CERPEN SESUCI HUMAIRA

CERPEN SESUCI HUMAIRA - Hallo semuanya Pembaca Berita, Pada postingan berita kali ini yang berjudul CERPEN SESUCI HUMAIRA, telah di posting di blog ini dengan lengkap dari awal lagi sampai akhir. mudah-mudahan berita ini dapat membantu anda semuanya. Baiklah, ini dia berita terbaru nya.

Judul Posting : CERPEN SESUCI HUMAIRA
Link : CERPEN SESUCI HUMAIRA
Hembusan bayu yang dingin bersama lautan yang membisu petang itu 
menyebabkan seorang usahawan muda, Firdaus namanya, mengenang kembali
kisah silamnya yang penuh suka duka. 
   Humaira......begitulah nama seorang gadis yang amat dikasihinya 10
tahun lalu yang kini hanya tinggal kenangan.
   Waktu pemeriksaan ujian masuk universitas yang akan mereka masuki itu
hanya tinggal dua hari saja. Mereka telah berjanji untuk bersama-sama
meneruskan pelajaran di sana dan bersama-sama memperoleh hasil yang 
cemerlang ke menara gading, impian mereka selama ini.
   Walaupun begitu, betullah kata pepatah, "Kusangkap panas sampai
petang, rupanya hujan di tengah hari," bisik hati kecil Firdaus ketika
mendapati dirinya gagal mendapat tempat di menara gading itu sedangkan
Humaira berhasil dengan gemilang.
   "Humairah...," kata Firdaus perlahan petang itu. "Sesungguhnya ada
satu hal yang hendak Fir sampaikan dan semoga Humaira tidak mengecewakan
Fir." Humaira yang tadinya masih dalam sedu sedan tangisnya karena 
kegagalan Firdaus, tiba-tiba terhenti lalu memandang wajah Firdaus dengan
penuh keheranan.
   "Sebenarnya, telah lama kusimpan perasaan ini, namun demi pelajaran
kita dulu, kusimpan ia hingga hari ini. Humaira...sebelum kau ke menara
gading, ingin kunyatakan bahwa aku terlalu menyayangi dirimu teman
hidupku," kata Firdaus penuh harapan.
   "Fir...apakah kata-kata itu datang dari hati Fir yang ikhlas ?" tanya
Humaira ingin mendapatkan kepastian. "Ya, Humaira, semoga Humaira tidak
mengecewakan Fir," sambung Firdaus lagi. Humaira tunduk malu tanda setuju.
Mereka pun mengikat tali pertunangan setelah mendapat persetujuan dari
kedua belah pihak keluarga dan akan melangsungkan perkawinan tiga tahun
lagi, setelah Humaira menamatkan belajarnya di universitas. 
   Dalam usia setahun pertunangan mereka, hanya surat dan telefon yang
menjadi penghubung antara mereka dan bertemu bila Humaira pulang liburan.
   Masuk tahun kedua pertunangan mereka, Firdaus merasakan sesuatu yang
berbeda dengan Humaira. Kalau dulu, isi suratnya mengenai ketidaksabaran
menemui Firdaus, tetapi kini...cuma menasihati Firdaus supaya tidak 
meninggalkan sholat liwa waktu, jadi hamba Allah yang taat dan macam-macam
lagi. Beberapa risalah bercorak Islam juga sering disertakan bersama suratnya
buat Firdaus. 
   Di tahun ketiga Humaira di universitas, Firdaus merasakan dirinya dan
Humaira semakin jauh, tidak seperti dulu lagi. Dulu, meeka begitu mesra
sekali tetapi sekarang...semuanya sepi, beku dan kaku! Setiap kali Firdaus
menelepon Humaira, jarang dia dapat berbicara sendiri dengan Humaira. Kalau
dapat pun tiada lagi tawa riang macam dulu, malah semuanya serius! "Kenapa ?"
bisik hati kecil Firdaus. 
   Firdaus mencoba menelepon Humaira lagi pada suatu ketika dengan harapan
semoga Humaira sudi keluar bersamanya karena dia telah begitu rindu kepaa
Humaira.
   "Assalamu'alaikum," bunyi suara yang menyambut telepon. Firdaus merasa
pasti bahwa itu suara Humaira yang dirindukannya. "Humaira ?" tanya Firdaus
tanpa menjawab salam yang diberi. "Ya, Humaira di sini, siapa ini ?" tanya
Humaira. "Hai...tunangan sendiri pun sudah tak kenal ?" kata Firdaus dengan
nada merajuk. "Oh!...Firdaus,"jawab Humaira agak kaget. "Fir ingin mengajak
Humaira ke Restoran Jamilah, tempat kita selalu makan dulu, Fir akan jemput
Humaira jam 8 malam ini, OK ?" kata Firdaus penuh harapan. 
   "Maaf, Fir, Humaira agak sibuk sekarang," balas Humaira. "Hai! Tak ingin
ketemu tunangan sendiri lagi ? Tak ingin seperti orang lain atau seperti
kita sewaktu di awal-awal pertunangan dahulu ? Ada apa dengan engkau, Humaira?
Kau selalu menolak ajakan Fir dengan alasan yang bermacam-macam," keluh Firdaus
dengan suara yang agak keras.
   "Begini, Fir...sebenarnya antara kita masih belum ada apa-apa ikatan yang
sah, cuma bertunangan dan bertunangan juga tidak boleh dijadikan tiket untuk
kita berdua-duaan tanpa mahram dan hukumnya adalah haram," kata Humaira
menjelaskan alasan kenapa dia enggan memenuhi ajakan Firdaus. "Wah! Wah! 
Wah...! Sejak kapan engkau jadi ustadzah nih ? Setahu Fir, Humaira sekolah
ambil jurusan Ekonomi, bukan Syari'ah atau Ushuluddin," kata Firdaus sekali
lagi dengan nada kesal.
   "Ini bukan masalah ustadzah atau bukan ustadzah, Fir...tetapi, setiap
orang Islam mesti mengetahui halal dan haramnya sebelum melakukan sesuatu
agar tidak dimurkai Allah SWT. Maaf, Fir...Humaira tak dapat memenuhi 
permintaan Fir untuk keluar berdua. Humaira rasa lebih baik Fir berjumpa
dengan keluarga Humaira jika ada hal yang hendak dibincangkan," jelas Humaira
dengan harapan Firdaus memahaminya.
   "Ah! Sudahlah Humaira, aku sudah bosan dengan engkau, itu tak boleh...ini
haram...itu haram. Mulai hari ini antara kita telah putus dan tiada apa-apa
ikatan lagi," sambung Firdaus marah.
   "Fir, bukan itu maksud Humaira," kata Humaira yang agak terkejut dengan
keputusan Firdaus. "Ya, Humaira...aku rasa lebih baik kita putuskan saja
tali pertunangan kita ini karena antara kita sudah tiada penyesuaian lagi,
pergilah kau dengan da'wahmu dan biarkan aku dengan cara hidupku," kata
Firdaus penuh ego.
   Suasana sepi seketika, Firdaus tahu Humaira terkejut dengan keputusan
dan kekerasan kata-katanya. "Fir," Humaira memulai lagi kata-katanya.
"Andai itu sudah menjadi keputusan Fir, apa boleh buat, cuma do'a Humaira
semoga suatu hari nanti Allah membuka hati Fir dan menjadi hamba-Nya yang
ta'at dan sama-sama dalam perjuangan Islam yang suci," kata Humaira tenang.
"Selamat tinggal Humaira!" kata Firdaus memutuskan percakapan sambil
menghempaskan gagang telepon. 
   Fikiran Firdaus terganggu akibat perpisahan dengan Humaira, satu-satunya
gadis yang sangat dikasihinya. Tapi lama-kelamaan, Firdaus dapat melupakan
Humaira...sehingga dua tahun kemudian ketika tiba-tiba seorang lelaki
yang tidak dikenalinya memberi salam muncul di pintu kantornya.
   Dari air mukanya yang bersih dan pakainnya yang kemas, Firdaus yakin dia
seorang yang baik dan punya kedudukan tinggi. 
   "Wa'alaikumussalam, silakan duduk," jawab Firdaus sambil mengulurkan 
tangannya menyambut salam tamu itu. "Apa yang bisa saya bantu, Saudara ?"
tanya Firdaus. 
   "Sebenarnya, begini...saya Dr. Abdur Rahman, baru pulang dari England
tiga minggu yang lalu dan bertugas di Rumah Sakit di kota ini. Kedatangan
saya ini untuk menyampaikan barang yang dikirimkan buat Saudara." 
   "Barang?" tanya Firdaus penuh keheranan karena setahunya dia tidak pernah
membuat pesanan barang apa-apa dari England. "Barang ini dari saudari Humaira
binti Muhammad, pasti Saudara mengenalinya," kata lelaki itu. 
   "Humaira !" terlontar lagi perkataan itu dari mulut Firdaus setelah dua
tahun dia telah melupakan nama itu.
   "Humaira telah pergi buat selama-lamanya setelah mendapatkan kecelakaan
lalu lintas sewaktu di kota London. Kebetulan isteri saya adalah sahabat
karibnya semasa sama-sama menuntut ilmu di sana. Beberapa hari sebelum 
kejadian itu dan sebelum kami pulang ke Malaysia, Humaira benar-benar meminta
kami untuk menyampaikan barang ini buat Saudara. Seolah-lah dia tahu bahwa
dia tidak akan bersama kita lagi," papar Dr. Abd Rahman.
   Bagaikan dipanah petir jantung Firdaus menerima berita yang tidak pernah
terduga olehnya selama ini. Lantas, Firdaus menutupkan kedua tangannya ke
wajah tanda kesedihan yang amat sangat, karena sesungguhnya Humaira masih
di hatinya. 
   "Bersabarlah saudara, kesemuanya adalah kehendak Allah. Allah lebih
menyayanginya. Humaira adalah gadis yang baik dan ta'at akan perintah 
Allah," kata Dr. Abd Rahman menenangkan keadaan sambil memegang bahu 
Firdaus. Setelah dilihatnya Firdaus agak  tenang, dia pun meminta diri
untuk pulang. 
 Firdaus segera membuka kiriman Humaira buat dirinya. Terdapat surat di dalamnya.
Firdaus membuka surat itu dengan tangan yang gemetar menahan kesedihan.
"Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang," bunyi kepala
surat Humaira.
   "Menemui Saudara Firdaus yang saya hormati semoga di bawah lindungan
Allah dan semoga lembaran ini menemui Saudara dalam keadaan kita sama-sama
beriman kepada Allah SWT. 
   Maaf, seandainya lembaran yang tidak diundang ini mengganggu situasi
saudara Firdaus saat ini. Humaira tahu tidak ada alasan bagi Humaira
harus menghubungi saudara Firdaus lagi setelah perpisahan dulu. Tetapi
karena Islam dan tidak sanggup melihat sesama Muslim terus lalai dalam
arus jahiliyyah ini, maka Humaira tabahkan hati untuk menulisnya.
   Saudara Firdaus yang saya hormati...ketahuilah bahwa apa yang kita
lakukan selama ini adalah merupakan rencana syaitan laknatullah dan musuh
Islam untuk meruntuhkan generasi muda Islam agar Islam tidak tertegak di
bumi Allah ini. Kita adalah di antara yang telah menjadi mereka lantaran
dangkalnya kepahaman diri kita mengenai Islam. 
   Saudara Firdaus...kembalilah kepada Islam yang suci, kembalilah kepada
fitrah asal kejadian manusia yang seharusnya ta'at kepada Allah, tetapi
lantaran keegoan dan tunduk kepada hawa najsu, manusia lupa akan pencipta-
Nya sendiri. 
   Harapan Humaira, carilah kebenaran dalam sisa usia yang masih ada ini
dan bertaubatlah atas kesalahan yang lalu. Binalah satu kehidupan baru
berlandaskan Islam. InsyaAllah, saudara Firdaus akan berbahagia dunia
dan akhirat. InsyaAllah sahabat Humaira bernama Dr. Abd Rahman yang tinggal
di no. 2 Jalan Makmur di kota ini bisa membantu saudara Firdaus untuk
mencari kebenaran itu." Firdaus berhenti sebentar dan terbayang kembali di
pelupuk matanya wajah orang yang datang menemuinya baru saja. Lalu dia
meneruskan membaca surat Humairah,
   "Bersama ini saya sertakan sebuah tafsir Qur'an khusus untuk saudara
Firdaus, semoga itu bermanfaat kepada saudara Firdaus. Akhir kata, dan
doa dari Humaira semoga Allah membuka hati saudara Firdaus dan menjadi
hamba-Nya yang ta'at dalam usaha mencari kebenaran ini. Sekian, dari
Humaira, semoga Allah SWT senantiasa bersama kita."
   "Humairah...kenapa engkau tinggalkan aku...sesungguhnya aku masih 
menyayangi dirimu," itulah kata-kata yang keluar dari mulut Firdaus
ketika selesai membaca surat Humaira. Sejak peristiwa itu, Firdaus
mulai berubah. Dia selalu lengket dengan sajadahnya yang sebelumnya jarang
sekali digunakan dengan alasan kesibukan dengan tugas-tugasnya di kantor.
   "Oh! Tuhan...ampunilah dosa hamba-Mu ini, sesungguhnya, aku telah lalai
dari mengingati-Mu selama ini. Pandulah hamba-Mu ini mencari kebenaran di
muka bumi-Mu ini dan tempatkanlah arwah Humaira bersama orang-orang yang
beriman, Ya Allah...Amin Ya Robbal'Alamin, kata Firdaus di suatu shubuh 
yang dingin hingga manik-manik jernih jatuh menuruni pipinya tanpa dia
sadari.
   Firdaus bergegas bangun dari sholat shubuh itu dan terus mempersiapkan
tas kantornya ketika dia teringat alamat yang diberi Humaira. Selesai
sarapan, Firdaus terus melaju dengan mobil Honda Accord merahnya mencari
rumah Dr. Abd Rahman dengan penuh harapan.
   "Assalamu'alaikum!" kata Firdaus. "Walaikumussalam," jawab Abd Rahman.
Hati Firdaus melonjak gembira terkaannya tepat dan bersyukur Dr. Abd Rahman
ada di rumah waktu itu. Sengaja Firdaus pergi ke rumahnya pada hari Ahad
karena jika hari lain, pasti beliau tiada di rumah karena "on-call" dari
Rumah Sakit.
   Setelah lama bercakap-cakap, Firdaus pun menyatakan maksud kedatangannya,
yaitu agar Dr. Abd Rahman sudi membimbing dirinya dalam mengenal Islam dan
mencari kebenaran di bumi Allah ini sebagaimana yang diharapkan oleh 
Humaira selama ini. Namun, bagi Firdaus, dia melakukan semua ini bukanlah
semata-mata karena Humaira tetapi atas kesadaran dan keinsyafan yang ada
dalam dirinya serta taufiq dan hidayah Allah SWT. 
   "Syukurlah, saudara telah insyaf, semoga Allah senantiasa bersama kita,"
kata Dr. Abd Rahman. Firdaus pun permisi pulang ketika dilihatnya jam sudah
menunjukkan 11 pagi, yang berarti dia telah dua jam berada di rumah Dr. Abd
Rahman hari itu. Firdaus memeluk Dr. Abd Rahman tanda terima kasih dengan
linangan air mata, penuh keinsyafan dan harapan.
   Sejak saat itu, Firdaus pun mulai mengetahui dan memahami mengapa Humaira
begitu menghindarkan diri darinya apabila diajak berjumpa suatu ketika dulu.
"Benar kata-katamu dulu, lelaki dan perempuan yang bukan mahram, haram ber-
dua-duaan dan jubah serta kerudung yang kau pakai dan yang kubenci dulu itu
adalah cara pakaian wanita Islam. Oh!...Humaira sungguh suci dan mulia dirimu,"
kata Firdaus penuh keinsyafan.
   "Humaira! Andai kau masih ada, pasti kujadikan dirimu teman hidupku dan
isteriku yang bakal mendidik anak-anak kita supaya menjadi anak yang shalih.
Juga karena aku yakin engkau pasti dapat membantuku dalam perjuangan suci
ini, sebagaimana sayyidina Khadijah dan 'Aisyah r.a. membantu perjuangan
suami mereka, Rasulullah SAW."
   Lamunan Firdaus tiba-tiba terhenti ketika titik-titik air hujan yang 
turun secara mengejutkan petang itu membasahi tubuhnya. Lalu ia pun berdo'a,
"Ya Allah, kupanjatkan syukur hamba kepada-Mu karena telah membuka hatiku
dan juga karena telah menemukan hamba dengan Humaira, yang telah banyak 
memberi kesadaran sebelum hamba tersesat lebih jauh dari jalan-Mu. Semoga
arwahmu ditempatkan bersama mereka yang beriman wahai Humaira, gadis yang
suci.....Amin Ya Robbal'aalamiin."



Demikianlah Info postingan berita CERPEN SESUCI HUMAIRA

terbaru yang sangat heboh ini CERPEN SESUCI HUMAIRA, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sekian info artikel kali ini.

Anda sedang membaca posting tentang CERPEN SESUCI HUMAIRA dan berita ini url permalinknya adalah https://indodongeng.blogspot.com/2014/10/cerpen-sesuci-humaira.html Semoga info lowongan ini bisa bermanfaat.

Subscribe to receive free email updates: