Cerpen Hari itu Saat Engkau Hadir

Cerpen Hari itu Saat Engkau Hadir - Hallo semuanya Pembaca Berita, Pada postingan berita kali ini yang berjudul Cerpen Hari itu Saat Engkau Hadir, telah di posting di blog ini dengan lengkap dari awal lagi sampai akhir. mudah-mudahan berita ini dapat membantu anda semuanya. Baiklah, ini dia berita terbaru nya.

Judul Posting : Cerpen Hari itu Saat Engkau Hadir
Link : Cerpen Hari itu Saat Engkau Hadir
Hari itu Saat Engkau Hadir
Cerpen Kisah Nyata NM. Dian



11 November 1998
Anakku…
Hari itu adalah hari yang paling berarti bagiku. Pada saat yang sama, pada hari yang sama, betapa ALLOH memberiku banyak anugerah sekaligus pelajaran yang sangat berarti. Pada hari itu aku, ayahmu ini, menjadi orang yang paling bahagia sedunia.
Anakku…
Hari itu memang sudah aku dan ibumu nantikan. Hari, yang menurut prediksi dokter, kamu akan hadir menemui kami dari alam rahim.
Jam 05:00
Pagi itu, seusai sholat shubuh, Ibumu mengeluhkan air ketuban yang banyak sekali keluar. Panik, cemas, bingung bercampur jadi satu dalam pikiranku. Tapi untunglah kami sudah mempersiapkan segalanya, dan sedikit berlatih menghadapi keadaan itu. Aku segera memanggil taxi yang mengantar ibumu ke Rumah Sakit.
Sesampai di Rumah Sakit ibumu langsung masuk ke ruang bersalin, dan aku tidak diperkenankan mendampingi ibumu. Berjam-jam aku menunggu di luar, sambil berdzikir dan berdoa untuk keselamatanmu dan ibumu. Cintaku kepada ibumu dan harapan bertemu denganmu yang begitu besar membuat kecemasanku sangat tinggi. Tentu saja anakku, aku pasrahkan semuanya kepada ALLOH.
Jam 08:00
Tiga jam berlalu, sudah masuk waktu Dhuha. Kucari masjid rumah sakit. Setelah sholat dhuha, di dalam masjid kutumpahkan air mataku, bersimpuh memohon kepada Yang Maha Kuasa untuk keselamatanmu dan ibumu. Saat itu kurasakan betapa aku tidak berdaya untuk membantu ibumu. Betapa aku tak kuasa untuk menyelamatkanmu dan ibumu. Hanya ALLOH yang kuasa, anakku.
Kembali ke ruang tunggu bersalin, sudah ada beberapa orang kerabat ibumu. Nenek dan saudara-saudaranya sudah berkumpul di depan ruang bersalin. Kursi ruang tunggu yang disediakan rumah sakit tidak cukup untuk menampung mereka semua. Aku hanya tersenyum mendengar ucapan-ucapan pemberi semangat dari mereka. Bukannya aku tidak menghargai simpati mereka, tapi saat itu tidak ada dayaku untuk sekedar berucap terima kasih. Lidahku kelu, hanya bisa bergerak menyebut dan meminta kepadaNYA.
Kuketuk pintu ruang bersalin. Kupaksakan untuk bisa berucap, dengan suara lirih dan berat, “Bagaimana kabarnya ibu Wulan Suster?” Kupandangi wajah suster dengan harapan dan kecemasan. “Masih pembukaan tiga pak, sabar ya….!”. Aku tidak paham apa maksud jawaban suster, tapi aku menyetujui sarannya. Aku harus bersabar lebih lama…
Jam 12:00
Setelah sholat Zhuhur, kembali kutumpahkan air mataku dalam doa. Kurasakan ketenangan, berkurang kecemasan saat bersimpuh di rumah ALLOH. Aku ingin berlama-lama berdiam di dalam masjid, namun aku juga tak sabar ingin tahu perkembangan dan kondisi ibumu.
Di ruang tunggu bersalin semakin banyak kerabatku dan kerabat ibumu yang hadir, seakan ruangan itu dikuasai oleh mereka. Aku sangat menghargai kehadiran mereka, tetapi bagiku saat itu yang kubutuhkan hanya sebesar-besarnya kasih sayang dan kuasa ALLOH untukmu dan ibumu. Karena ruangan terasa penuh, aku memilih menunggu di luar ruang tunggu, toh kalau ada informasi tentang ibumu pasti aku yang dipanggil.
Terbayang peristiwa minggu yang lalu, saat terakhir kali ibumu periksa rutin ke dr Indrarta. Tekanan darah ibumu mencapai seratus empat puluh, dan bengkak di kaki, tangan dan tubuh semakin melebar dan membesar. “Bu, kalau tekanan darahnya semakin naik, bayinya harus dikeluarkan dari atas dan tidak menunggu saat persalinan…!” “Kenapa dok…?” Aku dan ibumu hampir bersamaan bertanya dengan cemas.”Tekanan darah yang tinggi dan bengkak ini adalah tanda-tanda awal keracunan bayi…Tubuh sang ibu tidak bisa menerima keberadaan bayinya, karena itu harus segera dikeluarkan agar tidak membahayakan sang ibu..” dr Indrarta berusaha menjelaskan dengan bahasa yang bisa kami pahami dengan nada yang ringan agar kami tidak terlalu khawatir. “Tapi itu masih kemungkinan kok…Mungkin juga kenaikan tekanan darah ini karena ibu terlalu tegang…Jangan tegang bu….”
Aku sangat kasihan kepada ibumu, mengandung dirimu ini adalah kehamilan pertamanya. Aku berusaha dan sangat memahami bagaimana perasaannya. Tetapi aku tidak mau bila kecemasannya justru mengancam keselamatannya sendiri. Malam harinya aku memeluk ibumu dan berbisik, “Yang ikhlas dan pasrah ya bu…Serahkan semuanya kepada ALLOH…”. Ibumu tidak menjawab, hanya tersenyum hambar….
Jam 13:00
“Mas Dian…Dicari suster…!” Nenekmu memanggilku. Aku bergegas masuk. “Suaminya bu Wulan ya, pak? Dokter Indrarta mau ketemu pak…Silakan ikut saya..!” Dadaku berdebar keras anakku. Segala bayangan buruk melintas di kepalaku. Aku berjalan mengikuti suster dengan kaki gemetar, mual dan keringat dingin mulai keluar.
“Pak…Pembukaannya sudah lengkap satu jam yang lalu…” dr Indrarta berhenti berbicara. Aku yang dari awal betemu tidak berbicara sepatah katapun hanya memandangnya, menunggu dia meneruskan bicara. “Bayinya tidak mau turun. Kemungkinan karena ukuran panggul ibu yang terlalu kecil untuk ukuran bayinya…Sementara ketuban sudah keluar dan banyak darah yang keluar…Saya minta izin untuk menarik bayi menggunakan kop…” Aku semakin tidak bisa berkata apapun. Lidah dan tenggorokanku tercekat. Dengan segala daya aku berusaha menjawab “hhmmm…s..sebentar ya dok…saya konsultasi dulu dengan saudara-saudara saya dulu…” ”Baiklah pak, tapi tolong agak cepat, karena saya mengkhawatirkan banyaknya darah yang keluar.”
Aku segera keluar dan menelepon nenekmu, ibuku, yang masih dalam perjalanan dari Jember. Nenekmu adalah seorang bidan senior. Sebenarnya nenekmu juga ingin mendampingi ibumu pada saat-saat menghadapi persalinan, tetapi beliau punya tugas yang tidak bisa ditinggalkan di rumah sakitnya. Segera kusampaikan melalui telepon genggamku tentang apa yang disampaikan dr Indrarta dan nenekmu menyarankan untuk operasi. Akupun segera masuk lagi untuk menyampaikan keputusanku. “Saya sebenarnya juga lebih cenderung melakukan seksio pak, lebih aman untuk ibu dan bayinya”. Saat itu tidak berpikir macam-macam anakku, yang penting kau dan ibumu bisa selamat.
“Bagaimana mas Dian?” Nenekmu, ibunya ibumu, dan beberapa kerabatnya menunggu kabar dariku. Kusampaikan kepada mereka tentang keadaan ibumu, dan keputusanku untuk meminta dokter mengoperasinya.
“Wah…Aku sudah bilang sama Wulan, dia harus kuat dan telaten. Jangan gampang menyerah…”
“Walau bagaimanapun seorang wanita itu lebih baik melahirkan secara normal…”
“Jadi perempuan itu suatu saat pasti melahirkan…Jangan takut sakit…Bagaimana sih Wulan ini…”
Aku terkejut campur marah mendengar celotehan saudara-saudara nenekmu. Ingin rasanya aku membentak dan mengusir mereka. Aku segera keluar sambil menahan marah dan air mata. Di tempat yang sepi agak jauh dari ruang tunggu, aku tidak kuasa lagi menahan jatuhnya air mataku. Bahkan aku menangis sejadi-jadinya. Aku sangat takut kehilangan ibumu.
Beberapa saat kemudian ibumu dipindahkan dari ruang bersalin ke ruang operasi. Ada sedikit waktu untuk menemui ibumu dalam perjalanan antara dua ruangan itu. Ibumu tampak sangat pucat, berbaring lemah, namun tetap berusaha tersenyum sangat manis kepadaku. Ibumu memberi isyarat agar kepalaku mendekat ke kepalanya sambil berjalan mengiringinya. “Doakan ya mas….Aku pasrah…Aku ikhlas kalau terjadi apa-apa denganku, asal bayi kita selamat…Titip anakmu…” bisik ibumu. Aku berusaha tersenyum dan mengangguk, “Insya ALLOH kita didik dan besarkan anak kita bersama-sama dik…ALLOH menyayangi kita…” Kugenggam tangan ibumu yang pucat dan dingin. Aku terus menggenggam tangan ibumu sampai dia masuk ke ruang operasi.
“Ya ALLOH, selamatkan istri dan anak saya…!” Berkali-kali kuucapkan doa.
Sambil menunggu di luar ruang operasi, aku teringat ibuku. Konon dulu ibuku juga mengalami kesulitan saat melahirkanku karena posisi kepalaku agak bergeser sehingga yang keluar dulu adalah jidat. Kubayangkan perjuangan dan penderitaan yang dialami nenekmu saat itu. Saat itu pasti tidak semua rumah sakit bisa melakukan tindakan operasi. Nenekmu berjuang dan rela berkorban untuk keselamatanku. Air mataku semakin deras mengalir, mengkhawatirkan ibumu dan dirimu juga terharu merasakan besarnya cinta nenekmu kepadaku.
Jam 14:00
Tiba-tiba pintu ruang operasi terbuka. Sebuah kotak kaca di dorong keluar, berisi bayi mungil yang masih belepotan darah, tertulis di kertas yang tergantung di luar kotak, “Bayi Ny. Wulan”. Alhamdulillah, Subhanalloh, Allohu Akbar….Aku sangat gembira anakku. Bukan sekedar kegembiraan, lebih sesuai bila disebut ketakjuban. “Ini bayi saya ya suster?” “Iya pak, kami mandikan dulu ya pak…” Aku memandang keajaiban dalam kotak kaca itu sambil terus menyebut nama ALLOH. Dirimu, dalam kotak kaca, adalah keajaiban, adalah perwujudan cinta seorang ibu, adalah harapan, adalah pengorbanan. Beberapa saat aku tertegun sebelum akhirnya teringat bagaimana kondisi ibumu. “Bagaimana dengan ibunya suster?” “Ibunya sedang dijahit pak…Sebentar lagi juga bisa dipindahkan ke kamar perawatan. Sudah ya pak, silakan ke ruang bayi sebentar lagi kalau mau menemui anaknya”.
Aku segera ke masjid rumah sakit. Ambil wudlu dan sujud syukur. Dalam sujud yang lama aku menangis. Menangis bahagia, merasakan betapa besar Cinta ALLOH kepadaku, sedangkan begitu banyak kesalahan-kesalahan yang telah kuperbuat.
Hari itu, aku merasakan cemas, pasrah, marah, bahagia, rasa syukur yang sangat besar, pada hari yang sama.
*** TAMAT ***


Demikianlah Info postingan berita Cerpen Hari itu Saat Engkau Hadir

terbaru yang sangat heboh ini Cerpen Hari itu Saat Engkau Hadir, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sekian info artikel kali ini.

Anda sedang membaca posting tentang Cerpen Hari itu Saat Engkau Hadir dan berita ini url permalinknya adalah https://indodongeng.blogspot.com/2016/11/cerpen-hari-itu-saat-engkau-hadir.html Semoga info lowongan ini bisa bermanfaat.

Subscribe to receive free email updates: