah siap berangkat. Namun sebelum berangkat, ia membuatkan adiknya rumah panggung yang bisa digunakan untuk berteduh. Dangau itu ia letakkan di dekat kebun agar Cendini bisa terus luluasa mengawasi kebun-kebunnya dari gangguan binatang. Maka diikatkanlah dua utas tali yang satu ujung tersangkut di dangau, ujung yang lain diikat pada pohon-pohon yang ada di seberang kebun. Dengan menarik tali itu saja, maka hewan-hewan itu akan berlarian. Pacak-pacak bambu mirip kincir angin berdiri di tengah kebun.

“Sebelum Kakak datang, Cendini jangan turun dari dangau.”

Perempuan muda itu mengangguk dan menyalami kakaknya yang segera berangkat.

Hari berganti dengan begitu rupa. Cendini tetap setia menanti kakaknya dengan terus menjaga kebun-kebunnya dari atas dangau. Walau sudah lama tinggal di hutan ini, toh Cendini was-was juga tinggal sendiri di tempat yang begini sunyi.

Puas menikmati cericit burung-burung kecil yang hinggap di ranting-ranting pohon lebat, mata Cendini sesekali mendongak ke atas langit biru. Berlarik-larik awan tampak bagai siput berjalan sedang beriringan menuju ke arah barat.

“Pergi, pergilah wahai burung. Jangan kalian makan padiku. Kakakku sedang pergi ke Jawa-Bali. Ia pasti membelikanku setuk mas, jajak mas, dan terompong mas,” begitu Cendini bersenandung diiringi ricik air sungai dan suara dedaun yang bergesek lambat. Suaranya merdu dan sudah cukup membius segala penghuni makhluk yang bersemayam di lebat hutan. Tangannya terus menarik-narik tali dan mulutnya terus bernyanyi. Suaranya mengalun menggasak kesunyian yang mulai tak lagi tahan ditanggungnya.

Angin berhembus dengan begitu cepat. Menderu. Mendesau-desau. Melandai-landaikan pucuk pohon yang menjulang tinggi. Tak henti-henti Cendini menyanyi. Matanya menatap lurus ke dapan. Dia menatap hamparan kebun padi yang tak lama lagi panen. Tali ditariknya kembali. Dari rimbun dan lebatnya pohon sesosok makhluk besar dan asing datang mendekat. Langkahnya lebar dan bergemuruh.

“Nyam, nyam, gerdi, gerda. Siapa di tepi hendak kumakan,” suara makhluk besar itu sesekali mendesis. Mengaum. Melolong-lolong dengan gigi taring dan lidah merah yang dijulur-julurkan. Makhluk itu tampak rakus dan beringas. Cendini merunduk dan menatapnya. Persis seperti ciri-ciri sesosok ibu yang pernah diceritakan kakaknya.

“O, Ibu! Ke mana saja selama ini. Aku kangen,” sapa Cendini.

“Yah. Nyam, nyam, nyam. Ibu juga kangen. Turunlaaah!” suara makhluk itu menggelegar.

Tanpa pikir panjang, Cendini turun dari dangaunya. Makhluk di bawah itu girang. Menari-nari dan menjulurkan lidah. Menjelang kaki Cendini berpijak di tanah, makhluk itu menyambar dan menelannya. Hening. Mencekam. Dan aroma hutan begitu penuh dengan ketakutan. Darah menetes-netes membasahi rumputan.

Matahari kembali menyembul di ufuk timur. Dengan langkah yang ringan dan riang serta bibir yang tak sudah-sudah tersungging memendam senang, Cendana melangkah mendekati dangau. Namun yang didapatinya cuma hening. Suara angin membeku di pendengaran. Kebun-kebun seperti runduk menanggung kesedihan tak bertara.

“Lihatlaaah! Apa yang Kakak bawakan, Cendini!” suara Cendana memantul lembut. Namun tak ada sahutan. Samar-samar dilihatnya bekas-bekas darah di rumputan dan tangga dangau. Hatinya berdesir. Perih nyinyir. Persendiannya guyah seperti mau copot.



“Ia telah binasa. Ia telah binasa. Oh... tidaaaak!” serunya sambil melompat-lompat seperti kesurupan. Tak lama kemudian, tubuh Cendana pun rubuh. Pandangannya gelap. Tak ada kebun. Tak ada hutan. Tak ada langit, tanah, dan dangau. Buntalan yang berisi barang-barang yang dibeli dari seberang terhempas. Berhambur. Namun tak ia hiraukan. Hatinya berdesir dengan sebuah pengharapan yang diucapkan.

“Ya Tuhan! Kalau benar aku bukan manusia sembarangan, maka wujudkanlah semua kata-kataku menjadi kebenaran yang nyata,” rintih Cendana dalam hatinya. Lalu kedua matanya kembali melihat bekas darah yang ia yakini adalah darah adiknya sendiri.

“Bangkitlah Cendini dari kematianmu. Hadirmu di sini teramat aku rindu,” seru Cendana perlahan. Sementara itu, angin perlahan berkesiuran. Menggoyang dedaunan dan hinggap di bekas-bekas darah. Mata Cendana pun tiba-tiba menangkap keajaiban yang tak kepalang mengherankan. Darah itu menyembul-nyembul seperti air mendidih di atas perapian. Lalu darah itu mengepul dan menjelma sosok manusia yang sempurna.

“Cendini, engkau akhirnya hidup lagi,” teriak Cendana kegirangan. Dirangkulnya adik tersayang semata wayang itu. Mata Cendini berkerejap pelan. Dia lalu bercerita perihal sosok makhluk besar yang merupa ibunya.

Tak lama berselang, sebuah rencana mula dirancang. Cendini menaiki kembali dangaunya. Sementara Cendana memanaskan air di sampingnya. Dan tak salah di duga, makhluk besar dengan ludah menjulur kembali datang. Ia meminta Cendini turun seperti dulu.

“Ambilkan dulu sisirku yang terjatuh. Aku tak akan turun dengan rambut berantakan begini,” pinta Cendini kepada makhluk besar itu. Makhluk besar itu menurut. Ia memasuki kolong dangau dengan santainya. Cendana pun girang melambung. Dituangnya air panas ke kolong dangau. Terdengar jerit sayat memintal maut. Senyum keduanya berhambur. Pertanda menang dan rasa syukur. Tulang-tulang makhluk besar itu berserakan di Bumi Leong.


Demikianlah Info postingan berita Cendana dan Cendini

terbaru yang sangat heboh ini Cendana dan Cendini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sekian info artikel kali ini.

Anda sedang membaca posting tentang Cendana dan Cendini dan berita ini url permalinknya adalah https://indodongeng.blogspot.com/2013/11/cendana-dan-cendini.html Semoga info lowongan ini bisa bermanfaat.

Subscribe to receive free email updates: