Sun Go Kong = Hanuman?

Sun Go Kong = Hanuman? - Hallo semuanya Pembaca Berita, Pada postingan berita kali ini yang berjudul Sun Go Kong = Hanuman?, telah di posting di blog ini dengan lengkap dari awal lagi sampai akhir. mudah-mudahan berita ini dapat membantu anda semuanya. Baiklah, ini dia berita terbaru nya.

Judul Posting : Sun Go Kong = Hanuman?
Link : Sun Go Kong = Hanuman?
Menjawab pertanyaan satu teman di sini, saya akan berusaha menyajikan informasi dari sudut budaya sastra. Bila ada teman yang dapat menambah dari aspek agama atau kepercayaan dipersilahkan sekali. Mohon koreksinya bila ada yang salah pada rangkuman saya di bawah. Sun Go Kong adalah salah satu tokoh utama dalam salah satu novel klasik Tiongkok ?Shi You Ji? ?Perjalanan ke Barat? karya Wu Cheng-en pada masa Dinasti Ming yang kemudian populer selama berabad2 lamanya baik di dalam maupun di luar Tiongkok. Dalam novelnya itu, Wu terlihat lebih menekankan tokoh Sun Go Kong daripada tokoh sejarah asli Pendeta Xuan Zang (Tang San-zhang/Tong Sam-Cong) dapat dilihat dari penokohan Pendeta Tong sebagai seorang yang baik hati namun lemah. Padahal dalam sejarahnya, Pendeta Tong mengadakan ekspedisi sendirian yang dapat membuktikan ketegarannya. Walaupun di tengah jalan ia bertemu dengan seorang teman bernama Shih Pan Tuo, namun ia kemudian melarikan diri ketika mereka menemui kesulitan. Kesulitan yang dimaksud adalah perampokan oleh bandit2 di tengah jalan. Saya di suatu kesempatan menyimak tayangan tentang Pendeta Tong di channel Discovery. Oleh Discovery, Pendeta Tong difilmkan sedang dikejar2 oleh para bandit berparas Turkistan (Asia Tengah) sebelum akhirnya sampai ke India dalam satu penggal cerita. Riwayat Sun Go Kong secara sekilas adalah tinggi badan 1.33 meter, pada umur 320 tahun ia menuju Gunung Hua Guo, menjadi dewa dengan gelar ?Qi Tian Da Sheng? pada umur 357 tahun. 180 tahun kemudian, karena suka membangkang, ia dihukum ditimpa di bawah Gunung Wu Sing selama 500 tahun. Setelah itu, ia berguru kepada Pendeta Tong dan menjalankan perintah untuk mengawal Pendeta Tong mengambil kitab suci ke India. Ia dikisahkan adalah perwujudan dari sebuah kera batu. Dalam perkembangannya, karena Sun Go Kong terkenal akan kesaktiannya, muncul opini bahwa Wu mengambil tokoh Sun Go Kong muncul dari inspirasinya atas cerita Ramayana dari India yang mana juga ada mengisahkan tokoh kera sakti Hanoman. Di dalam kalangan sastrawan Tiongkok sendiri juga terdapat pendapat yang mendukung opini ini, namun mayoritas menolak teori ini. Juga ada yang berpendapat bahwa Wu mendapat inspirasi dari Hanoman, namun Sun Go Kong kemudian digambarkan tanpa ada kaitan sama sekali denan Hanoman India. Lu Xun (1881~1936) adalah Bapak Sastra Modern Tiongkok yang terkenal. Ia berpendapat bahwa Sun Go Kong adalah karya Wu yang mengambil inspirasi dari cerita karya Lee Gong-zuo yang hidup di zaman Dinasti Tang. Dalam novelnya berjudul ?Gu Yue Du Jing?, ia menceritakan tentang siluman sakti bergelar Huai Wo Shuei Shen yang akhirnya juga berhasil ditaklukkan oleh kekuatan Buddha. Setelahnya ia berganti nama menjadi Wu Zi Qi. Lu Xun berpendapat bahwa Wu Cheng-en mengambil tokoh Sun Go Kong atas modifikasi Wu Zi Qi. Lalu, sastrawan lain juga berpendapat bahwa tokoh Sun Go Kong adalah asli Tiongkok karena ada seorang pendeta yang juga terkenal di masa Dinasti Tang bergelar Wu Kong (Go Kong = Hokkian), nama asli Che Chao-feng. Namun Hu Shi, sastrawan lain berpendapat bahwa Wu mengambil inspirasi dari Hanoman yang dikisahkan dalam cerita Ramayana. Karena ia berspekulasi bahwa tidak mungkin cerita Ramayana yang terkenal itu tidak sampai di Tiongkok. Jadi pasti ada pengaruh Hanoman pada karya Wu Cheng-en tadi. Ada pula sastrawan lain Ji Xian-lin yang berpendapat bahwa Sun Go Kong adalah Hanoman yang dimodifikasi menjadi Sun Go Kong tanpa ada kaitan sama sekali dengan Hanoman-nya sendiri kecuali sama2 merupakan kera sakti. Namun kera sakti Sun Go Kong jelas adalah perpaduan antara kepercayaan, cerita rakyat dan kreasi daripada penulisnya sendiri, Wu Cheng-en. Akhirnya giliran saya mengemukakan pendapat pribadi. Menurut saya, walaupun Ramayana adalah cerita lebih awal daripada Shi You Ji, namun mengatakan Sun Go Kong adalah sama dengan Hanoman adalah suatu pendapat yang tidak seluruhnya benar. Kepopuleran Ramayana yang merupakan legenda agama Hindu di Tiongkok juga tidak terbukti karena agama Hindu tidak pernah menyebar ke Tiongkok seperti halnya di Indonesia. Sun Go Kong juga bukan ciptaan dari Wu sebenarnya, karena di masa sebelumnya, Dinasti Song Selatan, telah ada dikisahkan Sun Go Kong dalam buku ?Da Tang San Zang Qu Jing Shi Hua?. Bila tetap harus mengatakan Sun adalah Hanoman, maka darimana pula munculnya tokoh Zhu Ba Jie (Ti Pat Khai)? Wu adalah seorang sastrawan dan seorang sastrawan selalu berkarya berdasarkan ilham yang muncul waktu itu. Akhirnya, terserah kepada pribadi masing2 untuk lebih condong ke pendapat mana karena itu merupakan kemerdekaan masing2 individu. Hanoman dan Sun Go Kong Tadi waktu makan malam entah kenapa dalam pikiran saya tiba-tiba terlintas masalah kera dan monyet (?). Padahal tidak ada monyet atau kera yang lewat, Juga tidak habis melihat film Sun Go Kong ataupun nonton wayang yang ada adegan Hanomannya. Terus mengapa pikiran tersebut menjadi istimewa bagi saya untuk di jadikan postingan kali ini? Saya masih ingat jelas saat mengikuti pelajaran biologi di SMA dulu dimana saat itu bu Guru (favorit saya) menerangkan perbedaan antara Kera dan Monyet. Lho kok?.memangnya berbeda? bukankah itu adalah satu makhluk dengan istilah atau penyebutan yang berbeda? (Begitu sanggahan teman ngobrolku ketika kujelaskan bahwa kera dan monyet adalah berbeda). Kera dan monyet ya sama saja?.suaranya juga nguuk-nguuuuk sambil garuk-garuk dan berlompatan di pohon. Saya meyakinkan teman ngobrolku tentang apa yang di jelaskan oleh bu Guru Bilologiku dulu. Begini: SAAT BERJALAN: Kera berjalan selalu menggunakan kaki, sedangkan tangannya hanya sekedar membantu menyeimbangkan posisi tubuh dan mempercepat saat lari Sudah jelas perbedaan antara fungsi kaki dan tangan. Monyet selalu berjalan maupun berlari dengan keempat kakinya. Artinya tangan (kaki depan) dan kaki belakang berfungsi untuk berjalan dan memegang. SAAT MEMANJAT: Kera memanjat layaknya manusia memanjat. Tangan untuk berpegangan dan kaki untuk menyangga tubuh saat naik. Monyet ketika naik ke pohon dengan berlompatan layaknya tupai. Tubuhnya jarang menyentuh pohon/ dahan. SAAT MAKAN: Kera adalah Omnivora artinya ia makan buah maupun binatang seperti semut dan serangga lainnya. Ketika makan ada kecenderungan menggunakan alat sederhana. Dan yang pasti ketika makan hanya menggunakan kedua tangannya. Sedangkan monyet adalah herbivora alias pemakan tumbuhan (buah). Mengupas dan memakan menggunakan ?tangan? tapi masih sering dibantu kaki belakang untuk memegang makanan dan mengambil makanan dari tempat tertentu. SAAT GARUK-GARUK: Yang jelas keduanya tidak selalu sambil nguuukkk?nguukkk, hehe?? Kera menggunakan tangannya tapi moyet bisa dengan tangan maupun kaki. YANG UTAMA: Kera tidak berekor sedangkan monyet berekor. Ini yang utama untuk identifikasi. Setelah kutransfer ilmu Bu Guru favoritku kepada teman ngobrolku malam ini, ia mulai berpikir dan mengiyakan (sambil sedikit garuk-garuk-tapi yang ini nggak mirip, hehe..) Jadi kesimpulannya adalah ada yang perlu kita renungkan tentang dua tokoh dalan judul postingan ini. Sun Go Kong dan Hanoman selalu disebut-sebut sebagai Kera sakti bahkan ada yang menganggap sebagai Dewa. Kedua tokoh tersebut adalah buah karya sebuah novel termasyur dunia dengan background keyakinan dan budaya yang berbeda. Hanoman lebih dulu hadir dalam kitab (novel) Ramayana jaman Hindu di India sedangkan Sun Go Kong muncul dalam novel klasik Tiongkok ?Shi You Ji? ?Perjalanan ke Barat? karya Wu Cheng-en pada masa Dinasti Ming yang berlatar ajaran Buddha. Namun kedua tokoh sakti yang di sebut kera tersebut ternyata digambarkan berekor panjang. Jadi, yang benar kera sakti apa monyet sakti ya? The Forbidden Kingdom, film bergenre kung fu sudah diputar di bioskop-bioskop Indonesia. Film ini dibintangi Jet Li dan Jackie Chan, dua artist jagoan kung fu yang sudah malang melintang dalam film-film kung fu dan juga tak asing lagi bagi penggemar film di Indonesia. Pertemuan keduanya dalam satu film tentu memberikan penilaian tersendiri dan merupakan peristiwa yang pantas dicatat. Film itu sendiri tidak mengangkat penokohan baru tetapi mengangkat tokoh cerita klasik ciptaan Wu Cheng En yang hidup di jaman dinasti Ming abad ke-16: Sun Go Kong, sang Raja Kera yang juga sudah tidak asing lagi bagi rakyat Indonesia. Dongeng ini diambil dari karya klasik Wu Cheng En: Xi You Ji, Perjalanan Ke Barat yang mengisahkan perjalanan ke India mengambil Kitab-Kitab Budha. Tentang perjalanan ke barat ini sendiri di samping karya Wu Chen En yang berupa fiksi ada juga karya lain yang berupa non fiksi yakni Catatan Perjalanan Ke Barat Zaman Tang Raya yang ditulis Tong Sam Cong di zaman Dinasti Tang sekitar abad ke-7. Di Indonesia sendiri, di samping Kera Sun Go Kong dongeng Wu Cheng En itu, dikenal juga kera lain yang mungkin lebih populer, mendalam dan hidup dalam benak dan fantasi rakyat bahkan mengisi ruang kebatinan rakyat yakni Anoman, Si Kera Putih. Kedua Kera ini dikenal sebagai pembantu yang setia dalam menumpas keangkara-murkaan. Anoman sendiri pun adalah cerita fiksi dari India yang diambil dari Kitab Ramayana karya Walmiki. Karenanya tak heran beberapa pengamat sastra beranggapan bahwa Sung Go Kong Wu Cheng En ini diinspirasikan oleh Anoman Walmiki mengingat Kitab Ramayana lebih tua usianya. Namun tentu saja penelitian lebih lanjut diperlukan. Begitulah Kedua Kera Sakti ini memasuki batin rakyat Indonesia dan diterima sebagai pahlawan-pahlawan penumpas kejahatan. Walau begitu, dikenal juga cerita bahwa Anoman yang berumur panjang itu pun berakhir hidupnya di tanah Jawa pada masa Raja Jayabaya. Anoman gugur ketika melaksanakan tugas dari Raja Jayabaya. Yang mengalahkannya adalah Raja Kaladewa yang merupakan titisan Bathara Kala. Karenanya penilaian terhadap The Forbidden Kingdom, tak cukup hanya diletakkan pada aspek-aspek teknik film, tetapi juga yang lebih penting memaknai simbol-simbol yang muncul dalam film The Forbidden Kingdom tersebut dalam konteks kekinian. Kemunculan Sun Go Kong di abad ke-21 dengan cara baru dalam penceritaan baru melalui pemuda Amerika Serikat yang gila cerita-cerita kung fu sendiri sudah menunjukkan kemenangan (baca juga: keagungan Peradaban) Kebudayaan Tiongkok atas Amerika Serikat. Dan memang peradaban Tiongkok lebih tua dari peradaban Amerika Serikat. Dengan cara ini legenda Sun Go Kong tidak mati tapi terus hidup di kalangan pemuda bahkan semakin mendunia dan terus menginspirasi. Begitulah memang seharusnya memperlakukan cerita klasik atau kuno agar tetap dapat diterima pemuda masa kini. Kalau mempertahankan pakem, tentu saja tak sampai tujuh turunan, cerita itu akan habis bersamaan habisnya usia si empunya cerita itu dan pendukungnya yang tak sanggup memperbaiki diri atau menyesuaikan dalam konteks kekinian. Waktu terus berjalan. Yang tua, pasti digantikan yang muda. Generasi muda sekarang tentu mempunyai selera estetik sendiri karena situasi dan kondisi hidupnya memang berbeda dengan masa lalu. Kita pun punya cerita-cerita kuno yang mungkin baik diceritakan untuk masa sekarang. Misalnya Saridin yang populer di daerah Pati, Blora dan sekitarnya (yang dalam petualangannya, diceritakan mengalahkan Sun Go Kong juga ?) Tinggal bagaimana membangun kemasannya yang bisa mengena di hati generasi sekarang. Dalam soal dimensi waktu yang berbeda pun barangkali pujangga kita pun tak ketinggalan. Lihatlah: bagaimana Anoman Si Kera Putih yang hidup dalam Kitab Ramayana itu kembali dihidupkan dalam kitab yang berbeda, yakni dalam cerita carangan yang berkontekskan cerita Mahabarata. Sementara di India sendiri, tak ada Anoman dalam Kitab Mahabarata. Kemunculan film ini memang tepat rasanya. Menghidupkan kembali cerita klasik rakyat Tiongkok sementara Tiongkok sendiri semakin menunjukkan kemajuannnya yang pesat sebagai bangsa. Tahun ini, Tiongkok menjadi tuan rumah untuk pesta akbar perdamaian dunia: Olimpiade, yang bersemboyankan One World One Dream. Kisah perjuangan kemandirian Tiongkok Baru pun dapat diikuti dalam Buku: Zhou Enlai Potret Seorang Intelektual Revolusioner karya Han Suyin terbitan Hasta Mitra. Tongkat Sakti Sun Go Kong pun mengingatkan pada tongkat-tongkat sakti yang menemani perjalanan pemimpin-pemimpin bangsa. Misalnya Tongkat Nabi Musa yang membimbing perjalanan pembebasan Israel dari Perbudakan Fir?aun. Tongkat kepemimpinan ini, di dunia akhirnya di tangan siapa: Amerika Serikat atau Tiongkok? Atau keduanya bisa bekerja sama? Dan bagaimana dengan kita? Nama Sun Go Kong bagi masyarakat kita sudah tidak asing lagi. Sebuah stasiun televisi swasta pernah menayangkan film serial ?Kera Sakti? ini sampai berulang-ulang. Sun Go Kong dikenal karena kesaktiannya melawan segala jenis siluman. Selain dia, tokoh sentral lainnya dalam film ini adalah biksu Tong yang selalu mengendalikannya selama perjalanannya ke Barat mencari kitab suci. Pertanyaannya, apakah tokoh Hsuan-tsang yang dalam cerita serial ?Kera Sakti? terkenal sebagai biksu Tong itu benar-benar pernah hidup di Tiongkok? Dari beberapa literatur yang ada menunjukkan bahwa tokoh Hsuan-tsang ini adalah seorang biksu yang ditasbihkan pada umur 13 tahun dan hidup di Tiongkok sekitar tahun 602-664, dikenal juga dengan nama aslinya Chen-I, mendapatkan gelar San-Tsang atau Mu-Ch?a-T?i-P?o (Moksadeva) atau Yuan-tsang (di Jepang dikenal dengan nama Genjo). Beliau tercatat sebagai biksu dan penziarah dari Tiongkok yang terbesar sepanjang sejarah dan hidup pada masa Dinasti Tang (618-907), yang menunggang kuda melakukan perjalanan ke India melewati Himalaya selama 4 tahun perjalanan (dalam usia 23 tahun). Beliau sempat tinggal selama 10 tahun di India untuk mempelajari dan menerjemahkan berbagai kitab Sansekerta Tripitaka ke dalam bahasa China, dan kembali ke Tiongkok pada tahun 645 dengan membawa pulang 658 teks agama Buddha dan berbagai sutra Mahayana. Karya terjemahannya dan juga tulisan perjalanannya ke Asia Tengah dan India yang penuh dengan data yang akurat merupakan suatu fakta sejarah tak ternilai bagi para sejarawan dan arkeologis saat ini. Nama beliau dapat disejajarkan dengan para sesepuh Mahayana (Tripitaka Master) seperti Mahadeva, Asvaghosa, Nagarjuna, Atisa, Vasubandhu, Bodhidharma, Shanti-Deva, Asanga, Arya-Deva, Tao-An, Kumarajiva, Kobo-Daishi termasuk Buddhaghosa (Theravada). Mengembara ke India Terlahir dalam keluarga cendekiawan turun-temurun yang menganut paham Confucianis di mana atas pengaruh kakaknya yang menyenangi agama Buddha, akhirnya mereka berdua melakukan perjalanan ke Ch?ang-an dan kemudian ke Ssu-ch?uan (sekarang Szechwan) guna menghindari konflik politik yang terjadi. Semasa berada di Ssu-ch?uan, Hsuan-tsang mulai mempelajari filosofi Buddhis tetapi menemukan banyak sekali perbedaan dan kontradiksi dari berbagai kitab yang dibacanya. Karena tidak menemukan jawaban yang memuaskan dari gurunya, akhirnya beliau memutuskan untuk pergi ke India. Hsuan-tsang muda melakukan perjalanan ke utara di Padang Pasir Takla Mak?an melewati sumber mata air Turfan, Karashar, Kucha, Tashkent dan Samarkand untuk kemudian memasuki Gerbang Besi Bactria, melewati pegunungan Hindu Kush sampai ke Kapisha, Gandhara, dan Kashmir di sebelah Tenggara India. Dari sana beliau menaiki perahu menjelajahi sepanjang Sungai Gangga sampai ke Mathura, dan mencapai tanah suci agama Buddha di bagian timur Sungai Gangga pada 633. Hsuan-tsang mulai mengunjungi berbagai tempat keramat yang berkaitan dengan kehidupan sang Buddha di sepanjang sungai Timur sampai Barat. Kemudian sebagian besar waktunya dihabiskan di Nalanda (pimpinan universitas saat itu adalah Silabhadra yang bergelar ?Mustika Kebenaran?) yang merupakan satu-satunya pusat pengkajian Buddha yang terbesar saat itu (Nagarjuna juga mulai mempelajari Buddha dari sana). Hsuan-tsang muda mempelajari bahasa Sansekerta, filsafat Buddhis dan filsafat India. Sewaktu berada di India, Hsuan-tsang terkenal akan kecendekiawanannya, sehingga raja yang berkuasa di India bagian utara, Raja Harsa menemui secara pribadi untuk memberikan penghargaan kepadanya. Akhirnya dengan bantuan dari Raja Harsa, beliau dapat menyelesaikan tugasnya dan kembali ke Tiongkok (tahun 643) dengan fasilitas yang disediakan oleh Raja berupa 20 ekor kuda yang membawa 527 peti naskah. Kembali ke Tiongkok Hsuan-tsang kembali ke Ch?ang-an (ibu kota negara T?ang) pada 645 setelah meninggalkan negaranya selama 16 tahun. Beliau disambut dengan meriah di ibu kota dan beberapa hari kemudian di depan khalayak ramai, Raja menawarkan posisi menteri di pemerintahan dengan pertimbangan bahwa Hsuan-tsang mempunyai pengalaman luas di berbagai negara asing. Namun terdorong oleh niatnya yang besar untuk mengabdi dalam Buddha, beliau menolak secara halus penawaran Raja tsb. Hsuan-tsang menghabiskan sisa waktunya dengan menerjemahkan sekitar 657 naskah yang dikemas dalam 520 peti (literatur lain menuturkan 527 peti) yang dibawanya kembali dari India. Beliau menyelesaikan 73 naskah (literatur lain menyebutkan 75 naskah) yang terbagi atas 1,330 bagian, di mana sebagian besar merupakan rujukan utama dalam Tripitaka Mahayana seperti Prajnaparamita Hrdaya Sutra, naskah Yogacara, Madhyamaka dan naskah Vasubandhu yakni Trimsika atau dikenal juga dengan nama Vijnaptimatrasiddhi. Selain itu terdapat juga naskah dari sejumlah sekte lainnya seperti dari Hinayana, Theravada, Vinaya, Mahasanghika dan Risalah, termasuk naskah pengetahuan umum dan naskah tata bahasa. Pokok-pokok Pikirannya Karya Hsuan-tsang lebih berdasarkan filsafat ajaran Yogacara (Vijnanavada/Wei-shih cung) yang dikembangkan oleh Asanga dan Vasabhandhu, di mana bersama dengan muridnya K?uei-chi (632-682) mendirikan sekte Wei-shih (Hanya Kesadaran/Vijnana) yang tertuang dalam karya Hsuan-tsang , Ch?eng-wei-shih-lun (Treatise on the Establishment of the Doctrine of Consciousness Only) yang menjelaskan bagaimana bisa terdapat suatu dunia emperikal yang umum untuk setiap individu yang memiliki badan dan penyerapan yang berbeda dapat merupakan pembentuk pikiran bersama terhadap suatu tujuan tertentu. Menurut Hsuan-tsang, benih karma universal yang tersimpan dalam gudang kesadaran (alayavijnana) merupakan pembentuk umum dan benih karma tertentu sebagai pembentuk pembeda masing-masing individu. Pokok utama ajaran ini mengatakan bahwa seluruh dunia ini terbentuk karena pikiran. Bentuk-bentuk tampak luar adalah tidak nyata (maya), tidak ada yang nyata diluar pikiran. Pendapat umum tentang adanya bentuk luar hanyalah disebabkan konsepsi yang salah dimana dapat dihilangkan dengan proses meditasi yang menarik kembali semua bentuk luar yang bersifat maya tersebut (semacam vipassana bhavana). Benih karma merupakan pembentuk pancaskandha yang terkumpul dalam gudang kesadaran dimana membentuk pikiran atas keberadaan dunia luar berdasarkan persepsi dan cita. Gudang kesadaran inilah yang harus disucikan dari dualitas subyek-obyek dan keberadaan yang maya dengan menempatkannya pada alam kemurnian yang dapat disamakan dengan kenyataan atau kesamaan yang menunjukkan sifat dasar dari semua benda sesuai apa yang telah ditentukan (tathata). Alam kesadaran inilah yang dicapai oleh para Bodhisattva sebagaimana tercermin dari konsep Trikaya. Perkembangan Ajaran Pokok pikiran ajaran tersebut sempat populer pada masa kehidupan Hsuan-tsang dan K?uei-chi , tetapi karena filsafat dan terminologi ajaran tersebut yang kurang dimengerti dan sulit dicerna secara umum, demikian juga bentuk pemahaman yang berkaitan dengan analisa pikiran dan perasaan merupakan suatu hal yang asing bagi tradisi di Tiongkok saat itu, maka dengan meninggalnya Hsuan-tsang dan K?uei-chi, sekte ini pun akhirnya mengalami kemerosotan. Pada saat meninggalnya Hsuan-tsang, Raja T?ang mengumumkan hari berkabung nasional selama tiga hari guna menghormati segala pengorbanan yang telah dilakukan oleh Hsuan-tsang yang ditunjukkan oleh pengabdiannya yang tanpa pamrih dalam mengembangkan Buddhisme di Tiongkok. Tercatat dalam beberapa literatur bahwa pada masa kehidupan Hsuan-tsang, terdapat seorang biksu Jepang yang bernama Dosho sempat singgah ke Tiongkok pada tahun 653 dan belajar di bawah bimbingan Hsuan-tsang, di mana sesudah menyelesaikan pelajarannya, biksu Dosho kembali ke Jepang untuk mengenalkan doktrin tersebut, dan kemudian menjadi terkenal akan Vihara Gongo. Selama abad ke-7 dan ke-8, sekte ini dikenal dengan nama Hosso (Fa- hsiang) dan merupakan sekte yang paling mempengaruhi semua sekte Buddhis yang ada di Jepang sampai saat ini. Biksu Dosho merupakan biksu pertama di Jepang yang jasadnya dikremasikan secara Buddhis. Selain di Jepang, ajaran Hsuan-tsang juga menyebar ke Korea. Selain melakukan penerjemahan naskah-naskah, Hsuan-tsang juga menulis cerita perjalanannya ke Barat (India) yang diberi judul Ta-T?ang Hsi-yu-chi (Catatan Perjalanan ke Barat semasa Dinasti T?ang Agung), merupakan suatu catatan dari berbagai negara yang dilewatinya sewaktu melakukan perjalanan ke Barat mengambil kitab suci.


Demikianlah Info postingan berita Sun Go Kong = Hanuman?

terbaru yang sangat heboh ini Sun Go Kong = Hanuman?, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sekian info artikel kali ini.

Anda sedang membaca posting tentang Sun Go Kong = Hanuman? dan berita ini url permalinknya adalah https://indodongeng.blogspot.com/2013/11/sun-go-kong-hanuman.html Semoga info lowongan ini bisa bermanfaat.

Subscribe to receive free email updates: