Kehidupan Para Pendekar

Kehidupan Para Pendekar - Hallo semuanya Pembaca Berita, Pada postingan berita kali ini yang berjudul Kehidupan Para Pendekar, telah di posting di blog ini dengan lengkap dari awal lagi sampai akhir. mudah-mudahan berita ini dapat membantu anda semuanya. Baiklah, ini dia berita terbaru nya.

Judul Posting : Kehidupan Para Pendekar
Link : Kehidupan Para Pendekar
Matahari yang masih malu-malu di ufuk timur menyambangi hari itu bersama dengan kicauan burung-burung sebagai latarnya. Sinar sang surya yang masih temaram menambah gagah ketinggian tebing yang menjulang menghujam langit itu. Gunung Berdanau Berpulau. Gunung tersebut membentang megah pada arah timur-barat, sampai ribuan kambing dewasa panjangnya. Sangar dan tampak seperti berwibawa. Seorang pemuda tampak berdiri di kaki gunung itu. Ia memandang ke arah utara, ke arah di mana Gunung Berdanau Berpulau berakar pada bumi. Ingin dikenangnya saat-saat ia dididik ayah dan ibunya di gunung itu. Dilatih ilmu mengolah salah satu sumber tenaga di alam ini. Tenaga yang mengalir, akan tetapi kadang dapat memudar seperti uap, atau kadang dapat mengeras seperti es. Itulah jenis tenaga dalam yang dilatihnya. Diajarkan oleh kedua orang tuanya. Sudah saatnya sekarang ia menambah ilmunya dengan merantau dan mencari guru untuk belajar ilmu bela diri. Ya, ilmu beladiri. Walaupun ia sudah dapat menghimpun tenaga dalam atau hawa untuk menguatkan tubuh, tapi ia belum memiliki ilmu beladiri. Ilmu itu tak diajarkan oleh orang tuanya, karena mereka pun tak mengerti akan ilmu itu. Sudah turun-temurun keluarganya menyimpan suatu rahasia bagaimana mengolah tenaga lembut tapi menyimpan kekuatan yang luar biasa itu, Tenaga Air. Dan karena keluarganya hanya merupakan semacam 'Pelestari Ilmu' dari Tenaga Air tersebut, mereka tidak ambil pusing tentang bagaimana cara memanfaatkan ilmu itu dalam pertempuran. Tugas mereka hanya menjaga agar cara-cara melatih ilmu itu tidak punah. Itu saja.

Akan tetapi pemuda itu lain. Ia tidak ingin hanya menjadi Pelestari Ilmu, melainkan juga pengguna ilmu itu. Untuk itu ia perlu belajar ilmu beladiri. Suatu ilmu di mana ilmu tenaga yang telah dimilikinya dapat diterapkan dalam gerakan-gerakan. Baik gerakan melindungi diri sendiri ataupun menyerang orang yang menjadi lawannya. Dipandangnya sekali lagi gunung itu. Setelah puas merekam gambaran dari obyek yang ada dihadapannya, dibalikkan tubuhnya. Sekarang ia memandang pada bentangan luas suatu konstruksi geografis yang terdiri dari batu-batu belaka. Luas menutupi seluruh matanya, bahkan sampai ke sudut kiri dan kanannya. Padang Batu-batu. Suatu entitas lansekap yang berada di selatan Gunung Berdanau Berpulau.

Masih diingatnya pembicaraan terakhir dengan ayah dan ibunya, di saat ia meminta ijin untuk pamit menimba ilmu di rantau.

"Telaga, sudah bulatkah tekadmu itu, nak?" tanya ibunya perlahan. Bergetar suaranya saat menanyakan itu. Perasaan seorang ibu yang tidak mau berpisah dengan anaknya, membuatnya tidak seperti biasanya. Nyi Sura yang umumnya terlihat dingin tanpa senyum akan tetapi gagah, tampak agak rapuh di saat akan berpisah dengan anaknya. Anak satu-satunya itu.

Lain halnya dengan suaminya, Ki Sura. Ia tenang-tenang saja. Seorang anak lelaki tak jauh beda dengan ayahnya nanti, begitu pikirnya. Dulu sewaktu ia muda, ia pun pergi merantau. Dan sekarang anaknya pasti akan pula mengikuti jejak sang ayah. Oleh karena itu sudah lebih siap dirinya begitu mendengar keinginan anaknya untuk pergi merantau menimba ilmu.

Mendengar pertanyaan ibunya, mengangguklah Telaga. Lalu katanya kemudian menegaskan, "ya ibu, saya sudah membulatkan tekad."

"Tapi..," jawabnya ibunya tercekat. Tak ditemukannya kata-kata untuk menghalangi keinginan anaknya saat itu.

Sudah sejak lama Telaga mempunya niat untuk merantau. Dan sudah berulang alasan diutarakan oleh Nyi Sura. Alasan-alasan yang harus dipenuhinya sebelum ia diperbolehkan untuk merantau. Dengan patuh Telaga memenuhi semua tuntutan-tuntutan ibunya. Termasuk di dalamnya adalah belajar Tenaga Air sampai tingkatan ibunya, yaitu tingkat tujuh dari dua belas tingkatan yang ada. Selain itu ia harus pula menghafal teori dari sisa tingkatan yang belum dicapainya. Ayahnya sendiri baru mencapai tingkat sepuluh. Umumnya hanya orang-orang berbakat dan amat tekun yang dapat mencapai tingkat sebelas dan dua belas. Tingkatan ayahnya sudah termasuk cukup tinggi untuk orang-orang biasa.

"Lalu ke arah mana rencanamu merantau?" tanya ayahnya memecah keheningan yang timbul di antara mereka bertiga itu.

"Ke arah selatan, ayah," jawab Telaga cepat. "Aku pernah mendengar bahwa di Padang Batu-batu terdapat sebuah tempat yang menarik untuk dikunjungi."

Ayahnya mengangguk-angguk mendengar jawab anaknya. Katanya kemudian, "hati-hatilah. Berangkatlah pagi-pagi sekali, sehingga saat tiba di Padang Batu-batu masih pagi. Berhenti saat malam dan carilah tempat yang baik untuk bermalam. Dan selalu hati-hati di sana."

Telaga mengangguk mendengar wejangan ayahnya. Beberapa petuah lainnya masih diberikan oleh ayahnya, untuk kewaspadaan dirinya yang baru kali ini bepergian jauh seorang diri.

Sekarang membentang hari dan petualangan di depannya. Padang Batu-batu. Melompatlah ia perlahan ke bawah, benar-benar meninggalkan wilayah Gunung Berdanau Berpulau, memasuki sebenar-benarnya wilayah Padang Batu-batu. Di dalam Padang Batu-batu, terdapat banyak batu-batu yang menjulang keluar dari tanah, seperti tiang-tiang, yang besar dan tingginya bervariasi. Kadang terdapat batu-batu yang setinggi orang dewasa kadang lebih. Kadang selebar kerbau atau gajah, kadang pula lebih. Batu-batu yang lebih lebih kecil dari orang pun ada. Tapi untuk itu mungkin lebih tepat disebut kerikil dari pada batu.

Sulit untuk menentukan arah setelah masuk ke wilayah Padang Batu-batu. Mirip hutan belantara, di mana pemandangan dan sinar matahari dihalangi oleh kanopi dari insan-insan nabati. Di sini pemandangan dihalangi oleh tiang-tiang atau gundukan batu-batu yang sangar, dingin dan menantang. Untuk menentukan arah, dipanjatnya salah satu batu yang cukup besar di hadapannya. Dengan lincahnya Telaga dapat naik dengan mudah. Dalam setiap cengkeramannya tercipta legokan-legokan dalam batu keras tersebut. Cengkeraman Kristal Es. Jurus cengkeraman yang amat keras, dan menghujam juga dingin. Dengan menggunakan jurus itu Telaga memanfaatkannya untuk menciptakan pijakan-pijakan dan pegangan-pegangan pada batu yang dipanjatnya.

Tak berapa lama sampailah ia di atas batu tersebut. Dipandangnya berkeliling. Masih tampak Gunung Berdanau Berpulau di salah satu sisinya. Dalam arah yang berlawanan dilihatnya hanya batu-batu yang berdiri berderet-deret acak, membentuk suatu pemandangan yang indah dan juga menyeramkan. Menyeramkan bagi mereka yang tersesat di dalamnya. Bisa selama-lamanya tidak dapat keluar dari lingkungan ini. Untuk saat ini tidaklah terlalu sulit menentukan arah. Dengan memanjat suatu batu besar dan melihat di mana arah beradanya Gunung Berdanau Berpulau, ke arah berlawananlah ia harus menuju. Meloncatlah ia turun dengan gerakan yang ringan dan beranjaklah ia menuju arah yang sudah diingat-ingatnya tadi sewaktu berada di atas batu itu.

Empat hari itu berlangsung tanpa ada kejadian yang berarti. Telaga berjalan dengan cepat ke arah selatan. Sejak kemarin sudah agak sulit untuk menentukan arah dengan menggunakan Gunung Berdanau Berpulau sebagai patokan, karena sudah tak begitu jelas terlihat. Gunung itu telah terhalang oleh batu-batu yang lebih tinggi dari batu-batu yang dipilihnya untuk berpijak menentukan arah. Untuk itu ia mengambil patokan lain, yaitu matahari. Ia harus berjalan ke suatu arah dengan matahari berada di sebelah kirinya saat pagi hari dan di sebelah kanannya pada sore hari. Menuju selatan.

Jika malam tiba, dicarinya ceruk yang cukup rapat akan tetapi kering untuk bermalam. Pada malam hari angin bertiup agak keras di Padang Batu-batu. Selain itu ditambah dengan sempitnya ruang antara tiang-tiang batu, semakin cepat angin mengalir di antaranya. Prinsip ini diperkenalkan oleh seorang Pengujar Benoli (Bernoulli), yang juga menjelaskan mengapa burung dapat memanfaatkan udara untuk mengapung ke atas atau ke bawah. Untuk makannya selain telah membawa bekal, Telaga menangkap pula ikan-ikan kecil berupa Beunteur dan Julung-julung atau Keuyeup (kepiting air tawar) yang hidup di sela-sela tiang batu-batu yang dialiri air. Terdapat aliran kecil-kecil air di sela-sela Padang Batu-batu. Tidak bisa dikatakan sebagai sungai, karena kadang genangan tersebut berhenti dan tidak mempunyai keluaran. Mengendap dan mengalir lewat bawah tanah atau batu-batu yang perpori. Muncul di tempat lain seakan-akan sebagai genangan baru dan mulai kembali mengalirkan air. Benar-benar lokasi geografis yang menawan hati.

Pada awalnya sulit juga Telaga menangkap ikan-ikan Benteur dan Julung-julung serta Keuyeup karena mereka dapat dengan cepat menyembunyikan dirinya ke dalam batu-batu di bawahnya. Bukan di balik batu, melainkan di dalam rongga-rongga batu besar. Air yang jernih membuat mereka dapat melihat Telaga secara langsung. Alam ini memang indah dan juga pengasih sebagai karya cipta Sang Penguasa Alam. Sebagai contoh misalnya, Telaga mendapat pelajaran bertahan hidup untuk menangkap ikan-ikan dan kepiting dari beberapa ekor burung mirip bangau yang berukuran sebesar ayam. Burung-burung itu tidaklah langsung menyerang ikan-ikan dan kepiting begitu melihatnya. Mereka memutarinya, sampai ke suatu sudut di mana binatang yang akan menjadi mangsanya itu tak dapat melihatnya lagi. Selain karena batasan pandangan juga karena efek pembiasan dari air. Pengujar Senelius (Snellius) menerangkan mengenai efek pembiasan cahaya ini. Untuk mempelajari ini Telaga sampai berendam dalam air dalam suatu ceruk yang cukup dalam untuk melihat dari dekat bagaimana burung-burung itu bisa berhasil dan juga bagaimana posisi ikan dan kepiting yang diincarnya.

Sekarang Telaga telah memiliki "perlengkapan" untuk menangkap ikan dan kepiting, yaitu tombak-tombak setinggi dirinya. Dengan meniru burung-burung yang berparuh panjang itu ia membuat tombak-tombak tersebut. Tombak-tombak itu tidaklah cukup untuk menangkap ikan dan kepiting, apabila tidak mengikuti cara mereka untuk mengelabui mangsanya. Ada saat-saat tertentu dalam satu hari, yang dibantu dengan posisi matahari, untuk mencari ikan dan kepiting. Pada saat-saat seperti itu binatang-binatang itu dapat dikelabui dengan mengambil arah tertentu, arah di mana binatang-binatang itu tidak dapat melihat dengan baik, sehingga serangan dapat dilakukan. Umumnya dapat diperoleh hasil dengan cara ini. Telaga saat itu memahami mengapa burung-burung tersebut hanya berburu pada saat-saat tertentu dan tidak sepanjang hari.

Hari keenam, sampailah Telaga di suatu tempat yang agak terbuka. Terbuka bukan karena tiada lagi tiang batu-batu, melainkan karena tiang-tiang yang ada agak terbenam ke dalam suatu cekungan. Cekungan itu membentuk suatu genangan air yang cukup lebar, walaupun tidak selebar Danau Tengah Gunung di mana dia dulu pernah tinggal. Mendapati tempat yang indah dan menyenangkan itu. Mengingatkan dirinya akan masa kecilnya, maka mengasolah Telaga di atas sebuah batu ceper di balik sebuah batu tinggi besar yang melindunginya dari sinar matahari pagi yang telah berada cukup tinggi di langit. Tak terasa datanglah kantuk dan Telaga pun tertidur.

Tak tahu berapa lama ia tertidur, Telaga terbangun saat ia mendengar bisik-bisik orang. Walaupun amat lamat-lamat, akan tetapi karena ia telah memiliki tenaga dalam yang cukup tinggi, dapat ia mendengarnya.

"Sudah.., lemparkan saja di sini," kata orang pertama.

"Jangan, nanti cepat ketahuan," sanggah orang kedua temannya.

"Bagaiamana bila diberi pemberat dulu, batu," usul temannya yang lain. Orang ketiga.

Tak ada suara. Tak tahu Telaga apa usul itu disetujui oleh dua teman pertamanya itu. Dengan berjingkit-jingkit mengendap-endap Telaga mencari-cari dengan matanya, di mana orang-orang itu berada. Akhirnya ditangkapnya tiga sosok orang di pinggir lain genangan air itu. Dari kejauhan mereka bertiga tampak sedang mengerjakan sesuatu pada semacam gundukan atau bungkusan dari kain yang ada di antara mereka. Setelah memeriksa dengan seksama, kemudian ketiganya membawa bungkusan itu di atas kepalanya dan mulai berjalan menyeberangi genangan air itu. Berjalan mereka perlahan-lahan, mungkin karena beratnya bungkusan itu atau karena lantai genangan air yang tidak rata, walaupun jernih.

Setelah kira-kira air mencapai pinggang mereka, berkata seorang dari padanya, "nah itu ada sebuah legokan dalam air yang cukup dalam. Lempar saja di sini."

Dengan berkecipuk keras, masuklah bungkusan itu ke dalam air setelah dilempar oleh ketiga orang itu. Perlahan mulai tenggelam bungkusan itu dengan disertai gelembung-gelembung udara yang menyembul ke atas permukaan air. Ketiganya masih di sana. Menunggu sampai tiada lagi gelembung-gelembung yang timbul. Kemudian berlalulah ketiganya.

Telaga terdiam melihat kejadian itu. Ia tidak tahu dan tidak memiliki gagasan mengenai apa sebenarnya yang tengah berlangsung. Bungkusan itu cukup besar dan berat. Entah apa isinya. Yang pasti mereka tidak mau bungkusan itu diketahui orang. Di Padang Batu-batu memang susah untuk menyembunyikan sesuatu. Tidak ada tanah. Oleh sebab itu mereka bertiga memilih menyembunyikannya dalam suatu legokan yang cukup dalam di tengah-tengah genangan air itu. Jurang yang cukup dalam, sehingga walaupun airnya jernih, tidak dapat dengan jelas terlihat dasarnya karena kurangnya sinar matahari yang mencapai dasar.

Niatan Telaga, yang tadi gembira melihat adanya orang di Padang Batu-batu, untuk menyapa akhirnya diurungkan begitu melihat sesuatu yang serba misterius itu. Hati kecilnya membisikkan agar ia tidak ikut campur. Maka ditunggunya sampai ketiga orang itu pergi.

Alih-alih pergi ketiganya malah duduk di salah satu batu ceper di seberang sana. Ketiganya membuka pakaiannya dan menjemurnya di atas batu-batu. Kelihatannya ketiganya tidak ingin dicurigai telah berendam di dalam air. Suatu pikiran yang cerdas. Tapi tidak cukup cerdas karena mereka tidak tahu kehadiran Telaga yang tertidur di seberang lain dari genangan air itu.

Lapar juga Telaga menunggu ketiganya pergi. Sambil terus mengintai dimakannya pelan-pelan bekalnya. Sepotong ubi yang dibawanya dari rumah dan ikan Julung-julung kering dan remukan Keuyeup bakar yang ditangkapnya kemarin. Sudah habis makan siangnya tapi ketiganya belum juga beranjak, walau telah dikenakan kembali pakaian mereka yang kering itu. Tampak seperti sedang menunggu sesuatu mereka itu.

Selang tak berapa lama, tampak sebuah iring-iringan datang. Sekelompok gadis-gadis sambil membawa keranjang cuciannya. Mereke hendak mencuci dan mungkin juga mandi di genangan air itu. Ketiga pemuda yang telah sedari tadi berada di sana tampak sumringah melihat rombongan yang mereka tunggu-tunggu itu tiba. Bergegas mereka menyelinap ke sebuah batu besar di salah satu sudut genangan itu. Masih dalam pinggiran yang sama. Tak lama kemudian sampailah gadis-gadis itu di pinggir genangan.

Kata salah seorang dari mereka, "eh, rasa-rasanya tadi ada orang yang berjemur di sini. Tapi kok tidak ada siapa-siapa ya?"

"Ah, kamu mimpi kali?" jawab temannya, "siang-siang gini 'kan jarang yang datang. Makanya kita nyucinya siang."

"Sekalian mandi..," jawab temannya terkekeh-kekeh genit.

Lainnya hanya mengiyakan.

Gadis yang curiga tadi tidak percaya begitu saja pada ucapan temannya, ia pun berjalan berkeliling ke satu sisi dan kemudian ke sisi lain pinggiran untuk memeriksa siapa tahu ada yang bersembunyi untuk mengintip mereka saat mencuci dan mandi di sana. Tak ditemuinya seorang pun. Andai saja ia maju setombak dua lagi, akan ditemuinya tiga orang yang bersembunyi di sana. Mereka telah beringsut mundur dan pindah dari persembunyiannya semula saat gadis itu mencari-cari.

Telaga yang begitu melihat gadis-gadis itu akan mencuci dan mandi di sana merasa risih, dan ingin segera menjauh. Tapi dengan adanya tiga orang itu yang tadi telah membuang sesuatu, membuatnya menjadi bertanya-tanya. Menyelinap rasa kuatirnya akan keselamatan rombongan gadis-gadis itu.

Mereka pun mulai mencuci barang-barang bawaaannya. Setelah beberapa saat beberapa orang mulai pula menanggalkan kain yang dipakainya untuk kemudian merendam dirinya sebatas dada. Tak tampak ketelanjangan mereka karena dihalangi oleh air. Walaupun demikian pemandangan itu mau tak mau membuat Telaga sedikit berdesir. Membayangkan tubuh-tubuh itu dalam air yang jernih dan bergoyang-goyang, membersitkan sedikit khayalan yang mengalirkan darah lebih cepat ke beberapa organ tubuhnya. Dialihkan pandangannya dari rombongan itu ke arah ketiga pemuda yang bersembunyi di pinggiran lain. Ketiganya telah kembali ke tempat mengintipnya semua, setelah gadis yang memeriksa tadi mulai mencuci. Hanya gadis itu yang tidak membuka pakaiannya. Ia hanya mencuci dengan duduk di pinggiran genangan. Selebihnya telah berendam di tengah.

"Sarini, ayo mandi..!" ajak temannya yang telah berendam dan berenang-renang. Dibiarkannya keranjangnya mengapung. Diayunkan lengannya dan melajulah ia perlahan.

Yang dipanggil hanya tersenyum dan kembali mencuci pakaiannya. Tak tergoda atas ajakan itu. Udara yang panas memang membuat orang ingin berendam di dalam air genangan itu, tapi pesan orang tuanya mengingatkan bahwa hal itu tidak aman. Salain itu perasaannya mengisyaratkan ada sesuatu. Sesuatu yang ia tidak dapat jelaskan. Keragu-raguannya membuatnya tidak ikut mandi. Ia mandi biasanya hanya pada pagi hari, di mana belum ada matahari. Sehingga orang tidak dapat mengintipnya dengan mudah. Tidak di siang hari bolong seperti ini. Kawan-kawannya telah diperingatkan, akan tetapi mereka hanya tertawa-tawa. Penakut disebutkan dirinya.

Tak lama kemudian selesailah gadis-gadis itu mencuci juga Sarini. Sementara Sarini tampak beristirahat di pinggiran sambil mencuci mukanya. Sisa gadis-gadis dalam rombongan itu tampak berenang-renang ke tengah. Telanjang. Tak sadar mereka bahaya yang mengintai mereka.

Ketiga pemuda yang tengah mengintai itu, tampak oleh Telaga, seling mengangguk satu sama lain. Lalu salah seorang dari mereka seperti menarik sesuatu dari dalam air. Sepotong tali. Kemudian mereka bertiga bergegas diam-diam pergi. Tidak seorang gadis pun, juga Sarini yang melihat kepergian mereka.

Saat Telaga masih bingung dengan kelakuan tiga pemuda itu, tiba-tiba jerit salah seorang gadis yang sedang mandi itu terdengar, "mayat, ada mayat...!" katanya sambi menunjuk sebuah benda yang terapung di tengah-tengah genangan air.

Akibat teriakan itu teman-temannya bergegas keluar dari air untuk menyambar kain mereka masing-masing dan berpakaian. Tak urung Telaga sempat pula menikmati kemulusan tubuh mereka saat mereka keluar dari air untuk menyambar kain mereka. Tanpa membawa keranjang cucian mereka, bergegas rombongan itu pergi untuk memberi tahu orang-orang di desanya.

Tak lama kemudian tampak berduyun-duyun orang-orang desa muncul sambil membawa-bawa tongkat. Sebagian dari mereka terjun ke dalam air dan mencoba menggapai gundukan itu dengan tongkat mereka. Menepikannya dan mengamati. Di antara mereka tampak pula ketiga pemuda tadi. Ketiga orang yang membuang mayat tersebut.

"Ini adalah Ki Rontok, si pedagang keliling," ucap salah seorang dari mereka. "Bagaimana orang Desa Batu Barat bisa berada di sini?"

"Iya, benar itu Ki Rontok," jawab yang lain menegaskan, "wah bisa berabe nih kita.."

Rekan-rekannya pun mengangguk-angguk.

"Habis kita nanti sama Hakim Haus Darah.." ucap salah seorang dari mereka.

Tak lama kemudian bersahut-sahutanlah ucap-ucapan di antara mereka sehingga Telaga tidak lagi dapat mengerti ucapan-ucapan itu. Hanya kata-kata "Hakim Haus Darah" yang jelas-jelas dapat didengarnya. Benar-benar menarik kata-kata itu. Menumbuhkan minatnya untuk lebih lanjut melihat kelanjutan dari peristiwa itu.

Setelah berunding sebentar kemudian mereka pun mengangkat mayat itu, yang dikenali sebagai Ki Rontok, dengan tandu dari kain yang mereka bawa. Bersama-sama mereka membawanya. Ujung-ujung kain itu dipegang oleh satu orang, sementara di tengah-tengahnya ada orang lain yang membantu. Enam orang membantu membawa jenasah Ki Rontok.

Telaga masih menunggu beberapa saat untuk melihat sampai orang-orang itu pergi. Untuk kemudian mengikuti. Ia ingin melihat lebih jauh apa yang akan terjadi dengan jenasah itu. Dan juga ingin melihat orang yang disebut-sebut sebagai "Hakim Haus Darah" yang terdengar ditakuti oleh orang-orang itu. Bersamaan pula ia ingin tahu apa peran dari ketiga orang itu. Orang-orang yang tadinya menyembunyikan bungkusan di dalam genangan itu, yang mengatur sehingga seolah-olah ditemukan oleh rombongan gadis-gadis yang akan mandi dan mencuci di sana.

Menunggu adalah pekerjaan yang membosankan. Tapi itu harus dilakoni Telaga. Ia tidak ingin terlihat berada di sana selama peristiwa itu terjadi. Bisa-bisa ia yang dituduh. Bisa-bisa fatal akibatnya. Untuk itu ia perlu meyakinkan diri agar tidak terlihat oleh siapapun saat meninggalkan tempatnya itu.

Akhirnya ia merasa yakin bahwa tidak ada lagi orang yang berada di sana, setidaknya dalam jarak yang bisa melihat dirinya. Ia kemudian beranjak untuk pergi ke arah orang-orang itu tadi menghilang. Ke sebuah jalan setapak di antara tiang-tiang batu. Saat ia bangkit dan hendak berputar ke arah pinggir genangan, tampak olehnya seorang tua sedang menatapi dirinya. Kehadirannya yang tak disadari Telaga itu membuat hampir copot jantung pemuda itu. Selain karena peristiwa yang baru terjadi itu, juga menandakan ketinggian ilmu meringankan tubuh dari si orang itu.

Orang tua itu tersenyum. Ia tahu kegundahan yang sepersekian saat tersirat di wajah pemuda itu, lalu katanya, "Jangan kuatir. Aku si orang tua, tahu siapa yang salah dan siapa yang benar."

Telaga hanya tersenyum kecut mendengar itu. Walaupun ia bukan pelaku dari peristiwa itu, tapi ia kedapatan sedang mengintip. Dan perbuatan itu bukanlah suatu perbuatan "benar".

Telaga tidak tahu harus berbuat apa, dipandangi sajalah orang tua itu. Tampak belum tua benar ia. Malah lebih ke arah seorang setengah baya yang tampak dituakan oleh masalah. Sehingga terlihat jauh lebih tua dari usia sebenarnya. Ketuaan yang dikarbit pemikiran yang tidak terkendalikan. Dari postur tubuhnya yang tegap dan dibalut kain bermotif kasar itu, terlihat tubuh yang terlatih. Tampak pula warna busana yang aneh, yaitu sebelah kanan biru muda dan sebelah kiri hijau muda. Telaga baru menyadari suatu keanehan lagi, yaitu bahwa orang itu memiliki kulit yang agak kehijauan. Keanehan ini dirasakan pula saat melihat orang-orang tadi, yang dari kejauhan terlihat seperti kebiruan. Tadinya dipikirnya karena warna pakaian mereka atau pantulan langit dan air. Akan tetapi setelah melihat orang tua ini dari dekat, yakinlah ia bahwa itu adalah warna kulit mereka. Warna-warna kulit yang aneh. Warna-warna yang dimiliki oleh Undinen, akan tetapi terdapat pada manusia seperti dirinya.

Orang tua itu pun masih mematut-matut Telaga, sibuk dengan pikirannya sendiri. Tak dibukanya percakapan, melainkan terus mengamat-amati Telaga. Seakan-akan ada sesuatu yang sedang dinilainya. Selang tak berapa lama, tiba-tiba menghilanglah ia ke arah kanan, setelah sebelumnya ia mendekat amat cepat ke arah Telaga, bergetar dadanya saat orang itu menyentuhnya perlahan untuk kemudian menarik kembali tanggannya dan pergi. Lamat-lamat dari kejauhan terdengar ucapannya, "kita akan bertemu lagi, anak muda. Teruskanlah perjalananmu dan puaskan keingintahuanmu! Dan ingat jangan sembunyikan kebenaran..!"

Bergidik Telaga menyaksikan halus dan tak terduganya gerakan orang tua yang belum dikenalnya itu. Dari caranya bergerak, lebih tinggi ilmu orang itu dari ayahnya dalam meringankan tubuh. Seram rasanya membayangkan orang itu menjadi lawannya.

Kata-kata "puaskan keingintahuanmu" mengingatkan Telaga akan rencananya semula untuk mengikuti orang-orang itu, orang-orang yang tadi membawa jenasah Ki Rontok. Dan juga perihal Hakim Haus Darah yang diomong-omongkan oleh mereka.

***

Desa Batu Barat dan Desa Batu Timur adalah dua buah desa yang berada di sekitar danau kecil Danau Genangan Batu di tengah-tengah Padang Batu-batu. Kedua desa itu berlokasi agak jauh satu sama lain dengan di tengah-tengahnya terdapat danau kecil tersebut. Umumnya jarang orang-orang dari mereka menuju danau itu jika tidak untuk mencuci atau berenang-renang. Untuk kebutuhan air minum, umumnya mereka dapat memperolehnya dari rembesan air yang keluar dari batu-batu di sekitar desa mereka.

Konstruksi rumah-rumah mereka pun agak sedikit menarik, bukan dibangun di atas bumi yang kadang-kadang berair di kawasan Padang Batu-batu melainkan di atas batu-batu atau tiang-tiang batu yang cukup besar dan kokoh. Di atas beberapa tiang batu setinggi pohon kelapa itu mereka lintangkan batu dan kayu membentuk semacam panggung. Di atas panggung tersebut baru dibangun rumah dari kayu atau bambu. Di Padang Batu-batu tidak banyak pepohonan yang dapat tumbuh, akan tetapi entah bagaimana dan dari mana orang-orang itu dapat memperolehnya. Mungkin mereka memang memiliki cara tersendiri untuk menumbuhkan pohon-pohon itu untuk kemudian mereka panen sebagai bahan pembuat rumah.

Kedua desa itu, Desa Batu Barat dan Desa Batu Timur, yang terletak sesuai dengan namanya di sebelah barat dan timur, dapat dibedakan dari penghuni-penghuninya. Di bagian barat tinggal orang-orang yang memiliki kulit agak kehijauan sedangkan di sebalah timur tinggal mereka-mereka yang memiliki kulit agak kebiruan. Pembagian itu sudah lama terjadi sejak nenek moyang mereka. Tidak banyak terjadi kawin campur di antara kedua penghuni desa yang belainan. Selain adat, juga ada rasa kesombongan dan merendahkan desa lain yang menghalangi pencampuran itu.

Akan tetapi jika ada orang-orang yang memandang golongan lain lebih rendah dan golongannya sendiri lebih tinggi, ada pula orang-orang yang menghargainya. Dan bahkan dapat saling jatuh cinta. Orang itu adalah Walinggih dari Desa Batu Barat dan Sarnini dari Desa Batu Timur. Sudah tentu hubungan mereka itu tidak direstui. Baik oleh kedua orang tua maupun penduduk dari kedua belah desa. Keduanya tidak peduli dan memilih tetap memelihara cinta mereka. Dan membangun sebuah rumah jauh dari kedua desa itu, agak ke selatan lagi dari Danau Genangan Batu.

Tahun-tahu berlalu dan keduanya hidup dalam penuh cinta dan kasih. Buah hati pun lahir dari rahim Sarnini. Seorang bocah yang memiliki warna kulit biru kehijauan atau hijau kebiruan. Perpaduan warna dari ayah dan ibunya. Walinggih dan Sarnini amat bangga terhadap anak mereka. Gembira hati mereka. Hanya sayang kegembiraan itu dinodai oleh rasa tidak senang beberapa orang baik dari Desa Batu Barat maupun Desa Batu Timur. Mereka tidak suka Walinggih dan Sarnini bahagia. Bila keluarga itu hidup tenteram dan bahagia sampai tua, akan terhapus mitos pertentangan antara kedua desa itu. Akan terjadi peleburan. Dan itu bisa menghancurkan mereka para pedagang, yang bisa-bisanya mengadu-adu Desa Batu Barat dan Desa Batu Timur agar dagangan mereka laku. Kedua kelompok ini, walaupun berasal dari desa yang berbeda tapi tahu sama tahu kegiatan mereka. Mereka biasa memanas-manasi penduduk salah satu desa, bahwa desa lain lebih maju karena adanya satu produk. Oleh karena itu supaya tidak ketinggalan, desa yang lain juga harus turut serta dengan membeli produk yang lebih baik. Selain itu terdapat pula semacam penjaga keamanan dari kedua kelompok yang seakan-akan menjaga keamanan, sementara konco-konco mereka dari kelompok yang berlawanan melakukan kerusuhan. Dengan adanya para penjaga keamanan, situasi menjadi aman dan terkendali. Pernah suatu saat warga desa tidak mau membayar pajak penjagaan, langsung saja terjadi perampokan dan penculikan, yang dituduhkan pada desa yang berlawanan.

Cara-cara ini sudah tentu tidak baik, hampir sama dengan para pedagang senjata yang mendapat untung bila ada konflik atau perang antar daerah. Tapi para pedagang atau preman ini tidak peduli. Bagi mereka Tigaan lebih penting. Budaya Tigaan ini pun mereka bawa dari luar Padang Batu-batu, saat mereka berdagang ke Kota Pinggiran Sungai Merah, jauh di barat daya sana. Di kota itu mendengar adanya dua desa yang berbeda dan tidak akur, seorang pedagang menjelaskan suatu cara berdagang yang lebih menguntungkan. Mengadu-domba. Dengan cara ini pasti akan lebih laku, jelasnya. Juga intimidasi seakan-akan adanya ancaman, untuk kemudian menawarkan jasa-jasa pengamanan. Kedua kelompok itu mengangguk-angguk setuju mendengar ide itu. Tigaan telah membutakan mereka akan semangat kebersamaan dan kekeluargaan kehidupan di desa. Yang penting untung dapat diraup. Perubahan sosial dan kultur menjadi ke arah yang lebih buruk bukanlah urusan mereka. Akibatnya keluarga Walinggih dan Sarnini menjadi ancaman bagi konflik antara kedua desa. Bila kedua desa bersatu, bisa tahu orang-orang bahwa hal-hal yang dipanas-panasi oleh para pedagang itu adalah bohong belaka. Hal ini tidak boleh terjadi. Oleh karena itu disepakati di antara kedua kelompok itu bahwa keluarga itu harus dibasmi. Kejamnya politik perdagangan. Bahkan dalam ruang lingkup sekecil itu.

Lalu diupahlah beberapa orang dari luar Padang Batu-batu untuk membunuh keluarga itu. Perlu diubah orang-orang yang cukup berilmu karena Walinggih sendiri memiliki ilmu beladiri yang cukup tinggi. Ia pernah merantau jauh ke utara dan menjadi guru orang pandai di sana. Mungkin akibat ilmunya itu pula, ia menjadi tak masalah memperistri orang dari Desa Batu Timur. Malam yang naas itu Walinggih kebetulan sedang berada di Danau Genangan Batu, bermalam untuk mencari sejenis ikan yang hanya muncul di malam hari. Ikan itu dapat dimanfaatkan untuk obat istrinya yang sedang sakit. Sebenarnya istrinya minta ditemani malam itu, akan tetapi mengingat sakit sang istri yang sudah berlarut-larut, Walinggih tak tega. Ingin ia mencari obat untuk kesembuhan istrinya itu. Minta tolong ke penduduk kedua desa, tidak mungkin. Ia dan keluarganya sudah seakan-akan dikucilkan.

Andai saja Walinggih ada di rumah, sudah tentu tidak mudah bagi Asasin untuk membunuh kedua anak dan istrinya. Asasin yang merupakan kelompok terdiri dari empat orang itu berhasil dengan mudah membantai Sarnini dan anaknya. Kemudian mereka menunggu Walinggih yang diduga akan pulang larut malam. Karena ditunggu-tunggu tidak datang. Akhirnya mereka, Asasin, pulang dan melaporkan itu kepada orang yang menyuruh mereka. Kedua kelompok pedagang. Sudah tentu kedua kelompok itu takut dan menyatakan, bahwa Walinggih pun harus dibunuh, bisa berabe nanti jika ia mengamuk, mengingat ilmunya yang tinggi. Akan tetapi para pembunuh tidak mau. Perjanjian mereka adalah dibayar satu hari satu malam untuk pekerjaan itu. Untuk kelebihan waktu, harus dibayar lain. Pulanglah mereka kembali ke kota mereka. Salah satu kota-kota di Pinggiran Sungai Merah di barat sana.

Walinggih yang baru saja pulang membawa ikan untuk obat istrinya yang sakit, seakan-akan tidak percaya pada penglihatannya. Ia melihat anak dan istrinya telah terbujur bersimbah darah di ruang tengah rumahnya. Bagai gila ia berteriak di tengah pagi buta. Menggiriskan hati suaranya, serta memekakkan telinga. Asasin sebagai kelompok pembunuh profesional biasa meninggalkan tanda di lokasi korban mereka. Sebagai bukti kesombongan mereka juga sebagai iklan bagi orang-orang yang ingin menggunakan jasa mereka. Akan tetapi dalam kasus ini berakibat fatal. Demi mengetahui bahwa pembunuhnya adalah Asasin, kelompok pembunuh bayaran terkenal, Walinggih memburunya ke kota tempat kelompok itu membuka layanannya. Dengan ilmunya yang telah mumpuni dan juga kemarahannya dibantainya semua orang yang ikut membunuh keluarganya, setelah sebelumnya dikorek keterangan siapa yang menyuruh mereka. Berbekal informasi itu kembalilah Walinggih ke Padang Batu-batu. Dicarinya satu-satu orang-orang dari kedua kelompok pedagang itu. Dihasibisinya langsung dengan pedang panjangnya. Dibelah persis di tengah-tengah. Simetris. Dan ditinggalkannya begitu saja. Tidak ada orang dari kedua desa itu yang bisa meredamnya.

Setelah semua orang yang bersalah habis. Walinggih pun kembali ke rumahnya dan meratapi nasibnya. Pandangannya berubah terhadap kerukunan. Tidak bisa kerukunan antara kedua desa itu dicapai dengan cara baik-baik, pikirnya. Ia akhirnya mengambil sikap. Jika ada pertentangan, tidak pedulu siapa yang mulai akan dibantainya. Ia kemudian menjadi musuh dari kedua desa itu, juga penolong. Orang-orang yang saling menimbulkan kerusuhan dibantainya. Orang-orang yang hidup rukun bersyukur karena ada dirinya. Ia kemudian dikenal sebagai Hakim Haus Darah karena kejamnya itu. Dalam setiap perkara kejahatan, biasanya harus ada yang tersembelih simetris, jadi dua bagian. Katanya suatu ketika, "potongan pedangku ini akan memisahkan sisi baik dan sisi jahatnya. Semoga arwahnya nanti damai di sana." Benar-benar pikiran yang gila. Tapi itulah kenyataannya. Mengingat kejamnya Walinggih yang hampir seperti jagal, membuat jarang orang mengadukan sesuatu kepadanya, kecuali kasus-kasus yang parah. Atau kadang Walinggih sendiri yang turun tangan apabila terjadi perkelahian antar kedua desa itu.

Akibatnya kehidupan menjadi tenang. Tiada lagi pertentangan di antar kedua desa itu. Akan tetapi bukan ketenangan sebenarnya, melainkan ketenangan dalam paksaan. Jika bertikai dan berlarut-laru, sampai Hakim Haus Darah turun tangan, fatal akibatnya. Yang tertangkap basah bertikai akan dibantai. Alasannya boleh berbicara belakangan. Telah pula ada upaya dari beberapa orang baik-baik untuk mengadukannya ke pemerintah pusat. Ya, walaupun Walinggih membuat keadaan tenang tanpa pertentangan akan tetapi bisa jadi suatu saat kehausdarahannya akan memakan korban yang tak bersalah. Orang yang terkena fitnah misalnya. Tapi tak ada balasan atau pun upaya dari pemerintah pusat mengenai hal itu.

Oleh sebab itu cemaslah penduduk Desa Batu Timur yang menemukan jenasah Ki Rontok yang adalah warga Desa Batu Barat. Ini bisa jad merupakan upaya untuk menyulut pertentangan. Bila terjadi pertentangan dan terdengar oleh Hakim Haus Darah, sudah pasti akan ada pembantaian. Terlepas dari siapa yang bersalah, sudah pasti fatal akibatnya dari kedua belah pihak.

***

Penduduk Desa Batu Timur pun berkumpul di pendopo desa mereka. Di tengahnya berbaring tubuh kaku Ki Rontok. Seorang pedagang dari Desa Batu Barat. Cemas-cemas tertampak dari wajah-wajah mereka. Ujung-ujung dari peristiwa ini yang akan menjadi masalah bagi mereka.

"Bagaimana ini, kepala desa?" tanya seorang warga.

"Lebih baik kita urus secara kekeluargaan dengan Desa Batu Barat, sebelum Walinggih mendengarnya," usul seseorang.

Beberapa mengangguk-angguk mengiyakan. Alternatif itu lebih baik. Jika orang-orang Desa Batu Barat mau menerima hal ini dan tidak mempersoalkan, akan selesai masalah. Tidak ada korban dari Walinggih, si Hakim Haus Darah. Akan tetapi siapa pelaku dari pembunuhan ini, perlu pula diusut.

"Ada yang bisa menceritakan, bagaimana kejadian sebenarnya?" tanya seorang tua-tua sambil menatap berkeliling.

Rombongan gadis-gadis yang tadi saat mencuci dan mandi di Danau Genangan Batu menemukan jenasah Ki Rontok saling dorong-mendorong. Sampai akhirnya terdorong ke tengah Sarini, gadis yang tadi tidak ikut mandi. Setelah tak mungkin mungkir sebagai wakil dari saksi mata, berceritalah Sarini tentang apa yang ia dan kawan-kawannya tadi lihat. Bagaimana mayat itu mulai mengapung dan ditemukan oleh mereka-mereka yang berenang-renang agak ke tengah.

Salah seorang dari ketiga orang yang dilihat Telaga tadi maju dan memeriksa korban. Kehadirannya tidak terlalu diperhatikan oleh para warga desa yang sedang tegang itu. Mereka masih membayangkan siapa yang akan nanti jadi sasaran dari Hakim Haus Darah. Kemudian kata orang itu setelah memeriksa, "lihat seperti ada bekas potongan dan kemudian dijahit kembali..!" katanya sambil menunjuk pada jenasah Ki Rontok yang telah dibuka bajunya.

Dan memang benar, seperti ditunjukkannya, bahwa dari ujung kepala sampai ke dada, terdapat suatu celah, seakan-akan Ki Rontok pernah dibelah dan direkatkan kembali.

"Mirip Potongan Simetris dari Hakim Haus Darah," gumam seorang takut-takut.

Berapa suara-suara lain pun mengiyakan.

"Jika demikian pasti Hakim Haus Darah pelakunya," ucap seorang.

Ucapan itu bagai hantu yang lewat di siang bolong. Suasana pun menjadi sunyi menakutkan. Seakan-akan sang Hakim Haus Darah ada sendiri di sana dan mendengarkan ucapan itu.

Bingunglah warga Desa Batu Timur mendengar ungkapan itu dan juga kenyataan bahwa Ki Rontok mati mengenaskan akibat Potongan Simetris. Sebuah jurus yang hanya dimiliki oleh Hakim Haus Darah, sejauh pengetahuan penduduk desa itu. Bagaimana ini dapat terjadi? Biasanya Hakim Haus Darah akan turun tangan bila terlebih dulu ada konflik, di mana konflik itu telah berlarut-larut sehingga menimbulkan pertempuran di antara dua desa. Saat itulah ia turun tangan. Tak pandang bulu. Semua pelaku pertempuran akan dibantainya habis dan dipotong masing-masing setiap orang menjadi dua bagian.

Jika sekarang Hakim Haus Darah sudah membunuh orang tanpa terlebih dahulu adanya konflik yang berwujud pertempuran, semakin merinding orang-orang Desa Batu Timur. Mereka membayangkan bahwa kapan saja mereka dapat dibantai oleh sang hakim tanpa perlu alasan yang jelas. Seperti halnya Ki Rontok, tak jelas alasannya, tahu-tahu sudah terbujur kaku di dalam danau.

Melihat orang-orang desa yang terdiam seribu bahasa, seorang yang agak tua tapi berwibawa angkat bicara, "warga desa yang terhormat, perkenalkan kami... Kami adalah tiga orang utusan dari pemerintah pusat. Berkaitan dengan laporan yang menyatakan adanya seorang pembantai yang dikenal sebagai Hakim Haus Darah di kawasan ini, kami datang untuk menangkapnya." Sementara orang yang tadi menunjukka bekas luka itu entah sudah hilang kemana.

Terdiam lagi penduduk desa mendengar pernyataan itu. Orang-orang yang semula dikenal hanya sebagai pedagang dari kota besar itu, ternyata adalah perwira-perwira yang menyamar. Mereka ditugaskan untuk menangkap Hakim Haus Darah. Kemudian diceritakan oleh mereka bahwa pengamatan akan sang hakim telah dilakukan lama sebelumnya. Akan tetapi dengan tidak adanya peristiwa "pembantaian" tak dapat sang hakim di tangkap. Perintah dari pusat adalah bahwa harus terjadi peristiwa saat pengamatan dilakukan dan akan dijalankan penangkapan. Dengan adanya peristiwa ini, sebagai bukti, dapatlah sang hakim saat ini ditangkap.

Beberapa orang yang selama ini merasa tertekan dengan kehadiran Hakim Haus Darah bersorak dalam hatinya. Sementara yang lain, dengan tanpa adanya sang hakim telah hidup dengan damai, agak menyesalkan juga kedatangan ketiga perwira itu. Mereka yang terakhir ini kuatir, apabila Hakim Haus Darah ditangkap, akan kembali ke masa lalu keadaan di sini. Dikuasai kembali oleh para preman dan pedagang. Tapi orang-orang ini tak berani menyuarakan hatinya.

Lalu kata seorang dari ketiga perwira itu, "ada baiknya bila kita menghubungi orang-orang dari Desa Batu Barat. Kita berkumpul untuk menuju ke kediaman Hakim Haus Darah. Kalian penduduk desa, hanya perlu menjadi saksi. Kami yang akan menangkap sang hakim. Tak perlu takut!"

Orang-orang desa yang sedang dicekam kebingungan itu tak tahu harus berbuat apa. Sang kepala desa tampaknya membiarkan saja ketiga orang yang mengaku perwira dari pemerintah pusat itu mengatur-atur. Tak lama kemudian dikirim kabar ke Desa Batu Barat mengenai apa yang terjadi dan agar mereka berkumpul di kediaman Hakim Haus Darah, untuk bersama-sama dengan warga Desa Batu Timur menjadi saksi penangkapan sang hakim. Rencana itu akan dilaksanakan besok pagi, karena saat ini hari telah menjelang senja.

Sementara itu jauh di ujung pelosok desa tampak seorang pemuda berjalan perlahan-lahan memasuki pintu desa. Telaga adalah pemuda itu. Masih berdebar-debar ia mengingat pertemuannya dengan orang tua berbaju kasar dua warna itu. Tak ingin ia melibatkan diri sebenarnya, tapi rasa ingin tahunya mengalahkan nalar untuk menyelamatkan diri. Ingin dicarinya keterangan, bagaimana akhir dari peristiwa ini.

Dilihatnya kerumunan orang dikejauhan telah bubar. Masing-masing orang bergegas berjalan ke arah masing-masing. Tak tahu harus ke mana, Telaga menuju ke suatu warung makanan yang ada di pinggir jalan. Ditujunya sebuah meja yang masih kosong. Beberapa meja telah terisi oleh orang-orang yang berkumpul dan berbicara dengan meriah. Sebagian orang berasal dari kerumunan tadi, sebagian tetap duduk di meja untuk mendengarkan hasil pendengaran rekannya yang bergabung dalam kerumunan tadi.

"Mau makan apa, nak?" sapa seorang pelayan yang menghampiri meja Telaga dengan ramah.

"Yang murah saja, paman," jawab Telaga sopan. Lalu tanyanya sambil lalu, "ada peristiwa besar ya, paman? Kok orang-orang itu pada sibuk ngobrol-ngobrol."

"Ya, nak. Anak pasti bukan orang sini," katanya sambil melihat Telaga. Sudah jelas dapat terlihat dari warna kulit dan juga pakaian yang dikenakan Telaga. Sudah banyak memang pedangan dan orang luar yang berdiam di sini sejak Hakim Haus Darah "memerintah", akan tetapi tetap saja penduduk asli kedua desa adalah mereka-mereka yang berkulit kebiruan dan kehijauan.

"Iya, paman. Saya lagi merantau. Saya berasal dari utara," jawabnya cepat. Tak ingin ia membicarakan asal-usulnya kepada orang yang belum dikenalnya.

Mengangguk-angguk sang pelayan mendengar jawaban yang sopan akan tetapi pendek dan tegas itu. Lalu dengan senang hati diceritakannya apa yang terjadi. Mengenai ditemukannya jenasah Ki Rontok oleh gadis-gadis yang sedang mencuci dan mandi. Lalu munculnya dugaan bahwa itu dilakukan oleh Hakim Haus Darah dan juga adanya perwakilan dari pusat, tiga perwira, yang ditugaskan untuk menangkap Hakim Haus Darah. Sudah tentu cerita itu ditambah-tambahinya dengan bumbu-bumbu sehingga semakin menarik dan dramatis.

Telaga yang telah tahu sebagian besar kejadian sebenarnya hanya tersenyum menangguk-angguk, sambil sesekali memberi komentar pendek dan bertanya sana-sini. Semua dijawab dengan lancar oleh sang pelayan, yang amat senang ceritanya dilayani dengan antusias. Sampai-sampai ia kemudian dipanggil oleh atasannya untuk melayani. Dikatakan bahwa ia bertugas mencatat dan mengantarkan pesanan, bukan bercerita. Dengan malu-malu sang pelayan meminta maaf sambil kembali menegaskan pesanan yang diminta Telaga. Kemudian ditinggalkannya Telaga.

Tak berapa lama pesanannya pun datang. Cukup sederhana Pepes Keuyeup, Gule Julung-julung, Daun Singkong Bakar dan Sejumput Sagu Rebus. Takjub pula Telaga melihat makanan yang belum pernah dilihatnya dipadukan sedemikian rupa. Agak ragu dicobanya makanan-makanan itu. Rasa aneh tapi lezet tercipta saat rupa-rupa makanan itu menyentuh lidahnya. Tiada lagi ragu sekarang, dilahapnya semua yang dihidangkan sampai licin tandas. Setelah selesai dipanggilnya lagi pelayan itu dan dibayarkannya makanan yang tadi telah disantapnya.

Sekarang Telaga tak tahu harus bagaimana, perut telah terisi dan hari telah menjelang malam. Ia tidak punya tempat menginap. Di desa itu kelihatannya hanya ada warung itu dan tidak penginapan. Dicarinya sebuah tempat di antara batu-batu untuk merebahkan badannya. Dipilihnya suatu legokan yang terletak agak di luar desa. Saat akan merebahkan dirinya, tampak olehnya pelayan yang di warung tadi. Begitu melihat dirinya, pelayan itu pun tersenyum dan menghampiri, lalu sapanya, "tidak tidur di rumah nak?"

"Maaf, paman. Saya tidak kenal siapa-siapa di sini. Jadi bermalam saja saya di luar. Sudah biasa kok," jawabnya sopan.

"Marilah mampir," katanya, "kebetulan saya tinggal hanya dengan putri saya. Cukup tempat bagi kami untuk masih menampung satu orang lagi. Marilah..!" Tangannya sambil menggapai mengisyaratkan Telaga untuk ikut padanya.

Maka berjalanlah mereka berdua menuju rumah paman pelayan itu, yang kemudian memperkenalkan dirinya sebagai Arasan. Arasan tinggal di rumah itu hanya dengan putri satu-satunya. Istrinya telah meninggal karena sakit, sejak putrinya masih kecil. Arasan mengatakan pada Telaga bahwa rumahnya agak di luar desa letaknya. Ia lebih suka kesunyian saat beristirahat, akan tetapi suka keramaian saat bekerja. Itulah sebabnya mengapa ia bekerja sebagai pelayan. Dengan bekerja sebagai pelayan dapatlah ia banyak bercakap-cakap dengan pengunjung, sebagaimana dilakukannya tadi dengan Telaga. Dan juga bisa banyak informasi yang diperolehnya dari orang-orang yang mampir untuk makan di warung tempatnya bekerja itu.

Tak berapa lama sampailah mereka di sebuah rumah yang cukup sederhana apabila dibandingkan dengan rumah-rumah di atas batu yang terdapat di dalam Desa Batu Timur. Tidak dihias macam-macam, melainkan hanya berwarna alami. Batu dan kayu belaka. Akan tetapi lingkungannya yang masih alami dan juga adanya sebuah aliran kecil air di dekatnya, membuatnya lebih terlihat natural ketimbang rumah-rumah di atas batu yang telah ditambah-tambahi pernak-pernik.

"Beda ya, sama yang di dalam desa..?" pancing Arasan. "Saya tidak suka aneh-aneh seperti orang-orang. Selain tidak bagus juga mahal."

Telaga mengangguk-angguk, lalu jawabnya, "bagus juga, paman. Malah lebih terlihat alami dan cocok dengan lingkungannya. Tidak terlihat asal dalam menatanya." Lalu tanyanya, "Paman sendiri yang buat?"

Arasan tersenyum menggeleng, "bukan, tapi putriku. Nanti kuperkenalkan. Senang pasti hatinya, bertemu dengan orang yang memuji hasil karyanya."

Bertanya-tanya Telaga dalam hati, bagaimana rupa dari putri Arasan. Sekilas dibayangkannya apabila begitu wajah Arasan, pastilah ada mirip-mirip darinya pada wajah putrinya. Seakan-akan pernah dirinya melihat wajah itu. Tapi lupa.

Lalu naiklah mereka ke atas rumah melalui sebuah tangga batu yang dipahat sedemikan rupa pada batu-batu sebesar lima-enam kerbau bunting itu. Sampai depan rumahnya, berseru Arasan memanggil putrinya,

"Sarini, putriku! Ayah pulang. Lihatlah ada tamu kubawa serta.."

Tak lama menyahut suara dari dalam rumah itu, "Ayah, selamat datang."

Lalu muncullah putri Arasan. Hampir berhenti jantung Telaga begitu melihat wajah gadis itu. Wajah salah seorang gadis yang dilihatnya tadi di Danau Genangan Batu. Untung saja gadis itu tidak tahu bahwa ia ada di sana. Walaupun ia tidak mengintip mereka dengan sengaja, tetap saja ia merasa malu. Arasan yang tidak mengerti duduk persoalannya, merasa bahwa Telaga adalah pemuda yang masih malu-malu terhadap seorang gadis. Seorang pemuda yang lugu.

"Mari.., mari masuk..!" ajaknya.

Sang gadis pun mempersilahkan ayahnya dan tamu ayahnya masuk. Diambilnya barang-barang ayahnya yang merupakan bahan makanan bagi mereka besok pagi. Biasanya keluarga itu makam malam terpisah. Sarini makan sendiri, sedangnya ayahnya telah makan di warung tempat ia bekerja. Telaga juga kebetulan telah makan tadi di sana. Jadi tidak ada acara makan malam saat itu.

Rumah itu cukup besar, dengan tidak terdapat ruangan lain di dalamnya. Akan tetapi terdapat sekat-sekat dari daun kelapa yang berfungsi membentuk ruang. Ruang depan dan ruang belakang, tempat yang berfungsi sebagai dapur. Arasan pun meluruskan kakinya pada salah satu sudut dari ruang depan. Telaga mengikutinya. Tak lama kemudian muncul Sarini membawa sejenis minuman yang dihidangkan dalam gelas atau mangkuk yang terbuat dari batok kelapa yang dipancung atasan. Bibuat sedemikian rupa sehingga pada salah satu ujungnya ada tempat untuk meletakkan bibir, sehingga mudah untuk mengunakan gelas atau mangkuk itu untuk menghirup isinya.

Setelah sedikit melepaskan lelah kemudian mereka pun terlibat dalam pembicaraan, terutama pembicaraan mengenai peristiwa yang terjadi hari ini yang berkaitan dengan kasus Hakim Haus Darah. Juga mengenai munculnya ketiga perwira yang akan menangkap sang hakim. Ibu Sarini ternyata bukan berasal dari desa ini melainkan dari Desa Batu Barat. Mirip seperti kasus Walinggih si Hakim Haus Darah. Akan tetapi Sarini tidak mewarisi kulit ibunya, melainkan ayahnya. Jika orang tidak mengenal sejarah keluarga itu, pastilah dikira bahwa Sarini merupakan penghuni asli Desa Batu Timur.

Tak lama kemudian mereka tidurlah. Memang sudah menjadi kebiasaan keluarga yang terdiri hanya dari anak dan ayah itu tidur tidak terlalu larut. Salah satu hal karena mereka harus bangun pagi-pagi untuk kembali bekerja, juga secara diam-diam Arasan ternyata adalah seorang berilmu juga. Ia melatih anaknya Sarini diam-diam, hanya di pagi hari. Di saat orang-orang belum bangun. Hal ini diketahui Telaga pada esok paginya.

"Huut, hyaaaaa..!" teriak suara seorang gadis. Sambil meloncat disabetkan tangannya miring ke atas menuju kepala seorang tua di depannya. Orang tua itu mengelak tipis, memutar tubuhnya, menangkap tanggan yang lewat lembat karena telah mencapai batas sendinya, menekuk dan melemparkan gadis itu. Alih-alih terjatuh, gadis itu bersalto sekali di udara dan mendarat dengan teguh pada kedua kakinya. Pendaratan yang ringan, hampir tidak memperdengarkan suara, hanya terdengar napasnya yang tersengal sedikit. Dan sedikit keringat menetes pada wajahnya yang manis kemerahan itu. Gadis itu adalah Sarini dan orang tua itu adalah Arasan. Mereka berdua sedang melatih ilmu keluarga mereka Sabetan dan Tangkapan Tangan. Ilmu beladiri tangan kosong yang menggunakan telapak tangan untuk menyabet bagian-bagian tubuh seperti kepala dan pundak leher. Juga adanya tusukan-tusukan, tetap dengan menggunakan telapak tangan yang dibuka. Tujuaannya adalah ulu hati dan tengah hidup di antara kedua mata. Selain serangan ada pula tangkisan dan tangkapan. Barusan yang diperagakan oleh Sarini adalah jurus Menebang Kelapa dan dibalas oleh ayahnya dengan jurus Berkelit Membanting Padi, mirip gerakan-gerakan membanting-banting rumput padi yang ingin dirontokkan butir-butiran gabahnya.

Terbangun oleh hentakan-hentakan itu, Telaga lalulah turun dan menyaksikan dari dekat penyebab bunyi-bunyian itu. Kedua orang yang sedang berlatih itu menyadari kehadirannya dan menghentikan latihan dan kemudian menyapanya. Tanpa berbasa-basi lebih lanjut Arasan kemudian mengajak Telaga untuk ikut berlatih. Ia memperagakan sedikit-sedikit gerakan dan menyuruh Arasan untuk menirukannya. Dikarenakan telah mempelajari Tenaga Air, dapat dengan mudah Telaga menirukan gerakan-gerakan yang pada dasarnya lemas itu. Sampai pada gerakan yang menghentak, agar susah ia mencobanya.

"Nak Telaga, pernah belajar ilmu beladiri?" tanya Arasan begitu melihat kemudahan Telaga dalam menirukan jurus-jurus lemas yang diperagakannya.

"Belum, paman Arasan. Saya hanya belajar cara menghimpun hawa saja," jawabnya jujur.

"Ah, itu sebanya engkau bisa menirukan dengan baik jurus-jurus lemas tapi tidak yang menghentak," kata Arasan sambil mengangguk-angguk. Lalu tanyanya kemudian, "boleh paman tahu apa nama ilmu penghimpun hawa yang engkau telah pelajari?"

Ragu sejenak Telaga mendengar pertanyaan itu, ia tidak tahu apakah pertanyaan itu harus dijawab apa tidak. Sebagai keturunan terakhir Pelestari Ilmu dari Tenaga Air sudah seharusnya ia merahasiakan hal itu.

Melihat keragu-raguan Telaga, berkatalah Arasan kemudian, "tak perlu kau katakan pun, kelihatannya aku dapat menebak asal ilmumu. Engkau pernah berkata bahwa engkau datang dari utara. Salah satu penerus ilmu-ilmu lemas adalah sebuah keluarga yang tinggl di Danau Tengah Gunung di Gunung Berdanau Berpulau di utara Padang Batu-batu. Guruku pernah bercerita mengenai mereka itu. Orang-orang yang hanya melatih Tenaga Air, akan tetapi tidak melatih bagaimana cara menggunakannya. Mereka hanyalah orang-orang yang bertugas sebagai Pelestari Ilmu dari Tenaga Air. Betulkan demikian?"

Telaga hanya tersenyum kecut begitu mendengar uraian Arasan. Banyak pengalaman ternyata paman yang berkerja sebagai pelayan di warung ini. Tak terlihat dari sosoknya yang sederhana.

"Marilah, nak Telaga. Guruku sendiri pernah berujar, sayang sekali bahwa orang-orang Pelestari Ilmu Tenaga Air itu tidak mempelajari ilmu bela diri. Mereka memang melestarikan ilmu itu tapi tidak mengamalkannya. Suatu saat jika ada kelompok yang tidak suka pada mereka, bisa saja mereka ditumpas dan ilmu-ilmu penghimpun hawa itu akan punah selamanya," jelasnya kemudian.

"Paman Arasan..," tanya Telaga bimbang, "bolehkan saya mengangkat paman sebagai guru.., maksud saya belajar ilmu beladiri dari paman.."

Tersenyum Arasan mendengar permintaan itu. Benar pikirnya. Anak muda ini bukanlah seorang pemuda biasa. Sudah tentu senang hatinya menjadi guru seorang pemuda yang telah mempelajari Tenaga Air.

"Sudah tentu, nak Telaga. Tapi jangan panggil aku guru. Dan hal ini harus dirahasiakan bahwa kamu belajar ilmu beladiri dari aku. Perihal mengapa, suatu saat akan kami ceritakan," jawabnya.

Telaga pun mengangguk. Mulai pagi itu Arasan pun mengajarkan ilmu-ilmunya, yaitu Sabetan dan Tangkapan Tangan. Awalnya Telaga memang terlihat tertinggal bila dibandingkan dengan Sarini akan tetapi lambat laun ia dapat menyusul dan terlihat lebih pandai, terutama untuk gerakan-gerakan yang memanfaatkan kelemasan. Ini sudah tentu dibantu dengan hawa dalam yang telah dimilikinya, yaitu Tenaga Air.

Setelah matahari mulai sedikit tampak, mereka pun menghentikan latihan. Arasan memang sembunyi-sembunyi dalam melatih anaknya Sarini. Ia tidak ingin dikenal sebagai seorang yang bisa ilmu bela diri. Ia ingin hidupnya aman-aman saja. Akan tetapi sebagai seorang ayah, sudah tentu ia tidak bisa selamanya bersama-sama dengan putrinya terus-menerus dan menjaganya. Untuk itulah ia mengajari putrinya ilmu Sabetan dan Tangkapan Tangan, untuk menjaga diri belaka.

Setelah sarapan Arasan dan Sarini mengajak Telaga untuk mengikuti kelanjutan peristiwa yang terjadi kemarin di daerah itu, yaitu penangkapan Hakim Haus Darah. Hari ini Arasan tidak bekerja, juga warung tempatnya menjadi pelayan tidak buka. Hal ini dikarenakan semua penduduk dari kedua desa akan berada di kediaman Hakim Haus Darah untuk memenuhi himbauan dari ketiga orang perwira dari pemerintah pusat, yang katanya akan menangkap Hakim Haus Darah atas tuduhan membunuh Ki Rontok.

Dalam perjalanan mereka apabila bertemu dengan orang-orang desanya, Arasan selalu memperkenalkan Telaga sebagai anak dari saudara jauhnya di kota besar, yang saat ini sedang menginap di tempatnya. Dengan cara itu orang-orang tidak akan curiga bahwa Telaga berguru kepadanya. Lagi pula saat itu topik mengenai Hakim Haus Darah sedang pada puncaknya, tidaklah keberadaan Telaga menjadi perhatian orang. Telaga dalam pada itu tak lupa menceritakan mengenai apa yang dilihatnya waktu ia berada di Danau Genangan Batu, tentu saja dengan muka merah mengingat adanya Sarini di situ. Sarini yang mendengar cerita itu amat tertarik, selain juga menjadi malu. Untung saja ia saat itu tidak ikut mandi bertelanjang tubuh. Jika tidak, pastilah seluruh penjuru tubuhnya telah dilihat Telaga dari kejauhan. Arasan mendengarkan cerita Telaga dengan serius, lalu usulnya agar Telaga untuk sementara menyimpan rahasia itu di tengah mereka bertiga dan juga kakek aneh yang ditemuinya itu. Arasan berpendapat bahwa jika persoalannya menjadi genting, bisa-bisa Telaga tersangkut-paut. Belum lagi alasan mengapa ketiga perwira pemerintah pusat itu menyembunyikan mayat Ki Rontok di legokan dalam Danau Genangan Batu. Masih banyak misteri yang tersimpan dalam peristiwa itu. Baiknya Telaga berhati-hati dulu. Mendengar alasan dan nasihat itu Telaga pun mengiyakan. Lalu berbicaralah mereka hal-hal lain yang lebih ringan, melihat sudah banyak orang yang berpapasan dan juga berjalan bersama-sama mereka ke tempat kediaman Hakim Haus Darah.

***

Telah berkumpul banyak orang di suatu tempat agak jauh ke selatan dari Danau Genangan Batu. Tempat kediaman Hakim Haus Darah, Walinggih. Sebuah rumah di atas batu, tampak sederhana. Di hadapannya tampak halaman atau bebatuan lapang cukup luas. Terlihat guratan-guratan pada halaman berbatu itu. Sesekali seperti guratan kaki, akan tetapi juga tampak seperti guratan yang dibuat menggunakan logam panjang. Pedang mungkin. Orang-orang yang pernah melihat Hakim Haus Darah melatih ilmunya, dapat mengenali bahwa gurata-guratan itu merupakan hasil peninggalannya saat ia berlatih pedang panjangnya di pelataran itu. Meninggalakn jejak kaki di atas tanah batu dan juga angin sabetan-sabetan pedangnya.

"Walinggih atau yang dikenal sebagai Hakim Haus Darah, keluarlah engkau..!" salah seorang dari tiga perwira perwakilan pemerintah pusat itu.

Sunyi tak terdengar jawaban. Penduduk yang mendengar ucapan itu menjadi merinding. Belum pernah sampai saat itu mereka mendengar ada orang yang berani menyapa Walinggih seperti itu. Baru kali ini. Mereka, para penduduk kedua desa berada pada keadaan terjepit. Ingin tidak hadir, akan tetapi berarti melawan wakil dari pemerintah pusat. Ingin ikut tapi jerih terhadap Walinggih.

Tak lama kemudian tampak pintu rumah di atas batu itu berderit terbuka. Seorang tua muncul dari dalamnya. Hampir saja Telaga menyeru perlahan karena miripnya wajah orang itu dengan orang tua yang ditemuinya di Gunung Genangan Batu saat dulu itu terjadi. Tapi setelah diperhatikannya dengan seksama, tampak perbedaan-perbedaan yang ada pada orang yang baru keluar itu. Memang sama-sama tua, dan tua karena pikiran, akan tetapi orang ini, Walinggih masih terlihat lebih segar dibandingkan orang tua kemarin. Juga rambutnya berbeda. Orang tua kemarin sudah putih semua, sedangkan Walinggih masih tercampur-campur antar rambut yang putih dan hitam. Hanya ada satu persamaan, yaitu baju yang dipakainya. Sama seperti yang dikenakan oleh orang tua kemarin dulu itu, yaitu sebelah berwarna kanan biru muda dan sebelah kiri berawarna hijau muda. Tapi tidak seperti orang tua kemarin yang berbusana bersih, baju Walinggih tampak kotor oleh bercak-bercak coklat kehitaman. Seperti bercak darah yang mengering.

"Huh, mau apa kalian orang-orang desa kemari?" jawabnya kasar. "Ada yang mau disembelih?"

Kecut hati sebagian hati orang-orang mendengarnya. Hanya beberapa yang cukup berilmu tidak, termasuk di antaranya ketiga perwira dari pemerintah pusat, Sarini, Arasan ayahnya dan Telaga. Juga beberapa orang yang berdiri di kejauhan, di atas batu tinggi. Ketiga orang yang pernah dilihat Telaga di Danau Genangan Batu tampak di antara orang-orang tersebut.

"Walinggih atau Hakim Haus Darah, kami tiga orang wakil dari pemerintah pusat, atas permintaan dari kedua desa ini hendak menangkapmu atau tuduhan telah membunuh Ki Rontok dari Desa Batu Barat," terang seorang dari mereka sambil dilemparkannya sebuah gulungan kertas. Kertas yang berisi perintah untuk menangkap Walinggih.

Lemparan itu bukan sembaran lemparan. Dalam jarak yang cukup jauh orang masih dapat mendengar deru gulungan itu. Kertas yang ringan akan tetapi dapat menderu dan menempuh jarak setinggi pohon kelapa untuk mencapai Walinggih yang berada di depan pintu rumahnya, menandakan kuatnya tenaga yang dimiliki oleh perwira tersebut.

Walinggih dengan santainya menangkap sambitan itu, membacanya sekilas kemudian lemparkannya melambung turun. Bersamaan dengan itu diayunkan pedang pajangnya menyilang beberapa kali dengan kecepatanya yang sukar diikuti oleh mata. Saat ia menapakkan kakinya dengan berdebam di atas bebatuan di pelataran di depan rumahnya. Turun potongan-potongan kertas perintah penangkapan atas dirinya tadi. Halus bagai salju atau serbuk sari bunga yang terbawa angin. Benar-benar ilmu pedang yang dahsyat.

"Hmm..," kata seorang dari mereka bertiga, "apakah itu artinya bahwa engkau menolak perintah pemerintah pusat?"

Walinggih tersenyum jumawa, lalu katanya, "Bila pedang sudah bicara, tak perlu ada kata-kata lagi. Mana pemerintah pusat saat di sini ada penekakan oleh pedagang dan preman? Mana pemerintah pusat waktu keluargaku dibantai? Giliran sekarang sudah beres, baru datang. Huh!"

Seorang dari ketiga perwira itu masih berusaha membujuk, "serahkan dirimu, Walinggih! Kami akan beri peradilan bagimu. Juga dengan melihat latar belakang tindakanmu itu. Biarkan hakim sebenarnya yang memutuskan."

Alih-alih menyetujui saran itu, Walinggih malah mendengus dan meludah ke kanan-kirinya. Melihat penghinaan itu dan juga sikap bahwa ia masih mengandalkan kekuatannya, ketiga perwira itu saling bertukar pandangan mata. Lalu secara bersamaan mereka bergerak maju.

Ketiganya telah mengelilingi Walinggih. Bersenjatakan tongkat setinggi pinggang. Dua buah. Satu di tangan kanan dan satu di tangan kiri. Tongkat khas penjaga penjara para tahanan. Ketiganya kemudian menyerang bersamaan. Satu menyabet ke arah kepala, yang kedua ke arah perut dan yang ketiga ke arah kaki. Hampir tertutup semua ruang gerak Walinggih, diserang dari ketiga arah pada ketiga ketinggian yang berbeda. Benar-benar serangan yang lengkap.

Akan tetapi bukan Hakim Haus Darah apabila dengan serangan seperti itu dapat langsung ditumbangkan. Dengan tenang ia melangkah mundur mendekati orang yang menyabetkan tongkatnya ke arah kepalanya. Ditundukkan kepalanya sehingga serangan itu luput. Akibat mundurnya itu, dua serangan yang di depan kiri dan kanannya pun tak mengena. Bersamaan dengan itu diayunkan pedang panjangnya ke kiri dan kanan. Pedangnya lebih panjang dari tongkat ketiga orang itu, akibatnya kedua orang yang menyabet kaki dan perutnya terpaksa mundur setelah serangan mereka gagal. Tidak sempat ada serangan kedua karena pedang Walinggih telah mendekati. Hampir mencium perut-perut mereka.

Selagi orang yang di belakang Walinggih tertegun melihat serangannya gagal, diputarnya pedang panjangnya sedemikian rupa sehingga ujungnya berarah ke belakang. Lalu dihujamkannya ke arah di mana orang itu berada. Tak diduganya bahwa Walinggih akan menyerangnya tanpa membalikkan badanya membuat kewaspadaan orang itu berkurang. Untung saja refleksnya masih bekerja, digesernya badannya sedikit ke samping sehingga pedang Walinggih hanya menderukan angin di pinggir kulit pinggangnya.

Bekeringat dingin ketiga perwira itu. Dalam serangan pertama, dalam satu jurus mereka hampir dikalahkan oleh Walinggih. Serangan mereka yang umumnya membuahkan hasil dapat dimentahkan dengan serta-merta.

"Bagus..!" ucap salah seorang dari mereka.

Kembali ketiganya maju serantak, tapi kali ini tidak berani sekaligus menyerang melainkan satu per satu. Saat satu orang menyerang, temannya membantu dengan menjaga serangan balik Walinggih. Cara ini ternyata lebih berhasil, sulit Walinggih menyerang balik dengan tepat. Ada dukungan dari kawan di kiri-kanan dari sasarannya.

Pertempuran itu pun berlangsung seru. Sudah setengah hari tiada tanda-tanda akan berkesudahan. Matahari sudah menempati titik kulminasinya. Sebagai seorang manusia, sudah pasti dimiliki batas daya tahan untuk terus bertempur. Bagitu pula dengan ketiga orang perwira itu. Mereka tidak biasanya menangkap para penjahat sampai selama ini. Belum pernah sebelumnya. Pada Walinggih tidak terlihat tanda-tanda ia menjadi lelah. Mungkin kegilaannya itu yang membuat ia tidak bisa lelah. Menyadari bahwa jika pertempuran berlarut-larut berlangsung, dapat saja kekalahan menyambangi pihaknya, salah seorang dari ketiga perwira itu memberi isyarat pada sekelompok orang yang berdiri di atas batu tinggi di kejauhan. Kelimanya bergerak ringan, turun dari batu dan bagai melayang tiba di arena pertempuran.

Semakin kecut penduduk kedua desa melihat bahwa akan ada lagi tokoh-tokoh yang berlaga. Arasan, Sarini dan Telaga juga semakin tertarik melihat bahwa kelima orang yang tadi tak begitu jerih pada Walinggih ternyata juga orang-orang yang berilmu.

"Hehehe, akhirnya muncul juga orang-orang Asasin," kata Walinggih begitu melihat kedatangan lima orang itu. "Jadi begitu...! Perwira wakil pemerintah pusat bekerja sama dengan pembunuh bayaran. Hahahaha, benar-benar 'penegakan hukum'."

Tak terpancing emosi ketiga perwira itu juga para Asasin. Lalu ucap salah seorang perwira, "Walinggih, urusan apa pekerjaan mereka kami tidak tahu-menahu. Mereka-mereka ini hanya membantu kami dalam menunaikan tugas untuk menangkapmu. Itu saja."

"Hehehe, tak usah berpura-pura," kata Walinggih, "sudah jelas mengapa dulu wakil pemerintah tidak datang, rupanya sudah sekongkol pemerintah dengan preman-preman dan pembunuh bayaran."

Mendengar itu berkecamuk pikiran dalam benak Telaga. Sedari tadi belum sekalipun Walinggih mengaku telah membunuh Ki Rontok. Dan dengan adanya kelima orang itu, yang disebut sebagai Asasin. Di mana tiga di antaranya adalah orang-orang yang dilihatnya menyembunyikan mayat, menjadi semakin bingun Telaga. Masih dicobanya untuk memahami kejadian itu. Saat itu tangan Sarini menyentuh tangannya lembut, dengan isyarat dikatakannya bahwa Telaga sebaiknya tidak berbicara mengenai apa yang dilihatnya itu.

Kedelapan orang yang telah mengurung Walinggih itu, alih-alih menjawab pernyataanya, malah bergerak berputar, langsung menyerang. Dongkol pula Walinggih bahwa ucapannya tidak ditanggapi. Di tariknya pedang panjangnya ke dadanya sehingga ujungnya menghadap ke atas. kakinya meregang terbuka selebar dada. Satu ke depan satu ke belakang. Ia sedang merapal jurus Sabetan Tunggal Menuai Dua, yaitu suatu jurus dari ilmu pedang panjangnya, di mana dalam satu serangan dua titik yang dituju. Dua titik dari dua orang lawan yang berbeda. Biasanya dua titik itu berada bukan pada dua orang lawan yang berdekatan atau berurutan melainkan berseberangan. Dengan cara ini biasanya dua orang lawan tidak akan sadar bahwa mereka berdua yang akan dituju. Lain halnya bila dua orang yang berurutan yang menjadi sasaran. Teman sebelahnya tentu waspada apabila rekan terdekatnya sedang diserang.

Walinggih belum tahu berapa lihai kelima orang Asasin yang beru berlaga itu. Ia pun tak punya waktu untuk mencari tahu. Dari pikirannya, dipandang mereka lebih lemah dari ketiga perwira perwakilan pemerintah pusat itu. Jika tidak, mengapa mereka butuh ketiga perwira itu untuk membalaskan dendamnya. Dugaan itu tidak salah. Kelima orang itu memang ingin membalaskan dendam kepada Walinggih atas pembunuhan yang dilakukannya pada rekan-rekan mereka dulu. Saat Walinggih membalaskan dendam atas kematian keluarganya. Sebagai seorang pembunuh bayaran, Asasin tidak mengerti kesedihan Walinggih. Pembunuhan bagi mereka adalah suatu profesi. Akan tetapi para Asasin pun menyadari bahwa Walinggih bukan orang sembarangan. Mereka saja tidak akan mampu menanganinya, untuk itu mereka berpura-pura meminta pertolongan pada pemerintah pusat, sehingga ketiga orang perwira itu dikirim.

Sebelum kedelapan orang itu bergerak, telah dengan cepat Walinggih mendahului menyerang. Diserangnya salah seorang Asasin yang berada di kirinya dengan tipuan tusukan. Akibatnya rekan-rekannya berupaya melindungi. Dengan menggunakan saat yang tepat diubahnya serangan itu ke arah dua orang di kanan dan belakangnya. Dua orang yang jauh dari sasaran pertama, juga kedua Asasin, tidak sadar akan kembangan serangan dari Walinggih. Mereka masih tenang karena merasa berada pada jarak yang aman.

"Settt...!" serangan kedua membuahkan hasil. Sasaran itu tertusuk pada pinggangnya dan berguling ke samping. Tak berhenti diputarnya pedangnya ke atas kepala dan dibacokkan ke tujuan berikutnya.

"Cappp...!" serangan ini pun membuahkan hasil. Terbelah simetris Asasin ini. Tak sempat ia menghindar karena masih terpesona pada luka yang diderita rekan sebelumnya.

Melihat hasil ini, keenam orang yang tersisa segera melompat mundur karena pedang Walinggih masih berpusing ke beberapa arah. Hanya tipuan. Tapi pada keadaan genting seperti itu tak ada yang berani coba-coba apa serangan susulah itu benar-benar atau hanya gertak belaka.

Kembali Walinggih memegang pedangnya rapat ke dada dengan ujung menuju ke atas. Kaki dibuka selebar bahu, ke depan dan belakang. Diatur napasnya tenang. Siap untuk serangan berikutnya.

Kecewa tampak wajah salah seorang perwira. Bantuan dari Asasin yang tampaknya akan memperkuat penangkapan ini ternyata sia-sia. Asasin hanyalah gentong kosong belaka, pikirnya. Omong besar di depan. Tak ada hasil setelahnya.

Tiga orang Asasin yang tersisa tampak geram. Sekilas melihat tahulah mereka bahwa kedua rekannya telah merengkuh ajal. Tak ada yang dapat dilakukan kali. Ketiganya saling menukar pandang dan mengambil sesuatu dari sakunya. Masing-masing membawa sebatang tabung kecil sepanjang lengan. Diujungnya terlihat sumbat kain terlekat.

"Hei..! Apa mau kalian..?" tegur salah seorang perwira demi melihat apa yang dilakukan oleh ketiga Asasin tersebut. "Tunggu dulu..!"

Akan tetapi terlambat, ketiganya telah melemparkan tabung itu yang telah dibuka sumbatnya ke arah Walinggih. Bukan ke atas melainkan ke tanah di sekitar Walinggih berdiri. Sekilas terlihat asap putih kekuningan keluar. Cairan kuning muda tampak mengalir keluar dari ketiga tabung itu dan langsung meresap ke dalam tanan.

Walinggih yang melihat itu tetap diam tak bergeming. Ia tak ingin hilang konsentrasinya pada posisinya untuk menyerang. Keenam orang itu masih di luar jangkauan pedangnya, tak dapat ia menyerang keenammnya. Oleh karena itu dibiarkannya tabung-tabung itu dilemparkan di sekelilingnya.

Tak berapa lama, seperti menunggu sesuatu bergeraklah sisa orang Asasin itu menyerang Walinggih. Dengan cara yang sama Walinggih menyerang mereka bertiga secara acak.

"Wuttt..!" hampir saja salah seorang dari mereka terkena. Masih sempat calong korban Walinggih itu bergeser mundur sehingga pedang panjang Hakim Haus Darah hanya lewat tipis di atas rampbutnya. Terasa sehelai dua rambutnya terpapas ringan. Keringat dingin menetes dengan sendirinya dan juga merindingnya bulu kuduk, membayangkan bila tadi bukan ramput yang terpapas melainkan kepala.

Walinggih kembali ke tengah. Kembali ke posisi semula. Tegak dan lemas. Siap melepas serangan lagi bagi pegas. Menyerang untuk kembali pada posisi bertahan.

Tiba-tiba terasa sesuatu pada kakinya. Tak berani ia melihat ke bawah, takut di saat sekejap itu ketiga orang musuhnya menyerang balik.

Orang-orang di sekitar Walinggih melihat bahwa cairan kuning susu yang tadi meresap ke dalam tanah, tampak muncul kembali dan tepat di bawah kaki Walinggih. Perlahan-lahan kumpulan-kumpulan cairan itu merayap naik. Seakan-akan hidup merambat merambat mereka pada kaki dan betis Walinggih.

Pada saat itulah sambil melempar senyum ketiga orang Asasin yang tersisa menyerang Walinggih sang Hakim Haus Darah dengan serentak. Membacokkan golokn mereka secara bersamaan.

Walinggih yang akan bergerak, tiba-tiba mearasa bahwa kakinya tidak lagi dapat digerakkan. Terpaku bagai akar pohon. Ini sudah tentu disebabkan oleh cairan kuning susu itu. Entah apa namanya. Masih dengan tenang Walinggih mendengus. Alih-alih menggeser kedudukannya, ia memutar pedang panjangnya sedemikian rupa sehingga terlihat ia akan membacok paha depannya sendiri. Di saat ketiga orang yang sedang mendekat padanya itu terpesona pada gerakan itu, Walinggih mencengkeram ujung pedangnya yang sedang mengayun. Ternyata pedang panjang itu bisa dibuat menjadi dua bagian yang kira-kira sama panjangnya. Dengan cantik serangan yang tadi diduga akan membelah pahanya itu menjadi melengkung ke atas dan membacok lawan-lawannya di kedua arah.

"Crakkk!" dan "croott!" lawan yang ada di kanan dan dirinya terpancung dagunya dari bawah. Bersamaan dengan terbelahnya muka mereka, terbang pula nyawa mereka dari raganya semula. Bersamaan dengan itu dua bagian pedang panjang yang masih bergerak ke atas kanan dan kiri itu melingkar ke atas menuju punggung Walinggih, di mana orang ketiga sedang menyerang.

"Heggg..!!" menyelinap golok orang ketiga ke pinggang Walinggih. Luka bacokan tak dapat dihindari. Akan tetapi pada saat yang bersamaan "crott!!" menghujam kedua potong goloknya ke kepala seorang Asasin yang masih tersisa itu.

Benar-benar pemandangan yang mengerikan. Ketiga Asasin tampak terbujur menjadi mayat. Sementara itu Walinggih si Hakim Haus Darah tampak masih gagah berdiri di tengah-tengah. Walaupun kakinya tak dapat bergerak dari atas tanah dan pinggangnya telah meneteskan luka, masih tampak wibawa dan keangkerannya.

Sunyi.

Tak tahan akan keadaan itu tiba-tiba Telaga melesat. Ia menyobek lengan bajunya untuk disematkan pada luka di pinggang Walinggih. Andai saja Walinggih belum terkuras habis tenaganya dan juga belum terluka, bisa tak selamat Telaga. Bisa dikira musuh yang akan menyerang oleh Walinggih. Tapi pada saat itu ia tidak bisa lain hanya menerima saja. Dan ia amat bersyukur bahwa anak muda itu hanya membalut lukanya.

Ketiga perwira itu tampak tertegun menyaksikan perbuatan Telaga. Mereka sebagai perwira tak ingin menyerang orang yang sudah tak berdaya. Mereka juga malu bahwa orang-orang yang menolong mereka ternyata menggunakan cara licik dengan memakai sejenis cairan yang tidak mereka kenal itu. Ketiganya tampak termangu. Seakan-akan menunggu Telaga sampai selesai membalut luka di pinggang Walinggih.

Walinggih merasa amat terharu atas sikap Telaga itu. Dipandangnya anak muda yang masih membalutnya itu. Teringat akan anaknya. Jika anaknya masih hidup, sudah pasti sebesar ini tentunya. Tiba-tiba dilihatnya suatu tanda di dada anak muda itu, yang bajunya sedikit tersingkap saat ia menyobekkan lengan bajunya, untuk dibuat bahan membalut. Terkesiap ia melihat semacam sinar temaram. Sinar yang hanya dimiliki oleh orang-orang seperti dirinya, yang pernah belajar ilmu dari guru yang sama.

"Siapakah, kau?" tanyanya tergagap.

"Maaf, paman.. Saya hanya tak tega melihat paman terluka. Sudah itu mereka-mereka ini licik sekali. Bertempur, kok menggunakan racun..," jawab Telaga sedikit malu. Ia seharunya tidak mencampuri urusan orang, akan tetapi perkataan orang tua yang berbusana sama dengan Walinggih ini mengingatkannya bahwa ia harus mengatakan kebenaran. Jangan disimpan.

Lalu Telaga pun menceritakan apa-apa yang dilihatnya kepada Walinggih juga kepada ketiga perwira wakil pemerintah tersebut. Isyarat Sarini untuk mencegahnya diabaikannya. Diceritakannya dari sejak awal ia berada di Danau Genangan Batu sampai perjumpaannya dengan orang tua yang berbusana sama dengan Walinggih. Orang itu juga dapat menjadi saksi mengenai apa yang terjadi.

Mendengar cerita Telaga, bergumam orang-orang yang berkerumun di sana. Juga ketiga perwira menjadi bingung mengenai apa yang harus dilakukan. Setelah mereka bertiga berunding, akhinya diputuskan bahwa untuk kasus ini sudah selesai. Dalam hal ini Walinggih tidak bersalah karena pelaku pembunuhan Ki Rontok adalah kelompok Asasin itu. Salah seorang perwira yang kemudian memeriksa saku-saku mayat Asasin kemudian menemukan jarum jahit dan benang kulit yang digunakan untuk menjahit kembali tubuh Ki Rontok. Rupanya mereka berlima sudah tidak sabar untuk membalaskan dendamnya kepada Walinggih, akhirnya dengan cara membunuh dan memfitnah Walinggih, diharapkan rencana mereka dapat berjalan. Sayangnya kemampuan silat mereka masih jauh dari mumpuni. Itupun masih dibantu dengan cairan kuning susu tadi.

Ketiga perwira pun membubarkan orang-orang desa. Akhirnya di sana hanya tinggal mereka bertiga, Walinggih, Telaga, Sarini dan Arasan. Ketiga perwira wakil pemerintah pusat yang tadinya berwajah keren dan galak itu, membantu Telaga memamapah Walinggih ke rumahnya di atas batu. Mereka tadi bersikap garang kepada Walinggih karena mereka yakin Walinggih adalah yang bersalah. Yang telah membunuh Ki Rontok. Akant tetapi sekarang, setelah terbukti bukan, bersikap mereka ramah seperti ke kebanyakan orang. Setelah itu mereka pamit, sambil tak lupa berpesan kepada Walinggih untuk meninggalkan tabiatnya yang cepat marah dan main hakim sendiri. Di kedua desa telah ada perangkat pemerintah, biarkan mereka yang mengatur, ucap mereka. Walinggih yang telah tersentuh oleh perawatan Telaga berjanji akan mengubah dirinya, tidak seganas dulu.

Tinggalah saa itu Walinggih yang terbujur lemah masih menahan sakit dan tiga orang di sekitarnya.

"Katakan sekali lagi, nak Telaga.. Bagaimana rupa orang tua itu?" pintanya pada Telaga.

Telaga kemudian menceritakan bagaimana rupa orang tua yang ditemuinya di Danau Genangan Batu dan apa yang dilakukannya sebelum berpisah. Mendorong dadanya secara halus dan menggetarkan isinya. Dikatakannya pula bahwa rupanya mirip dengan Walinggih, juga busana yang dikenakannya.

Tersenyum Walinggih mendengarkan kejadian itu. Katanya menghela napas, "kakangku itu Wananggo, masih saja mengawasiku dari jauh. Ia masih juga belum mau bertemu denganku."

Terdiam ketiga orang pendengar itu. Orang tua itu ternyata adalah kakak dari Walinggih. Wanaggo namanya. Pantas Telaga melihat banyak kemiripan di antara mereka berdua itu.

Walinggih kemudian bercerita bahwa Wananggo juga mengalami kesedihan yang sama dengan dirinya. Ia mengalami pula ditinggal keluarganya. Akan tetapi berbeda dengan Walinggih, istri dan anaknya meninggal karena penyakit, bukan dibunuh orang. Ada satu hal yang sama dari ketiga orang itu, Walinggih, Arasan dan Wananggo, yaitu mereka sama-sama beristrikan wanita bukan dari desa asal mereka. Jika Walinggih dan Wananggo yang berasal dari Desa Batu Barat yang kemudian memperistri wanita dari Desa Batu Timur. Sebaliknya Arasan yang berasal dari Desa Batu Timur memperistri wanita dari Desa Batu Barat.

Diterangkannya pula oleh Walinggih bahwa kakaknya itu mendorong halus dada Telaga untuk mengoperkan sedikit tenaga pada Telaga yang juga menjadi kesepakatan dari mereka bahwa Telaga adalah seorang yang cocok untuk dijadikan murid. Mendengar itu Telaga kemudian menceritakan bahwa ia sedang berguru pada Arasan. Arasan sendiri, sang guru tidak berkeberatan jika Telaga juga berguru pada Walinggih. Ia melihat bahwa Walinggih perlu teman. Dengan adanya teman akan lebih baik hidupnya. Dapat membantunya keluar dari kebiasaanya yang ganas seperti pada masa lalu. Walinggih pun berkata bahwa selama ia masih sakit, ia belum dapat mengajarkan Telaga. Jadi bisa saja Telaga berguru padanya setelah ia sembuh. Akhirnya disepakati bahwa Telaga tinggal bersama Walinggih dan baru berkunjung pagi-pagi buta untuk belajar. Selain itu para penduduk juga telah tahu bahwa Telaga bukanlah anak dari saudara jauhnya lagi, melainkan hanya mampir. Tidak baik bagi seorang gadis seperti Sarini bila ada seorang pemuda seperti Telaga, yang bukan keluarganya, tinggal serumah. Kedua orang tua itu tertawa-tawa mendiskusikan bagaimana mereka akan melatih Telaga kelak. Sedangkan orang yang dibicarakan tidak diberi kesempatan.

Melihat itu semua Sarini hanya tertawa kecil sambil sesekali melihat ayahnya. Belum pernah dilihatnya Arasan sesemangat itu membicarakan sesuatu. Apalagi terhadap orang yang ditakuti, Hakim Haus Darah.

***

Pemuda itu berjalan pelan mendaki gunung tinggi di depannya. Gunung Hijau. Gunung yang puncaknya tidak jelas karena tertutup awan. Paras Tampan nama pemuda itu. Ia adalah seorang dari lima pemuda yang sedang menghadapi ujian akhir dari gurunya Ki Tapa salah seorang penghuni Rimba Hijau. Di atas gunung ini terdapat persembunyian kitab-kitab ahli-ahli silat tinggi. Belum jelas bagaimana kabarnya mengapa banyak ahli-ahli silat tinggi menyembunyikan kitab-kitab mereka di gunung itu pada akhir hayat mereka. Ada yang menyembunyikannya di balik batu, di rumah di atas pohon, dalam ceruk, di lobang-lobang karang dan sebagainya. Saking sulitnya menemukan kitab-kitab itu, bolah dikatakan nasiblah yang menentukan. Atau dengan kata lain, kitab-kitab itu yang mencari penerusnya, bukan sebaliknya. Itu yang dikatanan gurunya Ki Tapa.

Paras Tampan berjalan perlahan masih saja tebing-tebing yang dilihatnya. Walau kadang ada jalan setapak, tapi tidak mengisyaratkan bahwa itu akan membawanya ke suatu tempat. Ia memutuskan untuk selalu mencari jalan yang lebih menuju atas, apabila menemui persimpangan. Semakin tinggi, mungkin semakin sakti orang yang meninggalkan kitab itu, pikirnya.

Berbagai tebing dan batu-batu telah ditelitinya. Batu-batu yang tinggi dan pendek. Celah yang lebar dan sempit. Juga pohon-pohon yang terdapat di sana. Sampai saat ini baru dua rumah pohon ditemuinya. Akan tetapi di sana tidak terdapat kitab apapun. Hanya beberapa baris tulisan. Tulisan dari orang yang juga mencari kitab. Tulisan mengenai keputusasaanya bahwa ia belum juga menemukan apa yang dicari. Tersenyum kecil Paras Tampan membaca tulisan itu. Ia tidak akan berkeluh kesah seperti orang yang menorehkan tulisan itu pada dinding rumah pohon. Ia akan berusaha sekuatnya untuk mencari kitab-kitab itu. Atau tepatnya ia akan terus berjalan, sampai kitab-kitab itu menemukan dirinya.

Hari telah menjelang senja. Paras Tampan telah sampai ke suatu batas di mana kabut tipis di atas Gunung Hijau terlihat bertambah lebat. Ia harus beristirahat. Sulit dalam kegelapan kabut dan juga malam untuk terus berjalan, bahkan dengan adanya bantuan obor yang telah dibekalnya tadi. Umumnya pantulan api obor akan malah menghalangi pandangan. Jalan yang dapat dilihat tidak sampai dua kambing ke muka. Benar-benar hampir buta rasanya.

Sementara masih berpikir untuk terus berjalan atau beristirahat, Paras Tampan mencari suatu tempat untuk melepaskan lelah dan memakan bekal yang menyertainya. Akhirnya diperoleh suatu tempat yang cukup nyaman. Legokan dalam batu-batu sebesar gajah. Memberikan ruang yang cukup untuk berlindung dari angin dan juga bila nanti turun hujan. Dibukanya perlengkapan yang dibawa. Lauk-pauk, obor, beberapa tali dan barang-barang lainnya. Dicarinya di sudut-sudut legokan itu, yang ternyata lebih menyerupai sebuah gua yang dangkal, dan didapatinya ranting-ranting bekas sarang binatang. Diambilnya beberapa buah yang kering-kering. Kembali ke tempat perbekalannya semula diletakkan dan mulailah ia membuat api sambil memakan perbekalannya.

Selang tak berapa lama dirasakannya kantuk dan juga lelah menyerang. Tak dapat ditahankannya. Ia pun lalu tertidur. Lelap sekali sehingga tidak diketahuinya beberapa mata sejenis makhluk menatapnya. Mata-mata yang dapat bersinar dalam gelap. Bila saja Paras Tampan tersadar, mungkin terkejut pula dirinya. Beberapa makhluk itu muncul mengitari dirinya dan menjamah beberapa barang-barangnya.

Geliat Paras Tampan dalam tidurnya mengagetkan mereka. Makhluk-makhluk itu langsung kabur sambil tak lupa membawa barang-barang yang bagi mereka menarik itu. Sebagian masih tercecer. Juga tali-tali yang dibekal oleh Paras Tampan.

Sinar matahari yang hangat datang menggelitik pelupuk mata Paras Tampan yang tertidur di legokan batu itu. Usikan sang surya membuatnya menggeliat sesaat untuk kemudian tersadar dan bangun. Masih galau ingatannya, di mana ia saat ini berada. Diingat-ingatnya kembali. Akhirnya disadarinya bahwa dirinya sedang mendaki Gunung Hijau untuk mencari kitab-kitab peninggalan para pendekar yang menyimpannya di sini. Di suatu tempat di gunung ini. Setelah ingatannya pulih sepenuhnya, dirasakan lapar menggaruk-garuk perutnya. Diedarkannya pandangan mata berkeliling. Seharusnya sisa perbekalannya kemarin ada di suatu tempat di sekitar tempat ia tertidur.

Tapi apa yang dilihatnya? Barang-barangnya berserakan, berceceran. Seperti ada seseorang atau sekelompok orang yang mengacak-acak barang-barang bawaannya itu. Makanannya tercecer-cecer juga obor dan lain-lainnya. Sejumput tali yang dibawanya masih tampak, akan tetapi lainnya telah raib. Penasaran Paras Tampan melihat hal ini. Geram dan juga bergidik. Bila benar ada seseorang atau sesuatu yang tadi malam mampir tanpa disadarinya, benar-benar berbahaya. Untuk saja tidak terjadi apa-apa dengan dirinya. Ia benar-benar telah teledor, dengan membiarkan dirinya terlelap begitu saja.

Setelah menenangkan dirinya dengan sedikit mengheningkan cipta, beranjak Paras Tampan keluar dari legokan batu itu. Dilihatnya langit cerah telah menantinya untuk kembali mencari kitab-kitab seperti yang dituturkan oleh gurunya, Ki Tapa. Di bawah sana, di bawah tebing di mana legokan tempat Paras Tampan tadi malam tertidur, tampak kabut awan tebal. Gumpalan putih itu menghalangi pandangan Paras Tampan ke kaki gunung, di mana Rimba Hijau berada. Bisanya ia berada di bawah sana tidak bisa melihat ke atas sini. Kali ini malah sebaliknya. Ia berada di atas sini dan tidak bisa melihat ke bawah sana. Pagi hari kedudukan gumpalan putih itu ternyata lebih rendah dibandingkan pada sore hari. Mungkin panasnya hari yang membawa gumpalan-gumpalan itu naik pada siang hari dan dinginnya malam yang membawanya kembali turun pada malam hari.

Teringat kembali Paras Tampan akan hilangnya perbekalannya. Dicari-carinya dengan matanya ke berbagai arah, siapa tahu tercecer masih barang-barangnya. Tak berapa jauh, kira-kira dua tiga tombak dilihatnya sejumput tali-tali yang dibawanya tergeletak terurai menuju ke suatu arah. Bergegas ia menghampiri. Menggulung kembali tali itu. Mungkin diperlukannya kelak. Baru dua gulung diperolehnya. Semua seharusnya tujuh gulung tali-tali sebesar ibu jari. Cukup kecil tapi ulet dan kuat. Terbuat dari rumput-rumputan yang diberi ramuan. Ringan tapi ulet, begitu kata gurunya.

Dengan berbekal ceceran tali-tali yang terurai itu berjalan Paras Tampan ke suatu legokan lain yang lebih lebar agak ke atas dari tempat ia tertidur tadi malam. Legokan ini sudah dilihatnya tadi malam. Dikarenakan bentuknya yang lebih luas dan lapang sehingga angin lebih leluasa untuk masuk, dipilihnya legokan yang kemarin dan bukan ini. Walaupun demikian ia telah juga memeriksa legokan ini. Kalau-kalau terdapat ruang atau gua tempat meletakkan kitab-kitab. Dan kali ini dijumpainya hal yang menarik.

Di ujung legokan batu tersebut, di tengah sebuah batu besar yang retak, tampak seutas tali yang dibawanya tersembul. Mustahil. Bagaimana talinya dapat tesembul dari retakan batu itu? Apa ada orang atau makhluk yang iseng menyisipkannya di situ. Bingung Paras Tampan memikirkan hal itu. Saat sedang termenung, datang kembali usikan sang usus. Meminta makan ia. Belum pagi ini perut Paras Tampan diisi. Sudah sewajarnya tuntutan alamiah itu datang. Teringat itu, kembalilah Paras Tampan ke bawah. Ke tempat ia tertidur semalam. Barang-barangnya masih berserakan di bawah. Dirapikannya. Dikemasnya. Masih tersisa sedikit penganan yang tidak terambil oleh suatu malam tadi. Dimakannya perlahan sambil kembali berjalan ke legokan di atas. Kembali memikirkan bagaimana tali itu dapat tersisipkan pada legokan batu.

Hari berlangsung dengan cepat tanpa dirasa bila ada yang dikerjakan. Begitu pula yang dirasakan oleh Paras Tampan. Tidak terasa senja telah kembali datang menjelang. Dan ia boleh dikatakan hampir tidak meninggalkan legokan itu. Dicari-carinya lubang-lubang. Diketuk-ketuknya batu. Dipanjatnya batu retak itu. Digali-galinya sedikit pasir yang terdapat dikakinya. Tapi hasilnya nihil Tak ada petunjuk sedikitpun bagaimana tali itu dapat masuk ke dalam retakan batu. Retakan itu seakan-akan begitu rapat. Tidak dapat dibuka. Tapi bagaimana tali itu dapat masuk? Makin bingung Paras Tampan dibuatnya.

Tiba-tiba datang gagasan pada diri pemuda itu. Bagaiman jika sesuatu yang mencuri tali-tali dan barang-barangnya itu datang kembali malam ini. Mungkin dari balik batu itu. Baiknya ditunggu saja. Ia kemudian memilih suatu tempat agak ke atas dari retakan itu. Kebetulan di sana terdapat pula legokan mirip liang. Bisa dimasukinya dengan memanjat. Kaki duluan baru kepala. Cukup luas, tapi ia tidak bisa sampai menekut lutunya. Cukup hanya untuk berbaring. Tapi cukuplah, ini hanya untuk keperluan mengintai, pikirnya.

Tunggu punya tunggu, hampir saja Paras Tampan yang terkantuk-kantuk itu tertidur. Kalau saja kakinya tidak kesemutan, bisa saja terulang kembali kejadian kemarin malam. Kembali tertidur saat sesuatu itu menggerayangi barang-barangnya.

"Kriiittt...!" suatu suara muncul memecah keheningan malam yang hanya diisi oleh suara jengkerik.

Mendengar itu semakin diam badan Paras Tampan. Diatur teratur nafasnya sehingga sedapat mungkin tidak terdengar. Diatur hawanya supaya tanda-tanda keberadaanya tidak dapat dideteksi oleh sesuatu itu. Sambil memicingkan matanya, dilihatnya bahwa batu tempat talinya tersembul dari retakan itu, terbelah. Perlahan tapi pasti sebuah liang gelap tersembul dari dalamnya. Teryata batu itu bisa berputar ke kanan dan kiri membuka.

Meloncat keluar dari dalamnya beberapa orang kerdil gemuk dengan hidung yang amat panjang, dua tiga kali hidung seorang dewasa, dilengkapi dengan rambutnya yang gondrong dan kusam. Telapak kaki dan tangan mereka lebar-lebar, menandakan mereka penggenggam dan penginjak yang kuat. Paras Tampan tertakjub melihat makhluk-makhluk itu melihat waspada ke kiri dan kanan. Ia pernah membaca mengenai makhluk itu dalam salah satu kitab di rumah gurunya. Di sana disebutkan makhluk itu bernama Troll, salah satu dari makhluk-makhluk elemen tanah atau Roh Tanah, di samping Manusia Tiga Kaki, Gnomen dan Orang Gunung (Bergmännchen). Disebut roh karena kadang mereka mempunyai kemampuan yang tidak dimiliki oleh seorang manusia, seperti kekuatan dan juga kebisaan untuk menghilang atau tidur lama sekali.

Para Troll itu memandang sekeliling ruang di depannya dengan waspada. Dilihatnya berkali-kali spasial di depannya. Berhati-hati agar tidak berjumpa dengan musuh-musuh mereka. Setelah yakin bahwa tiada yang mengintai mereka, para Troll itu pun beranjak pergi. Salah seorang diantaranya menggulung tali yang terjepit di retakan batu karang itu. Rupanya ia yang membawa-bawa tali itu sejak kemarin. Di pinggangnya terselip tali-tali lain milik Paras Tampan. Senang kelihatannya ia bermain-main dengan tali.

Temannya pun memanggil mereka. Mereka semua kembali ke lekukan batu, di mana mereka tadi malam menemukan Paras Tampan sedang tertidur. Para Troll itu mencoba mengulangi penjelajahannya kemarin. Malam ini mereka mengharapkan Paras Tampan tidak bergerak, sehingga mereke dapat melihat-lihat dan mengambil barangnya tanpa takut-takut. Sebenarnya seorang dari mereka terlihat enggan untuk ikut. Akan tetapi atas ajakan yang lain, mau tidak mau ia turut. Lebih besar rasa ingin tahunya ketimbang ketakutannya untuk melihat lagi manusia yang tertidur di sana seperti kemarin malam.

Tersenyum Paras Tampan melihat para Troll itu menghilang di balik batuan untuk berbelok ke bawah. Di lekukan tempat ia tertidur kemarin malam telah diletakkannya berbagai perlengkapan juga anyam-anyaman yang dibuatnya dari tali dan juga ranting-ranting. Mainan buat Para Troll agar mereka memberinya kesempatan untuk menyelidiki rekahan batu karang yang terbuka itu.

Setelah merasa yakin bahwa Troll-trol itu sedang sibuk dengan mainan-mainan dan perlengkapan yang dibuatnya, berbegas Paras Tampan beringsut keluar dari persembunyiannya. Hampir ia terjatuh bila tidak mengingat kakinya yang masih agak kesemutan. Jatuh dari ketinggian pohon pepaya itu, benar-benar dapat membuatnya remuk. Apalagi dengan kepala terlebih dahulu menyentuh lantai tanah berbatu itu. Selah kakinya agak baikan dengan digosok-gosok perlahan, mulai ia merambat turun. Perlahan, agar tidak memperdengarkan bunyi-bunyian yang dapat memancing para Troll untuk kembali. Ia belum mengetahui bagaimana mekanisma pembukaan dan penutupan pintu karang itu. Biarlah, yang penting sekarang ia masuk dan mencari-cari di dalam karang itu. Siapa tahu di sana terdapat kitab-kitab yang dicarinya.

Berbekal dengan keyakinan masuklah Paras Tampan ke dalam rekahan batu karang yang terbuka itu. Dibiarkannya dahulu agar matanya terbiasa dalam kegelapan. Tidak berani ia menggunakan obor karena takut terlihat oleh para Troll. Setelah agak lama, keadaan di dalam lorong itu ternyata tidak segelap dugaannya semula. Di dasar lorong terdapat sinar-sinar temaram yang berasal dari sejenis rumput-rumputan. Rupanya para Troll sengaja menanam tumbuh-tumbuhan itu sebagai penerang jalan mereka. Benar-benar suatu pemikiran yang maju. Melengkapi lorong-lorong mereka dengan penerangan.

Paras Tampan pun maju selangkah demi selangkah. Tak berani ia terlalu cepat karena tak tahu apa yang akan dihadapinya di depan sana. Lebih baik perlahan agar dapat lebih hati-hati. Sudah lebih dari sepeminum teh ia berjalan, hanya dipandu oleh rumput-rumbut yang bercahaya di dalam gelap itu. Sampai akhirnya ia menemui dua buah percabangan. Bingung hatinya. Tak tahu ia harus ke mana.

"Buk-buk-buk-buk..!" tiba-tiba terdengar langkah-langkah datang dari belakangnya. Terkejut Paras Tampan mendengar hal itu. Pasti itu para Troll yang telah bosan dengan hal-hal yang ditemuinya, dan mereka sekarang akan kembali ke dalam tempat tinggalnya ini. Paras Tampan berpikir keras dan cepat, kemana ia harus beranjak. Harus dipilihnya satu dari dua percabangan ini, ke arah ke mana para Troll itu tidak akan berjalan. Tapi tak ada pandung ke arah mana mereka akan menuju, sehingga ia bisa mengambil arah yang berlawanan. Cepat diperhatikannya kedua lorong di hadapannya itu. Lorong yang kiri tampak agak terang karena terdapat masih rumput-rumput penunjuk jalan yang ditanam di kiri dan kanannya, sedangkan lorong sebelah kanan tampak lebih suram. Malah boleh dikatakan tak ada tanaman berkilau dalam gelap itu di dalam lorong tersebut. Akhirnya dengan dasar bahwa lorong itu tidak digunakan, ia berjalan cepat memilih lorong yang kanan. Lorong yang serin gigunakan haruslah ditanami rumput-rumput itu, begitu pikirnya.

Dengan tersandung-sandung Paras Tampan berjalan memasuki lorong yang gelap itu. Sampai suatu saat tangannya menyentuh suatu legokan dalam dinding batu. Ditariknya badangnya untuk merapat dalam legokan itu. Dari sana masih dapat dilihatnya percabagan yang tadi. Bersinar temaram karena adanya Rumput-Rumput Berkilau Dalam Gelap di sana.

"Buk-buk-buk-buk..!!" terdengar langkah-langkah mereka semakin dekat. Sampai di persimpangan itu rombongan itu berhenti. Hal ini dikarenakan Troll terdepan menghentikan langkahnya. Nampaknya ia ingin berjalan ke arah di mana Paras Tampan bersembunyi. Berdegup Paras Tampan melihat adegan ini. Bila mereka berarah ke sini, bisa tertangkap dirinya. Uratnya pun menegang. Bersiap-siap untuk hal-hal yang akan terjadi.

Tampak temang sang Troll menggoyang-goyangkan tangannya sambil menunjuk-nunjuk arah lorong yang lain. Digeleng-gelengkan kepalanya, seakan-akan hendak mengatakan bahwa jangan memasuki lorong di sebelah kanan itu. Sebaiknya kita cepat kembali pulang, kira-kira katanya. Akhirnya Troll yang paling depan itu pun menurut, dan mereka mulai berjalan kembali melewati lorong yang sebelah kanan.

"Buk-buk-buk-buk..!" suara langkah-langkah itu terdengar lamat-lamat menjauh dan menghilang. Sunyai. Hanya tinggal suara degug jantung Paras Tampan yang masih dapat dirasakannya sendiri. Perlahan-lahan dilepaskannya ketegangan itu. Duduklah ia untuk mengatur napasnya.

Sunyi dan sepi, juga gelap.

Setelah ketenangan dan keberaniannya pulih kembali Paras Tampan berdiri. Mulai memperhatikan lorong di mana ia berada. Di arah berlawanan dengan percabangan itu tak dilihatnya sama sekali apapun. Benar-benar gelap gulita adanya. Akhirnya diputuskan untuk kembali ke percabangan, mengambil berapa Rumput-rumput Berkilau Dalam Gelap untuk dijadikan penerangan. Tak dapat ia berjalan begitu saja dalam gelap.

Dengan hati-hati ia kembali ke percabangan itu. Diambilnya sedikit rumput dari sejumput yang ada, begitu pula dari jumput lainnya. Tak ingin ia mengambil banyak dari satu jumput. Bisa ketahuan nanti kalau ada yang mencabut jumput itu. Paras Tampan telah memperhatikan bahwa jumput-jumput itu ditanam pada ukuran yang kira-kira sama berjarak satu sama lainnya. Benar-benar ditanam beraturan.

Sudah cukup banyak rumput-rumput di tangannya, Rumput-rumput Berkilau Dalam Gelap. Dilangkahkah lagilah kakinya kembali ke lorong sebelah kanan yang sama sekali gelap itu. Kali tidak terlalu karena telah ada rumput-rumput sebagai penerangan itu di tangannya.

Perlahan-lahan ia melangkah dengan melihat langkah-langkahnya dibantu rumput-rumput itu. Lorong itu ternyata berbeda dengan lorong sebelum percabangan. Dindingnya lebih halus dan terbuat dari bahan yang terlihat lebih keras dan dingin tapi kering. Akibatnya dirasakan juga tubuhnya sedikit agak menggigil saat melalui lorong itu. Berjalan ia perlahan-lahan tanpa tahu kapan atau apa yang akan ditemuinya nanti.

Waktu pun berlalu dengan amat lambat dalam lorong yang gelap itu. Paras Tampan akan tetapi tidak putus asa. Tak ada jalan lain, lebih baik ia terus menyusuri lorong ini. Untuk kembali resikonya lebih besar, yaitu selain akan bertemu Troll, juga ia belum tahu bagaimana cara membuka batu karang yang retak tengahnya itu. Bisa dikatakan jalan kembali tak ada kesempatan.

Tak berapa lama dilihatnya seperti ada cahaya di depan sana. Lamat-lamat. Ia bergegas berjalan cepat. Ada pintu keluar, pikirnya. Kegembiraan itu menurunkan kewaspadaanya, sehingga tiba-tiba, "dukkk!" Kepalanya terantuk dengan langit-langit lorong. Rupanya lorong itu sedikit memendek dan jalan di bawahnya menanjak. Karena cahaya datang dari tengahnya masih temaram, tak dilihat Paras Tampan perubahan itu.

Setelah mengusap-usap kelanya yang agaknya benjol, Paras Tampan mulai agak berhati-hati berjalan. Untung itu hanya langit-langit, bagaimana bila lubang atau jurang. Sudah mati dia bisa-bisa. Lorong itu pun bertambah pendek sehingga ia harus merangkat untuk melewatinya. Akan tetapi cahayanya yang terlihat dari ujung sana semakin jelas dan terang. Ini menambah semangat Paras Tampan untuk terus melangkah, akan tetapi tetap dengan hati-hati. Setelah merangkak beberapa saat sampailah Paras Tampan di suatu ruang yang cukup lapang.

Ruang itu terbuat dari batu cadas dengan tinggi kira-kira lima kali dirinya dan seluas sebuah sawah kecil. Udaranya bersih dan cahaya yang dilihatnya berasal dari lubang-lubang pada dinding batu sebesar pelukan tangan orang dewasa. Puluhan lubang terdapat di dinding batu berlawanan arah dengan lorong yang membawanya ke ruangan itu. Seperti jendela saja layaknya lubang-lubang udara itu terpasang pada dinding batu tersebut. Seakan-akan terpancing dengan adanya cahaya tersebut berjalan pelan Paras Tampan menyeberangi ruangan menuju jendela-jendela alam itu.

Di luar sana, dibalik dinding batu cadas besar tebal dan berlubang-lubang alami itu, sedikit dapat diintip oleh Paras Tampan hanya langit dan awan putih yang terlihat. Di kejauhan baru dilihatnya pepohonan dan juga sungai serta sawah. Lain tidak. Dicobanya untuk merampat naik ke salah satu lubang-lubang itu. Ingin dilihatnya hal lain yang ada di ujung sebelah sana.

Perlahan ia merangkak. Pelan. Sampai dua tombak lebih, sampailah ia di ujung sana. Hampir loncat jantungnya saat menyadari bahwa lubang-lubang itu bermuara pada suatu tebing yang tinggi di Gunung Hijau. Di bawahnya terdapat dinding cadas dan tinggi. Awan-awan putih susu tampak sesekali menghalangi pemandangan ke pada pohon-pohon hijau di bawahnya. Sudah pasti bukan jalan keluar lubang-lubang ini.

Dengan masih merinding mengingat ketinggian dinding di mana lubang-lubang itu berada dari bawah sana, Paras Tampan merangkak mundur. Ia tidak bisa berputar. Lubang itu terlalu kecil untuk berputar atau duduk. Satu-satunya jalan hanyalah mundur perlahan-lahan.

Paras Tampan telah berada kembali pada ruang semula. Diperiksanya dengan seksama, apa-apa yang ada di sana. Dua sisi lainnya selain lubang-lubang jendela dan lorong tempat ia datang tidak terdapat apa-apa melainkan hanya dinding batu cadas belaka. Hitam dan dingin. Berbeda dengan udara yang agak hangat akibat masuknya sinar matahari dari lubang-lubang itu. Kemudian ia berputar kembali pada dinding di mana terdapat lorong ia masuk ke ruangan itu. Lubang ke lorong terdapat di ketinggian sepinggangnya. Jauh di atasnya terdapat sebuah lubang lain. Cukup lebar dan tinggi. Akan letaknya jauh di atas, hampir dekat dengan langit-langit. Oleh karena tinggi dan kerasnya dinding itu tak memungkin kiranya ia untuk memanjat naik.

Diraba-rabanya dinding di hadapannya itu dengan tangannya, sampai ketinggian yang dapat dicapainya. Tiba-tiba ia bersorak girang, ada seperti anak tangga di atas itu. Tak terlihat karena warna dinding yang kelam dan tingginya tempat tersebut. Bergegas ia bergerak mundur mendekati lubang-lubang jendela. Dicobanya untuk meloncat-loncat agar tempat yang diduganya itu lebih jelas terlihat. Ada, soraknya dalam hati. Ada pijakan atau anak tangga di ketinggian lebih dari tinggi dirinya. Mungkin itu semacam anak tangga yang dirancang supaya lubang yang di atas itu tidak mudah dicapai.

Tiba-tiba didapatnya akal, dipanjatnya dinding tempat lubang-lubang jendela itu terletak. Mudah karena jarak masing-masing jendela tidak berjauhan. Setelah memanjat kira-kira dua kali tinggi badannya, Paras Tampan bersorak gembira.

Di hadapannya, di dinding di mana terdapat jalan masuk ke ruangan ini, terdapat semacam anak tangga. Anak tangga pertama lebih tinggi dari dirinya dan masuk lebih dalam ke arah dinding. Yang kedua setinggi dirinya dan masuk lagi lebih ke dalam. Berikutnya semakin rendah dan akhinya mengarah pada sebuah lubang di sampingnya. Lubang di mana jauh di bawahnya terdapat lubang tempat ia masuk tadi. Benar-benar akal yang cerdik untuk membuat anak tangga melebihi pandangan orang. Orang yang cepat putus asa tidak akan melihat anak tangga itu.

Sekarang tinggal bagaimana caranya ia melewati anak tangga pertama itu. Bila bisa, anak tangga berikutnya lebih rendah. Dan berikutnya lebih rendah lagi. Ada lima anak tangga semuanya. Setelah berada kembali pada dinding yang dimaksud ia berusaha meloncat ringan. Tangannya berhasil mencengkeram lantai di atas dinding itu. Tapi tidak cukup kuat untuk mengangkat dirinya naik. Berulang kali dicobanya. Masih saja gagal. Paras Tampan pun berpikir keras bagaimana naik ke atas dinding tersebut.

Salah satu cara adalah bahwa ia harus dapat melompat tinggi, setidaknya setengah pinggah lebih tinggi dari daya lompatnya saat ini. Kemampuan itu sulit untuk dilatihnya dalam waktu hanya beberapa saat saja. Butuh waktu lama. Harus ada pemecahan bagaimana caranya sehingga ia bisa melompak jauh lebih tinggi dari sebelumnya. Cara lain adalah dengan mencari pijakan sehingga ia dapat merambat naik. Cara ini mungkin lebih masuk akal. Akan tetapi dalam ruangan yang kosong ini bagaimana ia dapat menemukan sesuatu untuk mendukungnya?

Mungkin di lorong sana, tempat dari mana ia datang tadi ada sesuatu. Dengan berbekal pikiran itu Paras Tampan pun kembali ke lorong tersebut. Merangkat pelan. Agak sukar dibandingkan tadi karena sumber cahaya berada di belakangnya. Setelah sampai di tempat ia terantuk kepalanya tadi diedarkan pandangannya. Di salah satu sudut lorong, setelah diraba-raba ditemuinya dua buah batu yang cukup besar dan berat dengan permukaan atasnya rata. Seperti dipotong dengan sengaja. Dengan berdebar-debar penuh semangat didorongnya kedua batu itu perlahan-lahan pelan tapi pasti. Hampir habis tenaga Paras Tampan mendorong kedua batu tersebut, karena selain jarak yang jauh juga beratnya.

Duduklah Paras Tampan terpekur di dalam ruangan yang terang dan berudara bersih itu. Dua buah batu persegi empat yang rapih terpotong itu telah berhasil didorongnya. Ia perlu beristirahat sebentar untuk beristirahat. Tak lama kemudian pulih kembali tenaganya. Dengan bersemangat ia geser kedua batu itu berganti-ganti mendekati dinding, di mana lantai diatasnya paling rendah terlihat. Kemudian diangkatnya salah satu batu untuk ditumpangkannya di atas batu yang lain. Yang lebih kecil di atas yang lebih besar, agar lebih stabil. Berkeringat tubuh dan wajah Paras Tampan, menandakan banyak sudah tenaga yang dikeluarkannya untuk usaha itu.

Kemudian ia menarik napas panjang. Puas melihat pekerjaannya. Sekarang tinggal saatnya memanjat naik. Berhasil, tangannya sekarang dapat menggapai lantai di atas itu sampai siku. Dengan cara ini ia dapat menggapai lantai itu untuk menarik dirinya. Lalu melompatlah ia dengan menjejak ke kedua batu yang menjadi tumpuannya. Dan naiklah ia. Anak tangga kedua tidak begitu menjadi masalah karena memang lebih rendah ukurannya. Juga yang berikutnya sampai yang kelima. Akhirnya sampailah ia di lubang yang berbentuk mirip pintu itu. Hitam di dalamnya dengan sedikit cahaya terlihat di sisi kanannya. Sisi itu merupakan suatu pintu tanpa penutup yang mengarah pada suatu ruangan yang besar. Lebih besar dari ruangan sebelumnya dan lebih tinggi.

Hal yang membuat Paras Tampan gemetar menahan kegembiraannya adalah bahwa selain lubang-lubang yang sama seperti dalam ruang sebelumnya yang berisikan lubang-lubang udara, terdapat pula lubang-lubang lain yang berada di antaranya. Lubang-lubang yang berisikan berjilid-jilid kitab. Ruangan yang seakan-akan merupakan sebuah perpustakaan. Perpustakaan kitab-kitab kuno.



Pemuda itu melihat berkeliling. Di semua dinding dalam ruangan itu bertahta lubang-lubang yang masing-masing berisikan kitab-kitab kuno. Beratus-ratus jumlahnya. Dicobanya untuk melirik beberapa judul yang ada. Diantaranya bernama Jaga Kesehatan Tubuh dan Jiwa, Pukulan Inti Es dan Salju, Racun Selaksa Macam, Angin-angin, Tenaga Air, Seribu Ramuan, Batu-batu, Pukulan Tanpa Tanding, Seni Beperang, Ilmu Muda Selamanya, Tujuh Rahasia, Rancang Jiwa Raga dan masih banyak lainnya. Aneh-aneh judulnya. Gemetar pemuda itu membaca judul-judul yang ada. Ia hanya pernah mendengar salah satu dari judul-judul kitab tersebut dari gurunya. Dan Sekarang kitab-kitab tersebut berada di depan matanya. Siap untuk dilahap. Dipelajari.

Pemuda itu, Paras Tampan, hanya pernah melihat satu kitab ilmu silat yang ditunjukkan oleh gurunya, Jalan Selaras dengan Alam Semesta. Ilmu itu telah diajarkan kepadanya. Dengan berbekal ilmu beladiri tersebut ia dan saudara-saudara perguruannya secara terpisah mencari ilmu-ilmu lain yang konon katanya terdapat di gunung ini. Gunung Hijau, gunung yang terletak di tengah Rimba Hijau. Atas kehendak Sang Pencipta, hari ini Paras Tampan dapat menemukan gua ini. Gua di mana tersimpan kitab-kitab ilmu-ilmu dari segala penjuru angin. Teringat Paras Tampan pada keempat saudara seperguruannya: Asap, Misbaya, Rintah dan Gentong. Jika saja ia bisa menghubungi keempatnya, pastilah diajak keempatnya itu untuk berdiam di sini. Mempelajari bersama-sama kitab-kitab yang ada di sini. Tak akan kurang mereka bagi mereka berlima. Sayangnya ia tidak tahu di mana mereka berempat berada. Ia berharap bahwa saudara-saudara seperguruannya pun seberuntung dirinya, dapat menemukan kitab-kitab yang cocok bagi mereka. Ia sendiri malah bingung harus mulai belajar dari kitab apa.

Ia teringat akan pembicaraan dengan gurunya Ki Tapa pada suatu saat. Hanya mereka berdua.

"Paras Tampan, apakah kamu tahu apa yang dimaksud dengan Jaga Kesehatan Tubuh dan Jiwa, Angin-angin, Batu-batu dan Seribu Ramuan? Pernahkah engkau mendengarnya?" tanya gurunya hati-hati.

"Pernah guru, Asap pernah menceritakan pada kami bahwa itu adalah kitab-kitab yang dibawa guru atau perintah kakek guru ke Rimba Hijau ini untuk disembunyikan," jawab Paras Tampan.

"Benar. Itu adalah kitab-kitab titipan dari guruku Ki Makam. Kitab-kitab yang harus disembunyikan dari orang-orang Perguruan Atas Angin. Tapi itu cerita lama..," kemudian lanjutnya, "dan sekarang.."

Bingung juga Paras Tampan mendengar cerita gurunya yang tidak jelas itu. Pembicaraan yang tahu-tahu membahas keempat kitab yang hanya pernah didengarnya dari Asap itu.

Akhirnya gurunya menceritakan bahwa kitab-kitab itu telah dicuri darinya, saat ia baru masuk ke dalam Rimba Hijau. Ia tidak persis tahu bagaimana peristiwa itu terjadi. Hanya diingatnya sebelum dan sesudah ia menyadari bahwa kitab-kitab itu tidak berada lagi pada tempatnya, telah terjadi pertarungannya antara dirinya dengan Hitam-Putih, pemimpin dari kaum Manusia Tiga Kaki. Akibat dari pertarungan yang berlangsung lama itu, ia baru menyadari jauh hari kemudian bahwa kitab-kitab tersebut tidak lagi berada di tempatnya semula. Di balik tempat tidurnya, dekat dengan bagian kepala.

Kitab Jalan Selaras dengan Alam Semesta yang ada di tangan gurunya saat itu adalah potongan bagian akhir dari kitab Jaga Kesehatan Tubuh dan Jiwa. Kitab Jaga Kesehatan Tubuh dan Jiwa ternyata terdiri dari dua bagian. Bagian pertama berisikan cara-cara mengolah keempat macam elemen sebagai tenaga yang tertuang dalam jurus-jurus: Jurus Air, Jurus Tanah, Jurus Api dan Jurus Air. Sedangkan bagian kedua adalah Jalan Selaras dengan Alam Semesta yang merupakan implementasi dari Jurus Air. Entah kenapa tidak ada bagian lain dari kitab yang menerangkan penggunaan jurus-jurus lainnya, selain jurus air ini.

Dikarenakan oleh gurunya, Ki Tapa hanya diajarkan kitab Jaga Kesehatan Tubuh dan Jiwa, maka ia pun tidak begitu menaruh perhatian pada kitab-kitab lainnya. Pun gurunya saat itu sebelum kematiannya hanya sempat mengajari bagaimana cara mengolah keempat elemen tenaga tersebut. Tidak pernah disinggungnya ada bagian penggunaan dari Jurus Air pada bagian belakang kitab tersebut, yang boleh dikatakan seakan-akan merupakan kitab tersendiri yang sepertinya ditambahkan belakangan. Entah oleh siapa. Oleh karena itu Ki Tapa mencopot bagian tersebut, karena menarik untuk dipelajari lebih lanjut. Dan sering dibawa-bawanya kitab itu. Kebetulan saja Ki Tapa mencobot bagian tersebut, sehingga bagian kitab itu tidak sempat hilang bersama dengan kitab-kitab lainnya.

Kembali Paras Tampan dari kenangannya diperhatikannya sekarang dinding di mana kitab-kitab yang menggoda untuk dipelajari itu bertengger.

Tiba-tiba padangannya tertumbuk pada sesuatu tulisan di dinding. Dinding di pinggir rongga atau lubang tempat menyimpan kitab-kitab itu. Tulisan itu mirip prasasti. Huruf-hurufnya tampak dipahatkan dalam keadaan yang buru-buru. Arahnya tidak rata tiap barisnya. Semakin ke bawah, semakin miring dengan guratan yang tidak lagi dalam. Seperti ditulis seseorang dalam saat-saat terakhir hidupnya. Di sana tertulis,

"Bagi seorang manusia yang bisa membaca tulisan ini, ia berarti berjodoh untuk menjadi muridku, Penjaga Keseimbangan. Ia yang berjodoh harus meneruskan apa yang sudah kumulai. Bacalah itu pada kitab-kitab awal. Untuk menunaikan tugas, pelajari hanya ilmu-ilmu yang masih murni. Jangan lupa untuk..."

Tulisan tersebut berhenti di sana. Tampak seperti sang penulis telah tidak lagi memiliki kemampuan untuk menuliskannya. Dicobanya lagi mencari-cari apa-apa yang dapat dijadikan petunjuk pada sambungan tulisan itu di sekitarnya. Tidak ada. Hanya lambang-lambang aneh di awal tulisan yang kemudian terlihat olehnya. Lambang-lambang yang mirip dengan lambang-lambang yang pernah dijelaskan gurunya.

Bertanya-tanya juga Paras Tampan dalam hati apa kelanjutan dari kalimat "Jangan lupa untuk...". Tapi kemudian hal itu dilupakannya karena ia lebih tertarik untuk melihat di lain tempat, judul-judul kitab yang ada. Sebelum ia belajar, ada baiknya ia membaca dulu semua judul-judul yang ada, biar ada gambaran ilmu-ilmu apa yang tersedia di dalam ruangan itu. Untuk sementara tulisan pada dinding itu tidak diambil pusing.

Setelah hampir setengah hari melihat-lihat dirasakan bahwa perutnya telah berkukuruyuk. Lapar. Minta untuk diisi. Badannya juga terasa lelah. Sudah sejak malam kemarin ia belum beristirahat. Sepanjang malam ia lewatkan di dalam terowongan hingga sampai ke ruangan ini. Sedari waktu itu, belum ada makanan yang dilewatkan ke lambungnya. Teringat itu, Paras Tampan melupakan dulu kitab-kitab itu untuk mencari apa-apa yang bisa dimakan untuk menyambung hidupnya di tempat itu.

Dilihatnya kembali berkeliling. Di salah satu ujung ruangan, berlawanan dengan ujung lain tempat ia masuk ke ruangan yang penuh dengan kitab-kitab itu Paras Tampan menemukan semacam lorong lain. Sedikit berliku dan tidak terlalu gelap keadaannya. Dengan hati-hati ia mengikuti lorong itu sampai tiba di suatu tempat terbuka yang cukup luas. Mirip seperti semacam balkon alam yang terbuat dari batu dengan pandangan tebing ke bawah pada sisi kirinya dan dinding tebing menjulang tinggi pada sisi kanannya. Sebuah sungai jernih dan dalam membelah pelataran batu tersebut.

Sungai itu mengalir keluar dari lubang besar di dinding sebelah kanan dan jatuh membentuk air terjun pada sisi sebelah kiri. Sungai Batu Jernih. Di seberang sungai tersebut terdapat lagi dinding tebing yang tinggi dengan banyak lubang-lubang gelap di permukaannya. Tebing tinggi seperti dalam arah ia datang tadi.

Sungai yang keluar dari lubang, air terjun dan juga lubang-lubang pada dinding batu di seberangnya tidak terlalu menarik Paras Tampan. Matanya melirik pada sesuatu agak ke atas dari arah padangan matanya. Sesuatu itu adalah buah-buahan yang tergantung pada pohon yang tumbuh pada dinding batu di mulut sungai. Ranum dan segar kelihatannya. Ditambah dengan laparnya, ingin ia meraih untuk memakannya.

Dan sebelum Paras Tampan sempat berpikir bagaimana cara mencapai buah-buahan yang menarik hatinya itu, tiba-tiba dari dalam air yang jernih itu melompat seekor ikan berduri yang cukup besar. Hampir seukuran dirinya. Benar-benar ikan yang mengagumkan karena tubuhnya dipenuhi dengan sisik-sisik kasar seperti batu. Ekor dan sirip-siripnya berbentuk kipas. Matanya besar. Warna tubuhnya biru tua keunguan. Belum pernah Paras Tampan melihat ikan seperti itu sebelumnya. Dari gurunya ia pernah diceritakan adanya sejenis ikan purba berciri demikian yang bernama Kolakan (coelacanth), yang dalam suatu bahasa (Yunani) berarti duri berlubang pada sirip. Dan hal ini memang cocok dengan keadaan ikan ini. Di mana pada sirip-siripnya yang seperti kipas terlihat lubang-lubang.

Ikan Kolakan itu dengan tangkas melompat ke arah buah-buahan itu, tidak cukup tinggi sehingga ia dapat mencapainya. Akan tetapi dengan menggunakan kecipakan air yang masih melekat ditubuhnya ikan tersebut mengibas sedemikian rupa sehingga percikan-percikan air melesat bagai butiran-butiran batu. Pesat menuju buah-buahan itu. Dan "tak-tak" beberapa buah-buahan yang ranum itu terjatuh ke dalam air. Mengambang.

Alih-alih memakannya ikan besar itu menyundulnya dengan mocongnya dan melemparkannya ke hadapan Paras Tampan. Tertegun pemuda itu melihat hal tersebut. Tak tahu ia apa yang seharusnya dilakukan.

Sementara itu, ikan Kolakan tersebut kembali mengulangi beberapa kali pertunjukkan yang luar biasa itu sampai didapatnya kira-kira enam butir buah-buahan dari pohon itu, dan kemudian dilontarkannya kembali buah-buahan ke hadapan Paras Tampan. Ia seakan-akan ingin berkata bahwa buah-buahan itu dapat dimakan oleh sang pemuda.

Ragu-ragu Paras Tampan mengambil sebuah darinya. Diperiksanya perlahan-lahan. Mirip buah pir bentuknya akan tetapi harum seperti durian dengan warna yang biru memikat. Masih di sana ikan Kolakan itu mondar-mandir dalam sungai yang jernih. Seakan-akan ikan tersebut menunggu sang pemuda untuk memakan buah-buahan yang diberikannya.

Akhirnya dicobanya untuk untuk memakan buah yang telah digenggamnya itu. Perutnya telah lapar. Dan peristiwa "diberi makan" oleh seekor ikan menumbuhkan kepercayaan bahwa buah-buahan itu tidaklah beracun. Digigitnya perlahan. Manis dan berair. Lembut menyegarkan. Seketika dirasakannya asupan tenaga yang sedari kemarin malam belum diperolehnya.

Melihat itu sang ikan pun kemudian berkecipak pelan dan kemudian menghilang. Entah kemana. Ke sungai dalam tebing batu itu, atau ke dalam rongga-rongga batu di dalam sungai jernih tersebut. Terlihat sekilas di dalamnya terdapat rongga-rongga yang tak terhitung banyaknya.

Setelah habis satu butir tersebut Paras Tampan pun membungkus buah-buahan yang tersisa hasil pemberian ikan tersebut dengan baju luarnya. Dibawanya kembali ke ruangan tempat terdapat kitab-kitab yang berjajar dalam lubang-lubang di dinding.

Sesampainya di sana. Tiba-tiba saja datang rasa kantuk. Mungkin karena kelelahan dan juga pengaruh dari buah yang dimakannya itu. Paras Tampan tak dapat menahan rasa itu. Akhirnya diputuskan untuk tidur di salah satu pojok ruangan tempat penyimpanan kitab-kitab itu. Ia pun tak lama kemudian mendengkur. Pulas.

Langkah-langkah ringan hampir tak terdengar mendekat perlahan. Muncul beberapa sosok orang bertubuh gemuk pendek dengan hidung yang panjang serta berambut kusam. Telapan kaki dan tangan mereka lebar-lebar dan kuat. Troll. Beberapa sosok makhluk itu berjalan hati-hati mendekati Paras Tampan. Tidak seperti kemarin dalam lorong gelap yang diterangi Rumput-rumput Berkilau Dalam Gelap, di mana mereka berjalan dengan langkah-langkah berat dan berdebam, kali ini mereka berjalan ringan perlahan. Seakan-akan tidak cocok dengan postur tubuh mereka yang terlihat gempal dan berat.

"Kakak Ikan Berduri Bersirip Kipas baru saja memberi tahu ada seorang pemuda datang dari arah Ruang Kitab," kata seorang dari mereka.

"Bukankah ini pemuda yang kemarin?" tanya yang lain.

"Hehehe, betul. Pemuda yang bermalam di lereng di luar sana," jawab orang ketiga dari mereka sambil tersenyum. Senyum Troll tidak terlihat sebagai senyum bagi makhluk lain. Bahkan menambah seram bagi yang melihatnya.

"Seorang pemuda yang cerdik," kembali kata orang pertama, "ia bisa mengecoh kita untuk bermain-main dengan barang-barangnya sementara ia masuk ke sini."

"Bukankah adik Gobagkh telah menunjukkan bahwa ada seseorang yang berjalan ke lorong sebelah kanan kemarin malam?" tanya yang lain.

"Benar, tapi kakak Bagadsh sudah memerintahkan bahwa kita tidak boleh menghalang-halangi orang yang masuk ke lorong sebelah kanan. Biarkan nasib yang membawa mereka. Toh kita sudah sering membersihkan orang-orang yang akhirnya mati kelaparan di sana. Tak sampai mereka mencapai Ruang Kitab," kata temannya.

"Tapi pemuda ini benar-benar beruntung dan juga cerdik. Sudah bisa selamat dari Lorong Panjang Gelap. Kemudian bahkan bisa mencapai Ruang Kitab dengan menggunakan dua buah Batu Persegi yang disembunyikan itu, untuk naik tangga dalam Ruang Dinding Berlubang," kata seorang yang lain, "benar-benar berjodoh."

"Jadi..?" tanya seseorang dari mereka.

"Kita layani dia, seperti janji kita pada Maling Kitab atau yang lebih senang disebut Penjaga Keseimbangan, kakak Rawarang," tegas salah seorang dari mereka.

Rekan-rekan yang lain menangguk-angguk. Lalu mereka kemudian beringsut pergi dengan ringan. Meninggalkan Paras Tampan yang masih tertidur pulas di salah satu sudut Ruang Kitab. Tak tahu dirinya, bahwa dirinya tadi telah jadi bahan pembicaraan beberapa sosok Troll.

Mulai saat itu jika tidak diberi makan oleh ikan Kolakan yang dipanggil Ikan Berduri Bersirip Kipas sebagai kakak oleh para Troll, Paras Tampan mendapatkan bungkusan makanan yang terdiri dari buah-buahan, sayuran tanpa daging dan nasi, pinggir sungai jernih dan dalam di tengah pelataran batu tersebut. Mula-mula ragu-ragu ia memakannya. Akan tetapi rasa laparnya menang.

Kemudian ditemukannya tulisan pada salah satu kitab yang sepertinya merupakan buku harian dari orang yang menuliskan guratan pada dinding. Guratan yang belum selesai itu. Dalam kitab tersebut dituliskan bahwa orang yang berjodoh akan ditemani dan diberi makan oleh ikan Berduri Bersirip Kipas dan para Troll. Membaca demikian, yakinlah Paras Tampan bahwa yang memberikan bungkusan makanan itu adalah makhluk-makhluk Troll itu. Hanya herannya ia, mengapa makhluk-makhluk itu tak mau menampakkan diri kepadanya.

Dengan tidak mengambil banyak pusing terhadap keanehan-keanehan yang ditemuinya, Paras Tampan mulai membaca-baca kitab-kitab yang ditemuinya. Ditelusurinya dulu kitab-kitab yang disebut-sebut dalam Guratan Di Dinding sebagai Kitab-kitab Awal. Petunjuk mengenai kitab-kitab tersebut ditemuinya pada akhir dari buku harian sang penulis Guratan Di Dinding. Dengan mempelajari Kitab-kitab Awal yang merupakan dasar dari kitab-kitab lainnya, Paras Tampan dapat menghemat waktu. Tidak terlalu banyak yang dipelajari akan tetapi telah cukup memiliki kehebatan.

Ruangan sebelah yang disebut sebagai Ruang Dinding Berlubang oleh makhluk-makhluk Troll ternyata berperan dalam salah satu latihan yang dituliskan dalam Kitab-kitab Awal. Dengan menggunakan lubang-lubang tersebut dengan masih berada di dalam ruangan Paras Tampan belajar memanjat naik dan turun. Kadang kepala di atas kadang di bawah. Dengan cara ini ia dapat merampat naik dan turun pada dinding itu, berpijak pada lubang-lubang yang ada. Setelah cukup mahir untuk naik sampai langit-langit, latihan selanjutnya dilakukan di sisi luar dari dinding. Ia harus terlebih dahulu merangkak dalam salah satu lubang untuk mencapai ujungnya di dinding sebelah luar. Dengan ketinggian yang menggiriskan Paras Tampan berlatih naik dan turun kembali pada dinding.

Awalnya takut juga Paras Tampan berlatih di dinding sebelah luar. Akan tetapi karena pada dasarnya latihan yang sama, akhirnya dapat ia menekan rasa takutnya. Latihan di bagian luar ruangan itu, selain disertai bahaya untuk jatuh, juga adanya angin menyebabkan tangan dan kaki harus lebih kuat mencengkeram dan berpijak.

Lebih lanjut pada lubang-lubang, baik di luar dan di dalam ruangan terpahatkan simbol-simbol kecil yang menjadi urut-urutan lubang-lubang mana yang harus dipanjat atau dilalui. Tahapan ini baru boleh dilakukan setelah orang yang belajar kitab tersebut yakin bahwa cengkeraman dan pijakannya kuat pada dinding dan lubang-lubang itu. Dengan melalui latihan ini Paras Tampan dapat masuk keluar suatu lubang dalam dinding dengan cepat, untuk kemudian masuk dan keluar pada lubang lainnya. Tak terasa bahwa ilmu memanjat dinding, cengkeraman, pijakan sekaligus meringankan tubuhnya berkembang dengan pesat.

Sejalan dengan semakin berkembang ilmu yang dipelajarinya, semakin jarang pula ikan Kolakan tersebut menyediakan buah-buahan itu. Ia sekarang harus memanjatnya sendiri sekarang. Mengambil buah-buahan pada pohon yang terletak lebih tinggi pada dinding di atas lubang tempat keluarnya Sungai Batu Jernih tersebut. Jauh lebih tinggi dari pohon yang dapat dikecipak dengan air oleh sang ikan Kolakan. Pohon-pohon yang tumbuh lebih rendah, telah habis buah-buahannya.

Berdasarkan tulisan dalam salah satu Kitab-kitab Awal, Paras Tampan sebagai orang yang sedang belajar, tidak diperbolehkan untuk meninggalkan tempat itu sebelum tamat. Hal itu termasuk menyeberangi sungai atau masuk ke dalam lubang tempat keluarnya Sungai Batu Jernih. Dan Paras Tampan pun mematuhi peraturan itu. Dikonsentrasikan pikirannya untuk benar-benar menyerap ilmu-ilmu yang tertuliskan ataupun tersirat dalam kitab-kitab yang dikenal sebagai Kitab-kitab Awal. Kitab-kitab lain hanya dilihatnya sepintas, jika ia merasa bosan mempelajari Kitab-kitab Awal.

Tak terasa waktu satu tahun pun berlalu. Sudah setengah waktu yang diberikan gurunya untuk berguru di atas Gunung Hijau. Pemuda itu, Paras Tampan, tampak semakin tegap. Badannya berisi. Dengan tidak memakan daging, hanya buah-buahan dan sayur yang disediakan oleh para Troll disertai latihan-latihan yang keras, membuat otot-ototnya tumbuh dengan baik. Badannya menjadi tampak pas sekali, tidak terlalu gemuk dan juga tidak terlalu kurus. Benar-benar menjadi pemuda yang menarik hati dengan wajah yang selalu ceria. Hanya mungkin rambutnya saja yang tidak terlalu diurus. Tumbuh panjang dan digelungnya asal saja. Walaupun demikian sering dicuci rambut dan badannya dengan cara mandi berendam di Sungai Batu Jernih.

Untuk pakaian, para Troll pun menyediakan bahan-bahan seperti yang mereka pakai, yaitu kulit binatang berbulu. Entah binatang apa. Yang penting nyaman dan hangat dipakai. Tidak terlalu banyak. Para Troll hanya memberikan bahan pakaian untuk dijahitnya sendiri setiap dua atau tiga bulan, saat mereka merasa pakaian yang dikenakan pemuda itu sudah tidak terlalu baik. Peralatan menjahit disediakan mereka, terdiri dari jarum yang berasal dari tulang, benang dari rumput-rumputan dan pisau batu untuk memotong. Sederhana tapi cukup memadai.

Dan selama itu pula para Troll belum sekalipun menampakkan dirinya. Pernah sekali waktu Paras Tampan ingin melihat makhluk-makhluk yang selama ini menyediakannya makan, ditunggunya mereka di luar ruangan. Di tepi Sungai Batu Bening. Tapi mereka tidak muncul-muncul. Alih-alih, malah makanannya dengan dibungkus rapat dengan daun-daun agar isinya tidak basah, dilontarkan oleh ikan Kolakan. Sang ikan pun berkecipak-cipuk, seakan-akan mengatakan bahwa belum saatnya untuk bertemu dengan para Troll.

Akhirnya Paras Tampan pun menyerah, tak lagi ia mencoba untuk menunggu-nunggu mereka hanya sekedar untuk melihatnya. Ditenggelamkan lagi dirinya pada pelajaran-pelajaran yang disebutkan dalam Kitab-kitab Awal.

Salah satu pelajaran yang menarik adalah bagian dari kitab Pukulan Inti Es dan Salju, dimana disebutkan bahwa orang bisa menggunakan air yang disertai dengan hawa dingin sehingga menjadi butir-butiran es untuk dilontarkan. Dan hal ini adalah yang dilakukan oleh ikan Kolakan saat ia dulu memyambit buah-buahan dari pohon yang tumbuh pada dinding mulut Sungai Batu Bening. Bukan hanya sekedar mencipak-cipuk air belaka, melainkan membekukannya untuk kemudian disambitkan dengan gerakan ekornya. Benar-benar mengagumkan.

Dan untuk belajar jurus itu, Sentilan Kelereng Es, Paras Tampan harus berendam dalam Sungai Batu Bening pada saat-saat di mana udara benar-benar terasa dingin. Mengambil energi dari hawa dingin itu untuk diolahnya membekukan sepercik air dan disambitkan. Jurus ini hanyalah sebagian kecil dari jurus yang tersimpan dalam kitab Pukulan Inti Es dan Salju. Petunjuk yang diperoleh tidak mengharuskan ia untuk mempelajari Pukulan Inti Es dan Salju secara menyeluruh karena selain lama, juga tempat ini tidak sesuai untuk melatih jenis pukulan tersebut. Perlu ia pergi ke daerah yang benar-benar dingin untuk melatihnya. Ke daerah di mana terdapat roh-roh air, Undinen misalnya.

Ikan Kolakan sendiri sebenarnya dapat dipandang memiliki sedikit hawa dingin sehingga bisa secara alami melakukan jurus Sentilan Kelereng Es. Akan tetapi ia tidak sehebat roh-roh air dalam menyimpan hawa dingin. Tempat di mana Paras Tampan saat ini berada lebih dikategorikan sebagai tempat Roh-roh Tanah. Contoh dari mereka adalah para Troll dan Manusia Tiga Kaki. Yang terakhir ini pernah diceritakan gurunya.

Dengan menggabungkan kedua unsur, Tenaga Air dan Tanah dapat diciptakan hawa dingin. Tenaga Tanah secara tak sengaja dilatih Paras Tampan dengan memperkuat pijakan-pijakan, cengkeraman dan panjatan-panjatan. Dengan cara ini ia bisa meminjam tenaga bumi untuk memindahkan berat tubuhnya ke arah yang ia inginkan. Akan tetapi itu belum Tenaga Tanah yang sebenarnya. Untuk memperoleh Tenaga Tanah perlu bantuan Roh-roh Tanah. Menurut petunjuk yang dibacanya. Apabila ia berlatih serius, akan tahulah mereka, para Troll, kapan ia siap untuk dilatih. Pada saat itulah makhluk-makhluk itu akan menampakkan dirinya. Memberinya petunjuk lebih jauh.

Hari ini, sesuai dengan tahapan yang telah ia pelajari dari petunjuk mengenai Kitab-kitab Awal, ia akan bertemu dengan para Troll untuk diuji apakah ia telah cukup mahir dalam memiliki gerakan-gerakan dasar untuk melatih Tenaga Tanah. Bila iya, para Troll akan mengajarinya. Akan tetapi bila ternyata ia belum siap, sesuai dengan petunjuk dari kitab tersebut, ia harus kembali melatih gerakan-gerakan tersebut. Termasuk di dalamnya keluar masuk lubang-lubang dalam Ruang Dinding Berlubang dan juga Sentilan Kelereng Es. Secara pribadi tak mau Paras Tampan menunggu lebih lama, ingin ia cepat memasuki tahap berikutnya. Waktu yang diberikan gurunya tidak tersisa banyak lagi.

Siang sudah belalu setengahnya. Belum ada tanda-tanda kedatangan para Troll. Sang Ikan Kolakan pun tidak tampak batang hidungnya. Semua seakan-akan ingin membuatnya bertanya-tanya atau penasaran dalam hatinya.

Sengaja hari itu Paras Tampan tidak berlatih berat. Dikosongkan pikirannya dan ditenangkan hatinya dengan Mengheningkan Cipta. Ia ingin dirinya siap untuk menerima petunjuk akan tahapan berikutnya. Juga apabila dirinya dinyatakan belum siap. Toh, satu hari latihan tidak akan mengubah hasil dari latihannya selama setahun ini.

Senja pun tiba. Matahari telah condong ke arah mana ia akan beranjak sembunyi. Tiba-tiba terdengar siulan tinggi rendah. Otaknya bereaksi seakan-akan ia mengerti arti dari siulan itu. Paras Tampan tidak menyadari bahwa ilmu-ilmu yang dipelajarinya secara bawah sadar menumbuhkan inderanya sehingga siulan semacam itu menjadi memiliki arti. Orang biasa yang mendengarnya tidak akan dapat menangkap maksudnya tanpa diberitahu terlebih dahulu.

Ia pun beranjak menyusuri lorong yang menuju ke Sungai Batu Jernih. Sesampainya di sana bergetar pula hatinya. Di seberang sungai sana tampak berjejer beberapa makhluk Troll. Berjajar menatap dirinya. Gagah walaupun terlihat tidak terlalu besar.

Tak tahu apa yang dilakukan, Paras Tampan pun berdiam diri. Menunggu. Dari siulan tadi, ia hanya mengerti bahwa ia diminta datang ke pinggir Sungai Batu Jernih. Tidak tersurat apa yang harus dilakukannya setelah berada di tempat itu.

"Kecipak..!" lalu terdengar bunyi air diganggu. Tampaklah wujud sang Ikan Kolakan. Ikan yang dipanggil sebagai Kakak Ikan Berduri Bersirip Kipas oleh para Troll. Ia juga menjadi bagian dari pemeriksaan kesiapan Paras Tampan untuk tahapan pembelajaran berikutnya.

Seorang dari mereka, makhluk-makhluk Troll yang berada pada sisi lain Sungai Batu Jernih, menggapai Paras Tampan agar mengikuti mereka. Lalu terlihatlah apa yang menurut Paras Tampan benar-benar mengagumkan.

Berjalan seorang dari mereka ke arah air dalam Sungai Batu Jernih. Tampak ia berkonsentrasi sebentar dan kemudian datanglah sang Ikan Kolakan. Keduanya tampak melihat pada arah yang sama. Dan kemudian muncullah seperti bongkah-bongkahan es. Perlahan tapi pasti. Menyebar lambat. Membesar. Tak jauh melebar melainkan memanjang. Jauh memanjang sampai ke seberang sungai tersebut, mencapai sisi di mana Paras Tampan berdiri.

Tidak berhenti sampai di sana, bekuan es itu merampat perlahan menyebar kembali ke hulu Sungai Batu Bening. Memasuki gua batu di tengahnya. Sekarang terlihat semacam jalur dari es yang melayang di atas air. Membentuk huruf 'T' terbalik. Garis mendatar menghubungkan kedua sisi sungai dan garis tegaknya menuju ke sisi dalam gua di hulu sungai.

Satu per satu dari mereka melangkah di atas Pematang Es itu, perlahan tapi pasti. Tak terlihat goyangan yang berarti. Padahal apabila dibayangkan, tidak cocok dengan postur tubuh mereka yang tampak besar dan berat.

Paras Tampan kemudian mengikut mereka berjalan di atas Pematang Es itu menuju gua di hulu Sungai Batu Jernih. Awalnya tak mudah untuk menjejakkan kaki dengan mantap di atas Pematang Es, tapi pengalaman latihannya di Ruang Dinding Berlubang membuat kaki-kakinya berpijak kuat dan juga lemas. Cepat berubah kedudukan apabila tempat pijakannya berubah posisinya. Dengan cara ini Paras Tampan akhirnya dapat mengikuti langkah makhluk-makhluk Troll itu memasuki gua di ujung kanan sana. Kanand dari arah ia tadi datang.

Troll yang didepan masih saja membuat Pematang Es yang baru, bersama-sama dengan sang Ikan Kolakan, Kakak Ikan Berduri Bersirip Kipas. Paras Tampan tidak berada paling belakang. Masih ada dua makhluk Troll sesudahnya. Ia tidak tahu apa yang mereka lakukan. Mungkin merusakkan Pematang Es yang mereka lewati, agar tidak ada yang mengikut mereka masuk ke dalam gua itu.

Sekarang keadaan telah berubah menjadi gelap. Selain malam telah menjelang, juga karena mereka telah berada di dalam gua di hulu Sungai Batu Jernih. Pintu masuk gua yang berada di tengah sungai yang cukup dalam tersebut tidak menggambarkan bahwa di dalamnya terdapat sungai bawah tanah yang cukup lebar dengan ruangan di atasnya mencapai tiga sampai empat tombak lebih tingginya. Benar-benar ruangan yang memukau. Dihiasi dengan Rumput Berkilau Dalam Gelap pada dinding-dindingnya. Terlihat sengaja di tanam dan dengan lantainya yang merupakan air belaka. Bagi orang yang tidak bisa berjalan di atas Pematang Es atau tidak memiliki perahu, tidak akan bisa masuk ke dalam tempat ini.

Mereka masih berjalan beberapa saat sampai ada semacam pantai atau dataran di ujung sana, di mana Sungai Batu Jernih berasal dari belokan sebelah kiri dan kanan dataran tersebut. Kecil dan di ujungnya tercurah dari lubang-lubang di atasnya.

Dataran itu cukup luas. Paras Tampan dan para makhluk Troll telah berada di tengah-tengah dataran itu dan masih juga terasa lengang. Ikan Kolakan, Kakak Ikan Berduri Bersirip Kipas, tampak berenang-renang di kejauhan. Tidak ikut ia naik ke dataran itu. Bukan tempat bagi makhluk air.

Paras Tampan melihat berkeliling di dinding di depannya tampak lubang-lubang seperti lubang-lubang pada Ruang Dinding Berlubang. Banyak celah-celah mengisi sampai ke langit-langitnya. Di atas langit-langit tampak beberapa lubang besar dan kecil. Yang besar kiranya cukup bagi dirinya dan makhluk Troll untuk masuk ke dalamnnya.

Salah seorang Troll tua yang memperkenalkan dirinya sebagai Bagadsh, yang terlihat sebagai pemimpin di sana, menerangkan ujian yang akan diterima oleh Paras Tampan. Dijelaskan bahwa ujian pertama tadi, yaitu berjalan di atas Pematang Es telah dilampaui. Mereka senang bahwa Paras Tampan bisa berjalan sampai ke tahap ini. Dan mereka berharap pula bahwa ia bisa menyelesaikan tahapan berikutnya.

Dijelaskan bahwa tujuan akhir dari ujian ini adalah memasuki ruangan dia atas sana. Ada beberapa lubang yang cukup besar di atas langit-langit ruangan itu. Paras Tampan harus bisa melampauinya dan masuk ke dalamnya. Ujian ini lebih berat dari latihan yang pernah dilakukannya di Ruang Dinding Berlubang. Umumnya ia melakukan latihan dalam lubang-lubang mendatar atau miring, tapi belum pernah yang tegak seperti ini.

Lalu ditambahkan bahwa proses untuk mecapai ruangan yang ada di atas itu, dapat dilakukan dalam waktu dua setengah hari. Jadi pemuda itu diberikan kesempatan sebanyak-banyaknya dalam dua setengah hari untuk masuk ke dalam ruangan itu.

Mulanya Paras Tampan agak bingung juga, apabila hanya masuk ke dalam ruangan di atas itu, mengapa diperlukan waktu sampai dua setengah hari. Tapi pertanyaan dalam hatinya itu terjawab selang tak berapa lama.

Setelah tak ada tanggapan dari Paras Tampan, para Troll itu menganggap ujian telah boleh dimulai. Mereka membagi dirinya menjadi tiga kelompok. Dua kelompok bergerak ke sisi kiri dan kanan dataran dan duduk Mengheningkan Cipta. Tidak ambil pusing lagi pada Paras Tampan dan rekan-rekannya.

Satu kelompok yang tersisa bergegas bergerak memanjat dinding-dinding yang berisikan lubang-lubang itu. Hampir tanpa bantuan tangan mereka berjalan di dinding itu sampai ke langit-langit yan berlubang-lubang itu. Dengan hanya mencengkeram sisi-sisi lubang atau tonjolan-tonjolan yang ada, para makhluk Troll itu dapat seakan-akan "melekat" dan "berjalan" di dinding dan langit-langit. Berdecak kagum Paras Tampan menyaksikan demonstrasi itu.

Ada empat orang yang bergantung pada kakinya. Mereka membawa sebatang tongkat setinggi dirinya. Sepanjang satu tombak kira-kira. Keempatnya berhenti pada sebuah lubang di tengah-tengah langit-langit. Berputar dan menjaganya dari empat arah secara terbalik.

Bagadsh yang tidak termasuk salah seorang dari mereka, mencoba kekuatan barisan itu. Ia melompat dari tanah, jauh tinggi mendekati langit-langit sambil mengayunkan tongkat yang dibawanya.

"Tak-tak-tak" seorang dari mereka memapaki serangannya dan seorang lagi menyerang jalan darah-jalan darah penting di tubuhnya. Terpaksa Bagadsh menghindar dengan bersalto beberapa kali dan melompat turun. Sekali lagi dicobanya dengan merambat pada dinding, menjejak terbalik pada langit-langit. Kembali keempat penjaga itu mempertahankan lubang itu dengan rapat. Setelah yakin akan kekuata nbarisan tersebut, kemudian sang pempimpin Troll itu pun membuang tongkatnya dan ia menyusup dengan lincah di antara pertahanan keempat penjaga tersebut. Ia menghilang di lubang di atas langit-langit sana. Menunggu Paras Tampan melewati lubang yang sama.

Berdesir Paras Tampan menyaksikan rapatnya penjagaan keempat penjaga lubang di langit-langit itu. Mereka dapat dengan enaknya bergantungan, berjalan di tembok dan langit-langit yang berlubang dan juga mempertahankan diri, seakan-akan berjalan di atas tanah datar saja. Bagaimana caranya ia bisa ke sana. Memanjat secara terbalik saja sudah rumit. Belum lagi ditambah dengan penjagaan yang dilakukan oleh keempat makhluk tersebut.

Akan tetapi bukan Paras Tampan, bila pemuda itu langsung menyerah menghadapi keadaan yang tidak masuk akal tersebut. Berbagai gagasan masuk ke dalam kepalanya, tentang bagaimana caranya bisa menyiasati keempat makhluk itu untuk masuk ke lubang yang dijaga mereka.

Pertama-tama dicobanya untuk memanjat dinding di hadapannya, untuk menjajal apakah ia juga bisa menggantung dengan mudah di langit-langit yang berlubang tersebut. Pada bagian dinding yang tegak, tidak ada masalah. Ia dapat dengan cepat menggunakan tangan dan kakinya yang mencengkeram kuat untuk mencapai awal dari langit-langit batu tersebut. Sekarang saat dimulai masalahnya. Ia mencoba untuk bergantung terbalik pada langit-langit. Pusing dirasakannya. Tak lama ia bisa bertahan. Kedudukan yang berbalik itu membuat banyak darah mengalir ke kepala. Akibatnya Paras Tampan tampak bergoyang-goyang cepat. Hampir lepas pegangannya.

Tiba-tiba, "tukk..!" sebutir es tampak menyentuh pembuluh darah di lehernya. Sekejap pandangan matanya menjadi lebih terang. Darah tidak mengalir deras seperti tadi. Rupanya saat bergantung terbalik itu, ia hanya boleh mengerahkan tenaga untuk memperkuat cengkeraman dan pijakan. Akan tetapi jangan sampai mengirim tenaga ke arah kepala. Totokan tadi membuat tenaga yang diarahkan ke kepala berbalik tersimpan.

Paras Tampan melirik ke dalam air di kejauhan. Ikan Kolakan itu tampak berenang menyelam menjauh. Tak tega sang ikan melihat pemuda itu terjatuh. Dikirimnya totokan menggunakan Sentilan Kelereng Es untuk mengambat peredaran tenaga pemuda itu yang membuncah ke kepala.

Sekarang Paras Tampan mulai bisa membiasan diri dalam posisi bergantung itu dan kemudian mengerahkan tenaga ke tangan dan kakinya, tapi membatasi aliran yang menuju kepala. Sesaat sulit juga, apalagi dalam posisi yang sama sekali baru baginya itu.

Waktu pun berjalan pelan. Paras Tampan mulai bisa menikmati posisi bergantung seperti itu. Tapi tenaganya sudah hampir habis. Bila dilanjutkan ia tidak ada tenaga untuk turun kembali. Ia kemudian memutuskan untuk turun terlebih dahulu dan mengumpulkan kembali tenaganya. Akan dicobanya lagi naik ke langit-langit untuk mendekat lubang yang menjadi tujuannya.

Setelah tiga kali dicobanya, sudah mulai terbiasa Paras Tampan untuk bergerak bolak-balik di langit-langit yang penuh lubang dan tonjolan itu. Walaupun belum selincah Troll, tapi ia sudah bisa berputar-putar ke sana kemari menyelidiki lubang-lubang yang ada. Lubang-lubang selain yang dijaga oleh para Troll berukuran terlalu kecil untuk dirinya. Tak ada jalan lain, memang ia harus menggunakan lubang yang dijaga tersebut.

Selain itu telah dicobanya pula untuk melompat dalam keadaan terbalik itu ke bawah. Dilepaskannya pegangan dan pijakan, berayun memutar beberapa kali dan mendarat dengan kaki sedikit bergetar. Setelah beberapa kali mencoba, dapat ia melompat dengan sempurna ke bawah. Dengan cara ini ia tidak takut lagi bila pegangannya terlepas atau jatuh.

Walaupun Paras Tampan telah terbiasa untuk bergerak di langit-langit, akan tetapi ia masih menggunakan kedua tangan dan kakinya. Belum bisa menggunakan kaki saja seperti para penjaga lubang itu. Dengan kondisi seperti ini ia tidak bisa menyerang mereka. Pernah dicobanya sekali mendekati lubang tersebut, dengan santai mereka menukil sedikit tubuhnya. Pada suatu jalan darah tertentu. Akibatnya pusing kembali diperolehnya. Untuk mencegahnya cepat ia melepaskan pegangannya bersalto beberapa kali dan mendarat dengan selamat di lantai di bawahnya.

Ia harus menemukan cara untuk berjalan seperti para Troll sehingga kedua tangannya dapat bebas untuk menyerang. Bisa juga cara lain sehingga ia bisa menangkis serangan-serangan mereka.

Tak terasa telah lewat tengah malam. Paras Tampan pun telah lelah. Seorang dari para Troll menghampirinya dan memberinya sesuatu untuk dimakan. Semacam buah yang mirip dengan buah yang dulu diberikan oleh sang Ikan Kolakan. Hanya saja yang ini berwarna keperakkan dan tidak biru. Mereka juga memakan satu setiap orang. Tidak lebih.

Dirasakan asupan tenaga yang nikmat. Menghilangkan sedikit rasa lelah dan juga rasa kantuknya. Para Troll tampak berganti kelompok. Empat orang tampak memanjat cepat ke arah keempat temannya yang sedang menjaga. Penjaga yang lama dengan sigap meloncat turun, bersalto beberapa kali di udara dan mendarat dengan ringan di atas dataran batu itu.

Kelompok yang baru beristirahat itu tampak juga memakan buah keperakan tadi, untuk kemudian Mengheningkan Cipta.

"Hmmm, berabe nih!" gumam Paras Tampan, "jika mereka semua berganti-ganti menjaga lubang itu, bagaimana aku dapat mencapainya." Berpikir keras ia bagaimana cara untuk mencapai lubang tujuan itu. Tapi sempat terlintas bahwa ia akan menunggu agar para penjaga itu lelah untuk kemudian menyerangnya. Tak dinyana bahwa mereka melakukan penjagaan berganti-ganti. Oleh karena itu perlu dicari siasat lain agar dapat memasuki lubang itu. Paras Tampan pun akhinya merasa lelah. Diputuskannya untuk Mengheningkan Cipta sementara. Memulihkan tenaga dan juga sembari memikirkan cara-cara untuk mengatasi penjagaan yang berganti-ganti itu.

***

Tiga orang tampak berhadapan di tengah tanah lapang yang luas di kaki sebuah gunung. Seorang dari mereka tampak senyam-senyum memandang kedua orang lawannya. Ia orang yang masih setengah baya dengan wajah yang selalu menebarkan keceriaan. Rambutnya yang panjang hitam sebahu dihiasi uban-uban putih akan tetapi hanya di sebelah kanan. Hal ini membuat sebelah kanan kepalanya berwarna terang dan sisi sebaliknya berwarna gelap. Perawakannya kekar dan dengan tubuh yang tinggi jangkung, jauh di atas tinggi rata-rata orang kebanyakan. Gerakannya ringan. Terlihat dari tidak banyak rusaknya rumput-rumput di sekitar tempatnya berdiri.

Kedua lawannya juga bukan orang biasa-biasa dan juga tidak terlihat jahat. Melainkan cenderung sebagai petapa yang sederhana hidupnya.

Seorang dari mereka rambutnya telah memutih semua. Tubuhnya kurus akan tetapi kekar. Rambutnya yang juga panjang digelung ke atas dan dikonde di atas kepalanya. Bajunya dari bahan yang kasar akan tetapi bersih. Sama seperti lawannya yang tampak jauh lebih muda darinya, sosok ini pun senang tersenyum.

Sedangkan temannya berambut pendek. Dengan wajah yang juga sudah lanjut, akan tetapi sosok ini terlihat lebih gemuk dari kawannya. Mungkin disebabkan dari potongan rambutnya yang pendek. Wajah sosok ini tidak seperti kawannya. Ia lebih serius terlihat.

"Rawarang..," ucap orang yang rambutnya digelung ke atas, "atau yang dikenal orang-orang sebagai Maling Kitab, apa maksudmu mengundang kami kemari?"

"Dari julukanku, sudah tentu ki sanak berdua dapat menduga, bukan?" jawab orang yang dipanggil Rawarang itu.

"Hmmm..., memberimu kitab ilmu-ilmu kami, atau jika tidak ada, kami harus menuliskannya dahulu. Benar-benar suatu sifat yang jumawa." kata orang yang berambut pendek itu.

"Maafkan saya, bila permintaan ini terdengar kurang ajar," jawab Rawarang, "Petapa Lain Pulau dan Petapa Gunung Es.." sambil ia membungkuk sedikit, menghormat kepada orang yang berkonde dan berambut pendek itu.

"Jika memang maksudmu demikian, mengapa perlu meninggalkan pesan, seakan-akan adik kami Seberang yang meminta kami datang ke sini," tanya orang berkonde yang dipanggil Petapa Lain Pulau itu.

Sebelum menjawabnya, Rawarang tersenyum kecil sambil memandang langit di atasnya. Lalu jawabnya, "siapa yang tidak tahu persaudaraan ketiga petapa sakti yang diikrarkan di Pulau Gunung Api. Orang-orang yang telah mencapai kesempurnaan dalam beladiri dan tidak lagi menginginkan pertentangan."

Kemudian ia menundukkan kepalanya sehingga kembali memandang ke arah kedua lawannya itu, "jika aku tidak menggunakan nama adik ki sanak berdua, Petapa Seberang, mana mungkin ki sanak berdua akan datang. Betul begitu?"

Petapa Lain Pulau tersenyum mendengar hal itu. Bila dipikir-pikir Rawarang ini memang benar. Mereka bertiga yang sudah tidak lagi mau ikut campur urusan duniawi, tidaklah begitu tertarik apabila diundang atau ditantang untuk berkelahi. Tapi lain halnya jika undangan itu berkaitan dengan salah seorang dari mereka. Sudah tentu yang lain akan datang untuk mencari tahu apa yang terjadi.

"Apa tidak ada jalan lain?" tanya Petapa Lain Pulau. "Haruskan kita berseteru untuk memuaskan keinginanmu itu?"

"Jika ki sanak berdua mau memberikan kitab ki sanak kepadaku, pastilah tak perlu kita bersilang pendapat," jawab Rawarang masih jenaka.

"Jika kami tidak memberikannya?" tanya Petapa Lain Pulau kembali. Ia mencoba-coba untuk memeriksa perangai sebenarnya dari Rawarang ini.

"Ya.., itu jadi susah," jawab Rawarang sambil menghilangkan senyumnya. "Jika tidak memberikan, sebaiknya ki sanak berdua menyerang saya, sehingga ada alasan untuk membalas."

Petapa Gunung Es yang jarang tersenyum, tak bisa ia menahan sunggingan di ujung bibirnya. Ia melihat bahwa Rawarang ini walaupun aneh, tapi tidaklah jahat. Lalu katanya, "kalau begitu jelaskan dulu, mau apa engkau dengan kitab-kitab kami. Dan kudengar juga engkau telah mencuri banyak kitab-kitab dari berbagai orang dan tempat."

Rawarang yang dikenal sebagai Maling Kitab itu tersenyum. Ia pun kemudian menceritakan mengapa ia getol mencuri kitab-kitab ilmu silat dan juga ujar-ujar kuno.

Ia pernah bertandang ke suatu tempat di seberang lautan. Di sana terdapat suatu kerajaan yang amat besar dan megah. Walapun besar dan megah, akan tetapi kerajaan itu tumbuh dan berkembang atas dukungan dari rakyat-rakyatnya. Hal ini terlihat dari selalu sumringah wajah orang-orang yang ditemui Rawarang di sana. Baik orang-orang yang terlihat berduit, maupun para rakyat kecil seperti petani dan pengrajin.

Makmurnya kerajaan tersebut tidak terlepas dari kebijaksanaan raja yang memerintah dan juga penasehat kerajaan yang pandai. Raja dari negara tersebut memiliki satu kelompok penasehat yang terdiri dari empat orang. Dinamai dengan arah-arah utama mata angin. Keempat penasehat ini tidak memiliki sanak keluarga sehingga konsentrasi mereka benar-benar tercurahkan untuk menghasilkan nasehat-nasehat dan keputusan-keputusan yang baik bagi masyarakat dan kerajaan tersebut.

Kepandaian para penasehat itu sebenarnya akibat dari kebiasaan masyarakat daerah tersebut yang dulunya berawal dari desa dan kota kecil, akan tetapi tumbuh dan berkembang menjadi suatu kerajaan. Kebiasaan yang dimaksud adalah membaca dan menulis.

Kebiasaan membaca, terutama buku-buku yang bermutu sudah tidak bisa dipungkiri lagi akan membawa pembacanya pada proses pembelajaran sehingga dapat menjadi lebih baik dalam menyikapi hidup ini. Tidak lagi perlu bertemu dengan pengalaman-pengalaman yang merugikan, yang telah diwanti-wanti para penulis dalam kisah-kisahnya.

Akan tetapi kebiasaan menulis pun penting. Jika tidak ada kebiasaan menulis, tidak akan ada buku yang bisa dibaca. Umumnya buku-buku yang ada adalah hasil dari orang-orang tertentu yang bisa atau mau menuliskan ide-ide atau pengalaman mereka. Dan ini sudah tentu terbatas. Akan tetapi dengan banyaknya orang-orang 'biasa' yang juga menulis, akan menciptakan sumber-sumber literatur yang tak ada habis-habisnya. Itulah yang terjadi di kerajaan tersebut.

Di negara itu, jauh sebelum negara berbentuk kerajaan itu terbentuk, nenek moyang mereka mempunyai kebiasaan untuk menuliskan apa-apa yang mereka alami. Mirip dengan buku harian dewasa ini. Dengan demikian anak-cucu mereka tidak lagi perlu mengulang kesalahan-kesalahan mereka. Pun hal-hal yang berguna, seperti waktu bercocok tanam, cara membuat perahu dan lainnya dapat dipelajari dengan mudah. Tidak lagi perlu mencoba-coba sendiri untuk mencari cara atau waktu yang tepat untuk bercocok tanam, atau mencari bahan yang tepat untuk membuat perahu.

Dengan menggunakan catatan-catatan leluhurnya, para penduduk negara itu dapat langsung memodifikasi apa-apa yang telah dicoba nenek-moyangnya. Hasil yang baik atau pun buruk dari modifikas itu kembali dicatat. Catatan-catatan yang telah ribuan tahun usianya itu pun tumbuh menjadi semacam basis ilmu pengetahuan bagi kerajaan mereka.

Kerajaan dalam hal ini pun mengakomodasi tumbuhnya kebiasaan mencatat ini. Buku-buku kosong dan alat tulis disediakan gratis oleh mereka. Begitu pula dengan sekolah-sekolah. Selain itu terdapat pula suatu fasilitas yang dikenal sebagai Perpustakaan Kerajaan. Namanya saja Perpustakaan Kerajaan yang menandakan bahwa perpustakaan itu dikelola oleh kerajaan, tapi pada pelaksanaannya semua orang dapat berperan di sana. Dari membantu melengkapinya, sampai memanfaatkannya.

Di dalam Perpustakaan Kerajaan terdapat pula tempat penitipan buku, dalam artian keluarga atau orang-orang yang tidak punya tempat cukup untuk menyimpan buku-bukunya, dapat menitipkan buku-buku mereka di sana. Dengan imbalan buku-buku mereka boleh dibaca orang lain di tempat. Tidak dibawa pulang. Hanya buku-buku umum yang benar-benar milik Perpustakaan Kerajaan yang dapat dipinjam untuk dibawa pulang.

Bagi orang-orang yang sudah wafat dan ahli warisnya tidak berkemampuan untuk mengurus buku-bukunya, dapat dilakukan penghibahan, sehingga koleksi orang-orang yang wafat tersebut menjadi milik Perpustakaan Kerajaan. Dengan cara ini koleksi-koleksi tersebut dapat dipinjam untuk dibawa pulang.

Melalui cara ini, Perpustakaan Kerajaan adalah salah satu gedung atau tempat yang paling banyak dikunjungi oleh orang-orang di kerajaan itu, selain pasar-pasar dan tempat-tempat ibadat tentunya. Di sana orang dapat menambah ilmunya dan juga menelurkan karya-karya yang langsung dapat dinikmati orang.

Ada pula bagian arsip orang-orang di Perpustakaan Negara. Di bagian ini orang-orang dapat meletakkan buku-buku yang berisikan perjalanan hidup mereka. Buku harian. Diurutkan berdasarkan tahun kelahiran dan abjad. Dalam tiap buku harian biasanya dicantumkan juga hubungan sanak keluarga yang ada. Dengan cara ini, seorang anak dapat melacak nenek moyangnya, dan apa-apa yang mereka lakukan. Langsung dari tulisan mereka sendiri dan bukan dari cerita orang-orang. Bila terdapat jasa besar atau hukuman dari negara, umumnya dituliskan dalam lembar tambahan dengan segel kerajaan. Dengan cara itu sejarah dapat diverifikasi dari para pelakunya sendiri. Walaupun belum tentu apa-apa yang ditulis selalu obyektif.

Rawarang yang saat itu sedang merantau ke sana, amat takjub pada kemegahan itu. Minatnya pada ilmu telah tumbuh sejak kecil. Ayahnya yang seorang pedagang perantau, sering membawakannya oleh-oleh buku-buku dari negeri-negeri asing jauh di sana. Dengan perantaraan buku-buku itulah, khayalan Rawarang kecil tumbuh dan membekas sampai ia dewasa, saat ia kemudian mewujudkan sendiri impian-impiannya untuk melihat luasnya dunia.

Banyak waktu dihabiskannya saat berada di kerajaan tersebut dengan membaca buku-buku di Perpustakaan Kerajaan. Buku-buku yang menarik perhatiannya antar lain adalah buku-buku sejarah, ilmu kanuragan, ilmu alam dan bahasa. Buku-buku lain tidak menjadi pilihan utamanya. Di sana pulalah ia bertemu dengan gurunya. Seorang penjaga tua yang mewariskan ilmu silat dan mencuri padanya. Penjaga itu dulunya adalah seorang yang gandrung terhadap ilmu-ilmu kanuragan sehingga berguru ke sana kemari. Ia juga punya kegemaran membaca buku-buku dan juga senang mencuri.

Ia dipekerjakan di sana karena selain memiliki kemampuan dalam ilmu pengetahuan, dan juga karena riwayat masa mudanya sebagai pencuri yang andal. Ia benar-benar mahir mencuri di berbagai tempat, termasuk di dalam istana kerajaan. Dengan berbekal kemahiran siasat dan berpikir keras keempat Penasehat Kerajaan menciptakan jebakan untuk menangkap sang pencuri tersebut. Setelah itu ia diadu kecerdikan dengan mereka dan kalah. Sampai akhirnya ia bersedia menjadi salah seorang penjaga dari Perpustakaan Kerajaan. Kesalahan-kesalahannya diampuni asal ia mau bekerja dan mengabdi demi kepentingan masyarakat.

Bakat sang mantan pencuri itu, digunakan oleh Perpustakaan Kerajaan untuk mencuri balik buku-buku yang dipinjam melewati tenggat waktu. Umumnya dilakukan oleh orang-orang yang malas mengembalikan buku. Buku-buku yang terlambat itu, 'dicuri' kembali oleh sang penjaga dan digantikan dengan tulisan untuk membayar denda. Umumnya orang-orang yang memperoleh kertas denda itu tak berani macam-macam. Keesokan harinya mereka datang ke Perpustakaan Kerajaan, meminta maaf atas keteledoran mereka sambil membayar denda yang dijatuhkan.

Dari penjaga perpustakaan ini, yang tidak mau memberitahukan namanya, Rawarang menimba ilmu sehingga seakan-akan ia menjadi sang penjaga di masa mudanya. Mahir ilmu silat dan juga ilmu mencuri. Ia dipesankan oleh sang penjaga untuk baik-baik mengamalkan ilmunya. Jangan seperti gurunya. Semahir-mahirnya tupai melompat, suatu saat jatuh juga. Untung saja kerajaan masih berbaik hati mau mempekerjakan guru Rawarang dan tidak menghukumnya. Sehingga di hari tuanya ia masih dapat hidup dengan tenteram dan damai.

Mendengar cerita itu kedua orang tua yang menjadi lawan Rawarang, Petapa Lain Pulau dan Petapa Gunung Es hampir bersamaan menghela nafas. Lalu kata seorang dari mereka, "jadi maksudmu, Rawarang, engkau ingin membangun suatu tempat yang bisa seperti Perpustakaan Kerajaan yang pernah engkau kunjungi itu, begitu?"

Agak malu Rawarang mengangguk mengiyakan.

"Tapi dengan mencuri kitab-kitab?" tanya Petapa Gunung Es tidak sabar. Umumnya Petapa Gunung Es tidak banyak berbicara. Biasanya ia membiarkan kedua adiknya yang mengajukan pertanyaan. Hanya kali ini tidak bisa ditahan penasarannya. Memang menurutnya, apabila tujuan dari Rawarang ini benar, membangun sesuatu pusat ilmu pengetahuan bagi tanah ini adalah baik. Tetapi tidak begitu caranya.

Sebaik manapun suatu tujuan, akan tetapi apabila dicapai dengan cara yang buruk, pastilah akan menodai kebaikan dari tujuan itu sendiri. Sekarang mencoba untuk membangun suatu perpustakaan di tanah ini, agar pengetahuan orang-orang di tanah ini dapat berkembang dengan baik akan tetapi fasilitas itu dilengkapi dengan cara mencuri kitab-kitab yang dimiliki oleh orang-orang. Para pesilat atau sastrawan.

"Saya tidak punya jalan lain," jawab Rawarang, "jika diminta begitu saja, pasti orang-orang tersebut tidak memberikannya. Biasanya saya menantang mereka dengan taruhan kitab-kitab mereka. Umumnya saya menang."

"Dan sekarang.." tanya Petapa Lain Pulau.

"Sekarang, jika ki sanak berdua tidak menyerang saya, atau tidak mau menanggapi saya, jadi susah. Saya jadi tidak punya alasan untuk bertarung dan menggunakan kitab-kitab ki sanak sebagai taruhan." Saat berkata begitu terlihat bahwa Rawarang masih berpikir keras, mengerahkan kecerdikannya untuk mengakali agar kedua petapa yang ada di depannya itu mau menyerahkan kitab-kitabnya, atau setidaknya melawan dirinya.

Tiba-tiba ia teringat siasat yang digunakannya saat dulu menghadapi Petapa Seberang, adik angkat dari Petapa Lain Pulau dan Petapa Gunung Es. Segera ia mengumpulkan tenaganya dan berkonsentrasi. Aliran hawa tampak berputar-putar di sepanjang aliran darahnya. Perlawan merambat ke seluruh urat-urat kecil di sepanjang tubuhnya. Tubuhnya tampak memucat dan memerah silih berganti, tergantung pada suatu saat ke mana aliran hawa hangat dan dingin mengalir.

"Hey.., apa maksudmu..?" tiba-tiba Petapa Lain Pulau mengamat-amati Rawarang, tiba-tiba ia bergerak cepat.

Bersamaan dengan itu bergerak pula Petapa Gunung Es. Keduanya memukul hampir bersamaan dada dan perut Rawarang.

"Buk-buk-buk...!" terdengar bunyi pukulan keras. Akibatnya Rawarang terhuyung dua tiga tindak dengan mata terpejam.

Tak lama kemudian ia pun batuk mengeluarkan darah, karena luka dalam yang dideritanya. Langsung ia duduk bersila untuk mengatur nafas dan membereskan jalan darahnya yang kacau-balau.

"Orang ini benar-benar berhati keras dan aneh," gerutu Petapa Gunung Es.

Dalam usahanya untuk mendapatkan ilmui-ilmu kedua petapa tersebut Rawarang telah membalik jalan darahnya sendiri sehingga ia terluka. Jika saja kedua petapa itu tidak menyadari maksudnya, dan memukulnya di dada dan perut untuk membuyarkan tenaga penghancurnya, sudah bisa dipastikan bahwa Rawarang akan terluka lebih parah dan mungkin mati.

Sekarang dalam keadaan yang terluka itu, mau tak mau, didasari rasa kemanusiaan, kedua petapa itu mengobati Rawarang. Secara tak langsung mereka harus mengoperkan sedikit tenaga dalam mereka. Dari jenis tenaga dalam yang diberikan itu, sedikit banyak Rawarang dapat mempelajari ilmu-ilmu mereka. Pengetahuan ini diperolehnya dari penjaga tua Perpustakaan Kerajaan, Merasai Hawa Pelajari Ilmu.

Setelah diobati oleh Petapa Lain Pulau dan Petapa Gunung Es, keadaan Rawarang berangsur-angsur membaik. Ia dapat kembali membuka matanya. Walaupun wajahnya masih pucat, berusaha ia menyunggingkan sedikit senyum di ujung mulutnya. Ia telah berhasil merasai sedikit aliran hawa kedua petapa itu. Kira-kira sudah diperolehnya satu dari sepuluh bagian ilmu-ilmu mereka dalam pengolahan hawa.

Selagi kedua petapa itu memperhatikan Rawarang yang masih berusaha untuk bangun, tiba-tiba terdengar suara lirih di udara. Mengambang tapi jelas.

"Kakak Gunung Es.., kakak Lain Pulau..., kena juga kalian diakali bocah nakal ini..!"

Tak berapa lama yang empunya suara pun tiba di hadapan mereka. Sama-sama berambut panjang seperti Petapa Lain Pulau, akan tetapi orang itu tidak mengikat rambutnya yang putih dan panjang. Dibiarkannya tergerai saja. Bajunya juga sederhana dan kasar. Wajahnya tampak lebih muda, paling muda dari ketiga petapa tersebut. Itulah adik angkat kedua petapa yang telah datang lebih dulu ke tempat itu. Petapa Seberang.

Gembira ketiganya saling merangkul dan berpelukan. Tak perlu kata-kata diucapkan. Pandangan dan sentuhan di pundak sudah mewakili rasa persaudaraan yang telah tumbuh sejak di Pulau Gunung Api.

Tak jauh dari sana tampak Rawarang memandangi ketiga orang itu. Ada suatu rasa yang hilang dirasakannya. Tidak seperti ketiga orang itu yang saling memiliki satu sama lain, ia tidak memiliki siapa-siapa. Tiba-tiba terselit rasa kesepian dalam hatinya.

Ketiga orang itu saling berbincang dengan ramai, seakan-akan Rawarang tidak lagi ada di dekat mereka. Petapa Gunung Es yang biasanya lebih senang mendengarkan pembicaraan, juga bertanya-tanya banyak hal pada adikn angkatnya, Petapa Seberang.

Menghadapai hujan pertanyaan dari kedua kakak angkatnya tersebut, Petapa Seberang hanya bisa tersenyum. Walaupun mereka sudah sama-sama tua dan mungkin hanya tinggal menunggu waktu, kapan mereka harus melepas nyawa dari tubuh yang rapuh ini, masih terlihat rasa saling menyayangi antar ketiga saudara angkat tersebut.

Petapa Seberang kemudian menjawab satu-persatu pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh kakak-kakaknya tersebut. Kadang-kadang penjelasan atau ceritanya disela oleh yang lain, karena ada hal-hal yang ingin ditanyakan. Ramai sekali suasananya.

Sampai suatu saat teringat kembali mereka akan orang yang 'mengerjai' mereka bertiga sehingga tiba di tempat ini. Rawarang si Maling Kitab. Mereka bertiga pun melihat berkeliling. Akan tetapi tak tampak wujud dari orang yang dicari itu. Kelihatannya saat mereka bertiga sedang asik bercengkrama beranjak pergi Rawarang. Tak tahan ia melihat keakraban yang ada di antara ketiga saudara angkat tersebut.

Petapa Seberang yang telah lebih dahulu datang ke tempat ini, Rimba Hijau, sudah tahu di mana harus mencari Rawarang. Tanpa bicara, digerakkan tangannya ke suatu arah sambil mengajak kedua kakak angkatnya beranjak dari sana. Keduanya pun mengangguk tanda mengerti.

Ketiganya kemudian melesat cepat bagai terbang. Hanya sesekali kaki-kaki mereka menotol tanah untuk kembali meloncat jauh bagai melayang di udara. Benar-benar ilmu meringankan tubuh yang sudah amat mumpuni. Menggirisi apabila menyaksikannya.

Setelah berbelok ke sana dan kemari dan berlari mendaki, sampaillah ketiganya di suatu tangga tinggi di lereng gunung itu. Gunung Hijau. Tangga itu terpahat indah di lereng yang terjal itu. Zig-zag ke kanan dan ke kiri. Dipahat sedemikian rapi dan halus. Entah siapa dan bagaimana bisa anak-anak tangga itu dibuat.

Seakan tidak memberi kesempatan bagi kedua orang kakaknya untuk sebentar mengagumi arsitektur tangga tersebut, Petapa Seberang bergegas menaikinya. Lima enam anak tangga sekaligus. Kedua saudara angkatnya pun tak mau kalah, bergegas mereka mendaki tangga-tangga batu itu. Cepat dan pesat. Menuju atas, melampau ratusan mungkin sampai seribu anak tangga. Menuju suatu tempat di atas sana.

Rawarang berjalan dengan sempoyongan. Hampir habis tenaganya. Luka-luka yang dideritanya menguras benar-benar tenaga dalamnya. Ada hal yang lebih penting, yang harus dilakukan ketimbang mengobati lukanya itu. Ia harus mencatat bagaimana kedua orang yang baru saja mencegahnya tewas itu mengolah tenaga dalamnya. Dengan ilmu Merasai Hawa Pelajari Ilmu ia sudah bisa mencerap satu dari sepuluh bagian ilmu kedua orang petapa itu. Dengan menganalisa arah tenaga mereka bisa sampai dua bagian lagi diperolehnya. Sudh cukup untuk dituliskan. Jadi buku yang akan menghiasi koleksi-koleksinya.

Tiba-tiba pandangannya gelap. Hampir ia terjadi dari anak tangga yang baru dua puluhan itu dilampauinya. Masih ratusan lain yang menunggu. Sebelum ia mencapai lereng puncak. Tempat ia menyimpan kitab-kitabnya. Tiba-tiba dirasanya sama sekali tak ada tenaga. Tubuhnya melemas seperti tak bertulang. Doyong dan bergerak jatuh.

Jika saja tidak ada tangan kekar dan sosok gempal pendek bergerak ringan memapahnya, jatuh pasti ia menggelundung ke bawah. Dan mungkin tak sadarkan diri lagi.

Sosok itu, seorang makhluk Troll muda, Bagadsh namanya tampak menyeringai seram menyanggahnya. Rawarang tersenyum lemah. Ia bersyukur makhluk yang dianggap adiknya itu ada di sana. Membantu dirinya sehingga tidak terjatuh.

Seakan-akan sudah mengerti apa kemauan dari Rawarang, Bagadsh langsung menggendongnya di punggung. Dengan langkah ringan dan cepat ia melompat-lompat melampau anak-anak tangga itu. Cepat dan lembut. Seakan-akan tak ada bobotnya. Tak cocok dengan perawakannya yang gempal dan terlihat berat.

Pada akhir dari anak tangga itu membentang tembok tinggi di atasnya. Pada sisi kirinya, tampak air terjun yang tinggi dan megah menjatuh turun. Membuat udara terasa basah dan segar. Sampai di sana Bagadsh berhenti dan kemudian mengeluarkan sesuatu dari balik bajunya. Secarik kain panjang. Kain itu akan digunakannya untuk membelit-belit tubuh Rawarang yang masih bersandar lemah di punggungnya.

Rupanya Bagadsh menyadari bahwa perjalan mendaki tebing karang ini lebih sulit dari hanya menaiki anak-anak tangga tadi. Ia mungkin membutuhkan kedua tangannya. Dan untuk itu tidak ada cukup tangan untuk mengendong Rawarang. Lebih baik diikat saja, agar ia bisa cepat memanjat ke atas.

Segera hal itu dikerjakannya dengan cepat. Tak perlu agak membungkuk karena makhluk Troll umumnya telah memiliki tubuh yang lebih pendek dari manusia, Bagadsh menyenderkan Rawarang yang masih sadar akan tetapi tidak memiliki tenaga lagi untuk bergerak itu di punggungnya. Dilemparkannya kain tersebut ke belakang bahunya dan disambar oleh kakinya yang melengkung ke belakang. Tangan yang satu masih memegang Rawarang agar tidak tergelincir dari punggungnya. Bergantian tangan yang melempar kain ke belakang bahu dan yang memegang Rawarang bekerja. Juga kaki-kakinya. Tak lama selesailah pekerjaan itu. Rawarang tampak telah terikat dengan erat tapi nyaman di punggung Bagadsh.

Seperti menarik napas sebentar untuk berkonsentrasi, Bagadsh termangu sebentar untuk kemudian melompat naik. Memanjat dengan cepat dinding batu dari tebing terjal di hadapannya itu.

Tak berapa lama sampailah makhluk itu dengan seorang manusia di punggungnya pada suatu ruang luas yang mirip balkon alam dari di atas dinding terjal itu, di mana di satu sisinya mengalirkan sungai bening ke bawah sebagai air terjun. Bagadsh kemudian membawa Rawarang ke sebuah lorong di sebelah kanannya. Berkelok-kelok sebentar dan sampailah pada suatu ruang luas tempat tersimpan banyak kitab-kitab yang tersusun pada lubang-lubang dalam dinding.

Usul Bagadsh agar Rawarang beristirahat lebih dahulu sebelum menuliskan suatu kitab, ditampiknya dengan lemas.

"Tak banyak lagi waktunya, adik Bagadsh, kitab ini harus diselesaikan. Mungkin dirimu berpikir aku agak gila, yang mau mengantar nyawa hanya sekedar untuk mencari tahu sesuatu untuk kemudian dituangkan dalam sebuah kitab..," ia berhenti sejenak karena hampir putus napasnya saat berbicara tadi, lalu lanjutnya, "tapi itulah diriku."

Makhluk Troll itu tidak bisa berbuat banyak. Lalu ia pun duduk bersila di belakang Rawarang, berkonsentrasi sebentar untuk kemudian menempelkan kedua telapak tangannya di punggung sang kakak. Mengalirkan hawa Tenaga Tanah, membantu Rawarang untuk menyelesaikan pekerjaan terakhirnya.

Penulisan kitab itu pun berlangsung. Ilmu Tiga Petapa, judulnya. Sunyi kemudian suasana, hanya terdengar goresan-goresan bulu bertinta yang beradu dengan kertas kasar bahan dasar kitab-kitab pada masa itu.

Sampai suatu saat Rawarang merasakan waktunya datang. Dihentakkannya punggungnya dari tangan Bagadsh. Tak ingin ia adiknya itu membuang terlalu banyak energi hanya untuk dirinya. Lalu bergegas ia menuju ke salah satu dinding batu di situ. Dinding yang telah lama dipersiapkannya untuk dituliskan pesan-pesan terakhirnya. Tak dipikirnya bahwa hari ini dinding itu akan ditulisiknya. Orang-orang yang beruntung bisa masuk ke sini harus menjadi penerusnya. Meneruskan cita-citanya. Membangun perpustakaan di tanah ini. Agar orang-orangnya dapat belajar dengan cuma-cuma. Membuat orang-orang menjadi lebih pintar dan maju.

Dikerahkan tenaga terakhirnya untuk menuliskan pesan-pesannya dengan guratan-guratan di atas dinding batu itu. Semakin lama semakin lemah. Coretan-coretannya semakin tak lagi dalam. Juga semakin lama semakin miring ke bawah. Condong ke arah ketiadaan tenaga untuk dikerahkan. Tangannya pun terkulai lemah. Dirinya akan terantuk lantai batu apabila tak ada tangan besar dan kasar dari Bagadsh yang menyambutnya. Memeluknya.

"Adik Bagadsh, selamat tinggal... Aku minta taruh jenasahku di ruang sana.., sebagai bagian dari kalian...," dan menutup matalah Rawarang di dalam pelukan adiknya, Bagadsh, sang makhluk Troll. Sang adik hanya bisa menggereng-gereng sedih. Tak ada air mata dalam kebiasaan mereka. Hanya ungkapan kecewa atas perginya orang-orang atau sanak-saudara yang dihormati dan dikasihi.

Bagadsh pun bergegas memanggul jasad Rawarang. Tak lupa disambarnya sejilid kitab yang belum selesai hasil karya sang kakak tadi. Berangkat ia menuju suatu ruangan, tempat di mana jasad Rawarang akan diletakkan.

Ruang yang dituju oleh Bagadsh disebut sebagai Ruangan Kediaman Terakhir, tempat jasad-jasad para Troll diletakkan di dinding dan dibiarkan mengering dimakan waktu. Mirip dengan yang dilakukan oleh orang-orang suatu bangsa dalam Katakombe (Katakombe) mereka. Rawarang ingin jasad dirinya pun dimakamkan di sana. Ia tidak ingin dirinya dibedakan dari makhluk-makhluk yang selama ini telah banyak membantunya. Makhluk-makhluk yang kesetiaannya kadang melebihi kesetiaan antar sesama manusia.

Dalam perjalanannya menuju ruangan tersebut Bagadsh berpapasan dengan ketiga petapa di Sungai Batu Bening. Ia hanya memandang sayu mereka. Mengangsurkan kitab setengah jadi yang ditulis Rawarang pada saat-saat terakhirnya. Dan menunggu.

Sebagai seorang Troll yang kemampuan dalam membedakan manusia yang jahat dan baik di atas manusia pada umumnya, ia dapat mengerti bahwa ketiga orang petapa ini bukanlah orang-orang yang berniat tidak baik. Hanya tak dimengertinya, mengapa kakaknya Rarawarang tidak berteman saja dengan mereka dalam mewujudkan cita-citanya.

Petapa Gunung Es yang menerima sejilid kitab tersebut, dibacanya dengan cepat tulisan-tulisan yang tertera di dalamnya. Tak tahan berkaca-kaca matanya membaca isi dari kitab tersebut. Tersentuh ia akan kesungguhan dari Rawarang yang ingin menuliskan apa-apa yang diketahuinya mengenai ilmu-ilmu mereka bertiga. Bahkan sampai merelakan nyawanya sebagai imbalannya. Lalu diangsurkannya kitab itu kepada kedua adiknya.

Sama pula yang dialami oleh kedua adiknya tersebut. Mereka benar-benar terharu atas kegigihan Rawarang yang ingin menuliskan kitab mengenai ilmu-ilmu mereka, demi melengkapi koleksinya untuk mewujudkan suatu perpustakaan yang di tanah ini.

Akhirnya diputuskan sebagai penghormatan mereka bagi Rawarang dan juga peringatan bagi dirinya serta orang-orang yang telah teracuni ambisi, akan diciptakan ilmu yang hanya dapat dipelajari oleh orang-orang yang berhati teguh. Pada orang-orang dengan keinginan yang utuh dan tekun, mengalirnya hawa akan berlainan dengan pada orang-orang yang malas ataupun amat ambisius. Ilmu ini yang memang ditujukan hanya bagi orang-orang yang sabar dan tekun, dan dinamakan oleh ketiga petapa itu sebagai Ilmu Menanti Tekun Memukul Tegas. Suatu ilmu yang gerakan awalnya lambat, akan tetapi dapat membalas dengan cepat dan keras.

Ilmu ini dirancang untuk orang-orang yang tidak suka mencari-cari masalah lebih dulu. Lebih banyak bertahan, akan tetapi dapat membalas dengan ampuh. Kelebihan dari ilmu Menanti Tekun Memukul Tegas ini terletak pada kuda-kuda dan posisi yang harus dilakukan dalam jangka waktu yang lama. Dengan cara ini mau tak mau lawan akan terlebih dahulu menyerang karena tak sabar. Saat mereka menyerang itulah muncul kelemahan-kelemahan yang harus segera dimanfaatkan untuk diserang.

Jika tidak tekun merapal ilmu ini, kesabaran untuk menanti terlebih dahulu serangan lawan tidak akan tercapai. Dengan sendirinya jurus-jurus yang dipelajari tidak akan banyak berguna dan seampuh seperti yang dituliskan.

Ketiga petapa itu pun akhirnya memutuskan untuk berdiam di tempat itu. Selain karena indahnya tempat itu juga untuk merampungkan sedikit-sedikit catatan-catatan yang pernah dimulai oleh Rawarang. Mereka kemudian merancang sedemikian rupa cara mencapai ruang kitab itu dan juga petunjuk-petunjuk untuk mempelajari kitab-kitab yang ada. Kitab-kitab tertentu apa saja yang perlu dipelajari untuk dapat memahami kitab-kitab yang lain. Mempelajari keseluruhan kitab-kitab yang dikumpulkan Rawarang akan menghabiskan waktu, dan tidak sempat mengamalkannya. Mengenai misi untuk melaksanakan rencana Rawarang lebih lanjut, hal itu diserahkan pada Bagadsh untuk menceritakannya, atau keturunan-keturunannya. Hal ini dikarenakan umur Troll yang relatif bisa tiga sampai empat kali lamanya umur manusia.

Setelah melihat ruangan Kediaman Terakhir yang menyerupai Katakombe, ketiga petapa itu pun berpesan kepada Bagadsh agar mereka bertiga apabila nanti juga telah tidak lagi bernyawa, agar dimakamkan pula di sana. Mengikuti tradisi dari para penghuni dataran tebing itu.

Atas permintaan Bagadsh dan hasil urung-rembug, kitab karangan ketiga petapa, yaitu ilmu Menanti Tekun Memukul Tegas itu tidak diletakkan di Ruang Kitab melainkan di Kediaman Terakhir, mengingat bahwa ilmu itu bukanlah hasil pencurian dari Rawarang melainkan hasil karya ketiga petapa itu. Ilmu yang boleh dipelajari oleh orang-orang yang dapat terlebih dahulu masuk ke Ruang Kitab dan mempelajari ilmu-ilmu yang di ada di sana sesuai dengan petunjuk yang ada.

Untuk pesan yang tidak selesai dituliskan oleh Rawarang, ketiga petapa itu tidak tahu apa yang harus dijelaskan. Mereka sendiri pun tidak memahami hal itu. Bahkan Bagadsh pun sebagai orang terdekat dari Rawarang tidak mengerti maksud dari pesan terakhir yang tidak selesai dituliskan kakaknya itu.

Dalam pada itu Bagadsh sempat menceritakan misi lain dari pencurian kitab-kitab yang dilakukan oleh Rawarang. Sang Maling Kitab juga melihat dirinya sebagai Penjaga Keseimbangan, yaitu ia juga mencuri kitab-kitab dari orang-orang yang juga dianggapnya jahat dan menguncinya dalam suatu tempat di gunung itu. Sedangkan kitab-kitab dari orang-orang yang dianggapnya baik diletakkan di Ruang Kitab. Dengan cara ini diharapkan tokoh-tokoh jahat tidak memiliki pewaris, sedangkan kitab-kitab tokoh-tokoh baik dapat dipelajari oleh orang-orang yang dapat mencapai ruangan itu.

Mendengar hal itu ketiga petapa hanya dapat tersenyum. Pemikiran dan ambisi Rawarang telah sedemikian jauh merasuki jiwanya, sehingga apapun tindakannya dapat ia benarkan dengan argumen-argumen tertentu.

Letak ruang tempat meletakkan kitab-kitab dari tokoh-tokoh sesat dunia persilatan tidak ditanyakan oleh ketiga petapa, hanya pesan mereka kepada Bagadsh, agar keterangan mengenai ruangan itu jangan sampai jatuh ke tangan orang-orang jahat. Perlu dituliskan cukup keterangan di ruangan itu, agar orang-orang yang tidak sengaja menemukan ruangan itu tidak mempelajari ilmu-ilmu yang terdapat di dalamnya. Hal itu untuk keselamatan mereka sendiri pula. Bagadsh pun mengiyakan hal ini. Ia melihat ada benarnya permintaan dari ketiga petapa itu.

Mulanya Kediaman Terakhir dapat dicapai dengan memanjat dinding tempat sungai Batu Bening mengalir ke luar, akan tetapi kemudian lubang di atas tebing itu ditutup dan digantikan dengan lubang di langit-langit dalam gua. Hal ini dilakukan oleh para Troll setelah ketiga petapa tersebut menutup mata. Mereka tidak ingin makam mereka mudah dicapai oleh orang-orang yang tidak berhak. Hanya orang-orang yang telah mereka restui saja akan diberi tahu di mana letak makam dalam gua atau Katakombe tersebut berada.

Di pintu tempat dulunya terdapat jalan masuk ke Kediaman terakhir ditanam beberapa pohon dalam rekahan-rekahan karang. Dengan cara ini diharapakan agar terlihat bahwa tempat itu tidak pernah sebelumnya menjadi jalan masuk ke suatu tempat di dalamnya, melainkan memang begitu adanya sejak lama. Suatu cara kamuflase yang dikenal oleh para Troll.

***

Hari pertama pun telah berakhir bagi Paras Tampan. Ia belum sekalipun berhasil memasuki lubang di langit-langit untuk mencapai ruang berikutnya itu. Walaupun demikian secara tak sengaja, ia sekarang telah terampil untuk bergerak secara terbalik di langit-langit, dengan hanya kakinya yang mencengkeram langit-langit batu. Akan tetapi belum sehandal para Troll yang bahkan dapat berlari secara terbalik. Paras Tampan baru dapat berjalan perlahan-lahan.

Dikarenakan telah dapat berjalan secara terbalik pada langit-langit, ia pun mulai membiasakan diri untuk melakukan serangan dengan menggunakan tongkat. Hanya saja sekarang lain rasanya. Umumnya saat menyerang kita juga memanfaatkan gaya berat bumi pada tongkat. Dalam posisi terbalik ini justru ungkitan ke atas yang memanfaatkan gaya berat tersebut. Bacokan ke bawah malah terasa lebih berat. Berlatih dengan cara terbalik ini mengembangkan kemampuan baru bagi Paras Tampan dalam penguasaan menggunakan tongkat.

Tak terasa hari kedua pun berlalu dengan cepatnya. Sudah mandi keringat Paras Tampan hari itu menyerang sana-sini para Troll yang menjaga lubang di langit-langit itu dari empat jurusan. Seakan-akan tanpa celah, tak pernah sampai pukulan atau sodokan tongkatnya pada bagian-bagian berbahaya dari tubuh mereka.

Dengan tubuh yang lelah dan mata penat, walaupun masih dilengkapi dengan semangat yang membara, Paras Tampan pun akhirnya harus beristirahat. Tak kuat badannya dipaksakan untuk terus bergayut terbalik dan melakukan serangan-serangan terus menerus. Perlu dipikirkan cara yang efesien untuk menyerang.

Terduduk dalam capainya, Paras Tampan pun kemudian bermimpi.

Ia sedang duduk dalam suatu ruangan beratap tinggi, kira-kira dua tiga tombak di hadapan seorang agak tua. Kira-kira setua gurunya Ki Tapa akan tetapi dengan tubuh yang jauh lebih tinggi dan besar. Paras Tampan yang untuk ukuran pemuda di kampungnya telah berbadang besar dan tinggi, masih terlihat lebih pendek apabila dibandingkan dengan orang itu. Rambutnya yang berwarna dua merupakan tanda yang khas dari orang itu, warna hitam dihiasi uban-uban putih di sebelah kanan dan warna hitam belaka di sebelah kiri. Entah apa yang menyebabkan hal itu.

Orang itu tersenyum-senyum sambil menatap Paras Tampan yang sedang duduk bersimpuh di hadapannya. Tak ada kata-kata di antara mereka.

Dicobanya Paras Tampan mengingat-ingat. Seakan-akan tidak lagi asing wajah orang itu. Atau hal lain pada orang itu yang rasa-rasanya pernah dikenalnya. Entah apa.

Tak lama kemudian muncul sesosok Troll tua di samping orang itu, Bagadsh. Ia hanya muncul sebentar sambil menunjuk pada orang itu, seakan-akan memberi tahu Paras Tampan bahwa ini adalah orang yang dimaksud. Setelah itu ia pun kembali menghilang.

Orang tua berambut putih sebelah itu pun melambaikan tangannya, meminta agar Paras Tampan mendekat.

Beringsut Paras Tampan mengikuti permintaan orang itu.

Setelah cukup dekat, orang tersebut kemudian mengambil sebuah batu yang ada di sekitarnya. Diletakkannya di atas telapak tangannya. Batu itu terlihat menempel. Kemudian dibalikkan telapak tangannya dan batu itu pun masih menempel, seakan-akan tidak mau lepas dari telapak tangannya.

Ia kemudian menggambarkan segitiga terbalik dengan garis mendatar di puncak bawah segitiga. Lambang Tanah. Lalu diangsurkan batu itu kepada Paras Tampan seakan meminta untuk mencobanya melakukan hal yang sama.

Dengan masih sedikit bingung Paras Tampan pun mencoba mengerahkan Tenaga Tanah yang pernah dipelajarinya. Umumnya dikeluarkan bersamaan dengan ia mencengkeram atau menjejak, dan digunakan saat memanjat lubang-lubang di Ruang Dinding Berlubang. Terlihat sedikit hasil. Batu itu sempat bertahan beberapa lama untuk kemudian terjatuh.

Orang itu menggeleng-gelengkan kepalanya, ia lalu memberi isyarat bahwa jangan terlalu keras, lembut tapi mengalirkan Tenaga Tanah. Ini bukan menjejak, tapi menempelkan benda.

Paras Tampan pun mencoba lagi. Kali ini berhasil. Ia berhasil membuat batu itu menempel pada telapak tangannya. Lama dan stabil.

Tersungging senyum pada wajah orang itu menyaksikan keberhasilan Paras Tampan melakukan petunjuknya. Lalu ia berdiri, mengisyaratkan Paras Tampan untuk mencoba kebisaan barunya itu pada dinding di sekitarnya.

Setelah beberapa kali mencoba Paras Tampan mengerti bahwa yang selama ini dilakukannya terlalu menguras tenaga. Tenaga Tanah dapat dikeluarkan tanpa perlu terlalu mengeluarkan tenaga fisik. Dengan cara ini ia tidak akan terlalu lelah saat menempel pada dinding atau bebatuan.

Saat ia sedang gembira akan pengertian dan pemanfaatan barunya mengenai Tenaga Tanah, orang itu menepuk bahunya dari belakang. Ia mengajak Paras Tampan menuju ke suatu tempat.

Paras Tampan pun mengikuti orang itu ke suatu ruangan terbuka beratapkan langit. Di sana tampak bertumpuk-tumpuk kerikil dan batu bersebaran. Bermacam-macam warna dan ukuran.

Orang itu kemudian mengambil sebuah batu yang cukup besar. Meminta Paras Tampan dengan isyarat tangannya untuk mencoba agar batu itu menempel pada telapak tangannya yang menghadap ke bawah. Paras Tampan pun mengiyakan.

Perbedaan struktur dan komposisi bahan dari batuan yang diberikan orang itu, menimbulkan sensasi yang berbeda saat Paras Tampan mencoba menempelkannya pada telapak tangannya. Hal itu juga tampak dari penjelasan orang itu, yang berusaha mengatakan bahwa tenaga yang dikeluarkan harus disesuaikan, sehingga efesien pemanfaatannya.

Setelah Paras Tampan dapat mengerti orang itu kemudian memberikan batu-batu yang lain dari berbagai jenis, agar ia dapat merasakan perbedaannya dari berbagai contoh.

Kemudian, seakan-akan mengatakan cukup, orang itu menunjukkan hal lain. Hal yang sebelumnya tidak terpikirkan oleh Paras Tampan. Dulunya ia menganggap Tenaga Tanah itu hanya bisa muncul sebagai tenaga menempel apabila bagian tubuhnya bersentuhan langsung, akan tetapi orang itu menunjukkan sesuatu yang sama sekali lain.

Diambilnya sebutir batu sembarang, diletakkannya di atas telapak tangannya dan kemudian dibalikkan. Batu itu menempel, dan kemudian perlahan-lahan turun ke atas tanah. Naik kembali mendekati telapak tangan dan kemudian turun kembali.

Ia menunjukkan pula bahwa hal yang sama bisa berlaku sebaliknya. Batu yang tadi diletakkan kembali ke atas telapak tangannya, akan tetapi ia tidak membalik telapak tangannya itu, melainkan membiarkannya menghadap ke atas. Kemudian tampak bahwa batu itu melayang jauh ke atas seakan-akan terdorong oleh tenaga tak tampak dari telapak tangannya. Naik terus sampai dua tombak lebih. Kemudian turun perlahan-lahan kembali ke telapak tangan orang itu.

Kagum Paras Tampan akan demonstrasi yang dilakukan oleh orang itu. Dicobanya untuk melakukan hal yang sama. Tapi ia hanya mampu untuk menahan batu itu tergantung di bawa tangannya sejauh dua kuku. Lebih jauh ke bawah, batu tersebut kehilangan kendali dan jatuh berdebam. Demikian pula untuk mengapungkan batu, ia hanya bisa sejauh satu jari di atas telapak tangannya. Ternyata lebih sulit membangkitkan tenaga tolak ketimbang tarik menggunakan Tenaga Tanah.

Belum Paras Tampan sempat mengucap sesuatu berkaitan dengan cara yang baik untuk membangkitkan tenaga tarik dan tolak itu, orang tersebut telah berdiri di tengah-tengah lapang yang dihiasi berbagai jenis batu itu. Ia mengisyaratkan agar Paras Tampan memperhatikan gerak-geriknya.

Orang itu tampak berkonsentrasi sebentar, mengatur nafasnya sehingga hampir tak lagi terdengar dan kemudian menggerakkan tubuhnya. Beberapa gerakan yang langsung dapat diserap oleh Paras Tampan yang memiliki ingatan baik. Hal yang dilihatnya seakan-akan tak akan terlupa kembali, yang merupakan salah satu kelebihannya. Hanya gurunya Ki Tapa yang mengetahui bakatnya ini.

Tak berapa lama terdengar suara bergemuruh, seakan-akan akan terjadi longsor atau badai. Seluruh batu-batu yang berada di lapangan itu bergetar, seperti halnya air yang mendidih. Di mana semua bagian dari air bergetar liar, ingin bergegas menjadi gas, uap air.

Selanjutnya orang itu menggerakkan tangan dan kakinya sedemikian rupa sehingga menghasilkan angin sapuan yang dasyat. Angin pukulan belaka bagi Paras Tampan mungkin tidak lagi menakutkan karena ia telah melihat demonstrasi gurunya akan hal itu, tapi di sini gerakan angin itu tidak hanya diikuti hawa belaka melainkan juga batu-batu. Serangkum batu-batu bergerak bergerombol mengambang di udara. Membentuk kelompok-kelompok yang berubah-ubah sesuai dengan gerakan orang itu. Liar.

Tak terasa Paras Tampan menahan nafas menyaksikan peragaan ini. Inilah apa yang dikenal sebagai Pukulan Badai Pasir. Pukulan yang menyertakan batu-batu dan pasir dalam hawa pukulannya. Ada hawa tenaga luar dan tenaga dalam secara bersamaan. Sejenis pukulan yang yang sulit untuk dihindari. Benar-benar pukulan yang mengerikan.

Setelah mengurangi tenaganya, batu-batu yang mengambang itu pun kembali terjadi ke atas tanah. Kembali mati seperti keadannya semula. Lalu orang itu mulai mengayunkan anggota-anggota tubuhnya. Menunjukkan sepuluh jurusa dari Pukulan Badai Pasir.

Paras Tampan menyaksikan dan mencoba mengingat-ingat sekecil-kecilnya perubahan yang dilihatnya. Sampai di akhir jurus ke sepuluh, orang itu merangkumkan kembali jurusnya dengan Tenaga Tanah sehingga kembali batu-batu kecil dan besar beterbangan bagai debu. Mengambang dan liar. Pada pukulan penutup diarahkannya jurus tersebut ke arah Paras Tampan. Ia tercengang akan serangan itu dan tak sempat mengelak. Padangannya tiba-tiba gelap, dan...

"Dukkk...!!"

Paras Tampan terbangun dari tidurnya karena kepalanya mengantuk batu yang ada di sisinya. Rupanya dalam posisi duduk tadi, perlahan-lahan tubuhnya membungkuk sampai posisi tertentu dan kemudian jatuh membentur dinding di sampingnya. Sakit.

Digosok-gosokkan kepalanya yang membenjol kecil. Teringat ia kembali akan mimpinya itu. Dicobanya untuk melakukan jurus-jurus yang tadi dilihatnya dalam mimpi. Perlahan. Sambil kadang berhenti untuk kembali merangkai ingatannya kembali. Tak berapa lama telah berhasil ia melakukan kesepuluh jurus itu, walaupun masih kaku. Kegiatannnya ini tak lepas dari pengamatan keempat penjaga Troll yang masih nemplok di langit-langit gua tersebut. Salah seorang dari mereka tampak tersenyum ala Troll melihat Paras Tampan yang sedang asik bergerak-gerak sendiri di bawah sana.

Karena belum menemukan alternatif untuk masuk ke lubang di langit-langit gua itu, Paras Tampan memutuskan untuk berlatih jurus-jurus dalam mimpinya itu. Pukulan Badai Pasir. Tapi ia belum dapat menggerahkan Tenaga Tanah seperti dalam mimpinya, untuk menarik dan menolak benda-benda padat. Pun di sana tidak terdapat batu-batu seperti dalam mimpinya.

Setengah hari pun lewat. Kesepuluh jurus dari Pukulan Badai Pasir telah dapat dilakukannya dengan lancar. Masih berupa gerakan saja, belum terisi oleh Tenaga Tanah. Sekarang ia berpikir untuk melatih jenis tenaga tersebut. Tapi tanpa batu.

"Kecipak..!" tiba-tiba terdengar deburan air yang diciptakan oleh ikan Kolakan, seakan-akan ia hendak memberikan jawaban atas kebingungan Paras Tampan yang sedang mencari-cari batu-batu.

Karena Paras Tampan tidak terlihat mengerti, ikan Kolakan tersebut kemudian menggerakkan ekornya setelah berputar beberapa kali, tampak sebongkah es terbentuk mengambang. Dilontarkannya bongkahan es tersebut. Cepat dan keras. Paras Tampan yang tidak siaga hampir saja benjol kepalanya untuk kedua kalinya. Untung ikan kolakan itu tidak bermaksud untuk benar-benar menyambitnya.

Dengan tipis mengelak Paras Tampan menangkap bongkahan es sebesar kepalan tangannya itu. Tiba-tiba ia mengerti. Batu yang tidak ada dapat digantikan dengan es. Untuk itu ia harus membuat air yang ada di sekelilingnya menjadi es dahulu, baru kemudian dikendalikan dengan Tenaga Tanah menjadi hawa pukulannya. Mendapatkan bantuan itu Paras Tampan pun membungkuk kepada sang ikan Kolakan untuk berterima kasih.

Penghormatannya dibalas dengan lompatan tinggi sang ikan yang kemudian menghilang dalam air yang jernih dan dalam itu.

Sunyi.

Hari pun telah menjelang senja.

Buah yang berwarna keperakkan pun telah diberikan sebuah kepadanya. Saatnya untuk sedikit beristirahat. Para Troll sudah berganti kembali penjagaan. Yang baru turun dari langit-langit tampak Mengheningkan Cipta untuk memulihkan tenaganya, sedangkan rekannya menggantikan posisinya untuk menjaga lubang di langit-langit itu.

Paras Tampan tidak mempedulikan mereka. Ia memikirkan bagaimana cara yang paling cepat untuk melatih ilmu barunya. Pukulan Badai Pasir yang tidak menggunakan pasir dan batu melainkan butiran-butiran es. Lebih tepat disebut Pukulan Butiran Es. Ia masih bingung membagi tenaganya antara membekukan air dan menjalankan Tenaga Tanah untuk mengendalikan butiran-butiran padat tersebut. Dicobanya dengan sedikit butir-butiran es. Perlahan-lahan.

Tak terasa tengah malam telah menjelang. Akhir hari kedua. Tinggal setengah hari lagi sampai batas waktu yang diperbolehkan bagi Paras Tampan untuk mencapai ruangan di atas langit-langit itu. Sudah ditemukannya jenis pukulan dan serangan yang dapat digunakan. Tapi ia belum dapat menguasainya dengan baik.

Pukulan Badai Salju efektif apabila batu-batu es yang digunakan cukup banyak, akan tetapi untuk membentuk batu es yang cukup banyak diperlukan tenaga awal yang besar. Mengingat Paras Tampan tidak melatih Tenaga Air dengan mendalam, ia tidak bisa membuat bongkahan es melebihi kepalan tangannya. Dan lagi dalam memutar-mutarkan bongkahan es itu, semakin lama diputarkan semakin kecil bongkahan es jadinya karena bergesekan dengan udara. Jadi jurus yang harus digunakannya tidak boleh menggunakan banyak perputaran, melainkan harus langsung. Jika tidak serangan es itu tidak akan berhasil.

Selain itu Paras Tampan juga telah menemukan cara lain memanfaatkan Tenaga Tanah selain menolak dan menarik yang diajarkan orang agak tua itu dalam mimpinya. Sekarang ia bisa melakukan levitasi (levitation) atau mengambang di udara. Sebenarnya ia tidak benar-benar mengambang akan tetapi menyeimbangkan antara gaya tarik bumi, gaya tarik dari tubuhnya ke langit-langit dan gaya tolak dari tubuhnya terhadap lantai. Dengan cara ini ia bisa melompat lebih tinggi dan bertahan lebih lama di udara baru kemudian turun kembali dengan ringat. Hampir-hampir "terbang".

Ia merencanakan akan menggunakan tenaganya habis-habisan untuk menyerang keempat penjaga itu besok pagi. Sekarang yang ia butuhkan hanyalah istirahat. Capai sudah baik fisik maupun pikirannya untuk melatih jurus-jurus yang akan dirapalnya besok, juga siasat yang diaturnya.

Paras Tampan pun mencari posisi yang enak di salah satu sudut gua, melingkarkan tubuhnya dan tidur. Benar-benar tidur, tidak seperti dua malam berturut-turut yang lalu yang hanya setengah tidur.

***

Pagi telah datang. Tinggal setengah hari kurang waktu yang diberikan pada Paras Tampan untuk mencapai ruangan di atas langit-langit itu. Pemuda itu menggeliat bangun. Tidur enam jam sudah cukup baginya. Sekarang ia harus bersiap-siap untuk kembali mencoba masuk ke lubang di langit-langit itu. Percobaan terakhir. Jika gagal ia harus berlatih lagi ilmu-ilmu yang telah dipelajarinya, satu tahun lagi.

Saat ia bangun, tampak satu buah keperakan tampak telah tersedia di sampingnya. Ia memakannya dan segera terasa asupan tenaga segar menyebar ke seluruh pembuluh darahnya. Tenaga yang diperlukan untuk pertarungan terakhir hari ini, untuk memasuki ruangan di atas langit-langit sebagai tujuan ujiannya.

Paras Tampan pun segera berdiri. Digerak-gerakkan tubuhnya. Dilemaskan otot-otot yang kaku akibat tidurnya. Sudah tidak terasa lagi lelahnya kemarin malam. Semangat mulai mengisi tubuhnya. Ia kemudian mulai memperaktekkan jurus-jurus Pukulan Butiran Es yang ditemukannya kemarin. Gabungan dari Pukulan Badai Pasir dan Sentilan

Kelereng Es. Ia amat berterima kasih pada orang tua yang ditemuinya dalam mimpi dan juga sang ikan Kolakan.

Untuk menenteramkan jiwanya, Paras Tampan pun Mengheningkan Cipta sebentar. Memohon pada Sang Pencipta restu-Nya, agar ia dapat berhasil pada pagi hari ini.

Setelah merasa penuh oleh semangat dan juga aliran hawa, Paras Tampan pun bangkit dari sikap heningnya. Ia menegadah. Dilihatnya para Troll penjaga baru saja berganti tugas. Penjaga-penjaga yang baru tampak segar bergayut terbalik di atas sana. Menjaga lubang yang menjadi tujuan akhir dari ujiannya selama dua setengah hari ini.

Ia akan mulai menyerang para penjaga itu. Pertama-tama diambilnya tempat mangkuk minumnya yang terbuat dari semacam kayu yang berasal dari tempurung buah-buahan mirip kelapa. Satu tidak cukup. Dilihatnya bahwa para Troll pun menggunakan tempat yang sama. Dihampirinya para Troll yang sedang beristirahat, dimintanya ijin untuk menggunakan mangkuk minum mereka. Salah seorang dari mereka mempersilakannya.

Paras Tampan kemudian mengisi mangkuk-mangkuk kayu tersebut dengan air. Meletakkannya di atas lantai di bawah sekeliling posisi para penjaga lubang yang bergelantungan itu. Ditariknya napas dalam-dalam dan ia pun bersiaga untuk mulai menyerang.

"Heghh...!!" hentaknya. Ia pun melompat tinggi dengan membawa beberapa mangkuk kayu yang berisi air. Dihamburkannya isi mangkuk tersebut ke arah para penjaga dengan cara ditendang atau dilemparkannya. Sebelum para penjaga sadar apa yang akan menerima mereka Paras Tampan telat merapal sedikit Tenaga Air yang dimilikinya. Sekejap butir-butiran air yang sedang melaju itu mengeras menjadi es kecil-kecil.

Melihat itu para Troll penjaga menjadi bersiaga. Tapi mereka tidak terlihat panik karena butir-butir es yang kecil itu, apalah artinya bagi kulit mereka yang tebal.

Saat para Troll penjaga itu akan menangkis butiran-butiran es tersebut, Paras Tampan telah berganti menggunakan Tenaga Tanah. Ia memutar-mutar tangan dan kakinya dengan masih melayang di udara sedemikian rupa sehingga butiran-butiran es tersebut tidak lagi langsung menuju para penjaga melainkan menari-nari mengikui gerakan tangannya.

Setelah cukup membingungkan para penjaga dengan arah gerak butiran-butiran es-nya, Paras Tampan meluruskan tangannya ke depan. Akibat gerakan itu butir-butiran yang tadinya telah menyebar ke empat penjuru dari para penjaga, tiba-tiba terdiam di udara dan mendekat dengan pesat ke arah pusat lubang. Menyerang keempatnya dari empat penjuru sekaligus. Sasaran yang dituju adalah jalan darah-jalan darah penting dan juga mata. Hal ini tentu saja membuat sibuk pada penjaga yang berusaha melindungi bagian-bagian tubuhnya itu.

Pada saat mereka berempat sedang kebingungan akan serangan butiran-butiran es tersebut, Paras Tampan turun kembali dan melemparkan sisa air yang ada di mangkuk kayu yang masih belum digunakan. Kembali dengan cara yang sama, akan tetapi kali ini tidak memutar-mutar dulu, melainkan langsung dengan serangan langsung. Butiran-butiran yang terbentuk kali ini lebih besar, sampai sekepalan tangan.

Kembali serangan ini menambah bingung keempat pejaga Troll yang sedari tadi masih menangkis serangan butiran-butiran es yang lebih kecil. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Paras Tampan. Dengan merapal Tenaga Tanah untuk mengambangkan diri atau levitas, ia melompat, melesat menuju lubang itu. Di sisi-sisi tubuhnya tampak butiran-butiran es mengambang bergerak melingkar cepat, melindungi tubuhnya dari kemungkinan serangan-serangan tongkat para penjaga.

"Tak-tak-tak..!!" beberapa tongkat dari penjaga yang telah terlepat dari serangan butir-butiran es-nya mendarat di depan dan belakangnya, tapi luput karena terhalang perisai butir-butir es.

Dengan badan sedikit bergetar akibat hawa pukulan tersebut, Paras Tampan masih melaju memanjat lubang di atas langit-langit tersebut. Dan ia berhasil..! Masuk ia ke lubang di atas sana.

Masih terasa napasnya yang kembang-kempis karena mengeluarkan banyak tenaga untuk menggunakan sekaligus Tenaga Air dan Tenaga Tanah. Hampir habis tenaganya.

Tapi kelelahan itu tak ada artinya apabila dibandingkan dengan keberhasilannya memasuki ruang di atas langit-langit itu.

Ruang itu tidak setinggi dengan ruangan di bawahnya. Dan lebih terang. Tampak beberapa garis-garis sinar jatuh dari langit-langit. Semacam lubang-lubang yang dibuat untuk membiarkan sinar matahari masuk dan menerangi ruangan itu.

Kemudian ia mengedarkan pandangannya turun, berkeliling menjelajahi apa-apa yang bisa dilihat.

Apa yang dilihatnya dalam ruangan itu hampir-hampir membuatnya tersentak. Di sana. Di ruangan di atas langit-langit gua yang berhasil dicapainya terdapat berpuluh-puluh lubang di dinding sebesar manusia. Dan di dalam lubang-lubang tersebut terdapat sebuah kerangka mirip manusia yang lengkap dengan pakaian dan beberapa perlengkapannya.

Sebuah kuburan dalam gua (Katakombe). Bingung dan juga takjub Paras Tampan menyaksikan hal ini. Ia tidak mengerti mengapa ia harus diuji untuk masuk ke dalam kuburan ini.

Lamat-lamat terdengar suara, "Bagus nak Paras Tampan. Hampir habis waktu ujian. Dan anak telah berhasil."

Sunyai sebentar. Suara tersebut tidak dapat dipastikan berasal dari mana. Bisa dari depan atau belakangnya. Luband dari ruangan di bawahnya berada di tengah-tengah ruangan itu.

"Majulan terus, sampai ke suatu pintu di sebelah kananmu. Ikuti jalan itu. Bagadsh akan menunjukkan sesuatu bagimu," kembali suara terdengar memberinya petunjuk.

Ia pun melangkah mengikut petunjuk itu. Dilaluinya rongga-rongga yang berisikan tulang-belulang Troll. Ada kerangka yang benar-benar tinggal tulang saja, ada pula yang masih dilengkapi dengan kulit yang mengering. Wajah-wajah mereka menjadi lebih mengerikan dibandingkan di saat masih hidup. Kurus kering dan menyeringai dengan rongga mata yang bolong hitam. Rambut-rambut kasarnya menjadi terlihat lebih panjang, karena sebagaian akarnya terlihat akibat kulit kepala yang telah mengering atau terkelupas.

Paras Tampan pun berjalan terus hingga ke ruangan yang diisyaratkan oleh Bagadsh. Di sana tampak Troll tua tersebut menantinya.

Setelah dekat dengannya, Troll tersebut mengangsurkan tangannya menunjuk sesuatu di dinding. Di tempat yang ditunjukkannya tersebut terdapat empat buat lubang di dinding. Tiga buah kerangka tampat duduk bersila. Kerangka mereka belum tinggal tulang, melainkan masih terbalut kulit dan ditutupi dengan jubah yang sederhana. Pakaiannya mirip dengan pakaian para petapa pada umumnya. Di sisi mereka tampak sebuah lubang tegak cukup tinggi dengan kerangka orang yang jangkung di dalamnya. Samar-samar terasa Paras Tampan teringat pada sosok tubuh sejangkung itu.

"Ini adalah Rawarang yang oleh orang-orang dunia persilatan disebut sebagai Maling Kitab. Ia sendiri lebih senang menamakan dirinya Penjaga Keseimbangan," jelas Bagadsh sambil menunjuk pada kerangka manusia jangkung itu.

"Dan ketiga orang ini adalah tiga bersaudara petapa. Petapa Gunung Es, Petapa Lain Pulau dan Petapa Seberang. Mereka mengikat tali persaudaraan di Pulau Gunung Api," sambil ditunjukkan oleh Bagadsh ketiga kerangka yang duduk bersila dekat kerangkat Rawarang.

"Engkau seharusnya tahu mengenai Petapa Seberang, karena ilmu-ilmu yang engkau bawa sebelum ke sini bersumber dari beliau," jelas Troll tua tersebut.

Paras Tampan menggelengkan kepalanya. Ya, ia tak banyak tahu mengenai hal itu, mungkin gurunya Ki Tapa pernah sekali dua kali menyebutkan. Tapi tidak menegaskan siapa Petapa Seberang itu.

Melihat kebingungan Paras Tampan, Bagadsh sang Troll tua pun akhirnya menceritakan kisah ketiga Petapa tersebut. Pengembaraan mereka dari luar pulau sampai tidak di tanah ini. Murid-murid mereka dan hal-hal lain yang memang dititipkan oleh ketiga orang petapa itu untuk diceritakan pada orang yang dapat mencapai tempat ini.

Menangguk-angguk Paras Tampan mendengar cerita itu. Ia seakan-akan dibawa ke masa lampau, ke masa di mana orang-orang yang diceritakan itu masih hidup dan menjalani pengalaman hidup mereka. Kadang tegang, kadang juga sedih atau gembira. Bagadsh menceritakannya dengan kata-kata yang amat memukai bagi telinganya.

"Nah, sekarang setelah engkau berada di tempat ini. Engkau mempunyai tugas untuk belajar ilmu yang diciptakan oleh ketiga petapa itu pada akhir hidupnya. Ilmu untuk mengenang dan juga sebagai peringatan akan ambisi Rawarang. Semoga engkau dapat mempelajari dan mengamalkannya. Tidak mengulangi kesalahan yang sama," jelas Bagadsh.

Lalu diceritakannya perihal ilmu Menanti Tekun Memukul Tegas. Ilmu yang kelihatannya sederhana akan tetapi sulit untuk dilakukan karena terlihat kadang amat lambat. Satu jurus dapat dilakukan cukup lama, baru kemudian menyerang dengan cepat. Dan kemudian kembali diam. Bagadsh yang telah sedikit dilatih oleh ketiga petapa itu, memperagakan sebagian gerakan-gerakannya.

Paras Tampan mengangguk-angguk melihat peragaan itu. Ia pun mengiyakan akan mempelajari ilmu itu. Untuk waktu pembelajaran tersebut, tidak dibatasi. Terserah ia. Bisa juga ia turun gunung sekarang apabila telah hapal teori dari ilmu itu atau apabila ia dapat menyalinnya. Kitab yang asli tidak boleh dibawa, harus ditinggalkan di sini. Di Katakombe itu. Disamping keempat tokoh yang berkaitan dengan penciptaan ilmu tersebut.

"Aku Bagadsh, ada satu permintaan padamu, nak Paras Tampan," ucap sang Troll tua, "ku harap engkau mau mengabulkannya."

"Sejauh yang saya bisa, Ki Bagadsh..," jawab Paras Tampan sopan. Ia menghargai benar-benar kesetiaan Troll tua itu atas pesan Rawarang dan ketiga petapa, untuk masih menanti orang yang dapat dijadikan penerus ilmu-ilmu mereka.

"Setelah engkau keluar dari tempat ini, jangan ceritakan pada siapa-siapa tempat ini. Biarkan kami hidup dengan damai di sini. Kitab-kitab hasil curian Rawarang boleh engkau bawa keluar. Kembalikan pada keturunan-keturunan dari pemilik yang terdahulu. Bila mereka telah tiada, boleh engkau bangun suatu perguruan untuk menyimpannya dan mengamalkannya," kemudian lanjut Bagadsh, "tiap kitab yang telah dicurinya telah disalin ulang oleh Rawarang. Jadi di sini masih akan tersimpan arsipnya. Kitab yang asli dikembalikan agar orang-orang tidak lagi mendendam pada Rawarang si Maling Kitab, dan juga engkau selaku pewaris ilmunya."

Mengangguk-angguk Paras Tampan mendengarkan hal itu. Terlihat jelas rasa sayang dari Bagadsh pada Rawarang kakak angkatnya itu. Bahkan setelah sang kakak meninggal, masih ia berupaya agar sang kakak tidak meninggalkan dendam dan penasaran bagi keturunan orang-orang atau keluarga-keluarga yang kitab-kitabnya dicuri dulu.

Bagadsh tentu saja tidak menceritakan masih adanya tempat penyimpanan kitab-kitab yang dicuri Rawarang dari para tokoh-tokoh sesat. Ketiga petapa telah berpesan kepadanya, agar tempatt tersebut dirahasiakan sama sekali. Biar tidak ada orang yang memanfaatkan kitab-kitab yang tidak baik tersebut.

***

"Hiattt..!"

"Tringgg.., trangg.., takkk!!"

Terdengar dentang-denting beradunya senjata di pagi hari di dalam Rimba Hijau. Puluhan orang berseragam hitam-hitam tampak mengayunkan senjatanya melawan lima orang yang bersenjatakan tongkat belaka.

Rimba Hijau diserang.

Ya, Perguruan Kapak Ganda akhirnya dapat menguraikan pesan yang tertulis di bawah prasasti yang ada di perguruan mereka. Prasasti yang dicuri dari Air Jatuh dalam Perguruan Atas Angin oleh Murid Rahasia. Cermin Maut, Mayat Pucat dan Sabit Kematian bersepakat untuk menyerang saja Rimba Hijau untuk merampas kitab-kitab tersebut. Dengan kitab-kitab itu mereka akan dapat meningkatkan ilmu-ilmu mereka.

Di tengah kepungan para prajurit Perguruan Kapak Ganda itu, tampak Ki Tapa dan keempat muridnya, Asap, Gentong, Misbaya dan Rintah. Keempatnya telah turun gunung dari mencari kitab-kitab untuk menambah ilmu mereka. Hal ini terlihat dari cara mereka melangkah yang lain saat bila dibandingkan saat mereka naik dulu. Akan tetapi sayang, kali ini yang dihadapi adalah murid-murid tingkat atas Perguruan Kapak Ganda. Murid-murid yang dilatih khusus oleh ketiga pimpinannya.

Sudah cukup lama mereka bertanding. Stamina sudah menurun. Lain halnya dengan para penyerang. Mereka dapat berganti-ganti menyerang dan beristirahat karena jumlanya yang lebih banyak.

"Jika saja Paras Tampan ada di sini," kata Misbaya.

"Ya.., tapi belum tentu bantuannya berarti banyak..," sanggah Rintah, "kita yang baru turun gunung saja, tidak banyak kemajuannya apabila dibandingkan dengan mereka."

Ki Tapa sendiri tampak tegang. Ia yang selam ini yakin akan kerahasiaan dari Rimba Hijau benar-benar tidak dapat mempercayai bahwa musuh dapat masuk sampai sejauh ini. Masuk sampai ke pondokannya. Jalan-jalan rahasia dan juga tanda-tanda tidak lagi berarti untuk menyesatkan para penyerang. Bingung apabila ia memikirkan hal itu.

Hal yang tidak diketahui oleh Ki Tapa adalah bahwa di luar sana, di Kota Luar Rimba Hijau. Telah terjadi pembantaian oleh Perguruan Kapak Ganda ini. Penduduk kota itu telah dibunuh dan kotanya dibakar. Demi untuk mencari keterangan bagaimana memasuki Rimba Hijau. Akhirnya dengan siksaan-siksaan, diperoleh keterangan-keterangan dari Ki Tampar dan Ki Gisang yang akhirnya pun dibunuh oleh mereka.

Hanya dengan berbekal lontar yang dimiliki Ki Tampar dan Ki Gisang saja, ketiga pemimpin Perguruan Kapak Ganda dapat menguraikan jalan-jalan rahasia untuk masuk ke dalam Rimba Hijau. Hal ini dikarenakan mereka berasal dari negeri jauh di seberang lautan, di mana bahasa dan tanda-tanda yang dipergunakan dlaam lontar itu adalah sama artinya.

Dulu cara tersebut dirancang untuk menyulitkan orang-orang dari tanah ini, Tanah Tongkat Ditanam Jadi Tanaman, dan bukan untuk orang-orang dari seberang.

Akibatnya fatal. Orang-orang Perguruan Kapak Ganda dapat dengan leluasa masuk ke dalam Rimba Hijau dan melakukan serangan tiba-tiba. Kebetulan saja keempat murid Ki Tapa baru turun gunung, sehingg mereka bisa membantu gurunya untuk melawan musuh-musuh itu.

"Tahan...!" tiba-tiba terdengar suara merdu dan bening melayang di udara.

Mendengar ini para prajurit Perguruan Kapak Ganda pun menarik serangannya. Mundur dengan teratur dalam posisi masih mengepung kelima orang itu di tengah.

Bersamaan dengan itu melayangnya seorang wanita yang masih terlihat cantik walaupun telah berumur. Cermin Maut, salah satu dedengkok Perguruan Kapak Ganda. Ia turun dengan ringannya di hadapan kelima orang itu. Rambutnya yang hitam panjang tampak sebentar mengembang melayang untuk kemudian jatuh lurus di belakang kepalanya.

"Ki Tapa.., bila saya tak salah..," ucapnya sambi memandang lurus pada orang tua di depannya, "salah satu pewaris Petapa Seberang..!"

"Benar, saya Ki Tapa. Dengan siapa saya berhadapan?" tanya Ki Tapa kemudian.

"Hik-hik-hik, kemana saja engkau selama sini orang tua, sampai tidak mengenai kami. Tiga pimpinan Perguruan Kapak Ganda..," tawanya sambil menutup mulutnya. Berpura-pura sebagai perempuan baik-baik.

"Maaf bila kami tidak tahu," ucap Ki Tapa, "sejauh yang saya dengar. Bukankah Perguruan Kapak Ganda itu dipimpin oleh Naga Geni?"

"Orang tua, itu sudah cerita lama. Kakak Naga Geni telah berpulang lama. Dibunuh orang. Kami masih mencari siapa yang melakukannya. Untuk kita kami perlu meningkatkan ilmu kami. Jadi serahkan kitab-kitab tersebut kepada kami..!" jawabnya langsung dengan nada bicara yang tidak lagi ramah.

"Kitab-kitab mana yang dimaksud?" tanya Ki Tapa masih tidak mengerti, karena ia memang tidak mengerti apa yang dimaksud oleh wanita itu.

"Jangan berpura-pura...!" tiba-tiba melayang seorang lain. Tinggi kurus dengan wajah yang tertutup tudung panjang sehingga wajahnya tidak terlihat. Tersembunyikan oleh bayangan tudungnya. Sabit yang dibawanya, menunjukkan perangainya yang kejam. Hanya orang-orang kejam saja yang membawa senjata yang aneh-aneh dan menyerampkan. Orang itu Sabit Kematian.

Belum sempat Ki Tapa berbicara, telah melayang seorang lagi dari mereka. Wajahnya kurus putih pucat. Badannya agak tinggi. Rambutnya yang agak jarang tergerai kusam. Kuku-kuknya tampak panjang dan bewarna kuning kehitaman. Tanda racun yang amat ganas. Mayat Pucat.

Telah lengkap tiga pimpinan dari Perguruan Kapak Ganda. Mereka tidak sabar lagi karena para prajuritnya belum dapat mengalahkan kelima orang itu, bahkan yang empat masih amat muda tampangnya.

Orang yang baru datang itu lalu membuka pembicaraan, "Maaf Ki Tapa, jika adik-adikku ini tidak menjelaskan apa maksud kedatangn kami ini." Lalu ia menjelaskan apa yang dicari oleh mereka setelah sebelumnya memperkenal diri dan juga adik-adiknya. Berdasarkan ukiran lambang di bawah prasasti yang mereka peroleh, dikatakan bahwa kitab-kitab peninggalan Petapa Seberang berada di timur. Dan tempat di timur yang mungkin untuk menyimpan rahasia itu adalah di sini, Rimba Hijau.

"Jadi, tolong Ki Tapa serahkan saja kitab-kitab tersebut. Setelah itu kami akan angkat kaki dari ini," akhirnya Mayat Pucat menyelesaikan uraiannya.

"Kami tak punya kitab-kitab itu!" jawab Misbaya yang tak dapat menahan sabar melihat sikap mengalah terus dari gurunya, "pun jika kami punya tak akan kami berikan..!"

"Anak baik, tulang baik...!" gumam Mayat Pucat sambil melihat siapa yang berani berkata demikian.

Lain pula dengan Cermin Maut, berdesir darahnya menyaksikan kemudaan dari Misbaya. Cocok anak ini untuk melampiaskan kebiasaannya yang sesat. Memuaskan dahaganya, dan kemudian menyerap sari-sari dari anak itu. Tak terasa dileletkan lidahnya.

"Tak usah banyak bicara, kakak Mayat Pucat..," jawab Sabit Kematian tak sabar, "kita bunuh saja semua, seperti orang-orang di Kota Luar Rimba Hijau, baru kita geledah hutan ini."

Mendengar bahwa mereka telah membantai para penduduk Kota Luar Rimba hijau tak sadar ketiga orang yang memang berasal dari sana menjadi amat marah. Tak dapat lagi mereka menahan sabarnya. Gapaian tangan Ki Tapa tak dihiraukan lagi oleh mereka. Mereka menyerang dengan ganasnya. Ingin membalaskan kematian keluarga-keluarga mereka.

Asap sebagai bukan orang dari Kota Luar Rimba Hijau pun tak dapat menahan amarahnya mendengar hal itu. Ia pun juga menyerang ketiga orang itu dengan cepat, tapi tidak semarah ketiga rekannya.

Ki Tapa yang tidak memiliki kesempatan untuk meredakan amarah murid-muridnya mau tak mau ikut terjun ke dalam pertempuran itu. Setelah Cermin Maut, Sabit Kematian dan Mayat Pucat ikut dalam pertempuran itu, terlihat sudah ketimpangannya. Kelima orang Rimba Hijau boleh dikatakan sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk menang. Kekalahan hanyalah masalah waktu saja.

Pertempuran itu berlangsung singkat. Satu persatu murid-murid Ki Tapa terjatuh di tangan ketiga dedengkok Perguruan Kapak Ganda dibantu dengan murid-murid tingkat satu mereka. Ki Tapa yang hanya tinggal sendiri tampak tak lagi bersemangat untuk melawan. Murid-murid yang dilatihnya untuk meneruskan tugasnya habis hari ini. Juga karena kesalahannya tidak sering lagi memeriksa kehidupan di luar rimba itu. Memang sejak ia mendidik murid-muridnya, seakan-akan telah putus hubungannya dengan luar rimba saking sibuknya.

Ia berharap Paras Tampan dan kedua murid lainnya selamat dan tidak muncul saat ini.

Tiba-tiba terdengar siulan yang melengking nyaring panjang dan pendek ditambah pukulan beberapa batang kayu. Tanda rahasia dari Perguruan Kapak Ganda.

"Hmm, mereka telah menemukan sesuatu, mari kita pergi..!" kata Mayat Pucat sambil tak lupa melemparkan sesuatu ke sekeliling Ki Tapa yang telah terluka sana-sini. Asap kekuningan tampak mengambang perlahan. Meninggalkan jejak gosong kehitaman pada rumput yang dikenai sesuatu itu.

Bergeges orang-orang Perguruan Kapak Ganda pun menghilang, menuju pemberi isyarat tadi.

Sunyi.

Ki Tapa mencoba mengatur lagi pernafasannya. Lukanya telah cukup parah, ditambah lagi dengan racun yang baru saja disebarkan oleh Mayat Pucat. Tak ada kesempatan ia untuk beranjat dalam keadaan hidup dari sana.

"Coreng.., Moreng..," ucapnya lirih dengan sisa-sisa tenaganya, "beritahu Paras Tampan apa yang terjadi. Tak usah dibalas. Tapi tegakkan saja keadilan.. bagi.. semua orang..." Terhenti ucapannya karena racun yang dihirupnya telah tiba ke jantung dan juga otaknya. Ki Tapa berusaha tersenyum saat menghembuskan nafas terakhirnya.

Jauh di pinggir lapang sana, tampak dua orang Manusia Tiga Kaki menyaksikan sisa-sisa pertempuran yang menyedihkan itu. Mereka tadi telah dipesankan untuk tidak ikut campur. Urusan manusia bukan urusan mereka.

Angin pun berhembus pelan. Turut berduka atas pergi selamanya beberapa manusia penghuni Rimba Hijau. Beberapa diantaranya masih terlalu muda untuk berpulang.



Tertulis di atas secarik kertas terlipat-lipat itu kalimat-kalimat,

"Cari Seh Pratahu (Pratahu Tua) dan minta kesediaan Nah Pratahu (Pratahu Muda) untuk menyertai. Ramalan mereka kelihatannya menjadi kenyataan. Sayang terlambat untuk mencegahnya. Telah dilakukan hal-hal yang diusulkan. Hawa kembar mungkin bersatu."

Kesedihan tampak jelas di wajah pemuda itu. Kertas itu adalah pesan terakhir gurunya yang ditemukan oleh Coreng dan Moreng, kedua Manusia Tiga Kaki di balik jubahnya, saat akan memakamkan mereka. Ki Tapa gurunya dan keempat saudara-saudara seperguruannya di Rimba Hijau telah meninggalkan kehidupan di dunia ini. Kembali ke suatu tempat, untuk menanti bertemu dengan Sang Pencipta.

Didengarkannya dengan tabah penuturan Corang dan Moreng mengenai serangan yang dilakukan oleh orang-orang Perguruan Kapak Ganda yang dipimpin oleh tiga dedengkotnya, Cermin Maut, Sabit Kematian dan Mayat Pucat. Di luar sana, di Kota Luar Rimba Hijau mereka juga melakukan pekerjaan besar. Membantai hampir seluruh penghuni kota itu.

***

"Guru, saya tidak mengerti apa maksud dari ujar-ujar ini?" tanya seorang pemuda pada seorang tua yang duduk di balik meja kayu sederhana di depannya. Duduk di atas pembaringan yang terbuat dari kayu-kayu dan daun.

Orang yang dipanggil guru oleh pemuda itu tidak langsung menjawab, melainkan tampak berpikir sebentar untuk kemudian membungkuk dan menuliskan sesuatu dalam buku yang ada di pangkuannya.

Setelah menyelesaikan hasrat untuk menorehkan sesuatu dalam bukunya, ia meletakkan alat-alat tulisnya dan menengadah melihat pada sang pemuda, muridnya yang menanyakan sesuatu tadi.

"Ujar-ujar mana maksudmu?" tanyanya kemudian.

"Ini..," jawab pemuda itu sambil menunjuk sebuah buku yang tengah dibacanya. Sebuah buku tua dengan tulisan-tulisan yang aneh, bukan tulisan yang biasa dikenal di tanah di tempat mereka berdua bermukim.

"Hmmm....!" Tampak sang guru termenung sejenak, berkerut-kerut keningnya memikirkan kata-kata itu. Lalu ia pun bangkit dari pembaringannya. Berderit-derit ranjang itu berbunyi saat ia berlalu darinya.

Sang guru pun kemudian berjalan menghampiri sebuah perabotan yang berfungsi sebagai rak buku. Tempa ia menumpukkan kitab-kitab lainnya. Dipilih-pilihnya beberapa kitab yang berjejer di sana. Dibacanya satu per satu judul-judul di hadapannya. Sampai suatu saat ia berhenti, dan diambilnya sebuah buku bersampul merah tua yang tampak telah lama menghuni alam ini. Lusuh dan buram warnanya.

Lalu dibolak-baliknya buku bersampul merah tua tersebut, sampai ditemukannya suatu halaman. Raut mukanya berubah gembira. Telah ditemukan apa yang dicarinya. Beranjak ia kemudian ke arah meja kayu tempat sang murid sedang berada. Dihempaskannya buku itu ke atas meja. Debu-debu tampak sedikit beterbangan keluar dari buku tua tersebut. Kebiasaan menghempaskan buku yang mengandung sesuatu yang dicarinya dan telah ditumukan, memang benar-benar telah mendarah daging. Suatu perwujudan kegembiraan bisa menemukan suatu rujukan atau menandakan bahwa ingatannya masih jalan. Orang yang tidak mengerti tentu bisa merasa tersinggung atas sikap seperti itu.

Sang murid tampak tenang-tenang saja melihat kelakukan gurunya yang telah berulang-ulang kali disaksikannya itu.

"Ini, ada di sini.. apa yang engkau tanyakan tadi...," tunjuknya dengan bersemangat. Lalu lanjutnya sambil membacakan kalimat-kalimat yang ditemuinya, "... dapat disebut ruang, apabila ada yang dijadikan rujukan atau acuan. Dalam suatu kekosongan mutlak (tiada apa-apa dan siapa-siapa) tidak bisa didefinisikan ruang. Setidaknya harus ada dua (benda/hal) agar satu dapat dinyatakan terhadap yang lainnya. Rujukan menciptakan ruang .."

Sang guru membacakan beberapa kalimat yang dirasanya penting untuk diketahui oleh muridnya setelah ia kembali duduk di pembaringannya. Kemudian berlangsung diskusi dua arah antara guru dan muridnya tersebut. Percakapan mengenai arti dan makna ujar-ujar itu berlangsung cukup lama, sampai tiba-tiba terputuskan oleh suatu deru angin lemah dan berat. Samar-samar tapi jelas terdengar.

Bergegas sang guru beranjak dari tempatnya. Dibukanya pintu pondok di mana mereka berada. Ia berdiri di tengah-tengah pintu. Memastikan apa yang didengarnya barusan.

"Betul, itu suara air..," katanya gembira. "Mari kita jelang.. Kehidupan akan mulai muncul kembali.."

Masih tak mengerti sang murid pun mengikuti gurunya. Keluar menuju ke suatu arah dari pondokan mereka. Ke arah di mana di tengah-tengah gurun pasir tersebut, Gurun Besar, terdapat alur-alur batu-batu kecil di tengah-tengah lautan pasir yang membentang. Bekas sungai yang kering saat kemarau. Pada musim tersebut hanya danau tersebut yang tersisa. Lainnya kering. Binatang-binatang umumnya bermigrasi ke luar Gurun Besar untuk mencari tempat yang lebih subur dan banyak makanannya. Hanya sedikit hewan yang tidak bisa pindah jauh tetap bertahan dengan berlindung di balik batu-batu atau di dalam pasir.

Perlahan dengan mendesis pelan. Air mengalir pelan tapi pasti. Mengisi kembali jejak-jejaknya yang telah mengering. Jalur-jalur batu kecil tersebut bergulung-gulung terisi oleh air bercampur pasir yang mengalir. Memberikan kehidupan kembali di sepanjang alirannya. Suatu pemandangan yang indah. Rahmat yang tiada tara yang diberikan oleh Sang Pencipta.

Orang tua itu berdiri diam. Menikmati semua itu. Merasakan bagaimana hawa atau aura alam sekitarnya seakan-akan tergugah bangkit dengan munculnya aliran itu. Kehidupan renik-renik seakan-akan dibangunkan dari tidurnya. Dibebaskan dari tapanya. Diberitahu bahwa salah satu sumber kehidupan telah tiba kembali. Air.

Aliran itu mengalir cukup aneh. Hanya sedikit pecahannya yang menuju danau dekat pondokan kedua orang itu. Sisanya yang sebagian besar melaju terus menuju utara. Entah ke mana. Ke tengah-tengah Gurun Besar.

Tak terasa orang tua itu menitikkan air matanya. Terharu ia merasakan kedahsyatan alam dalam membangun kembali kehidupan. Benar-benar mengharukan hatinya.

Pemuda itu mau tak mau tergugah pula oleh suasana yang baru pertama kali ditemuinya itu. Ia pernah diceritakan oleh gurunya mengenai hal itu, akan tetapi baru kali ini ia mengalami sendiri. Umumnya peristiwa itu berulang setiap tahun. Akan tetapi sebelumnya ada saja keperluan gurunya yang harus dipenuhi, sehingga saat-saat aliran itu datang ia tidak berada di sana untuk menyaksikannya. Baru saat ini ia bisa melihatnya sendiri. Umumnya bila ia ada di sana, sungai itu telah ada atau sama sekali kering. Tidak seperti saat ini, terbentuk dari tiada menjadi ada.

Setelah lama aliran tersebut telah menghilang ujungnya di kejauhan. Di hadapan kedua orang itu terbentang sungai kecil yang dangkal dengan lebar dua tiga tombak akan tetapi membelah gurun itu dari selatan ke utara. Dari arah Gunung Berdanau Berpulau menuju ke tengah-tengah Gurun Besar. Ke suatu tempat di tengah sana.

"Sudah saatnya.., sudah saatnya..." orang tua itu seakan-akan berbicara pada dirinya sendiri. Lalu ia menutup mata sebentar, seakan-akan mengheningkan cipta untuk bersyukur atas fenomena alam yang baru saja disaksikannya itu.

Hening.

"Muridku..," panggil orang itu perlahan.

"Ya guru..," jawab sang murid hormat.

"Sudah saatnya aku ceritakan padamu tentang keluarga Pratahu. Keluarga orang-orang yang memiliki kemampuan untuk membaca masa depan, mendengarkan yang tak terdengar, mengendalikan sesuatu dengan pikiran, dan mencari tahu siapa-siapa anggota keluarganya..." Menarik napas sebentar orang tua itu. Kemudian lanjutnya, "cerita ini akan merupakan bekalmu nanti. Mencari paman dan sepupumu. Anggota keluarga Pratahu."

Kemudian diajaknya sang murid untuk beranjak dari sungai yang baru saja airnya mengalir kembali setelah melewati musim kering yang panjang. Dicarinya sebuah batu bundar besar datar yang di sisi-sisinya terdapat beberapa batu-batu bundar kecil. Lebih rendah dari batu pertama tersebut. Sembilan buah semuanya. Delapan yang kecil, mengelilingi satu yang besar. Tersusun secara alami, seakan-akan sebuah meja bundar dengan delapan buah bangkunya. Alami terbuat dari batu. Halus seakan-akan dikerjakan dengan tangan. Di sana-sini terdapat celah-celah yang ditumbuhi oleh lumut dan tumbuhan-tumbuhan perintis lainnya.

Orang tua itu kemudian duduk di salah satu bangku alam itu. Muridnya si anak muda duduk di sisinya. Di atas bangku alam yang lain. Siap mendengarkan kisah yang akan dibawakan oleh gurunya.

Sudah lama sejak beberapa ratus tahun yang lalu, di suatu tempat di Tanah Tongkat Ditanam Jadi Tanaman terdengar kabar akan adanya suatu keluarga yang pandai meramal. Melihat apa-apa yang akan terjadi di masa depan. Pratahu dikenal orang-orang. Keluarga tersebut umumnya tidak memiliki banyak orang dalam satu generasinya. Akibatnya keberadaan keluarga itu boleh dikatakan hampir-hampir seperti dongeng saja. Akan tetapi kadang-kadang terdapat peristiwa-peristiwa besar yang terjadi akibat adanya kisikan dari orang-orang yang berasal dari keluarga Pratahu ini.

Dalam satu jaman terdapat suatu kerajaan yang menguasai tanah ini. Kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja yang mengambil kekuasaan dari raja sebelumnya dengan cara paksa. Membentuk kerajaan baru dengan nama keluarganya sebagai nama era pemerintahan yang baru. Perebutan kekuasaan tersebut dilakukan dengan menuduh bahwa raja yang lama terlalu terlena dalam semangat nasionalis kerajaan sehingga menelantarkan rakyatnya. Raja yang lama hanya mengerjakan pembangunan-pembangunan menara gading. Pembangunan dengan tujuan agar dipuji oleh kerajaan tetangga Ingin dibilang pemerintahannya maju.

Dengan alasan ini raja yang baru, yang saat itu merupakan seorang senopati kepercayaan pula melakukan pembenaran atas tindakannya itu. Demi rakyat dan kerajaannya agar tidak terpuruk lebih dalam ke arah kekeliruan. Bersamaan dengan itu sang senopati pun menangkap belasan orang senopati-senopati utama yang rekannya sendiri, dan merupakan kawan-kawan dekat dan kepercayaan raja yang lama, untuk sama-sama dihabisi. Dituduh akan berkhianak kepada raja yang lama. Suatu kejadian yang sebenarnya pun sulit diterima oleh para rakyatnya.

Untunglah raja yang baru itu bersikap lebih baik. Rakyat dalam hal ini tidak dikorbankan. Hanya terjadi sedikit peristiwa berdarah dalam internal keprajuritan kerajaan. Korban dalam pihak tentara saja. Lain tidak. Kekuasaan pun berpindah dengan mulus.

Hanya saja orang-orang tidak tahu apa sebenarnya peristiwa di belakang itu. Sang senopati yang kemudian menjadi raja, mendapat kisikan dari salah seorang anggota keluarga Pratahu bahwa ia bisa menjadi penguasa, apabila melakukan gerakan pada saat yang tepat. Ia pun diberikan petunjuk-petunjuk tersirat dalam syair-syair. Dikarenakan bakatnya yang memang cerdas, sang senopati pun bisa memecahkan syair-syair tersebut dan memperolah apa yang diinginkannya.

Akan tetapi kemudian terbersit suatu pikiran gila yang umumnya menghinggapi orang dalam tampuk kekuasaannya. Sang raja yang baru itu merasa takut, jika anggota keluarga Pratahu mencari orang lain dan memberikan kisikan yang sama atau mirip seperti dirinya. Bisa jadi kekuasaan akan berpindah dari tangannya ke orang tersebut. Hal ini harus dicegah. Untuk itu ia memerintahkan untuk mencari seluruh keluarga Pratahu dan membunuhnya. Demi hanya untuk melanggengkan kekuasaannya.

Terjadilah bencana tersebut. Seluruh keluarga Pratahu hampir dibasmi. Hampir habis dan musnah dari muka bumi. Seorang yang berhasil selamat mengungsikan dirinya di gurun pasir, Gurun Besar. Bertahan di sana selama bertahun-tahun. Bersembunyai di gua-gua batu dalam pasir yang kadang-kadang muncul, kadang-kadang hilang tertelan pasir. Dengan cara itu ia bisa bertahan dan tidak didapati oleh tentara kerajaan.

Orang terakhir itu bernama Kas Pratahu (Pratahu Terakhir). Dengan adanya niatan raja untuk membasmi seluruh keluarganya, sulit baginya untuk melanjutkan keturunan. Akan tetapi tanpa keturunan ia tidak bisa mewariskan kemampuan keluarga Pratahu kepada orang-orang. Ramalannya tidak bisa dimanfaatkan.

Pada suatu malam, ia didatangi oleh roh-roh leluhurnya dan juga anggota keluarga Pratahu yang mati dibantai oleh para prajurit kerajaan atas perintah raja. Dalam mimpi tersebut ia diberi kisikan agar menjalankan ilmu leluhurnya yang sudah lama tidak digunakan. Keluarga Semesta. Ilmu itu membuka aliran keturunan keluarga Pratahu agar bakat dan ilmu mereka tidak lagi perlu diturunkan melalui pertalian darah, melainkan melalui pertalian aura atau hawa.

Setelah ilmu Keluarga Semesta itu dirapalkan, Kas Pratahu tinggal mengembara mencari "anaknya". Bisa berada di tanah ini, bisa pula di seberang pulau. Bisa berasal dari suku yang sama, bisa pula berbeda. Bisa anak laki-laki, bisa pula anak perempuan. Ia hanya harus berkelana, mencari-cari tanda-tanda yang menunjukkan seorang anak adalah anggota keluarga Pratahu. Keluarga yang ditunjukkan oleh ilmu Keluarga Semesta. Dengan cara ini Kas Pratahu tidak perlu lagi berkeluarga. Ia tinggal mencari anak yang dimaksud. Mendidiknya secara diam-diam bila anak itu masih berkeluarga. Bila telah yatim piatu lebih mudah, tinggal diambilnya sebagai murid.

Begitulah tiga ratusan tahun belakangan ini keluarga Pratahu berkembang satu persatu melalui cara ini. Sampai saat ini baru ada empat orang, Seh Pratahu dan Nah Pratahu serta dua orang lainnya.

Nah Pratahu sendiri ditemukan oleh Seh Pratahu sebagai anak yang baru saja ditinggal mati oleh kedua orang tuanya yang dibunuh oleh perampok. Anak itu kemudian terlunta-lunta di jalanan di sekitar sisa-sisa rumahnya yang telah hancur terbakar. Seperti seorang yang tidak lagi punya keinginan atau tahu apa yang akan dilakukannya dalam hidup ini. Sampai lewatnya Seh Pratahu.

Si orang tua itu kemudian menguburkan jasad orang-orang yang tergeletak di sekitar situ. Menggapai si anak dan menenangkannya. Pada saat itulah ia melihat tanda-tanda pada anak itu yang menyatakannya sebagai keturunan dari Pratahu. Keturunan akibat ilmu Keluarga Semesta.

Seh Pratahu kemudian mengangkat si anak yang kemudian diberi nama Nah Pratahu menjadi muridnya. Menurunkan ilmu-ilmunya. Melatihnya agar dapat menjadi penerusnya kelak.

Hari inilah baru kisah turun-temurun keluarga Pratahu dibeberkan oleh Seh Pratahu kepada Nah Pratahu. Dan bahwa akan menjadi kewajibannya kelak untuk mewariskan ilmunya pada orang-orang yang ditandai merupakan keturunan atau keluarga mereka.

"Jadi guru..., adalah ayahku dalam keluarga Pratahu..," ucap anak muda itu tersekat. Tak disangkanya bahwa ia masih dapat memiliki seorang ayah. Bukan ayah akibat pertalian darah, melainkan ayah karena pertalian aura atau hawa.

Mendengar pertanyaan penuh haru itu, Seh Pratahu hanya mengangguk. Terbersit pula rasa haru di dadanya. Ia kini punya seorang anak. Rahasia telah dibeberkan. Pemuda itu bukan lagi sekedar muridnya, melainkan anak dalam ilmu Keluarga Semesta.

Tak tahan dengan keharuannya dan juga rasa hormatnya pada sang orang tua, pemuda itu pun berlutuh. "Ayah....," ucapnya sambil bersujud.

"Anakku..," jawab sang ayah sambil turun menyambut sujud anaknya. Dielus-elusnya kepala sang anak dan kemudian dipeluknya. Dialirkan rasa sayangnya yang selama ini ditahan-tahannya. Lega rasanya setelah rahasia ini diberitakan.

"Ayah, jika dalam keluarga Pratahu aku adalah anakmu, mengapa baru saat ini ayak katakan dengan selama ini ayah menjaga jarak padaku sebagai guru..," tanya anaknya tak mengerti.

Sambil tersenyum sang ayah berkata, "tak mudah untuk melakukan hal itu, anakku. Engkau sudah memiliki orang tua saat aku temukan, walau mereka baru saja tiada saat itu. Sudah tentu telah terpatri dalam ingatanmu akan mereka. Perlu waktu agar engkau dapat menerimaku sebagai ayah dalam keluarga Pratahu." Lalu lanjutnya, "demikian pula dengan aku. Engkau pada awalnya adalah orang asing. Seorang anak yang aku temui dalam perantauan. Syukurnya rasa sayang ini dapat tumbuh, sehingga aku benar-benar dapat merasakan bahwa engkau adalah anakku dalam keluarga."

Rasa sayang dan cocok yang tidak dikatakan terpancar dari kedua sosok manusia itu. Kecocokan yang menandakan bahwa mereka bertalian aura dalam keluarga Pratahu.

***

Tak terasa waktu telah lama berlalu. Sudah hampir setahun lewat Telaga berdiam di rumah Walinggih. Di sana ia belajar ilmu-ilmu pedang yang dikenal sebagai ilmu Pedang Panjang, ilmu yang membuat Walinggih dikenal sebagai Hakim Haus Darah. Dikarenakan lihai dan juga kejam. Tapi itu dulu, sekarang ia tidak lagi kejam setelah memperoleh seorang murid dan juga seorang teman, Telaga.

Selain belajar ilmu Pedang Panjang dari Walinggih, Telaga juga belajar ilmu Sabetan dan Tangkapan Tangan dari Arasan dan putrinya, Sarini. Kedua orang itu adalah orang-orang pertama yang akrab dengannya di daerah di mana ia bermukin saat ini. Dan sebagai tambahan ia mendapat pula sedikit operan tenaga dalam dari Wananggo, kakak Walinggih saat ia bertemu dengan Telaga di Danau Genangan Batu.

Di Padang Batu-batu jauh lagi ke selatan dari kedua desa, Desa Batu Barat dan Desa Batu Timur, terdapat suatu ceruk atau jurang dalam yang di mana sebagian aliran sungai masuk ke dalamnya. Lubangnya amat lebar dengan di tengahnya terdapat lubang yang jauh lebih kecil yang dalam dan gelap. Tak bisa diduga berapa dalam dan jauhnya.

Akibat tercurahnya air ke dalam lubang yang dipinggirnya dihiasi batu-batu itu, terciptalah sedikit air terjun dengan ketinggian satu-dua tombak.

Pagi hari itu Walinggih dan muridnya Telaga berada di sana. Walinggih ingin menunjukkan sesuatu pada Telaga. Suatu fenomena alam yang membuatnya menciptakan suatu gerakan silat dalam rangkaian ilmu Pedang Panjangnya.

"Mari..!" Walinggih sambil menggapai Telaga. Ia melompak ringan dari satu batu ke batu lain. Tak lupa diberikan syarat agar Telaga tidak menimbulkan banyak suara, agar apa yang diamati tidak menjadi takut dan hilang.

Tak lama kemudian mereka tampak merebahkan dirinya di atas sebuah batu ceper hitam di pinggir air terjun yang ada di sana. Percikan-percikan air terasa menghujani mereka, membuat mau tak mau baju-baju mereka menjadi basah. Walaupun merasa aneh Telaga masih berdiam diri untuk mengikuti apa yang akan disaksikannya nanti.

Hening. Hanya terdengar deburan air-air yang berjatuhan akibat gaya tarik bumi menghantam batu-batu dan rekan-rekan sesama air dibawahnya.

Tiba-tiba tampak kilauan-kilauan di udara jauh di sana. Mengambang. Semakin lama semakin banyak sehingga membentuk kabut. Bukan uap air atau pun butiran air. Seperti makhluk hidup. Kadang padat di satu tempat kadang di tempat lain. Bergerak lambat memenuhi ruang di atas suatu batu dekat dengan air terjun. Di seberang dari tempat di mana Telaga dan Walinggih bersembunyi mengamati.

"Itu makanannya datang..," tunjuk Walinggih pada muridnya.

Telaga yang tidak mengerti berusaha memicingkan matanya agar dapat lebih jelas melihat. Tak disadarinya ia bergeser maju dengan kepala yang agak meninggi. Tidak lagi ingat bahwa ia dan gurunya harus bersembunyi untuk mengamati apa yang akan datang di seberang mereka.

"Huggg..!!" dengan cepat dan tiba-tiba Walinggih menekan punggung muridnya agar kembali bertiarap sembunyi, supaya apa yang mereka akan amati tidak terganggu. "Jangan ketahuan..!" ucapnya.

"Maaf, guru!" sahut Telaga lirih. Lupa apa yang telah dipesankan gurunya sebelumnya saking tertariknya dengan apa yang dilihatnya saat itu.

Gurunya kemudian memberi isyarat dengan tangan untuk kembali mengamati batu-batu yang ada di sana, yang dipisahkan oleh sungai yang jatuh di antara mereka dan batu-batu itu.

Setelah agak lama kilauan-kilauan di udara, yang ternyata ada serangga kecil-kecil yang memanfaatkan percikan-percikan air, beterbagangan, muncul makhluk hidup lain yang amat aneh. Belum pernah Telaga melihat sebelumnya. Semacam kadal seukuran setengah telapak tangan lebarnya, akan tetapi dengan panjang ekornya bisa satu sampai satu setengah kali panjang tubuhnya. Hal lain yang membuatnya terkagum-kagum adalah warna dari makhluk itu. Warna pelangi. Warna kemerahan berada di kepalanya berangsur-angsur berubah seperti pelangi sampai menjadi biru keunguan di ujung ekornya. Benar-benar indah. Kadal Pelangi (Agama agama). Mereka bergerak-berak, keluar dari sela-sela batu untuk mendaki batu mencapai permukaan yang dekat dengan serangga-serangga yang sedang menari-nari di udara.

"Apa itu guru..?" tanya Telaga, "kita ke sini hanya untuk menyaksikan itu..?"

"Ssst..!" jawab gurunya sambil kembali memberikan isyarat untuk kembali memperhatikan Kadal-kadal Pelangi itu.

Tak berapa lama berkumpul banyak kadal-kadat tersebut di atas batu yang di atasnya menari-nari serangga-serangga yang membentuk kabut keputihan saking banyaknya. Kemudian kadal-kadal itu mulai meloncat-loncat menggapai serangga-serangga yang beterbangan dengan moncongnya. Memangsanya. Rupanya saat itu adalah saat mereka melaksanakan kegiatan makan mereka.

Berpuluh-puluh Kadal Pelangi berlompat-lompatan dengan indah. Kadang ada yang sampai berjungkir balik. Anehnya mereka dapat dengan mudah kembali lagi ke posisi semula di atas batu tanpa terbalik. Dan juga bagi Kadal Pelangi yang kebetulan berada pada bebatuan yang tidak mendatar, melainkan miring, terjadi hal yang sama. Mereka melompat dan kemudian kembali lagi ke tempat kira-kira mereka awalnya berpijak. Entah bagaimana caranya, terlihat seakan-akan mereka memiliki magnit pada tempat pijakannya semula. Melombat ke atas dan kembali.

Setelah beberapa lama menyaksikan tingkah polah kadal-kadal tersebut, Walinggih pun beranjak pergi. Digugahnya bahu muridnya agar mengikutinya. Mereka pun meninggalkan dengan diam-diam kadal-kadal tersebut yang masih melompat-lompat memangsa serangga-serangga makanan mereka.

Keduanya kembali berloncatan dari batu ke batu meninggalkan ceruk atau jurang di mana terdapat air terjun tadi. Tak lama kemudian sampailah mereka di pelataran batu yang cukup luas. Di sekelilingnya masih tampak bebatuan menyemut dan meninggi. Suatu ciri khas tempat di daerah Padang Batu-batu.

Walinggih pun mengambil suatu batu menonjol di tengah pelataran itu untuk duduk. Tak lupa ia menyenderkan pedang panjang yang selalu dibawa-bawanya. Telaga pun mengikuti dengan mengambil tempat duduk di dekat gurunya. Di atas batu kecil yang lain.

"Bagaimana pendapatmu tengang Kadal-kadal Pelangi tadi?" pancing gurunya. Ia ingin menguji kepekaan muridnya atas apa yang baru saja mereka berdua saksikan.

"Indah," sahut Telaga pendek. Lalu lanjutnya, "tapi ada yang membingungkanku, guru."

"Apa itu?" tanya gurunya. Ia berharap muridnya dapat menarik pelajaran dari gerakan-gerakan Kadal Pelangi yang melompat-lompat memangsa serangga-serangga tadi.

"Gerakan mereka. Bagaimana caranya mereka bisa bergerak ke atas, kadang terbalik akan tetapi dapat kembali pada kedudukannya semula. Mantap dan kokok. Bahkan pada Kadal Pelangi yang berpijak di batu yang miring," terang Telaga.

Gurunya mengangguk-angguk. Puas ia melihat bahwa muridnya menangkap sesuatu fenomena yang baru saja mereka saksikan bersama. Alih-alih menerangkan dengan kata-kata Walinggih menarik keluar pedang panjangnya, berjalan menjauhi tempat mereka duduk dan mulai membuat suatu gerakan-gerakan pada daerah terbuka itu.

Pelan dan teratur, akan tetapi kemudian semakin lama gerakan-gerakannya menjadi semakin cepat dan liar. Dan pada suatu saat, setelah cukup mendapat kecepatan dan hawa, Walinggih melompat ke atas terbalik. Menyabetkan pedangnya ke suatu obyek khayalan di udara. Menyentakkannya kembali ke belakang. Dan berjungkir balik kembali. Mendarat dengan kakinya kembali, ke posisi semula di mana ia awalnya melompat. Dan tidak hanya itu, dengan memanfaatkan tolakan saat mendarat yang diolah oleh kakinya yang berfungsi seakan-akan sebagai pegas, ia kembali melompat pada arah yang berlawanan, menyabetkan pedangnya ke atas dan menghentak kembali untuk mendarat ke tempat ia tadi melompat. Gerakan-gerakan ini diulang-ulangnya beberapa kali, sempai hampir habis napasnya.

Akhirnya Walinggih pun berhenti. Berbutir-butir peluh nampak berjatuhan dari sekujur tubuhnya. Rupanya diperlukan pengeluaran tenaga yang cukup besar untuk mempraktekkan gerakan itu. Bagian dari ilmu Pedang Panjang.

Ternganga Telaga melihat demonstrasi itu. Gerakan-gerakanya yang mirip yang dilakukan oleh Kadal-kadal Pelangi tadi, saat mereka memangsa serangga-serangga yang memenuhi udara.

"Guru, barusan tadi..," tanya Telaga yang tidak bisa menyembunyikan kekagumannya atas gerakan gurunya tadi.

"Gerakan itu kunamai.. Gerakan Kadal Pelangi Makan Pagi," katanya jenaka. "Mirip dengan kelakuan-kelakuan kadal-kadal yang baru kita saksikan tadi."

"Kupikir, dalam ilmu Pedang Panjang, hanya Sabetan Tunggal Menuai Dua saja yang paling ampuh. Yang barusan guru tunjukkan, benar-benar lebih dari itu," ucap Telaga kagum.

"Sebenarnya juga tidak," jelas gurunya, "Sabetan Tunggal Menuai Dua bisa dibilang merupakan gerakan mendatar dari Gerakan Kadal Pelangi Makan Pagi yang geraknya hanya vertikal. Dengan tidak meredam laju saat melakukan satu serangan, akan tetapi memanfaatkannya. Membelokkannya pada arah yang berlawanan, sehingga dapat membingungkan lawan. Selain itu pengguna gerakan juga tidak harus mengeluarkan terlalu banyak tenaga untuk membelokkan gerakannya secara drastis, karena sebenarnya hanya memutarnya saja."

Mengangguk-angguk Telaga mendengarkan penjelasan yang diberikan oleh gurunya itu.

"Mari," kata gurunya yang tidak memberikan kesempatan muridnya untuk lebih bertanya-tanya. Bagi Walinggih praktek melakukan gerakan-gerakan lebih penting. Setelah bisa, baru perlu pemahaman teoritis. Tidak ada gunanya teori bila tidak bisa melakukan prakteknya. Teori ada untuk menyempurnakan praktek dan bukan sebaliknya.

Walinggih pun kemudian menjelaskan pada Telaga muridnya bagaimana Gerakan Kadal Pelangi Makan Pagi itu dilakukan. Pertama-tama dibutuhkan dulu gerakan awal untuk membangkitkan hawa dan juga kecepatan. Otot-otot manusia yang diciptakan tidak sama dengan otot-otot Kadal Pelangi, dapat menyebabkan kerusakan atau kram apabila dipaksakan mendadak untuk melakukan gerakan-gerakan tersebut. Untuk itu Walinggih telah menciptakan gerakan-gerakan pemanasan. Tapi jangan dikira gerakan pemanasan ini tidak berguna. Gerakan pemasanan itu selain untuk pelemasan dan penghimpunan hawa, juga berguna sebagai ilmu pertahanan diri. Membuat lawan menjadi bingung karena sifatnya yang pelan akan tetapi kemudian menjadi liar.

Dengan susah payah Telaga berusaha memahami gerakan-gerakan yang ditunjukkan oleh gurunya. Dicobanya menirukan dan melakukannya. Lambat-laun dirasakan ada posisi-posisi yang enak untuk diulang-ulang. Posisi-posisi ini membuatnya lebih mudah untuk mengingat-ingat gerakan-gerakan yang dilakukannya.

Mengangguk-angguk Walinggih bahwa Telaga telah dapat sedikitnya menyelami satu dari empat bagian ilmunya. Tinggal waktu yang diperlukan untuk mematangkan gerakan-gerakan tersebut.

Saat itu hari telah menjelang siang. Matahari telah tinggi di langit. Waktu untuk mencari makan. Umumnya orang-orang di daerah itu jika tidak mencari-cari sayur-sayuran di hutan, mereka menangkap binatang-binatang yang ada. Tidaklah bisa disebut hutan, karena tempat yang dimaksud masih didominasi oleh bebatuan dan hanya sedikit pohon-pohon yang tumbuh di atas batu-batu yang memayungi ruang di bawahnya, sehingga menjadi lebih teduh dan gelap.

Siang itu Walinggih berencana untuk pergi ke Danau Genangan Batu dan daerah sekitarnya untuk menangkap Keuyeup dan ikan Julung-julung untuk dibuat Peyek. Jika beruntung ikan Beunteur pun mungkin dapat diperolehnya. Ikan yang terakhir ini sering juga disebut sebagai ikan kepala timah karena di kepalanya ada bagian yang berwarna kelabu seperti warna timah pada umumnya.

Setelah berpesan agar Telaga kembali mengingat-ingat gerakan yang baru saja diajarkannya Walinggih pun berlalu dari situ. Telaga masih tampak berpikir keras untuk menuangkan ingatannya pada gerakan-gerakan yang baru saja ditunjukkan gurunya itu.

***

"Sudah cukup kelihatannya Tenaga Air yang engkau pelajari, nak Lantang," ucap Ki Sura, "sudah hampir tiga tahun engkau bersama kami di sini. Sudah waktunya pula kita berpisah."

Menghela napas Nyi Sura mendengar perkataan suaminya, teringat ia pada anaknya Telaga yang sedang merantau ke selatan. Entah kapan mereka dapat bersua kembali. Dan anak ini, Lantang yang seolah-olah sebagai pengganti Telaga, haruslah pula berpisah. Dan ini memang kehendak suaminya, agar ia dapat meluaskan pengalamannya dan juga sebagai pelaksanaan tugas dari gurunya, Rancana si Bayangan Menangis Tertawa agar mencari dirinya setelah tamat belajar di Pulau Tengah Danau di Gunung Berdanau Berpulau.

"Tapi guru berdua..," tak sanggup Lantang melanjutkan kata-katanya. Rasa sayang kedua orang tua itu yang ditunjukkan saat mereka mengajarkannya Tenaga Air benar-benar telah menorehkan hubungan yang lebih dari murid dan guru dalam hatinya. Berat rasanya apabila ia harus berpisah dengan mereka.

"Kami akan baik-baik saja, tak perlu engkau kuatir, nak Lantang," Ki Sura berusaha berkata arif, menekan rasa harunya yang muncul melihat keenganan sang anak untuk berpisah dari mereka. Mereka berdua telah menganggap Lantang sebagai anaknya sendiri. Adik dari Telaga.

"Kamu tahu 'kan, bahwa gurumu Rancana masih berupaya agar jalan darahmu dapat berjalan lancar kembali. Ia mencari orang yang dapat menyembuhkannya. Konon kabarnya berdiam seorang keturunan Petapa Seberang di timur sana. Rimba Hijau. Kemungkinan gurumu bertandang ke sana..," jelas Ki Sura.

"Siapa nama orang yang tinggal di Rimba Hijau itu, ki?" tanya Lantang. Ia belum pernah diceritakan gurunya bahwa ada tempat seperti Rimba Hijau itu di timur.

"Orang-orang menyebutnya Ki Tapa," Nyi Sura yang menyahut. "Kami dulu sekali pernah bertemu dengannya. Ia pernah menyembuhkan kami saat kami salah melatih Tenaga Air. Ilmu yang dikuasainya bersumber dari kitab Jalan Selaras dengan Alam Semesta. Sebetulnya tidak ada hubungan langsung dengan Tenaga Air selain pemanfaatan gerakan-gerakannya yang luwes seperti air mengalir. Selain itu ia juga memiliki Jurus Air. Jurus yang berisikan gerakan-gerakan yang memanfaatkan sifat-sifat air dalam gerakannya."

"Apakah Ki Tapa adalah saudara perguruan Ki dan Nyi Sura?" tanya Telaga, "melihat bahwa nama ilmunya sama-sama menggunakan kata 'Air'. Atau ada hubungan dengan guru Rancana, melihat ilmunya bersumber dari kitab yang sama."

"Engkau memang cerdas, nak Lantang," jawab Ki Sura gembira, "akan tetapi walaupun namanya sama-sama air, akan tetapi keduanya, Jurus Air dan Tenaga Air tidak berhubungan secara langsung. Entah di awal-awalnya. Kami berguru pada orang yang berbeda dan masing-masing diwujudkan pada praktek yang berbeda. Jurus air adalah suatu ilmu beladiri, sedangkan Tenaga Air hanyalah ilmu hawa atau tenaga dalam. Mengenai hubungan dengan gurumu, kami tidak tahu. Lebih baik engkau tanyakan sendiri padanya nanti bila bertemu."

Mereka kemudian terdiam sejenak.

"Saat itu kami bertiga, kami pernah mencoba apakah Tenaga Air dapat digunakan dalam Jurus Air, ternyata bisa. Tapi tidak untuk semua gerakan. Entah gerakannya yang tidak murnni ataupun tenagannya yang tidak murni. Karena buntu akhirnya kami pun tidak melanjutkannya," lanjut Nyi Sura saat melihat bahwa pandangan Lantang masih mengisyaratkan kelanjutan dari kisah itu.

"Lalu bagaimana Ki Tapa itu dapat menyembuhkan guru berdua, apabila ia tidak bisa Tenaga air?" tanya Lantang bingung.

"Memang ia tidak bisa Tenaga Air, akan tetapi dari gurunya ia memperoleh ilmu pengobatan yang pada dasarnya diambil dari pemanfaatan energi dari empat elemen, yaitu air, tanah, udara dan api. Dengan berbekal pengetahuan ini ia dapat mengobati luka dalam yang kami derita," terang Ki Sura.

Lantang mengangguk-angguk mendengarkan penjelasan itu. Suatu hal yang menarik bahwa ada ilmu Tenaga Air dan juga Jurus Air. Akan tetapi keduanya tidak berkaitan secara langsung.

"Jadi bagaimana rencanamu, nak Telaga? Apa akan langsung menyusul gurumu ke Rimba Hijau atau hendak berputar dahulu menambah ilmu?" goda Nyi Sura. Di masa mudanya Ki dan Nyi Sura ini juga senang berpetualan merantau ke sana ke mari. Baru setelah seorang berilmu tinggi meminta mereka menjadi pewaris Tenaga Air, mereka berdiam diri di Gunung Berdanau Berpulau. Menunggu saat yang tepat untuk mewariskan ilmu-ilmu mereka. Dengan adanya Telaga anak mereka dan juga Lantang, sudah genap janji mereka bahwa ilmu Tenaga Air harus diwariskan kepada dua orang. Untuk menjaga apabila satu diantaranya meninggal terlebih dahulu, yang lain dapat menjaga dan mewariskannya pada orang yang bertulang dan berperangai baik.

"Janganlah kau goda nak Lantang ini," senyum suaminya, "biarlah ia berputar-putar dulu baru ke timur. Anak muda harus menimba ilmu dari menjalani kehidupan ini sendiri. Jangan kenyang hanya dengan petuah-petuah teoritis akan tetapi miskin pengalaman dan praktek."

Kedua orang tua itu pun kemudian tertawa hampir bersamaan. Lantang hanya tersenyum saja menyaksikan kelakuan kedua gurunya. Meskipun mereka telah sama-sama berusia lanjut, tapi gaya dan cara mereka bicara masih seperti orang-orang muda. Tidak terlalu terikat akan adat sopan-santun kebanyakan orang.

Ki dan Nyi Sura pun kemudian berpesan apa-apa yang harus diperhatikan telaga di rantau nanti. Jangan mencari-cari masalah, karena hal itu tidak baik. Selain itu pula ia belum dapat menggunakan tenaga dalamnya. Walaupun telah dilatih Tenaga Air oleh Ki dan Nyi Sura, dan juga Jalan Selaras dengan Alam Semesta oleh Rancana, Lantang hanya dapat menggunakan tenaga kasarnya dan tidak tenaga yang terhimpun di pusarnya. Ada suatu sebab, yang belum diketahui yang menghambat aliran hawa dalam tubuhnya. Selain itu Ki dan Nyi Sura, kedua gurunya pun berpesan agar jika bertemu dengan Telaga, menyampaikan rasa kangen dan sayang dari mereka.

Lantang mengangguk-angguk mengiyakan apa-apa yang dipesankan kepadanya. Ia akan pergi dari pulau itu keesokan paginya. Pagi-pagi sekali. Kepada kedua gurunya ia pamit saat itu juga karena mereka biasanya pada saat pagi-pagi seperti itu sedang tenggelam dalam samadinya, dan baru beranjat menjelang tiga perempat siang.

Hanya satu ganjalan yang masih ada ada di hati Lantang, yaitu Xyra. Xyra adalah seorang atau sesosok Undinen yang telah akrab dengan dirinya sejak semula ia datang ke tempat ini, Pulau Tengah Danau. Dengan bantuan Xyra Lantang dapat lebih cepat memahami Tenaga Air. Xyra sebagai makhluk yang termasuk dalam Roh-roh Air memiliki Tenaga Air dalam dirinya secara alamiah. Ia dapat dengan mudah membangkitkannya dan menunjukkannya pada Lantang, sehingga pemuda itu dapat merasakan dan mencoba untuk menirukannya, walau di dalam bawah sadar, mengingat ia tak mampu untuk mewujudkannya karena aliran darahnya masih tersumbat.

Ki dan Nyi Sura telah dapat menemukan suatu cara agar Lantang yang jalan darahnya tersumbat dapat masih mempelajari Tenaga Air, yaitu melalui mimpi. Dalam mimpi dapat dibangun jalan darah-jalan darah khayalan yang lancar dan dapat diatur sesuka hati. Dengan cara ini pengetahuan Lantang mengenai Tenaga Air dapat dilatih. Dewasa ini mungkin mirip dengan apa yang dikenal orang sebagai simulator.

Xyra pun berdasarkan kemampuan alamiahnya dapat berhubungan dengan Lantang melalui mimpi. Ia dapat menunjukkan bagaimana corak-corak aura dari Tenaga Air pada berbagai keadaan dan posisi. Dengan kerja sama ini, Lantang memperoleh kemajuan pesat akan pemahaman terhadap Tenaga Air. Lebih alami dibandingkan Ki dan Nyi Sura.

Dan sekarang Lantang hendak meninggalkan tempat ini. Sudah terasa berat untuk berpisah dengan kedua gurunya, Ki dan Nyi Sura. Terasa pula berat untuk berpisah dengan Xyra, sesosok yang boleh dikatakan teman main seumurnya di tempat itu. Ia tidak tahu bagaimana harus mengatakan hal ini kepadanya.

Perlahan ia berjalan mencoba untuk mencari-cari kata-kata yang bisa diucapkan pada Xyra bahwa kepergiannya ini bukanlah selamanya. Suatu saat ia mungkin kembali. Dan mereka dapat kembali bersua. Tapi sampai di ceruk di bawah Sungai Batu Hitam, tak satu pun kata-kata untuk perpisahan itu yang dapat ditemuinya. Lantang tak tahu apa yang harus dikatakannya pada Xyra, Undinen temannya mengenai kepergiannya itu.

Sesampainya di sana tak dijumpainya kawannya itu. Aneh. Biasanya pada waktu-waktu seperti ini Xyra pasti menantinya di sana. Untuk kemudian berlatih bersama-sama Tenaga Air sampai menjelang dini hari. Berlatih dalam mimpi Lantang.

Lantang pun berusaha memanggil-manggil, dikerahkannya suaranya. Tapi tidak ada sahutan. Akhirnya ia pun duduk terpekur. Biarlah pikirnya, ini pun lebih baik. Ia tidak harus menjelaskan hal yang sulit itu kepada Xyra. Mungkin nanti Ki dan Nyi Sura yang dapat menjelaskannya.

Setelah mantap dengan apa yang dipikirkannya Lantang pun mulai berkemas. Barang-barang miliknya tidak banyak, sehingga tidak dibutuhkan banyak waktu untuk mengumpulkannya. Setelah selesai hari pun telah menjelang senja. Ia pun beranjak kembali menemui Ki dan Nyi Sura untuk makan malam. Setelah itu ia akan menghabiskan waktunya untuk Mengheningkan Cipta dan tidur sampai besok pagi. Mempersiapkan fisik dan juga batinnya untuk perjalanan nanti.

***

"Anakku Nah, perhatikan apa yang bisa aku lakukan dengan benda-benda di atas meja ini!" ucap Seh Pratahu pada anaknya Nah Pratahu. Ia berkonsentrasi sebentar untuk kemudian menunjuk pada sebuah batu yang ada di hadapannya. Batu itu tambak bergerak sedikit, berputar. Lalu naik ke udara dan kemudian kembali menyentuh meja.

Setelah itu Seh Pratahu menunjukkan jarinya ke pada sebuah kertas yang terletak di atas meja itu, kertas itu bergerak-gerak seakan-akan tertiup angin, dan mendadak "wwwwrrrrt!" kertas itu pun terbakar. Terlonjak Nah Pratahu menyaksikan hal itu. Tak percaya dihampirinya kertas yang telah menjadi hitam itu. Remah-remah gosong tampak menghiasi tangannya.

Belum selesai dengan demonstrasinya, Seh Pratahu kemudian kembali menunjukkan jarinya kepada sebuah gelas yang berisi air, lama ia berupaya berkonsentrasi, sampai akhirnya dimintanya anaknya untuk menuangkan air dari dalam gelas itu keluar. Tidak berhasil. Alih-alih mengalir, air dalam gelas itu telah membeku semuanya. Menjadi es.

Kekaguman terpancar dari wajah Nah Pratahu menyaksikan kebisaan ayahnya dalam memanipulasi keadaan dari obyek-obyek di sekitarnya yang berkaitan dengan sifat empat elemen.

"Ini namanya Hawa Pikiran (telekinetik), dengan hanya berpikir engkau dapau melakukan sesuatu. Membuat api, membekukan air, mengangkat benda-benda dan bahkan bergerak cepat atau menghilang." Seh Pratahu kemudian menjelaskan hal-hal lain yang bisa dilakukan dengan menggunakan kekuatan otak atau pikiran.

"Tapi ayah.., apa bedanya dengan Hawa Tenaga Dalam -- yang juga bisa membuat orang berlari cepat dan memukulkan hawa dingin dan panas?" tanya anaknya ingin tahu. Dari buku-buku yang dibacanya, Nah Pratahu telah mengenal ilmu-ilmu yang dituliskan oleh para Pengujar Tua, ilmu-ilmu tenaga dalam dan bela diri yang amat ajaib bagi telinganya.

"Pada prinsipnya sama. Keduanya memanfaatkan energi dari empat unsur yang ada di alam, yaitu Unsur Air, Unsur Api, Unsur Angin dan Unsur Tanah," jelas sang Ayah, "hanya saja Hawa Pikiran tidak melatih otot-otot untuk mengerakkan energi-energi tersebut melainkan hanya pikiran. Lain dengan ilmu beladiri yang membangkitkan energi dari empat elemen dengan perantaraan hawa dari pusat. Suatu tandon sumber tenaga, kira-kira empat jari di bawah pusar."

Mengangguk-anguk Nah mendengarkan petuah dari Seh mengenai perbedaan dari Hawa Pikiran dan Hawa Tenaga Dalam. Dikatakan pula bawa Hawa Tenaga Dalam digerakkan pula oleh pikiran tapi hanya dalam perputarannya di dalam tubuh tidak diluarnya. Untuk mengeluarkannya dibutuhkan gerakan-gerakan tertentu. Lain dengan Hawa Pikiran yang tidak membutuhkan gerakan-gerakan tertentu untuk memanifestasikan energinya di luar tubuh.

Seh pun kemudian mengajari bagaimana Nah dapat mempelajari pengolahan Hawa Pikiran sehingga ia dapat memanfaatkan energi-energi dari empat elemen untuk memanipulasi benda-benda di sekitarnya.

Selain itu Seh mengajarkan pula apa yang disebut melihat Hawa Getaran (aura) yang ada atau dimiliki oleh setiap benda mati ataupun hidup. Hawa Getaran ini merupakan sifat alamiah dari benda-benda. Dengan mengetahui Hawa Getaran dari sesuatu kita bisa mengetahui sifat-sifatnya, tanpa perlu mendekati atau menyentuhnya. Informasi mengenai sifat-sifat ini telah dipancarkan melalui Hawa Getaran. Untuk manusia sifat-sifat ini meliputi pribadi dan keadaan emosinya. Dengan cara ini misalnya kita bisa tahu keadaan hati sesorang walaupun ia tidak mengetahuinya dari Hawa Getaran yang dipancarkannya.

Seh kemudian menceritakan bahwa manusia pada lahirnya memiliki kemampuan untuk melihat Hawa Getaran secara alamiah, akan tetapi semakin dewasa dengan semakin bergantungnya orang pada penglihatan akan benda-benda disekitarnya, semakin berkurang kemampuan mereka untuk melihat Hawa Getaran itu. Anak kecil adalah tingkatan awal di mana ia dapat melihat Hawa Getaran ini. Kadang orang tidak mengerti mengapa ada orang yang disukai oleh anak kecil akan tetapi ada orang yang dijauhi atau bila ia mendekat, maka anak kecil tersebut akan menangis. Hal ini dikarenakan anak kecil yang masih dapat melihat Hawa Getaran dari orang itu, tidak menyukai warnanya. Atau dengan kata lain Hawa Getaran orang tersebut tidak cocok atau menyakiti Hawa Getaran si anak, entah dengan sengaja atau tanpa sepengetahuan orang itu sendiri.

Pengujar-pengujar Tua yang dikenal sebagai orang-orang suci umumnya mempunyai Hawa Getaran yang gemilang dan berwarna emas. Sedangkan orang-orang yang kurang baik atau mengikuti hawa nafsunya umumnya memiliki Hawa Getaran yang kelam dan dingin menakutkan. Dengan melatih Hawa Getaran seseorang dapat menggunakannya untuk mengintimidasi orang lain. Ini biasa digunakan oleh petarung-petarung wahid yang bisa menang sebelum bertanding, karena lawannya telah keder duluan. Secara sadar atau tidak mereka telah menggunakan Hawa Getaran, walaupun mereka ataupun lawannya tidak bisa melihatnya sendiri melainkan hanya merasakan.

Dengan melatih mata untuk melihat warna-warna dari Hawa Getaran, pukulan-pukulan Hawa Tenaga Dalam dapat dilihat dan juga rambatan energi Hawa Pikiran. Kemampuan ini dapat dimanfaatkan sebagai suatu bentuk ilmu pertahanan diri.

"Lalu bagaima cara kita melatihnya, ayah?" tanya Nah amat tertarik. Ia baru kali ini mendengar apa yang disebut sebagai Hawa Getaran dan bagaimana cara melihatnya.

"Caranya tidak terlalu sulit, akan ayah ajarkan. Akan tetapi diperlukan kesabaran dan ketekunan untuk melatihnya," jawab Seh sambil tersenyum. Ia senang bahwa anaknya antusias terhadap apa-apa yang diajarkannya. Lalu lanjutnya, "Melihat Hawa Getaran bersama-sama dengan Hawa Pikiran merupakan ilmu wajib bagi keluarga Pratahu. Selain itu ada pula Hawa Berbicara dan Mendengar Terbalik. Akan tetapi untuk yang terakhir ayah tidak terlalu memahaminya. Pamanmu yang lebih banyak tahu. Hal ini akan ayah ceritakan belakangan."

Selanjutnya Seh pun menerangkan bagaimana cara untuk melatih Melihat Hawa Getaran. Ia menjelaskan mengapa anak kecil masih peka sehingga memiliki ilmu Melihat Hawa Getaran secara alamiah. Hal ini dikarenakan mereka belum manfaatkan matanya secara paksa sehingga ada bagian-bagiannya yang rusak. Berangsur-angsur dengan bertambahnya umur, merek mulai merusak matanya dengan memusatkan pandangan hanya pada hal-hal yang umumnya dapat dilihat. Hal-hal lain di luar itu, umumnya diabaikan oleh pikiran sehingga lambat-laun apabila terlihatpun tidak akan dilaporkan oleh otak.

"Orang yang telah dewasa sebenarnya lebih sulit untuk belajar Melihat Hawa Getaran dibandingkan anak kecil karena telah rusaknya lembaran halus (selaput retina) pada depan matanya," jelas Seh pada Nah. "Ada suatu cara yaitu dengan menggunanan Pandangan Samping (peripheral vision) di mana kita berusaha melihat Hawa Getaran dengan sudut mata kita."

Dijelaskan oleh Seh bahwa bagian lembaran halus pada pinggir mata umumnya tidak banyak dimanfaatkan, dengan demikian masih bisa dimanfaatkan untuk melatih Melihat Hawa Getaran. Ditunjukkan pula beberapa cara, antara lain dengan melihat dua buah lingkaran belah berbeda warna yang di antaranya terdapat titik di mana harus dilihat pada jarak tertentu. Apabila cukup berkonsentrasi maka akan terlihat bahwa kedua lingkaran belah tersebut seakan-akan bercahaya atau berpendar dengan warna-warna yang berbeda.

"Selain itu terdapat pula kelengkapan dari warna-warna yang ada," jelas Seh pada Nah, "artinya warna yang kita lihat biasa akan membangkitkan Hawa Getaran yang berbeda, boleh dikatakan pelangkapnya."

Lalu ditunjukkan oleh Seh suatu kitab yang ditulis oleh Pengujar Chalko (Tom Chalko) yang berasal dari pulau yang jauh di sana, yang "kamu tidak lihat" -- ose tra lia (Australia), nama yang dipetuturkan oleh pelaut-pelaut suatu bangsa pelaut. Dalam kitab tersebut dijelaskan padanan warna-warna, atau benda berwarna apa memberikan Hawa Getaran apa. Dituliskan di sana bahwa benda berwarna merah memberikan Hawa Getaran berwarna hijau-biru telur asin (turquoise atau cyan gelap), dan sebaliknya. Jingga (orange) memberikan Hawa Getaran biru dan sebaliknya. Kuning memerikan ungu (violet) dan sebaliknya serta hijau memberikan merah muda (pink) dan sebaliknya. Dituliskan pula bahwa warna-warna terang menunjukkan hal yang positif sedangkan gelap yang negatif, serta ditekankan bahwa warna putih menunjukkan gangguan kesehatan. Warna ini merupakan warna pilihan yang diyakini dilihat orang-orang pada seorang yang menjelang ajal pada jaman dahulu seperti tertuliskan dalam kitab-kitab lama.

"Nah sekarang latihlah, konsentrasi pada benda ini untuk melihat hawa getarannya. Juga ingat-ingat akan warna padanannya, ini penting untuk memisahkan apakah yang engkau lihat nanti adalah Hawa Getaran dari seseorang atau sesuatu atau hanya Hawa Getaran dari pakaian yang dipakai seseorang atau warna bendanya saja." Setelah berkata demikian Seh pun meninggalkan Nah dalam heningnya, yang mana masih berusaha untuk melatih ilmu Melihat Hawa Getaran. Suatu ilmu yang wajib dilatih oleh anggota keluarga Pratahu.

***

Di suatu pagi tampak seorang anak muda berbadan tegap tanpa baju dan hanya mengenakan celana coklat berlatih ilmu pedang. Pedang yang digunakan tak lazim panjangnya. Umumnya pedang memiliki panjang yang maksimal selengan penggunanya sehingga setiap saat bila dibutuhkan dapat ditarik dari sarungnya. Lain dengan pedang yang digunakan anak ini, jauh lebih panjang. Mungkin bisa sampai dua kali panjang pedang biasa. Dan tidak disarungkan, melainkan dibungkus begitu saja oleh kain sebagai sarungnya.

Anak muda tersebut tampak bergerak pelan, terlihat bahwa ia sedang mengingat-ingat gerakan yang sedang dilatihnya. Kadang ia hanya terdiam terlena dalam pembayangan gerakan yang pernah ditunjukkan gurunya. Bila dirasa cukup pembayangannya, ia pun melakukannya. Kadang ia bergerak cepat kadang lambat. Kadang teratur kadang liar. Gerakan-gerakan dari ilmu Pedang Panjang.

Telaga si anak muda tersebut sudah tampak berkeringat. Peluhnya berbutir-butir meluruh di sekujur tubuhnya saat ia berlatih. Napasnya pun mulai terengah-engah. Diaturnya kembali pernapasan sambil beristirahat. Ia masih gemas karena jurus terakhi yang diajarkan gurunya belum dapat dikuasai sepenuhnya. Akan dicobanya lagi gerakan itu setelah pulih tenaganya.

Selagi ia membayangkan gerakan-gerakan gurunya dan juga Kadal-kadal Pelangi yang sedang menari-narikan gerakannya saat memangsa serangga, terdengar suara batu kerikil yang dilangkahi orang di belakangnya. Belum sempat ia berputar untuk mencari tahu siapa gerangan sosok tersebut, sebuah batu telah melaju terbang ke arah dirinya. Menuju jalan darah penting ditubuhnya. Dengan indah alih-alih mengelak, Telaga pun menggerakan pedang panjangnya sehingga berfungsi sebagai tameng terhadap batu tersebut, dan "tingg!!" batu tersebut pun terpental. Tak jadi mencapai jalan darah di tubuhnya.

"Hei, siapa...!" belum selesai Telaga bertanya tentang apa maksud dan siap orang itu, sesosok bayangan telah menyerangnya gencar. Bertangan kosong. Tapi walaupun bertangan kosong jangan dikira serangan-serangannya lembek dan tidak berbahaya dibandingkan dengan serangan menggunakan senjata tajam. Sabetan tangan dan kakinya yang dilengkapi dengan Hawa Tenaga Dalam membuat serangan tersebut sama bahayanya dengan sabetan pisau atau golok.

Terpaksa Telaga pun mengelak, berkelit di sana-sini di antara ruang kosong yang tercipta dari serangan-serangan itu. Mundur dan mundur. Ia belum tahu siapa yang menyerangnya dan bukan sifatnya untuk langsung membalas menyerang, apalagi menggunakan pedang panjangnya. Untuk sementara ia akan bertahan dulu sambil mencari tahu maksud dari penyerangnya juga sekaligus melatih ilmu yang sedang dipelajarinya.

Dicobanya menyabetkan pedangnya secara mendatar untuk mengincar pinggang sang penyerang. Dalam gerakan ini pedang akan dilengkungkan ke atas untuk ditarik balik dalam rangka mengantisipasi lawan yang akan mengelakkan serangan pertama dengan melompat tinggi. Telaga telah gembira bahwa sang lawan tampak tidak waspada akan serangan yang dilakukan dirinya, dan ia pun telah memberi jarak agar pada saat yang tepat dapat menahan pedangnya agar tidak sampai melukai.

Tapi Telaga kecele, alih-alih melompat sosok tersebut malah bergerak maju dan menyerang leher dan kepalanya dengan telapak kakinya, beputar seakan-akan tidak mengindahkan serangan pada pinggangnya. Sebelum Telaga menyadari bahwa serangan itu hanyalah tipuan, sosok tersebut telah menarik balik kakinya sehingga ia jatuh ke atas tanah dan menyusup di bawah pedang panjang telaga yang lewat tipis di atas rambutnya.

"Deggg!!" sebuah serangan ringan menyambar pinggang Telaga. Pada jarak seperti itu, pedang panjang tidak ada gunanya. Lawan telah masuk ke dalam lingkaran yang lebih kecil dari ruang pedangnya. Tidak banyak gerakan yang dapat dilakukan sehingga Telaga pun mengalihkan tenaga ke pinggangnya untuk menahan serangan itu.

Dengan cepat sosok itu lalu menempel pada Telaga memegang pedangnya sedemian rupa sehingga Telaga tak mampu untuk memindahkan arah geraknya. Dengan tenaga penuh sosok tersebut menambah tenaga pada arah dorongan pedang semula sehingga gerakan Telaga menjadi berlipat ganda, sudah dihentikan. Akibatnya ia kehilangan nyaris keseimbangan. Hanya ada dua pilihan tetap mempertahankan pedang panjangnya yang tiba-tiba menjadi berat akibat dorongan lawan atau melepaskannya dan menyerang balik dengan menangkap lawan menggunakan ilmu Sabetan dan Tangkapan Lawan yang diajarkan oleh gurunya Arasan.

Telaga akhirnya memutuskan untuk melepaskan pedang panjangnya. Pedang tersebut melesat dengan kuat, masih menyimpan tenaga dorongan telaga dan lawannya. Dan "capp!!" menancap pada bebatuan tak tahu dari sana. Untung saja tidak ada manusia atau hewan yang berada di tempat tersebut.

Sekarang Telaga lebih leluasa menghadapi lawan yang selalu berusaha menyerangnya dari jarak dekat. Jarak yang hanya dapat dicapai dengan bertangan kosong. Perlahan Telaga telah dapat mengimbangi permainan dari lawannya itu.

Setelah lama-lama memperhatikan terlihat bahwa sosok itu agak kecil dibandingkan dengan dirinya. Berperawakan ramping dengan rambut yang digelung. Mungkin panjang rambutnya. Langkahnya ringan dengan muka yang disembunyikan oleh selendang yang dikenakannya. Lamat-lamat Telaga serasa mengenal sosok itu. Seperti pernah dilihat entah kapan dan di mana.

Saat ia sedang dalam lamunannya untuk menebak-nebak siapa gerangan sosok yang sedang menyerangnya itu, tak diduga sosok tersebut menggunakan salah satu gerakan yang agak sulit yaitu agak berjongkok kemudian menyerang kepala Telaga dengan jurus Menebang Kelapa yang diikuti satu tipu berkelit untuk mengunci kedua tangan Telaga dan diakhiri dengan jurus Berkelit Membanting Padi. Akibatnya sudah dapat diduga. Telaga terkunci, terseret arah gerakan lawannya dan terlempar ke atas tanah. Terbanting. "Deggg!!"

Terengah-engah sedikit sosok itu saat bergerak mundur. Rupanya cukup banyak tenaga yang dikeluarkannya untuk mengatasi Telaga. Lawan yang lebih besar tenaganya dari dirinya.

Saat itu tersadarlah Telaga, kecuali gurunya yang dapat melakukan gerakan itu di daerah ini hanya tinggal satu orang, Sarini putrinya. Lalu katanya, "Sarini, janganlah permainkan aku. Dalam ilmu Sabetan dan Tangkapan Tangan, tidaklah aku bisa menang melawanmu!"

Sosok itu tertawa geli mendengar ucapan Telaga. Senang rupanya ia dipuji sedemikian rupa. Tapi kemudian katanya, "Telaga jika sudah tahu siapa aku ayo coba kalahkan aku! Aku dengar dari paman Walinggih bahwa engkau baru diajari jurus Gerakan Kadal Pelangi Makan Pagi. Ayo tunjukkan padaku!"

Mendongkol juga sedikit hati Telaga mendengar ucapan itu, rupanya Sarini ini memang hendak menggodanya. Gerakan yang baru saja dipelajarinya itu sudah hendak dicobanya pula. Darah mudanya pun sedikit bergolak, ia ingin melihat apakah gerakan itu dapat mengatai ilmu Sabetan dan Tangkapan Tangan dari Sarini.

Beranjaklah Telaga ke batu tempat di mana pedang panjangnya tadi tertancap. Ditariknya pelan sambil diingat-ingat lagi jurus Gerakan Kadal Pelangi Makan Pagi yang diajarkan gurunya dan telah sedikit dipahami olehnya. Untuk menghadapi Sarini yang mengambil jarak tempur pendek, mungkin perlu perubahan-perubahan sedikit dalam pemanfaatan jurus itu.

Pertama-tama ia harus membuat gadis itu kalang kabut baru bisa mengeluarkan Gerakan Kadal Pelangi Makan Pagi yang tidak terduga dari atas untuk kembali menyerang posisi awal ia melompat. Jika langsung dikeluarkan Sarini mungkin dapat menebaknya.

Setelah memutuskan gerakan yang akan dilakukannya Telaga pun mulai menyerang Sarini. Awalnya hanya gerakan-gerakan sapuan mendatar dan miring. Ia ingin lebih dulu melihat bagaimana Sarini menanggapinya.

Sarini ternyata memiliki perasaan dan perhitungan yang tajam. Ia tidak banyak bergerak. Ia hanya membiarkan pedang panjang Telaga lewat satu dua jari dari tubuhnya. Tidak banyak ia bergerak, cukup mengelak tipis. Kagum juga Telaga melihat keberanian dan perhitungan yang tepat dari Sarini. Gadis ini benar-benar berhati harimau.

Karena lama tak membuahkan hasil, akhinya Telaga mulai meningkatkan kadar serangannya. Sekarang serangannya mulai gencar dan dibalas pula oleh Sarini dengan elakan-elakan yang lebih cepat. Masih belum menyerang. Kelihatannya Sarini masih mencari-cari celah untuk bertarung jarak dekat, agar ia bisa menangkap atau memukul bagian-bagian tubuh dari Telaga.

"Ayo keluarkan jurus Gerakan Kadal Pelangi Makan Pagi!" pancing Sarini.

Mendengar ini Telaga pun tergerak untuk mengeluarkan jurus itu. Bukan hanya karena emosi juga karena ia tertarik bagaimana gadis itu bisa menangani serangannya. Setelah sedikit bergerak liar menyabet ke sana ke mari membuat hampir tidak ada ruang kosong di kiri-kanan Sarini, Telaga pun meloncat terbalik dan menyabetkan pedangnya ke arah Sarini. Sarini pun melompat mundur untuk mengelak. Tipis akan tetapi mengenai selendangnya sehingga wajahnya pun terbuka.

Saat Telaga tersenyum atas hasil yang didapatkannya dan ia menyentak balik untuk kembali ke posisi semula di mana ia melompat tadi, seperti gerakan-gerakan Kadal Pelangi, Sarini bergerak cepat. Sarini telah mengambil posisi rapat, di mana Telaga akan mendarat. Sedemikian rapat sehingga jarak itu tidak dapat dimasuki lagi oleh pedang panjang.

Kaget tersurat pada wajah Telaga melihat posisinya tidak lagi menguntungkan. Belum habis gaya tarikan pedang panjangnya, kembali Sarini telah menggapai kedua tangganya, menambah dorongan sehingga Telaga kembali terikut arus putaran tenaga Sarini. Dan dalam sekejap kembali jurus Berkelit Membanting Padi digunakan. Hasil yang mirip diperoleh, yaitu Telaga dan pedangnya terlempar mendatar di atas tanah. Terlentang.

"Hehehehe..!!" tiba-tiba terdengar kekeh seseorang dari sisi kedua orang yang sedang bertarung itu. "Nak Telaga, kena engkau diperdaya Sarini."

Orang itu ternyata adalah Arasan. Ia telah lama berada di sana. Ia dapat dengan jelas melihat bagaimana anaknya Sarini memberi pancingan pada Telaga sehingga pemuda itu mengeluarkan jurus Gerakan Kadal Pelangi Makan Pagi yang langsung direbut posisi awalnya untuk dihancurkan.

"Guru..!" sahut Telaga sambil cepat bangun dan menjura.

"Ayah!!" suara Sarini dengan manja. Tampak merah mukanya. Entah malu entah agak tak suka bahwa ayahnya tiba-tiba muncul di sana. "Aku pergi dulu!" sahut Sarini yang segera hilang dari sana. Meninggalkan Telaga yang masih agak-agak bingung atas kekalahannya.

Setelah mereka berdua berdiam agak lama, bertanyalah Arasan pada Telaga, "tahukah kamu mengapa engkau bisa kalah dari Sarini?"

Telaga menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia masih agak bingung mengapa jurus yang dirasakannya ampuh itu tidak terlalu berguna dalam menghadapi Sarini.

"Tahukan pula, bila itu tadi adalah Walinggih, apa yang akan dilakukannya menghadapai lawan yang bertangan kosong?" tanya Arasan kembali alih-alih menjelaskan jawaban dari pertanyaan pertamanya tadi.

Kembali Telaga menggelengkan kepalanya, "tak tahu guru. Mohon petunjuk!"

"Ilmu bela diri itu harus dipahami inti dan maksud gerakannya. Jurus-jurus tidak hanya digunakan karena dirasakan indah atau ampuh saja. Melainkan digunakan pada situasi yang cocok untuk memanfaatkannya," jelas Arasan.

"Maksud guru?" tanya Telaga menyakinkan ketidahtahuannya.

"Memang jurus yang diajarkan oleh Walinggih itu teramat ampuh, tapi hanya untuk jarak menengah dan jauh, tidak untuk jarak dekat. Perhatikan waktu gurumu dulu menghadapi keroyokan orang-orang itu. Ia selalu mengambil cukup jarak bagi pedangnya untuk bergerak. Jika ruang terlalu sempit engkau harus mundur atau pergi sehingga tetap cukup ruang untuk pedangmu." begitu jelas Arasan.

Mengangguk-angguk Telaga mendengarkan pendapat gurunya mengenai ilmu yang diturukan oleh gurunya yang lain.

"Sebenarnya, ada rahasia lain mengenai kemenangan Sarini..," kata Arasan kemudian, agak tidak enak kelihatannya ia hendak menyampaikan.

"Maksud paman?" tanya Telaga ingin tahu. Ia tidak mengerti apa yang dimaksud dengan rahasia itu.

"Tapi engkau harus berjanji dulu tidak menceritakannya kepada Sarini. Bisa kecewa ia nantinya," jawab Arasan.

Telaga mengiyakan. Ada apa pula ini sampai tidak boleh menceritakan pada Sarini mengenai hal ini.

"Sarini sebenarnya telah belajar pula belajar pada Walinggih," ucap Arasan sambil tersenyum saat melihat Telaga terkejut, "bahkan ia telah pula diajarkan tipu-tipu gerakan untuk memunahkan Gerakan Kadal Pelangi Makan Pagi. Itu sebabnya ia dapat dengan mudah mengalahkan mu, nak Telaga."

Telaga terngaga mendengar hal itu, perlahan-lahan wajahnya pun memerah. Lalu katanya, "tapi itu bukan alasan bahwa Sarini dapat mengalahkan saya, ia memang lebih jeli dalam menggunakan gerakan-gerakan dalam ilmu Sabetan dan Tangkapan Tangan." Tak bangga pula ia bahwa kekalahannya diakibatkan Sarini telah mempelajari ilmunya dan juga diajari oleh gurunya, Walinggih.

"Menurut saya, guru, tak peduli orang telah mengenal ilmu kita atau tidak, kalah ya kalah!" begitu jawab Telaga.

"Bagus bila engkau berpendapat begitu. Dan memang demikianlah. Semakin engkau sering bertarung dengan lawanmu, semakain kenal lawanmu akan gerakan-gerakan yang akan engkau lakukan. Istilahnya ilmumu semakin telanjang atau transparan. Jadi sebaiknya seorang pendekar memperkuat ilmu dan gerakan yang disertai efesiensi pemanfaatannya ketimbang ragam dan gerakan-gerakannya yang tak terduga," jelas Arasan.

Telaga pun mengangguk-angguk. Setuju atau pendapat gurunya.

Tak lama kemudian mereka pun berlalu. Kembali ke rumah di mana ternyata telah menanti Walinggih dan Sarini. Yang terakhir ini sedang menyiapkan makan malam bagi mereka berempat.

Di hadapan mereka tersaji apa yang disebut orang-orang di ujung suatu pulau besar Le Bu Peudah atau Bubur Pedas. Suatu makanan khas yang umumnya disajikan hanya pada menjelang matahari terbenam. Jenis makanan itu merupakan campuran dari bahan-bahan beras, kelapa parut dan rempah-rempah seperti kunyit, merica dan tunas pohon kala. Cara memasaknya adalah dengan memasukkannya semua dalam satu kuali dan mengaduknya cukup lama. Dimasak kira-kira hingga tiga jam.

Setelah membersihkan kaki dan tangan untuk mulai makan, Telaga dan Arasan pun duduk di sekitar semangkok besar Le Bu Peudah. Di samping mangkok tersebut masih pula ada buah-buahan dan umbi yang telah dibakar.

Arasan duduk di samping Telaga, yang kemudian diikuti oleh Walinggih dan Sarini. Jadi boleh dikatakan berhadap-hadapan Walinggih dan Arasan, juga Telaga dan Sarini yang masing-masing dipisahkan oleh perabot makan yang berisikan santapan makan malam mereka.

Setelah sebentar mengucap syukur kepada Sang Pencipta, mereka pun kemudian mulai makan. Dan tidak biasanya bahwa malam itu tidak terdengar celoteh renyah dari Sarini yang biasanya ditimpali oleh Telaga. Kedua orang tua yang sedang makan, Arasan dan Walinggih hanya saling bertukar pandang melihat kekakuan yang muncul di antara kedua anak muda yang duduk saling berseberangan itu.

Tiba-tiba Walinggih memberikan sedikit isyarat pada Arasan melalui kedipan matanya. Isyarat ini dilontarkan saat kedua anak muda sendang menunduk menyupa Le Bu Peudah-nya. Alih-alih melakukan apa yang diisyaratkan Walinggih, Arasan malah memberi isyarat balik agar Walinggih saja yang memberitahu kedua anak muda tersebut mengenai hal yang mereka telah bicarakan sebelumnya.

Karena berulang-ulang keduannya saling mengedip-kedipkan mata dan juga menggerak-gerakkan dagu menunjuk-nunjuk pada kedua muda-mudi itu, akhirnya gerakan ini pun dilihat keduanya. Keduanya pun tak dapat menahan tawa melihat kelakukan guru-guru mereka. Telaga hanya tersenyum, sedangkan Sarini sampai terkekeh kecil dan kemudian menutupi mulutnya agar makanan yang sedang dikunyahnya tidak tersembur keluar.

Menyadari bahwa isyarat-isyarat mereka telah dilihat kedua anak muda tersebut, Walinggih dan Arasan pun menghentikan aksi mereka. Terdiam, terlihat salah tingkah. Mirip-mirip orang yang sedang tertangkap basah sedang melakukan sesuatu yang salah.

"Ayah, ada apa sih?" tanya Sarini pada Arasan. Tak tahan dia menahan geli melihat ayah dan Walinggih saling bergerak aneh-aneh dengan memainkan dagu dan juga sebelah mata mereka.

"Eh.., itu tanya saja sama pamanmu Walinggih..," jawab Arasan sekenanya. Juga sekalian melemparkan tangguna jawab agar Walinggih yang menjelaskan tingkah laku aneh mereka.

"Lebih baik ayahmu saja yang menjelaskan, Sarini. Dia lebih pakar dari paman," jawab Walinggih merendah sambil kembali lempar tanggung jawab. Sekalian ia menambahkan Le Bu Peudah dalam mangkoknya. Sudah empat kali ia tambah. Seanak-akan perutnya tak berbatas dalam mengasup makanan kegemarannya itu.

Melihat kejenakaan yang muncul dari tingkah polah kedua orang itu, pecahlah tawa antara orang muda itu. Telaga tak lagi dapat menahan tawanya, dipegangnya perutnya yang sakit. Sedangkan Sarini masih berusaha menyembunyikan suara tawa yang barusan terceplos keluar. Diupayakan untuk menutup mulutnya. Sementara air mata geli tampak telah mengalir sedikit di sudut kedua matanya.

"Arasan, lihat..! Kita malah jadi bahan tertawaan mereka, tuh! Ini gara-gara kamu sih, tidak mau menjelaskan..," tuduh Walinggih jenaka. Setelah mempunyai murid Telaga dan berhubungan dengan keluarga Arasan dan Sarini, Walinggih keluar sifat aslinya yang ramah dan jenaka. Tidak lagi serang dan dingin saat masih menjadi Hakim Haus Darah.

"Eh, bukannya engkau Walinggih yang mulai. Seharusnya engkau saja yang bilang. Kan dari pihak yang pemuda!" jawab Arasan tak mau kalah.

Kata "pihak pemuda" tiba-tiba saja menghentikan tawa yang ditahan dari kedua muda-mudi itu. Tiba-tiba saja keduanya tertunduk malu dengan semburat merah di wajahnya. Jelaslah sudah apa yang ada di benak kedua orang tua itu dengan kata tersebut. Dan hanya satu yang mungkin. Perjodohan!!

Masih dalam rangka menggoda keduanya, Walinggih pun berubah gaya bicaranya. Menjadi keren dan serius. Lalu katanya, "Adik Arasan, saya Walinggih dengan rendah hati ingin menjodohkan murid saya yang bodoh ini, Telaga, sebagai pasangan dari anakmu yang cantik dan pandai memasak, Sarini. Semoga usul ini dipertimbangkan dan diterima...!"

Arasan pun tak mau kalah. Ia pun lalu membalas dengan merendah, "Kakak Walinggih, saya Arasan merasa amat beruntung bahwa putriku yang bodoh ini bisa mendapatkan perhatian dari muridmu yang gagah, rendah hati dan bersemangat itu. Akan tetapi perjodohan adalah urusan yang akan dijodohkan, sebaiknya engkau tanyakan saja langsung pada yang bersangkutan!"

Kedua muda-mudi itu benar-benar mati kutu. Mereka tidak bisa bicara apa-apa. Jika tadi semburat merah telah ada di wajah, saat ini telah menjalar ke leher dan telingah. Keduanya tampak mirip-mirip kepiting atau udang rebus.

Setelah hening sebentar diberikan oleh kedua orang tua itu kepada Sarini dan Telaga agar mereka dapat menguasai diri mereka kembali, berkatalah Arasan, "Nah, putriku Sarini. Bagaimana jawabanmu atas lamaran paman Walinggih?"

Memang suatu kebiasaan yang tidak lazim di jaman itu bahwa anak yang akan dijodohkan ditanyakan langsung pendapatnya. Umumnya kedua orang tua yang menerima pinangan perjodohan yang menentukan, dengan si anak tidak memiliki kemampuan untuk mengubah keputusan orang tuanya. Akan tetapi lain dengan keluarga Arasan. Mungkin dikarenakan mereka hanya tinggal berdua dan tidak memiliki saudara lain di sekitar situ dan juga Arasan memberikan kebebasan kepada anaknya untuk mengambil keputusannya sendiri. Karena ia sendiri yang akan nanti menjalani konsekuensi dari keputusannya itu.

Dengan wajah yang masih memerah dan tertunduk malu Sarini berkata, "ayah.., terserah ayah saja..! Saya masih harus membereskan perabot makan ini..!" Lalu dengan cepat ia berdiri dan membereskan perabot-perabot bekas mereka berempat makan malam itu dan berlalu dari ruang tengah itu, menuju ruangan di balik yang dipisahkan oleh sekat terbuat dari daun kelapa untuk mulai mencuci perabot-perabot makan malam.

Arasan tertawa melihat tindak-tanduk putrinya. Ia merasa bahwa putrinya menerima pinangan dari Walinggih untuk dijodohkan dengan Telaga. Sebagai seorang ayah yang dekat dengan anaknya, dapat ia merasakan itu. Biasanya Sarini akan menyatakan dengan tegas apabila ia tidak setuju akan sesuatu yang dikemukakan ayahnya.

"Hahahaha..!" berderai tawa Arasan yang kemudian diikuti oleh Walinggih. Mereke sama-sama senang bahwa urusan ini menjadi beres sesuai dengan hasil yang mereka perkirakan. Tak lupa mereka menepuk-nepuk punggung Telaga yang duduk di antara mereka, yang sedari tadi hanya tertunduk diam dan malu.

Setelah berhasil menenteramkan hatinya, berkatalah Telaga, "Maafkan perkataan saya ini, akan tetapi guru berdua ini sedari tadi sama sekali belum menanyakan pendapat saya..."

Kedua orang itu terdiam. Mereka teringat bahwa mereka sama sekali belum menanyakan pendapat murid mereka Telaga apakah mau dijodohkan dengan Sarini. Mereka sudah saja merasa yakin, karena siapa sih yang tidak mau dijodohkan dengan gadis semanis Sarini. Pandai masak pula.

Yang paling terkejut adalah Sarini, sampai terhenti kegiatannya mencuci mangkok yang digunakan itu mendengar perkataan Telaga. Ia di dalam hatinya telah lama menyukai Telaga, bahkan ayahnya pun mengetahui itu dari sikapnya yang kadang melamun saat Telaga tidak datang ke rumah mereka untuk berlatih ilmu Sabetan dan Tangkapan Tangan. Karena dipergoki oleh ayahnya, mengakulah ia akan hal itu.

Atas dasar pengakuan itu dan juga rasa sukanya pada muridnya, Arasan pun menghubungi Walinggih. Yang dihubungi merasa gembira pula. Kehilangan keluarga, anak dan istri, yang membuatnya sedih tiba-tiba terlupa. Tanpa pikir panjang Walinggih mengatakan bahwa pastilah muridnya bersedia dijodohkan dengan Sarini.

"Eh, apa maksudmu Telaga?" tanya Walinggih. "Kamu tidak suka dengan Sarini? Bodoh kamu!"

Bersemu merah wajah Telaga. Lalu ujarnya, "Saya.. suka guru.., tapi saya harus memberitahu kedua orang tua saya dulu.."

"Ah, kamu benar sekali! Sudah pikun orang tua ini..!" kata Walinggih sambil menepuk jidantnya sendiri. "Engkau masih ada orang tua di utara sana."

Sarini yang mendengarkan itu dari tempat mencuci piring merasa lega. Tadinya sempat perasaannya bergolak. Ia takut bila Telaga menolak atau bisa saja telah dijodohkan. Tak terasa bersemu merah kembali wajahnya mengingat bergolaknya perasaannya tadi.

"Hmm, gimana ini..? Padahal engkau ingin aku suruh pergi jauh ke selatan mencari orang-orang yang tinggal di perahu, di tengah laut. Mereka adalah orang-orang yang hidupnya benar-benar di atas air. Salah satu kemampuan mereka adalah bela diri dalam air. Bagus untuk engkau pelajari untuk melengkapi ilmu-ilmumu," begitu ujar Walinggih.

"Begini saja, kakak Walinggih, bila kakak tidak berkeberatan bagaimana bila kakak yang mengatakan kepada kedua orang tua Telaga di Gunung Berdanau Berpulau soal perjodohan ini. Saya tidak pada tempatnya karena saya adalah orang tua yang perempuan," usul Arasan.

"Hmm, boleh juga itu! Sudah lama aku tidak berjalan jauh ke mana-mana. Baiklah, aku akan ke utara mencari kedua orang tua Telaga untuk memberitahukan perjodohan ini. Moga-moga mereka setuju. Lalu kemudian kita bicarakan lagi kapan hari baiknya," jawab Walinggih.

Kedua orang tua itu akhinrya sepakat. Telaga yang berada di antara mereka tidak lagi menyanggah. Ia hanya bisa pasrah. Pasrah untuk dijodohkan pada Sarini, gadis yang diam-diam juga ia sukai.

Hari pun berlalu dengan cepat. Walinggih kembali berulang-ulang mengajarkan Telaga bagaimana jurus-jurus dalam ilmu Pedang Panjang-nya digunakan. Ia juga menyuruh Telaga untuk melatih kembali ilmu Sabetan dan Tangkapan Tangan dari Arasan. Kedua ilmu itu harus dipadukan agar pertahanan dan serangan menjadi mantap. Baik untuk jarak pendek ataupun menengah dan jauh. Dengan atau tanpa pedang panjang.

Dan anehnya setelah pembicaraan perjodohan itu, kedua muda-mudi malah menjadi agak asing satu sama lain. Tidak lagi bebas dan akrab seperti semula. Urusan perjodohan itu membuat mereka merasa sungkan satu sama lain. Kedua orang tua yang melihat hal itu membiarkannya saja. Nanti mereka juga akan kembali seperti semua, begitu pikir keduanya.

Akhirnya tibalah hari perpisahan itu. Telaga disuruh gurunya untuk menimba ilmu di selatan, jauh di lepas pantai. Di antara orang-orang yang tinggal di laut, Suku Pelaut. Orang-orang yang hanya sesekali ke darat untuk menukarkan kebutuhan hidup mereka. Sisa hidupnya benar-benar dihabiskan di atas air.

Telaga diberikan waktu sekitar tiga tahun untuk kembali ke Padang Batu-batu untuk melanjutkan perjodohannya. Sementar itu Walinggih akan pergi ke utara, ke Gunung Berdanau Berpulau untuk menceritakan soal perjodohan itu kepada kedua orang tua Telaga, Ki dan Nyi Sura. Atas usul Arasan, Sarini pun dibawa serta untuk sekaligus diperkenalkan. Baik sekali apabila ia bisa menjadi murid dari kedua Pelestari Tenaga Air. Sekalian mengenal calon mantu mereka. Sarini hanya dapat menunduk mengiyakan mendengar keputusan ayahnya. Terasa kuatir pula bila kedua orang tua Telaga tidak menyukai dirinya.

Kedua rombongan itu pun berpisah. Telaga ke arah selatan, sedangkan Sarini dan Walinggih ke arah utara. Berganti-ganti Arasan melihat kedua rombongan itu sampai hilang dari pandangan. Terasa sepi dunianya tanpa kehadiran orang-orang yang dekat dengannya. Tiba-tiba saja dirasakan umurnya bertambah beberapa tahun.

"Ada waktu berkumpul, ada pula waktu berpisah..," gumamnya, "tak ada yang kekal di dunia...," sambil melangkahkan kakinya kembali ke rumahnya.

***

Seorang pemuda tampak sedang berjalan seenaknya. Wajahnya bersih dan selalu dihiasi senyum. Badannya cukup berisi dengan perawakan tidak terlalu tinggi tapi proporsional sehingga membuatnya terlihat enak untuk diajak bicara. Perangainya yang riang menambah daya tariknya.

Pemuda itu tampak sedang melakukan perjalan seorang diri. Tak terlihat ada orang yang berjalan bersama atau mengikutinya. Untuk menghilangkan rasa sepi, ia pun bernyanyi-nyanyi kecil.

"Burung bersiul bersahut-sahutan,

matahari bersinar cerah,

kera-kera bermain di hutan,

bunga semerbak merekah.

Buat apa susah,

susah itu tak ada gunanya,

buat apa resah,

resah itu juga tiada gunanya.

Tralala.., trilili.., haha.., hihi..

Nanana..., ninini..., dada.., didi.."

Lagu yang sering dinyanyikan gurunya saat sama-sama bepergian. Sudah bisa ditebak bahwa pemuda itu adalah Lantang. Ia baru saja turun dari Gunung Berdanau Berpulau. Seyogyanya ia harus mencari gurunya ke timur. Akan tetapi dari cerita-cerita orang yang didengarnya sambil lalu ia tertarik untuk sedikit berjalan ke selatan baru ke timur. Melewati kota-kota yang dibicarakan oleh orang-orang itu.

Ada kota Düsseldorf (kota Pinggir Sungai Menggelegar) yang dikatakan memiliki dua belas Ständischen (Yang Berdiri) di Nordpark (Taman Utara) yang pada suatu waktu hilang sama sekali digondol entah oleh siapa. Selain itu ada pula Kota Batu-batu yang terletak di tepi Padang Batu-batu. Padang Batu-batu merupakan suatu hutan yang bukan ditumbuhi pepohonan akan tetapi batu-batu dari ukuran kecil sampai sebesar rumah.

Hal-hal tersebut menarik hatinya. Selama berdiam di Gunung Berdanau Berpulau, Lantang tidak pernah sekalipun turun gunung. Ini barulah pertama kalinya ia turun gunung saat mulai remaja. Suasana sudah banyak berubah dibandingkan dengan keadaan dulu saat ia ditemukan oleh gurunya dan diajak berdiam di gunung.

Tiba-tiba saja terdengar bunyi-bunyi lucu dari perutnya. Mirip kukuruyuk seekor ayam jadi. Bunyi itu ternyata tanda-tanda bahwa perut yang punya telah minta untuk diisi. Diasupi penganan agar dapat menenteramkan lambung yang ada di dalamnya.

Lantang, pemuda itu, pun celingak-celinguk. Ia mencari-cari dengan matanya tempat yang enak untuk digunakan untuk makan siang. Samar-samar didengarnya gemericik air yang khas saat melewati batu-batu. Suatu bunyi yang sudah menjadi temannya sehari-hari saat menimba ilmu Tenaga Air di Gunung Berdanau Berpulau. Bergegas ia menuju pada sumber gemericik air itu. Sudah dibayangkan betapa enaknya melangsungkan makan siang di tepi sungai yang jernih dan segar dan ditemani dengan angin yang sepoi-sepoi menyejukkan pada siang yang panas ini.

Berjarak satu-dua tombak dari sungai jernih yang ditemukannya, dibentangkannya kain yang tadi dibawanya di pundak, yang berfungsi sebagai kantung perbekalan yang dibawanya. Dipilihnya suatu batu besar sebagai senderen untuk duduk. Saat baru turun gunung, ia telah dibekali oleh kedua gurunya sedikit uang dan juga makanan kering yang dapat tahan hingga seminggu. Di antaranya terdapat dendeng, manis-manisan dan bumbu-bumbu. Sebagai makanan utama masih ada ketan dan juga ubi kering yang siap disantap.

Tak perlu terlalu lama perut Lantang menunggu untuk diasup. Segera setelah kunyahan-kunyahan di mulut berlangsung, lambung pun mendapat giliran untuk disua oleh penganan itu. Nikmat rasanya. Sekujur tubuh serasa mendapatkan energi baru.

Tiba-tiba ia dikejutkan oleh kehadiran seorang di depannya. Agak jauh di hadapannya, di bawah sebuah pohon yang rindang, tampak seorang tua sedang duduk memandangnya. Lantang yakin bahwa tadi tiada seorang pun di sana. Orang tua tersebut tampak sedang dalam posisi berjongkok. Memandangnya dengan tertarik, teruma terhadap penganan yang sedang disantapnya.

Ada sesuatu yang aneh dari orang tua itu, yaitu suasana warna kehijauan yang tampak. Agak kontras dengan batang pohon tempat ia menyandar yang jelas-jelas berwarna coklat tua. Lantang tidak bisa begitu melihat raut wajah orang itu, hanya dari warna rambut dan kerut-kerutan di wajahnya, diduganya bahwa itu adalah seorang yang sudah agak tua. Mungkin lebih tua dari kedua gurunya, Ki dan Nyi Sura. Juga guru pertamanya, Rancana si Bayangan Menangis Tertawa.

Terdengar tiba-tiba bunyi yang barusan membuat Lantang memutuskan untuk berhenti makan siang. Bunyi kukuruyuk. Kalau tadi bersumber dari perutnya, saat ini kelihatannya tidak lagi. Pasti dari orang itu. Mendengar ini mau tak mau Lantang pun tersenyum. Lalu ditawarkannya makanannya sambil mengangsurkan sekerat dendeng dan sepoton ubi.

"Ki sanak yang di sana, mau makan sama-sama saya?" tanyanya sopan, "hanya makanan sederhana..."

Belum habis Lantang mengucapkan kata-kata untuk menjelaskan apa yang bisa ia tawarkan, orang itu telah bergerak ke arahnya. Halus akan tetapi cepat. Amat cepat, sehingga dalam beberapa kejapan mata ia telah berada di hadapan Lantang. Mengambil makanan yang ditawarkan dan langsung menguyahnya perlahan-lahan. Serius, seakan-akan benar-benar menikmati rasa lezat yang muncul saat bagian-bagian yang dikunyahnya dibasahi oleh air liur.

Dalam jarak sedekat ini tampak lebih jelaslah raut wajah orang tua itu. Sebenarnya belumlah ia terlalu tua, melainkan wajah khas orang muda yang banyak dirundung masalah. Tua sebelum waktunya. Tua dikarbit permasalahan atau pikiran. Baju yang dikenakannya juga aneh. Bukan karena bahannya yang kasar, melainkan karena warnanya yang berbeda pada bagian kiri dan kanan. Sebelah hijau muda, mirip warna kulitnya dan sisanya biru muda. Suatu paduan busana yang belum pernah dilihat Lantang sebelumnya.

Tak berapa lama habislah sepotong ubi dan sekerat dendeng itu. Orang itu langsung beranjak ke arah sungai yang terdapat tak jauh dari sana. Setibanya di dekat air, alih-alih menjangkau air dengan telapak tangannya untuk diminum, orang itu malah menurunkan kepalanya untuk langsung meminum air sungai itu dengan mulutnya. Mirip dengan kelakukan hewan-hewan mamalia yang hidup di hutan. Setelah itu ia kembali memandang Lantang. Ada ungkapan terima kasih di matanya. Seakan-akan mengangguk, orang itu kemudian menghilang. Cepat. Tak bisa dirasakan. Mirip dengan cara ia datang tadi yang secara tiba-tiba.

Lantang hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kelakukan orang tua itu. Tiba-tiba teringat ia pada Xyra, sahabatnya yang seorang Undinen. Warna-warna Undinenlah yang dilihatnya pada busana dan kulit orang tua itu. Lantang pun berniat untuk bertanya pada orang tua itu, apabila mereka bersua kembali.

Angin sepoi-sepoi dan juga perut yang telah terisi benar-benar paduan yang cocok untuk membuat mengantuk. Ditambah lagi dengan rasa letih yang telah menumpuk sejak perjalannya tadi pagi sedari turun dari gunung. Direbahkan badannya di samping batu yang dijadikannya tadi sebagai sandaran, setelah terlebih dahulu membereskan perbekalannya kembali ke dalam buntalan. Sebagai alas kepala digunakannya buntalan bekalnya tadi. Tak lama Lantang pun terlelap.

Dalam tidurnya, ia pun bermimpi.

Ia berdiri di pinggir sebuah pantai di mana di salah satu bagian di hadapannya tampak air sungai bersua dengan air laut. Sebuah muara. Di bagian muara yang melebar itu terdapat sebuah pulau. Khas pulau-pulau delta pada umumnya. Di sana di kejauhan Lantang melihat dua sosok orang sedang berhadapan. Keduanya berdiri setombak dua tombak lebih. Tidak terlihat dengan jelas dari tempatnya berdiri. Dari caranya mereka berdiri terlihat bahwa bukan suatu pembicaraan ramah-tamah.

Keduanya tiba-tiba bergerak cepat. Saling mengitari dan melemparkan pukulan dan tendangan. Tidak jelas alasannya. Setelah mereka bergerak terlihat bahwa salah satu sosok adalah seorang wanita. Hal ini terlihat dari bentuk tubuh dan juga rambutnya yang panjang. Sosok yang lain seperti seorang laki-laki tua. Selain itu terdapat persamaan di antara keduanya. Keduanya memancarkan seperti cahaya hijau muda. Bukan dari busana mereka, melainkan cenderung dari bagian-bagian tubuhnya.

"Happ! Deggg!!" tiba-tiba lelaki tua itu memasukkan tendangannya dan juga pukulannya pada sang wanita. Wanita itu terlempar mundur beberapa langkah. Tetapi tidak terjatuh. Melainkan melayang ringan bagai bulu yang tertiup angin. Melayang dan turun dengan halusnya di atas kedua kakinya. Kembali dalam posisi siap menyerang.

Lelaki itu setelah melepaskan serangannya terlihat seperti terhuyung. Membuang tenaganya dalam satu serangan. Akan tetapi alih-alih ia terhuyung gerakannya malah tambah kuat. Mengendap ke bumi. Mengalir seperti air.

Keduanya kembali berhadapan. Berdiri satu di depan lainnya. Menimbang-nimbang serangan apa yang akan dikeluarkan. Menilik dari serangan tadi, keduanya bersumber pada elemen alam yang sama. Air. Suatu cara pengaturan tenaga yang mengalir. Luwes. Menuju ke pusat bumi akan tetapi tidak kaku. Keras tetapi tidak getas. Lentur dan membaur. Air.

Lantang yang tadi melihat dari jauh, begitu tertariknya ia sehingga tak sadar ia telah berada di atas pulau delta itu. Entah bagaimana caranya. Sekarang ia hanya berada dua tiga tombak jauhnya dari kedua orang yang masih berdiri berhadapan itu.

Sekarang lebih jelas dilihatnya bagaimana sosok dan perawakan kedua orang itu. Kedua orang itu ternyata orang-orang yang telah dikenal dan pernah ditemuinya. Xyra sang Undinen dan pak tua yang tadi siang menerima pemberian bekalnya yang sederhana.

Tapi apa maksudny ini? Mengapa keduanya berseteru? Belum habis Lantang berpikir tentang apa-apa yang bisa menjadi sebab, keduanya telah kembali berlaga. Bergerak dengan halus dan cepat. Mencari-cari posisi yang lowong untuk melemparkan sekepal dua kepal pukulan.

Lantang yang dapat merasakan himpitan aura dingin dari keduanya menyadari bahwa pertarungan ini sungguh-sungguh. Keduanya ingin mengalahkan yang lain. Ia merasa bahwa ia harus mencegahnya. Mencegah pertarungan ini berlanjut, sebelum salah seorang dari mereka tersungkur di atas tanah.

Tanpa lebih jauh mempedulikan apakah tindakannya itu berbahaya atau tidak bagi keselamatan dirinya, Lantang langsung bergerka ke tengah. Maksud ingin menengahi. Hanya saja saatnya tidak tepat. Ia menyelak masuk saat kedua orang yang sedang bertempur itu sedang melepaskan masing-masing pukulan mereka.

"Deggg! Dess!!" keduanya pun terkejut melihat ada seorang di tengah-tengah mereka. Seorang yang malah menjadi sasaran pukulan keduanya. Selanjutnya gelap pandangan Lantang. Kesadarannya pun mulai perlahan-lahan menghilang.

Dirasakannya tubuhnya sakit-sakit saat ia mulai tersadar kembali. Keningnya pula dirasa berdenyut-denyut pusing. Secarik kain yang dibasahi meringankan sedikit rasa sakitnya. Terlihat seorang tampak meletakkan kain basah itu di keningnya. Sementara seorang lain tampak sedang memasak sesuatu. Sesuatu yang tercium lezat dari aromanya yang mengambang di udara.

Xyra. Pak Tua. Kedua orang yang ada di dalam mimpinya tadi tampak di hadapannya. Xyra tampak menguatirkan dirinya dengan sesekali menyeka keningnya. Sementara Pak Tua masih sibuk mengaduk-aduk kuali yang sedang dijerangnya di atas air.

Lantang berusaha untuk bangun. Tapi tak ada tenaga. Rasa sakit ditambah dengan kehilangan tenaga membuatnya tak dapat bangkit. Selain itu dengan isyarat tangannya Xyra mengatakan bahwa sebaiknya ia tetap dalam posisi berbaring. Akhirnya Lantang pun mengiyakan. Lagi pula tak ada yang dapat ia lakukan. Masih bingung dirinya mengenai apa yang baru terjadi. Apakah tadi itu benar-benar terjadi atau hanya mimpinya saja. Seingatnya ia tadi tertidur sehabis makan siang. Sehabis Pak Tua itu meninggalkan dirinya.

***

Paras Tampan hanya bisa menghela nafas menyaksikan desa tempat ia dilahirkan yang sekarang telah menjadi sebuah kota, Kota Luar Rimba Hijau, menjadi puing-puing. Hancur tak tersisa.

Saat ia tiba di sana asap dan api telah lama berlalu. Sebagian mayat-mayat telah dikuburkan, tapi belum semuanya. Sebagian besar penduduk entah mati atau mengungsi. Hanya yang tersisa berupaya untuk menguburkan. Semampunya, agar bau busuk mayat tidak mengudara dan menjadi sebab penyakit bagi yang masih hidup.

Paras Tampan tanpa banyak berucap langsung saja membantu para penduduk yang tersisa membenahi kota mereka. Beberapa orang tua yang ada masih mengenalinya. Para muda-muda merasakan wajahnya yang asing. Beberapa tahun di Rimba Hijau dan juga perkembangan kota yang pesat melahirkan penduduk-penduduk baru yang berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Tidak terkecuali Kota Luar Rimba Hijau. Jadi masuk akal banyak orang-orang baru yang tidak mengenal dirinya. Hanya tua-tua yang tahu dan dulu hadir saat mereka mulai belajar ke Rimba Hijaulah tahu dan masih mengenal dirinya.

Setengah hari telah dihabiskan Paras Tampan untuk membongkar bagian-bagian rumah yang dibakar untuk mencari-cari apa ada mayat yang tersembunyi di bawahnya. Tak terasa ia akhirnya mencapai suatu bangunan yang cukup luas. pekarangan di dalamnya. Walaupun telah terbakar habis akan tetapi masih memperlihatkan bentuknya yang kokoh dan kaku. Suatu perguruan beladiri. Di dalamnya ia melihat tiruan dari portal Rimba Hijau lengkap dengan ukiran-ukiran di keempat sisinya. Juga lubang-lubang bendera atau panji-panji di atas keempat pinggirnya.

Siapa gerangan yang membangun tempat ini? Apakah..?

Pertanyaanya terjawab tak lama kemudian saat ia memasuki bangunan kayu yang sudah rusak sebagian dimakan api dan terbasahkan hujan itu.

Di salah satu dinding yang masih tersisa dari amukan api, ia melihat sebuah papan yang berisikan tulisan-tulisan nama-nama orang-orang yang terdaftar di perguruan beladiri itu. Dibacanya perlahan-lahan dari bawah ke atas.

Tiba-tiba perasaannya seperti tercekat. Ya, nama-nama yang tertulis di sana dikenalnya. Para pengajar di sana adalah rekan-rekannya yang tidak beruntung karena tidak diijinkan untuk mengikuti ujian akhir di Gunung Hijau. Mereka adalah orang-orang yang telah pulang ke Kota Luar Rimba Hijau.

Dan di sebelah kanan dari nama-nama itu tertulis pula nama-nama seperti Rintah, Misbaya, Gentong, dan lainnya. Orang-orang yang telah berhasil mengikuti ujian akhir di Gunung Hijau, akan tetapi telah menghadap kepada Sang Pencipta akibat ulah Perguruan Kapak Ganda. Tak terasa menetes sedikit air mata di ujung-ujung pelupuk mata Paras Tampan.

Sedih dan sunyi.

Saat ini hanya tinggal ia satu-satunya yang telah masih hidup dari turun gunung. Sebenarnya masih terdapat dua orang rekan putrinya, yaitu Kirani dan Rantih. Akan tetapi ia tidak tahu di mana keduanya berada. Coreng dan Moreng, kedua Manusia Tiga Kaki pun tidak tahu perihal mereka. Semoga saja mereka berdua masih hidup dan sehat.

Setelah cukup lama termenung, Paras Tampan pun mengambil papan daftar nama-nama murid-murid perguruan itu. Di bagian paling atas tertulis pula Ki Tapa. Guru mereka semua. Walaupun Ki Tapa tidak memperbolehkan Rimba Hijau dinamakan sebagai suatu perguruan beladiri, akan tetapi murid-muridnya yang tidak lulus ujian akhir dan membuka perguruan ini masih mempergunakan namanya sebagai guru besar. Sebagai suatu penghormatan saja.

Dengan menyematkan tali pada kedua ujung papan yang panjangnya sekitar tiga perempat tombak dengan lebar dua telapak tangan dirapatkan itu, Paras Tampan kemudian menggantungkan papan daftar nama itu di punggungnya. Ia akan membawa-bawa papan itu sebagai kenangan atas teman-temannya dan juga gurunya. Mereka yang telah menjadi korban pembantaian oleh Perguruan Kapak Ganda.

Saat keluar dari reruntuhan dan puing-puing perguruan itu, sesosok orang tua menyapanya.

"Nak.., nak Paras Tampan kan?" tanyanya sambil menyebutkan nama orang tua dan adiknya.

Paras Tampan hanya dapat mengangguk. Ia tadi telah terlebih dahulu mengunjungi makam kedua orang tua dan juga adiknya. Beruntung bahwa mereka telah dimakamkan dengan baik oleh orang-orang kota yang tersisa. Masih banyak korban yang belum ditemukan dan dimakamkan dengan baik.

"Bibi Antini.., bagaimana kabar Paman Baja..?" tanya Paras Tampan sekenanya. Ia tidah tahu harus berkata apa. Apapun yang ditanyakan pastilah akan membangkitkan kesedihan orang-orang di sekitar sini. Tak terkecuali sosok perempuan tua itu, Nyi Antini.

Nyi Antini hanya dapat menggeleng-gelengkan kepalanya saja. "Aku tidak tahu bagaimana kabarnya, nak Paras Tampan.. Saat terjadi pembumihangusan itu, ia dipaksa ikut oleh mereka, untuk membuka jalan di Rimba Hijau. Bibi masih selamat karena sempat disuruh olehnya untuk bersembunyi di dalam kolam ikan. Berendam semalaman."

Lalu diceritakannya bagaimana peristiwa yang dialami oleh Ki Baja dan Nyi Antini itu. Pada mulanya orang-orang Perguruan Kapak Ganda datang dengan baik-baik dan mencari orang-orang yang tahu mengenai penguni Rimba Hijau. Sudah pasti mereka adalah Ki Tampar dan Ki Gisang. Dengan alasan bahwa mereka membutuhkan pertemuan itu dikarenakan adanya suatu keperluan. Akan tetapi keperluan itu tidak mau mereka ungkapkan. Biar saja nanti dikatakan langsung pada para penghuni Rimba Hijau, begitu kata mereka seperti ditirukan Nyi Antini.

Ki Baja yang pernah mendengar mengenai Perguruan Kapak Ganda, menjadi curiga karena sepengetahuannya perguruan bela diri itu bukanlah suatu perguruan baik-baik. Mereka sering berbuat semena-mena hanya untuk mencapai tujuan mereka. Ia pun kuatir apabila terjadi sesuai dengan kota mereka. Langsung diceritakan hal itu kepada kepala desa Ki Surya. Akan tetapi hal itu tidak digubris. Melainkan mereka menyambut dengan ramah rombongan yang datang itu. Padahal mereka telah datang dengan persenjataan lengkap.

Masih merasa kuatir Ki Baja pun langsung pulang ke rumahnya. Disuruhnya istrinya, Nyi Antini untuk bersembunyi. Dan dikarenakan rumah mereka memang keci dan tidak ada tempat untuk bersembunyi, dimintannya istrinya untuk bersembunyi di kolam ikan. Berendam dengan menggunakan batang-batang rumput yang cukup besar agar dapat bernafas. Diperintahkannya untuk diam di sana sampai keesokan harinya. Patuh pada perintah suaminya, Nyi Antini pun melaksanakan hal itu. Akibatnya ia selamat, sedangkan suaminya hilang entah ke mana. Dari orang-orang yang hidup ia memperoleh keterangan bahwa Ki Baja termasuk orang-orang yang dibawa hidup-hidup oleh rombongan itu ke Rimba Hijau, untuk "dimintakan bantuan" membuka jalan.

Berendam semalaman bukanlah hal yang mudah, apalagi dengan seluruh tubuh barada di dalam air. Dingin dan basah. Belum lagi ia mendengar teriakan-teriakan yang menyayat hati dari orang-orang yang dibantai oleh Perguruan Kapak Ganda. Suara-suara minta ampun yang tidak digubris oleh sang eksekutor. Tangis dan rintihan pun membumbung langit meninggalkan kepedihan bagi yang masih hidup, yang luput dari peristiwa itu karena bisa bersembunyi atau tidak dianggap oleh para penyerang.

Tiba-tiba "byurr!!!", hampir menjerit Nyi Antini karena terdengar jeburan air dan sebuah benda terlempar dekat dengan dirinya. Sesosok mayat dengan luka di mana-mana. Memerah. Membuat air di kolam tersebut mulai berwarna. Menyebarkan amis darah. Hampir pingsan Nyi Antini menyaksikan itu. Hanya dengan menguatkan diri ia bisa bertahan hidup dengan tidak berteriak atau keluar dari tempat persembunyiannya.

Wajah Paras Tampan tampak membeku. Mengeras. Tangannya mengepal keras. Ia benar-benar tergores hatinya mendengar kekejaman dari para pembantai itu. Apalagi yang menceritakannya adalah orang yang cukup dengan dengannya. Nyi Antini. Sisa orang-orang yang terselamatkan dari peristiwa itu.

Sebentar Paras Tampan menunggu Nyi Antini yang melepaskan bebannya dengan bercerita. Terlihat akibat peristiwa yang mengerikan itu, Nyi Antini tampak bertahun-tahun menjadi lebih tua. Lebih tua dari umur sebenarnya. Sudah tentu diakibatkan oleh himpitan perasaannya yang timbul dari peristiwa itu.

"Maaf nak Paras Tampan, bukan maksud bibi untuk berkeluh kesah terhadapmu. Bibi kebetulan saja mendengar dari orang-orang tentang adanya seseorang yang datang membantu mencari dan juga menguburkan para korban di kota ini. Bibi pikir itu pastilah seorang dari kami yang kebetulan saat itu tidak berada di sini. Harap-harap itu Ki Baja...," tak dapat Nyi Antini meneruskan ucapannya.

Sedih Paras Tampan mendengar ucapan itu. Ia pun berjanji pada dirinya sendiri untuk mencari keterangan mengenai bagaimana nasib Ki Baja untuk disampaikan pada Nyi Antini. Bertambah satu pula tugasnya, yang tadinya adalah hanya mengembalikan kitab-kitab yang dikumpulkan oleh Maling Kitab, dan juga mencari kabar Kirani dan Rantih.

"Ada satu hal lagi, nak Paras Tampan," Nyi Antini berhenti sebelum melanjutkan, "bibi tidak tahu apakah ini menggembirakanmu atau sebaliknya..."

"Katakanlah, bibi..! Tak ada lagi kiranya yang lebih buruk dari kenyataan saat ini di Kota Luar Rimba Hijau," ucap Paras Tampan sendu.

"Tunanganmu, Citra Wangi.., ia dan kedua orang tuanya telah lama pindah dari sini. Ke Kota Pinggiran Sungai Merah. Ki Rapih, Nyi Apik dan Citra Wangi tunanganmu selamat karena telah tidak tinggal di kota ini lagi. Sudah kira-kira dua tahun yang lalu mereka pindah..," jelas Nyi Antini.

Bergelora dada Paras Tampan mendengar hal itu. Ia sedari memasuki kota ini belum mencari keterangan mengenai Citra Wangi dan keluarganya. Kabar kedua orangtua dan adiknyalah yang pertama-tama ia cari. Setelah itu membantu penduduk untuk menguburkan orang-orang yang menjadi korban. Gembira ia mendengar kabar ini. Tapi terselip pula rasa yang aneh. Rasa bertanya-tanya atas kepindahan keluarga Citra Wangi ke Kota Pinggiran Sungai Merah.

Pikiran-pikiran berkecamuk dalam benaknya. Apakah mereka telah melupakan pertunangan antara putri mereka dengannya? Atau mereka tidak lupa, hanya saja pindah. Ia dan Citra Wangi yang telah berjanji untuk bertemu, memang tidak melaksanakan janji mereka saat ia menimba ilmu di dalam Rimba dan Gunung Hijau. Tidak mudah untuk melangsungkan pertemuan saat itu.

Melihat ekspresi Paras Tampan yang berubah-ubah, akhirnya Nyi Antini pun menambahkan, "Dari cerita para pedagang yang sering mampir ke kediaman Ki Rapih di Kota Pinggiran Sungai Merah, Citra Wangi masih sendiri. Belum menikah. Janganlah nak Paras Tampan kuatir.."

Sedikit merona wajah Paras Tampan mendengar komentar Nyi Antini. Tidak seharusnya ia berpikir hal itu di tengah musibah yang menimpa kotanya. Untuk menghilangkan jengahnya, ia pun berkata, "Bibi, apa yang bisa saya bantu? Apakah rumah bibi masih baik?"

Nyi Antini hanya menggeleng. Lalu diajaknya Paras Tampan untuk berjalan ke arah rumahnya yang tidak jauh dari sana.

***

Dua orang tampak sedang dalam perjalanan di antara batu-batu yang menjulang menghutan di Padang Batu-batu. Seorang dari pada mereka adalah laki-laki yang sudah terlihat tua dengan perawakan yang kekar dan busana sederhana. Sedangkan yang lain adalah seorang gadis muda dengan wajah yang manis. Rambutnya yang panjang diikatnya dengan rapih dan diselempangkan di samping dada kanannya. Pakaiannya ringkas tidak seperti kebanyakan pakaian mudi-mudi yang penuh dengan pernak-pernik dan warna-warna. Busananya berwarna cerah dengan hanya sebuah corak sulaman di dada kirinya. Gambar bunga berkelopak lima berwarna merah tua.

Kedua orang itu tampak gembira dalam melakukan perjalanan. Mereka berarah ke utara. Dari arah tengah Padang Batu-batu menuju ke Gunung Berdanau Berpulau. Langkah keduanya ringan dan mantap, menandakan bahwa mereka adalah orang-orang yang cukup mempunyai ilmu.

Entah mereka sadari atau tidak, tampak beberapa pasang mata sedang mengintai mereka sejak memasuki suatu kawasan. Kawasan di mana batu-batu yang menjulang tidak lagi berwarna abu-abu melainkan hijau kehitaman. Gelap ditumbuhi oleh jamur-jamur dan lumut yang tumbuh subur akibat diberi sesuatu. Racun.

Orang tua itu pun berkata kepada rekannya yang gadis muda, "Hati-hati. Kelihatannya kita memasuki daerah yang ada pemiliknya. Batu-batu ini terlihat tidak wajar." Sambil berkata demikian orang tua itu mencium-cium batu-batu yang berwarna hijau kehitaman dalam jarak sejengkal dari hidungnya.

"Hmmm..., racun hijau. Racun untuk menghitamkan batu-batuan dengan menggunakan lumut dan jamur. Juga menumbuhkan lumut khusus yang bisa menebarkan spora-sporanya ke udara," terang orang tua itu.

"Tapi apa bahayanya, guru? Kita toh sering menghirup spora dan serbuk sari tumbuh-tumbuhan saat bernafas. Begitu halnya pula sering meminum sperma ikan-ikan saat kita minum air dari sungai..," jawab sang gadis jenaka. Rupanya ia murid sang orang tua.

Tersenyum gurunya mendengar komentar muridnya. "Engkau benar, muridku. Tapi spora ini lain. Jenis ini bisa menyebabkan halusinasi sehingga engkau dapat bermimipi. Biasanya digunakan oleh rampok-rampok atau jagal yang akan menghadang rombongan. Dengan cara ini mereka tak perlu bekerja keras, karena yang akan dirampok sudah takut lebih dahulu. Berhalusinasi betapa sangar dan mengerikannya sang perampok."

Muridnya menggangguk-angguk mendengarkan penjelasan itu. "Ada penawarnya, guru?"

"Hehehe, tentu saja ada. Dan amat mudah. Dibalik lumut itu sendiri terdapat penawarnya." Lalu ia mengambil sejumlah lumut yang disebutnya akan menyebarkan spora ke udara, yang dapat membuat orang berhalusinasi apabila menghirupnya. Dibaliknya lembaran lumut itu sambil ditunjukkan butir-butir berwarna meran. "Ini, ambil dan remas-remas dengan jarimu. Borehkan sedikit di dekat lubang hidungmu. Ini akan menetralkan pengaruh spora-spora yang memabukkan tadi."

Muridnya pun melakukan hal yang dianjurkan oleh gurunya. Keduanya sekarang tampak agak lucu karena di bawah hidung mereka, di bagian di atas bibir yang terlihat cekung, terdapat warna-warna merah. Borehan dari butir-butir kemerahan dari bawah lembaran lumut tadi.

"Kalau penawarnya sedemikian mudah, buat apa ditanam di sini guru?" tanya gadis itu ingin tahu.

"Tidak semudah itu, muridku. Tidak semua orang tahu bahwa penawarnya berada dekat dengan sumber racunnya. Ada pengujar tua yang pernah berkata. Jangan cari jauh-jauh lawan suatu hal. Lihatlah di sekitarnya. Jika ada yang positif pasti ada yang negatif di sekitarnya. Itulah alam. Amat indah dan seimbang." Ia pun berhenti sebentar untuk kemudian melanjutkan lagi, "aku saja jika tidak diberitahu guruku tidak akan mengerti.."

Kata-katanya tidak diteruskan. Tangannya diletakkan di depan bibirnya, mengisyaratkan agar muridnya diam dan mendengarkan. Pendengaran mereka yang terlatih menangkap adanya gerakan-gerakan di balik batu-batu yang hijau menghitam ditumbuhi jamur-jamur itu.



Tiba-tiba di hadapan muncul tiga orang berpedang dan bertombak. Ketiganya langsung menghadang perjalan kedua orang itu. Mengisyaratkan niat yang terasa tidak baik. Saat kedua orang itu memutar badan hendak mundur ke arah semua mereka datang, tiga orang lain tampak muncul dari arah yang berlawanan. Sekarang semuanya enam orang. Mengepung dari kedua arah. Arah yang tersisa hanya diisi oleh batu-batu menjulang. Rupanya mereka telah memilih tempat yang strategis untuk melakukan pengepungan.

"Guru, bagaimana ini?" tanya sang murid.

Orang tua itu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia berusaha untuk menahan sabarnya. Jika kejadian ini terjadi dulu sekali sebelum ia bertemu dengan seseorang. Sudah pasti terjadi hal yang amat akan disayangkannya. Tetapi tidak saat ini. Ia telah berubah.

"Maaf, ki sanak sekalian, boleh saya tahu kenapa kalian menghalangi perjalan kami guru dan murid ini?" tanyanya sopan kepada orang-orang yang menghadangnya.

"Hehehe, kalian telah melalui wilayah kami. Batu Lumut Hitam. Maka sudah sepantasnya kalian tinggalkan bekal kalian," ucap salah seorang brewok dari mereka. Perawakannya yang besar menunjukkan kemampuan fisiknya dalam bertarung. Setidaknya mengayunkan golok besar yang disandangnya.

"Tapi kami tidak punya apa-apa yang bisa ditinggalkan. Hanya bekal makanan dan baju pengganti," ucap orang tua itu masih sabar.

"Jangan pura-pura orang tua! Siapa yang tidak bisa melihat bungkusan panjang yang ada di belakangmu itu. Pasti itu suatu yang berharga," bentak teman si brewok.

"Dan yang cantik ini, boleh juga ditinggal," ucap temannya yang berada di belakang yang disambut dengan haha-hihi teman-temannya.

Merah padam gadis muda itu mendengar ucapan yang ditujukan pada dirinya. Hanya isyarat gurunya saja yang masih membuatnya sabar. Akan tetapi hawa tenaga telah dialirkannya dari pusar menuju ke anggota-anggota tubuhnya. Siap untuk melontarkan sepukul dua pukul tendangan dan pukulan.

Gurunya pun tak ada melihat ada pilihan lain, lalu katanya lirih, "Engaku ambil tiga yang di depan, biar aku yang di belakang. Sisakan satu untuk penunjuk jalan."

Mengangguk muridnya mendengar usul gurunya. Memang orang-orang seperti ini tidak boleh diberi ampun.

Untuk sedikih memecah perhatian gurunya tampak membuka bungkusan panjang yang tadi disebut salah seorang dari mereka. Jika saja mereka tahu apa isi bungkusan itu, pasti mereka tidak akan memintanya. Dua buah pedang panjang. Sebuah untuk sang guru dan sebuah untuk sang murid.

Tak sabar melihat orang tua yang membuka bungkus itu perlahan-lahan, seakan-akan ia memiliki seluruh waktu di bumi itu, salah seorang penghadang menghardiknya, "Pak tua, cepat serahkan bungkusan itu. Jangan lama-lama. Tidak sabar diriku ini!"

"Meregang nyawa kok terburu-buru sekali sih?" ucap orang tua itu.

"Heh, apa maksudmu, orang tua?" tanya balik orang itu.

Dengan gerakan cepat orang tua itu membuka bungkus dari benda panjang yang ada di tangannya. Kain penutupnya ternyata memiliki mekanisme sedemikian rupa, jika talinya ditarik, kainnya langsung terbuk. Dengan lemas orang tua itu langsung mengambil salah satu isi dari bungkusan kain itu dan melemparkannya pada muridnya, yang langsung dengan sigap menangkapnya.

"Hey.., apa maksud kalian...?" belum selesai perkataan orang yang bertanya tersebut, kedua orang itu langsung dengan cepat bergerak. Menyerang. Mengayunkan barang yang tadinya terbungkus rapi tadi. Dua buah pedang panjang. Pedang yang lebih panjang dari pedang kebanyakan. Hampir dua kali panjang pedang biasa.

"Singg! Takkk!" pedang sang murid menghantam golok seorang penghadang. Bergetar tangan yang memegang golok tersebut. Tak disangkanya bahwa dara yang terlihat halus itu memiliki tenaga serangan yang sedemikian kuat. Sementara lawan si orang tua dikarenakan pengalamannya yang banyak dalam perampokan-perampokan sempat menghindar mundur atas dasar naluri belaka. Salah seorang dari mereka bertiga hampir saja kehilangan tangannya.

Melihat ini sadarlah orang-orang itu bahwa yang mereka hadang bukanlah mangsa yang biasa. Ini adalah orang-orang yang punya sedikit kepandaian. "Bagus! Ini bisa menjadi hiburan sebelum makan malam," kata seorang dari mereka. "Bunuh!! Jangan biarkan seorang pun hidup!"

Mendengar aba-aba itu kelima rekannya langsung mengambil posisi mengepung. Mengayun-ayunkan golok dan tombak mereka untuk menghabisi kedua orang itu. Sang guru dan muridnya.

Guru dan murid itu tampak beradu pungguh melihat ke arah lawan-lawannya. Lalu kata si orang tua, "Nah Sarini, ini kesempatanmu untuk mencoba ilmu pedang panjangmu." Tersenyum murid yang bernama Sarini itu. Ia telah melatih ilmu pedang panjang yang diturunkan dari gurunya, Walinggih. Biasanya ia hanya berlatih dengan gurunya atau batu-batu yang tidak bisa balas menyerang. Hari ini ia mendapatkan kesempatan untuk bertarung dengan sesama manusia. Bukan hanya itu, melainkan para perampok jahat, yang untuk membasminya tidak perlu sungkan-sungkan.

Kedua orang itu, Walinggih dan Sarini tampak bergerak hati-hati. Mereka menyadari bahwa orang-orang yang mereka hadapi ini tidak terlalu tinggi ilmu silatnya, akan tetapi mereka adalah orang-orang kasar yang sering merampok dan berbuat keji. Naluri mereka kadang lebih baik dari keahlian seoran ahli silat. Seperti seekor binatang buas yang memiliki kemampuan untuk menaklukkan mangsanya. Kemampuan alamiah seorang pemangsa. Bangsa Penghadang. Orang-orang penguasa dari daerah Batu Lumut Hitam.

***

Orang tua itu setelah menyendokkan sesuatu dari dalam panci yang sedang dijerangnya di atas air, mendatangi Lantang yang masih terbaring ditemani oleh Xyra. Lalu katanya, "Minumlah! Air rebusan akar-akaran ini akan membersihkan darahmu dan menyegarkan pikiranmu kembali. Sekarang jangan banyak pikiran dulu. Tenangkan dirimu. Biarkan sahabatmu yang Undinen itu merawatmu. Ia telah kupesankan caranya."

Mengangguk lemah Lantang mengiyakan. Xyra dengan cepat menerima mangkuk yang diangsurkan oleh orang tua itu. Ditiupnya sedikit. Dengan Tenaga Air ia bahkan dapat membekukan ramuan dalam mangkuk itu, tetapi tidak. Lantang membutuhkan ramuan yang suam-suam kuku. Tidak terlalu panas dan juga tidak dingin. Setelah yakin akan panasnya, perlahan ia menuangkan ramuan itu ke dalam mulut sang pemuda. Tampak kasih sayangnya dalam melakukan itu. Penuh dengan kelembutan.

Di seberang sana si orang tua tampak menghela napas menyaksikan itu. Teringat ia akan nasibnya yang tidak lama bersama dengan orang yang dicintainya. Dan ini dihadapannya tampak kasih sayang sesosok Undinen kepada seorang manusia. Ia tidak tahu apakah bentuk kasih itu dapat berlanjut. Bila tidak amat disayangkan, karena nasib anak muda itu dapat mengikuti perjalanan hidup dirinya yang tidak menyenangkan. Selain itu ditemui pula adanya keanehan pada diri pemuda itu. Keanehan yang berkaitan dengan peredaran hawa dalam tubuhnya.

Kelainan itu pula yang menyebabkan sang pemuda mengalami ketidaksadaran sehingga perlu untuk diberi ramuan. Akan tetapi ramuan itu belum untuk menyembuhkan, melainkan untuk menyadarkan saja. Sebelum tahu sebabnya, suatu penyakit sulit untuk disembuhkan.

Setelah diberi obat dan dibelai-belai dengan syang oleh Xyra, Lantang pun merasa nyaman dan dapat tidur. Tak lupa Xyra menyelimuti dirinya dan menunggu di sisinya. Tak dihiraukan orang tua yang meletakkan makanan di hadapannya. Sebelum Lantang sehat, tak ingin Xyra bersantap. Undinen memilik tubuh yang berbeda dengan manusia. Mereka dapat bertahan lama dalam air dan bahkan tanpa makanan. Oleh sebab itu ia lebih berkonsentrasi pada kesembuhan Lantang ketimbang dirinya sendiri.

Pagi pun datang menjelang. Lantang telah merasa sehat kembali. Ia bangun dan melihat Xyra tampak tertidur di sisinya dengan masih memegang kain yang digunakan kemarin untuk menyeka keringat di dahinya. Ia tampak tertidur dengan nyenyak. Entah sampai kapan Undinen itu berjaga untuk Lantang. Diambilnya selimutnya untuk ditutupkan pada tubuh Xyra, walapun mereka lebih tahan dingin ketimbang dirinya.

Tak dilihatnya orang tua yang memberinya obat. Akan tetapi ditemuinya sebuah mangkok besar berisi rempah-rempah dan ubi yang berisikan pesan agar ia memakan makanan itu. Makanan yang telah dibubuhi obat-obatan untuk kesembuhannya.



Bertarungan pun berjalan dengan seru. Keenam orang perampok itu tidak bisa berbuat banyak terhadap kedua orang guru dan murid itu. Pertahanan mereka rapat dan saling melindungi. Bahkan kadang-kadang pedang panjang keduanya colak-colek tubuh mereka sehingga lepasnya nyawa tinggal berbeda beberapa jari saja.

Ada hal yang masih meragukan Walinggih untuk turun tangan menamatkan riwayat orang-orang jahat itu. Entah apa.

"Kamu ingat gerakan yang pernah engkau coba untuk mengalahkan Telaga?" tanya Walinggih pada muridnya Sarini.

Sarini hanya mengangguk.

"Cobalah pada mereka, jatuhkan pedangmu! Mereka pasti berpikir bahwa lebih mudah mengalahkanmu tanpa pedang...," usul gurunya. Ia ingin melihat hasil latihan muridnya dalam situasi sebenarnya. Menghadapi Telaga, Sarini telah berhasil memanfaatkan hasil latihannya. Akan tetapi sekarang lain. Dulu Telaga boleh dikatakan orang yang tidak akan menjatuhkan tangan jahat kepada orang yang tidak dikenalnya. Tidak demikian dengan orang-orang ini. Orang-orang yang memang kegiatan sehari-harinya adalah berbuat jahat. Menjatuhkan tangan kejam bukan pantangan bagi mereka.

Menghadapi suatu pertempuran yang menentukan hidup atau mati memerlukan ketenangan. Walinggih ingin melihat sejauh mana muridnya dapat mengendalikan ketenangannya. Semakin baik orang dapat mengotrol dirinya, semakin besar kemungkinannya untuk menang. Bahkan dalam berbagai situasi.

Setelah gurunya memberikan sedikit petunjuk mengenai kekuatan dan kelemahan lawan-lawannya, Sarini pun maju sambil berkata dengan lantang, "Saudara-saudara perampok, bagaimana bila kita main-main tanpa senjata? Dan satu lawan satu?"

Tercengang juga beberapa orang perampok yang mendengar usul yang diutarakan oleh dara itu. Sudah ada senjata di tangan malah ingin dilepaskan. Akibatnya beberapa di antara mereka saling menoleh seakan-akan minta pendapat.

Seorang dari mereka akhirnya berkata, "Hehehe, mungkin ia ingin berlama-lama bermain dengan kita. Ikuti saja maunya, toh enak juga colak-colek sedikit" Ia mengatakan itu sambil menyeringai, membuat wajahnya yang sudah mengerikan sebagai perampok menjadi bertambah mengerikan.

Terbahak-bahak rekan-rekannya mendengar komentar yang miring itu. Segera mereka menyarungkan kembali senjatanya dan sebagian dari mereka mengambil tempat untuk melihat pertarungan yang akan berlangsung.

Seorang dari para perampok tersebut, Rakrakrak, bertubuh gembul dan berkulit agak gelap. Tingginya kira-kira sama dengan Sarini. Rambutnya yang kaku menghiasi berdiri kepalanya. Mirip durian. Ia menyeringai saat mengajukan dirinya sebagai orang pertama yang akan menghadapi Sarini. Ia sudah membayangkan akan memegang-megang dara cantik yang menjadi lawannya itu. Wajahnya memerah dan napasnya memburu. Nafsu telah menguasainya. Kelembutan tubuh Sarini dan lekuk-lekuk tubunya telah memenuhi ruang otaknya. Kelembutan yang akan segera mengisi kedua tangannya yang besar-besar.

Sarini sedikit mengernyitkan hidungnya melihat orang yang menjadi lawannya. Orang dengan tenaga kasar yang besar. Repot juga pikirnya. Orang seperti ini harus ditemukan dulu jarak serangnya dan juga sudut mati serangannya, sehingga ia bisa membuatnya tak mampu mengeluarkan gerakan yang mematikan.

***

"Petani ompong she Gu, jangan petantang-petenteng di depan kami!" bentak seorang dari empat orang yang berhadapan dengan seorang tua yang sedang senyam-senyum itu.

Keempat orang tersebut terlihat berwajah garang, bertubuh kekar tinggi dan beperawakan kasar. Sebilah golok tampak tergantung pada pinggang masing-masing dari mereka. Sedangkan si kakek sendiri tampak lemah dan kurus. Bajunya sederhana tapi bersih. Sedikit tambalan tampak di sana-sini.

"Kalian Su-Mo (Empat Setan), apa maunya menghadangku di sini?" alih-alih takut seperti kebanyakan orang bila bertemu denga Su-Mo, si Petani Ompong she Gu tampak tenang-tenang saja. Malah senyumnya semakin berkembang dengan melihat semakin gelapnya wajah keempat Su-Mo yang berusaha menahan marah.

"Orang she Gu, jangan banyak omong! Engkau tau sudah apa kesalahanmu. Engkau sudah mengasut para petani di desa sebelah timur sehingga tak mau lagi menurut dan membayar pajak kepada kami," ucap seorang lain dari mereka. Kali ini yang berbicara adalah seorang yang berwajah paling putih dari Su-Mo. Mereka, Su-Mo terdiri dari empat orang yang dinamai dengan warna wajah masing-masing, Pek-Mo, Hek-Mo, Huang-Mo dan Ceng-Mo.

"Engkau tentu Pek-Mo," ucap kakek Gu itu, "wabis wajahmu putih pucat mirip mayat!"

"Grrrhhg!" terdengar dengus marah Hek-Mo. Ia adalah seorang dari Su-Mo yang paling tidak sabaran. Mendengar saudaranya dihina, ia pun mendengus marah dan membuka serangan. Dibacoknya kakek Gu itu dengan golok yang tadi bertengger dipinggangnya. "Wuttt!"

Saat ia melakukan serangan itu ketiga saudaranya tertawa-tawa membayangkan tubuh kakek Gu yang akan terbelah dua terbabat oleh golok Hek-Mo. Tapi sayangnya perkiraan mereka keliru. Bukannya kakek Gu yang terbelah, malah Hek-Mo yang tampak terpincang-pincang memegangi telapak kakinya yg tampak biru legam.

Rupanya saat dengan yakinnya Hek-Mo membacok kakek Gu tadi, ia tidak memperhatikan pertahanan tubuhnya. Kakek Gu dengan santainya mengelak dari serangan golok tersebut, memutar tubuhnya dan mejatuhkan tumitnya dengan tenaga penuh ke atas telapak kaki Hek-Mo. Walaupun memakai alas kaki, akan tetapi dengan kuatnya putaran tubuh dan juga tenaga yang disalurkan, tendangan cangkul kakek Gu memberikan hasil yang telak.

"Bangsat, orang she Gu! Kubunuh engkau sekarang!!" erang garang Hek-Mo. Tampak ia masih berusaha menahan rasa sakit dari telapak kakinya yang dirasakan hampir remuk tersebut. Senut-senut rasanya.

Huang-Mo sebagai orang paling tua dari Su-Mo segera tangap bahwa si kakek Gu bukanlah orang sembarangan. "Zahnloserbauer (Petani Ompong) mari kita main-main sebentar!" Ia pun mengisyaratkan pada ketiga saudaranya untuk segera mengepung Zahnloserbauer dari keempat penjuru.

"Hehehe, baru sekarang kudengar lagi orang menyebut Zahnloserbauer," ucap kakek Gu, tapi sekarang nada suaranya berubah keren. Tidak lagi cengangas-cengeges seperti tadi. Tampak bahwa sikap tadi bukanlah sikap kebanyakan dari pembawaannya.

"Su-Mo, bukanlah pembawaanku mencampuri urusan orang, tapi kejadian kemarin dulu di desa sebelah timur sudah mengusik rasa geramku." Tampak bahwa kali ini kakek Gu atau yang dikenal sebagai Zahnloserbauer agak menahan amarahnya. Lalu lanjutnya, "orang-orang yang sudah susah itu masih kalian haruskan untuk membayar pajak tinggi kepada kalian, dengan alasan keamanan."

"Zahnloserbauer, apa urusanmu? Memang ada di antara orang-orang di desa sebelah timur itu adalah sanak saudaramu? Jika ada tunjuk yang mana, tidak akan kami tarik pajak dari mereka," ucap Huang-Mo agak mengalah. Ia pernah mendengar kehebatan Zahnloserbauer di suatu wilayah Alemania (Jerman), di mana ia mengalahkan beberapa orang Ritter (Ksatria Berbaju Besi) di sana. Giginya yang ompong itu juga akibat ulahnya yang menantang orang-orang untuk mengadu kekuatan mengangkat beban berat dengan gigi. Walaupun berhasil, akan tetapi tak lama setelah itu beberapa gigi mukanya tanggal. Meskipun demikian para Ritter tak berani lagi berlaku sembarangn dengannya. Di sana julukannya adalah Ritter Zahnloserbauer.

Gu Ming adalah nama kakek Gu sebenarnya. Keluarganya berasal dari Jiangxi. Ia yang tidak suka keadaan pada saat itu kemudian merantau ke mana-mana dan beguru pada banyak orang. Kemampuan silatnya yang campur-campur menjadi ciri khasnya. Selain itu banyak pula pengetahuan tentang luasnya dunia ini, yang memicunya untuk merantau, diperoleh dari saudara tuanya, Gu Long, seorang pengujar terkenal pada jaman itu.

Panjang ceritanya sampai ia tiba di Tlatah Antara (Nusantara). Berasal dari daerah sekitar Tlatat Tengah (Tiongkok) merantau sampai ke Tlatah Langit (Himalaya), melampui Tlatah Barat (Alemania) dan sekitarnya, akhirnya sampai ke Tlatah Antara. Tadinya ia pernah mendengar jauh di selatan terdapat Tlatah Gurun (Osetralia) dan Tlatah Kebekuan (Artika). Tapi melihat kehidupan di Tlatah Antara, kakek Gu pun jatuh cinta dan memutuskan untuk menetap.

Selagi mencari-cari tempat yang akan didiaminya untuk menghabiskan hari tua, kakek Gu tiba desa sebelah timur yang menjadi pokok pembicaraan mereka itu. Di sana kakek Gu melihat bahwa orang-orang hidup dengan sangat sederhana bahkan cenderung miskin. Padahal alam sekitarnya kaya akan keanekaragaman hayati. Karena ingin tahu ia pun mulai berdiam di sana. Baru seminggu di sana ia mulai mengenal bahwa kesederhanaan dan kemiskinan para penghuni desa adalah akibat adanya tekanan, bahwa mereka harus menyetor pajak kepada para penjaga keamanan di sana.

Namanya saja penjaga keamanan, sebenarnya mereka itu adalah pemeras. Orang-orang yang memeras para penduduk desa sebelah timur dan juga desa-desa lain di sekitar tempat itu, dipimpin oleh Su-Mo. Akan tetapi penduduk desa hampir tidak pernah melihat Su-Mo, mereka hanya bisa merasakan pukulan dan tendangan para kaki-tangannya saja, apabila telat membayar.

Naluri kependekaran kakek Gu pun bangkit, ia mendatangi para petani dan menganjurkan agar mereka tak usah lagi membayar pajak kepada Su-Mo. Tapi seperti kebanyakan rakyat yang berada dalam tekanan, mereka takut. Mereka tidak mau mengikuti anjuran kakek Gu, walaupun itu untuk kebaikan mereka sendiri.

Akhirnya karena jengkel kakek Gu pun merampok pajak yang seyogyanya diberikan kepada kaki-tangan Su-Mo dan menunggu seorang diri kedatangan mereka. Sementara semua penduduk desa bersembunyi dengan ketakukan dalam rumahnya masing-masing.

Kaki tangan Su-Mo bukanlah sesuatu kekuatan yang berarti bagi kakek Gu. Mereka semua tunggang-langgang dibuatnya. Terkencing-kencing dalam celana selagi berlari pulang.

Walaupun telah diselamatkan uangnya, para penduduk masih was-was akan pembalasan yang akan tiba dari Su-Mo dan tukang pukul-tukang pukul lainnya. Kakek Gu akhirnya menyanggupi untuk melindungi mereka untuk berhadapan dengan Su-Mo. Dengan jaminan itu para penduduk berani untuk dua masa penarikan pajak berikutnya tidak memberikan bayaran, melainkan mereka simpan untuk diri mereka sendiri.

Su-Mo yang saat itu sedang berada di Tlatah Tengah tidak tahu-menahu mengenai kejadian itu. Saat mereka kembali ke Tlatah Antara, berang wajah mereka mendengar ada ketidak-beresan pada daerah kekuasaan mereka. Sebenarnya masalahnya tidak sesederhana itu. Su-Mo sendiri memiliki hak menarik pajak karena dukungan dari Pemerintah Pusat, yang tidak peduli pada nasib rakyatnya. Seseorang atau sekelompok orang yang dapat menjanjikan akan menyetor pajak sejumlah tertentu dari suatu daerah, akan diberikan hak untuk menarik pajak. Begitulah sistem pada masa itu.

Setelah mendapat informasi cukup dari para tukang pukulnya yang babak-belur dipukul balik berulang-ulang oleh kakek Gu dan juga informasi dari pemerintah bahwa kakek Gu itu sebenarnya adalah seorang perantau yang dikenal sebagai Zahnloserbauer, masih saudara dari seorang pengujar terkenal, akhirnya Su-Mo pun berniat untuk bertemu dengannya. Jika mungkin mengajak kakek Gu menjadi rekanan mereka. Seorang dengan kemampuan beladiri seperti kakek Gu sudah tentu banyak gunanya.

Tapi bukanlah kakek Gu jika dengan mudah dapat dibujuk. Jabatan dan pembagian hasil keuntungan yang awalnya ditawarkan oleh Su-Mo melalui utusannya ditampik mentah-mentah. Sudah tentu ini membuat darah Su-Mo mendidih.

Akhirnya diputuskan bersama bahwa mereka akan bertemu hari itu di suatu padang rumput yang luas untuk 'menyelesaikan' permasalah itu.

Su-Mo merasa tidak ada lagi gunanya untuk membujuk kakek Gu, mereka saling melirik satu sama lain. Kebersamaan yang telah puluhan tahun dilewati, membuat pengertian tanpa kata-kata dapat dengan mudah terjadi. Keempatnya kemudian bergerak mengurung. Mengelilingi kakek Gu dari keempat penjuru angin.

Hek-Mo tampak telah dapat bergerak normal kembali. Ceng-Mo tadi telah membubuhkan obat dan juga mengurut-urut kakinya sedikit. Rupanya kakek Gu belum menurunkan kaki kejam sehingga Hek-Mo masih dapat berjalan dan menggunakan kakinya. Hanya mengkalnya hati masih dapat terlihat pada wajah Hek-Mo. Ia yang hari-hari ditakuti orang, hari ini dapat segebrakan dipacul kakinya oleh tumit kakek Gu. Hampir saja remuk atas telapak kakinya.

"Begini lebih baik," kata kakek Gu, "langsung bak-buk-bak-buk. Lebih jelas dan tegas!" Walaupun tampaknya masih tenang-tenang, kakek Gu sudah mulai menimbang-nimbang, siapa yang akan menjadi konsentrasi serangannya nanti. Ia pernah mendengar bahwa Su-Mo telah menciptakan semacam serangan bersama. Jika mereka menggunakan barisan serangan itu, bisa repot dirinya. Ia harus cepat memecah belah mereka, sebelum tenaganya habis terkuras.

Bagai dikomando, Su-Mo berempat mencabut golok masing-masing dan mulai menyerang. Kakek Gu dengan santainya menari-nari di tengah-tengah hujan golok yang riuh-rendah itu. Sesekali perlu juga ia menepis tangan atau kaki dari Su-Mo yang ingin mencicipi tubuhnya. Selebihnya, ia hanya perlu bergeser, depan belakang kiri kanan. Langkah-langkah ajaib, Langkah-langkah Kering di Bawah Hujan.

Sepeminum kopi dan sepenghisap rokok telah lewat, tapi tetap saja Su-Mo belum pernah mencapai seujung kulit pun kakek Gu. Akan tetapi pakaiannya sudah sering tersambar angin sabetan golok. Terlihat semakin compang-camping saja pakaian yang dikenakannya.

Tidak seperti melawan Hek-Mo tadi, kakek Gu terlihat agak kewalahan. Ia terkejut juga bahwa serangan berempat Su-Mo ini benar-benar rapat. Saling mengisi dan melindungi. Satu menyerang, yang lain menangkis. Satu kosong, yang lain mengisinya. Dengan cara itu ia hanya punya peluang terbesar untuk mengelak ketimbang menyerang balik. Su-Mo pun tidak terlalu berani menyerang dengan kekuatan penuh, mengingat kepandaian kakek Gu dalam serangan balik. Jadi sampai saat itu kedua pihak masih melihat-lihat kesempatan untuk memberikan pukulan maut.

Untung pertarungan jangka panjang faktor usia mulai menunjukkan perannya. Su-Mo yang masing-masing baru berumur tiga puluhan tahun menang stamina atas kakek Gu yang telah berusia hampir enam puluh tahun. Napasnya mulai kembang-kempis dan bajunya yang sobek sana-sini tampak telah benar-benar basah mandi keringat.

Senyum-senyum mulai mengembang di wajah keempat orang lawannya. Su-Mo telah merasa yakin bahwa tak lama lagi kemenangan akan singgah di tangan mereka. Tinggal masalah waktu saja untuk menunggu salah satu golok mereka singgah di tubuh kakek Gu. Bila terjadi sudah dipastikan cairan merah akan memuncrat. Darah.

Berputar pula dengan keras pikiran kakek Gu. Ia harus menemukan akal agar dapat lolos dari situasi ini. Tadinya dipikir bahwa menghadapi Su-Mo seorang diri tidaklah terlalu sulit. Tetapi ternyata hal ini diluar perkiraannya semula. Jika satu per satu, ia dapat dengan yakin dapat mengalahkan Su-Mo, seperti tadi ia menghadapi Hek-Mo. Akan tetapi dengan maju berbareng, Su-Mo menciptakan suatu barisan yang saling bekerja sama sehingga seakan-akan kekuatan serang mereka menjadi berlipat-lipat.

Pada saat-saat genting seperti itu tiba-tiba terdengar ucapan seseorang, "Wah-wah, betapa tak tahu malu ini, empat orang mengeroyok seorang kakek tua!"

Ucapan yang disertai pengerahan tenaga dalam ini sontak membuat kelima orang yang sedang bertarung itu meloncat mundur dan menghentikan kegiatannya. Masing-masing pihak masih menebak-nebak siapa yang barusan mengeluarkan perkataan tersebut.

Tak lama sang pengucap pun tiba. Seorang pemuda dengan wajah yang tampan dan berperawakan bagus. Pakaiannya sederhana dan berwarna cerah. Jalannya ringan seringan pembawaannya yang terlihat riang.

Mendadak kakek Gu mendapat ide yang tiba-tiba terlintas dalam kepalanya, lalu katanya, "Anak Yo, ayo bantu paman usir begal-begal ini!" Terkejut pemuda itu dan apalagi Su-Mo. Mereka belum tahu kepandaian pemuda itu, tapi dengan kakek Gu saja mereka telah seimbang, bisa runyam apabila ditambah dengan adanya pemuda itu.

Gelengan kepala dan tangan yang dilakukan pemuda itu dengan cepat dibuyarkan oleh kakek Gu yang terus menyerocos, "Bagus kamu cepat datang anak Yo, ayo kita pukul pantat keempat setan ini! Gunakan jurusmu, Menendang Pantat Setan, Usir ke Seberang Lautan!" Sebenarnya ucapan yang terakhir ini hanya untuk menakut-nakuti Su-Mo belaka. Ia sendiri juga belum tahu kemampuan pemuda itu. Hanya saja ia yakin akan sesuatu bahwa pemuda itu bukanlah dari golongan begal, paling tidak orang-orang yang tidak akan memihak golongan hitam.

Untung saja tebakan kakek Gu tidak meleset. Melihat bahwa pemuda itu adalah keponakan atau memiliki hubungan dengan kakek Gu, Pek-Mo dan Hek-Mo tidak mau buang banyak waktu, mereka langsung menyerang pemuda yang dipanggil anak Yo oleh kakek Gu dengan serangan maut mereka. Jika bisa dituntaskan dengan cepat, pertarungan akan kembali seimbang seperti semula. Sementara itu Huang-Mo dan Ceng-Mo masih menanti pergerakan kakek Gu sebelum mereka membuka serangan kembali.

"Anak Yo, hati-hati!" ucap kakek Gu yang kuatir pula melihat bahwa serangan pembuka yang dihambur oleh Pek-Mo dan Hek-Mo adalah serangan maut. Serangan satu tindak cabut nyawa, suatu jenis serangan tanpa basa-basi dan belas kasihan.

Tapi bukan pemuda itu kalau ia diam saja dan menantikan kedua golok yang datang menyilang itu membasuh keduanya dengan daging dan darahnya. Dengan tenang sang pemuda mengesek kakinya, memiringkan tubuhnya, lalu dengan menggunakan hawa dalam tubuhnya yang bisa memanipulasi gravitasi, ia melayang miring condong. Menyelinap tubuh pemuda itu dengan cantik di antara sabetan diagonal golok-golok Hek-Mo dan Pek-Mo.

Dan tidak hanya sampai di sana, setelah kedua golok itu yang hanya berjarak sejari di atas dan bawah tubuhnya lewat, ia mendaratkan kembali tubuhnya yang tadi berlevetasi dengan empuk di atas tanah. Setelah mengeramkan kakinya sehingga berakar di atas tanah ia kemudian mendorong-dorong kedua tangannya ke arah Hek-Mo dan Pek-Mo yang masih tampak terkejut karena serangan mereka dapat dengan mudahnya dihindari oleh pemuda itu.

Sebelum Hek-Mo dan Pek-Mo sadar apa yang dilakukan oleh pemuda itu, semacam kabut yang terbuat dari debu dan pasir yang ada di sekitar situ mulai terbentuk. Mengambang kecoklatan dan perlahan makin pekat warnanya.

"Jarum Terbang Debu Pasir, awas!!!" ucapan Huang-Mo, orang yang paling banyak makan asam garam di antara keempat Hek-Mo, datang terlambat. Elakan dari Hek-Mo dan Pek-Mo tidak sempat menyelamatkan seluruh tubuh mereka. Pinggang ke bawah tampak bertitik-titik merah meneteskan darah. Kabut debu dan pasir yang tadi terbentuk dihentakkan oleh pemuda itu dengan kibasan tangannya ke arah Hek-Mo dan Pek-Mo. Dalam perjalanannya debu dan pasir tersebut berurut-urut membentuk semacam garis. Mirip seperti jarum-jarum yang terbang.

Benar-benar ilmu yang menggiriskan. Sekujur tubuh Pek-Mo dan Hek-Mo bagian bawah tampak terluka parah. Bolong-bolong mirip saringan. Sempat mereka memiringkan tubuh sehingga bagian sensitif dari seorang lelaki yang mereka miliki tidak sempat terhujani jarum-jarum debu dan pasir itu. Jika tidak, maut sudah dijelang keduanya.

Tanpa banyak cakap lagi, Huang-Mo dan Ceng-Mo segera bergerak. Huang-Mo mengambil Pek-Mo dan Ceng-Mo mengambil Hek-Mo. Mereka bergegas pergi tanpa menoleh lagi. Satu serangan pemuda itu telah cukup membuktikan ketangguhannya. Belum lagi di sana masih ada kekek Gu, si Zahnloserbauer. Urusan lain bisa diselesaikan lain hari, yang penting hari ini adalah menyelamatkan kedua saudara mereka.

Untung saja keempat penjahat itu telah lama lalu dari sana, karena jika mereka tahu, mereka mungkin masih dapat meraih kesempatan.

Pemuda yang tadi dipanggil anak Yo oleh kakek Gu, setelah melepaskan serangan tampak masih berdiri dalam posisi semula. Wajahnya yang kemerahan tiba-tiba memucat dan tampak darah mengalir dari pinggiran mulut dan juga lubang mata, telinga dan hidungnya. Kakek Gu yang berada di sampingnya dapat dengan jelas melihatnya.

"Nak, engkau kenapa...?" sebelum pertanyaannya diselesaikan, pemuda itu terhuyung bagai layangan putus tanpa angin, ia melorot jatuh. Bila kakek Gu tidak bergegas menangkapnya sudah terhempas tubuh pemuda itu di atas tanah.

"Hmm, ilmu sesat. Benar-benar mengacaukan jalan darah yang merapalnya," gumam kakek Gu sambil memeriksa denyut nadi pemuda yang dipanggilnya anak Yo itu. Menggeleng-geleng kepalanya melihat kekacauan jalan darah sang pemuda. Untung saja pemuda itu telah memiliki dasar yang kuat sehingga luka dalamnya tidak terlalu parah ketimbang seorang pemula yang merapat Jarum Terbang Debu Pasir. Bergegas kakek Gu membopong pemuda itu. Urusan para petani bisa ditunda, pun dua orang dari Su-Mo juga sama-sama terluka. Untuk beberapa saat mereka pasti tidak akan berani melakukan gerakan apa-apa.

Saat membuka matanya, pemuda itu tampak agak bingung. Hal terakhir yang diingatnya adalah saat ia sedang menyerang dua orang jahat menggunakan suatu ilmu yang baru saja dipelajarinya dari kitab-kitab yang dibawanya. Jarum Terbang Debu Pasir, adalah salah satu penggunaan Tenaga Tanah yang memanipulasi gerakan debu dan pasir sehingga dengan pengerahan hawa tenaga dalam bisa diarah sesuka pikiran. Tetapi terdapat pula kelemahan dari ilmu tersebut, yaitu perlu pencurahan tenaga dan pikiran yang cukup besar, sehingga kadang dapat membuat pengguanya kehabisan tenaga. Dan bila sampai pingsan atau tak sadarkan diri, si perapal bisa bertambah parah dengan kekacauan jalan darah yang belum sempat diselaraskan setelah merapal gerakan tersebut. Suatu ilmu yang benar-benar memerlukan penguasaan tingkat tinggi.

Ia melihat dirinya berbaring di dalam suatu pondok kayu yang sederhana. Ia rebah di atas suatu dipan kayu yang dialasi kain berwarna coklat tua agak kasar. Dengan bau-bau khas kayu dan tumbuh-tumbuhan hutan, rumah itu dipenuhi oleh pernah-pernik dari kayu. Berbotol-botol potongan-potongan daun tampak menghiasi sebuah rak yang terletak tak jauh dari tempatnya berbaring. Hanya itu yang bisa dilihatnya dari posisinya sekarang.

Dicobanya untuk bangkit, tapi tubuhnya masih melawan. Dunia menjadi berputar dan terbalik-balik saat dicobanya duduk. Akhirnya pemuda itu menyerah dan membiarkan waktu berlalu agar tubuhnya dapat sembuh dengan sendirinya, sebelum berusaha untuk bangkit kembali.

"Kreeekk!!" tiba-tiba pintu pondok itu terbuka. Pemuda itu tak dapat melihatnya karena terhalang sebuah meja besar yang di atasnya bertumpukkan buku-buku dan segala macam benda, benda-benda pengobatan agaknya.

"Kakek Gu, untung kau bawa pemuda itu cepat ke mari. Jika terlambat, bisa putus nyawanya," ucap seorang wanita. Dari getar suaranya terlihat bahwa wanita itu sudah cukup tua, akan tetapi suaranya masih cukup nyaring dan jelas.

"Nenek Po, tolong kau sembuhkan anak itu! Ia telah menyelamatkan hidupku ini. Aku akan amat berhutang budi padamu..," ucap lawan bicaranya.

"Tak usah ucap-ucap hutang budi, kakek Gu! Kita orang, orang-orang di akhir hidup, buat apa membawa-bawa pikiran nanti ke liang kubur. Apa yang bisa dikerjakan, kita kerjakan. Setelah itu pasrahkan kepada Sang Pencipta," jawab suara yang pertama tadi.

Lalu terdengar seperti sebuah bungkusan besar dijatuhkan berdebam di atas lantai pondok itu. Perempuan tua itu kemudian menginstruksikan agar rekannya mengambil ini dan itu, sebanyak sekian dan sekian. Mencampurkannya dalam sebuah belanga hitam yang diletakkannya dengan kasar di atas meja.

Tak lama kemudian tercium bau harum mengembang di udara, terbawa angin dan menyebar ke mana-mana, termasuk menggelitik hidung pemuda yang masih berbaring di atas dipan kayu itu. Tak dapat dicegah, perutnya pun berkerotak, berkukuruyuk meminta diisi.

"Hehehe, kakek Gu, lihat anak sudah siuman! Bahkan perutnya sudah minta diisi..," terkekeh-kekeh perempuan tua yang dipanggil nenek Po menghampiri pembaringan sang pemuda.

Semburat merah tampak menyebar pelan di atas wajah pucat sang pemuda. Ya, ia merasa malu sekali atas ketidaksopanan perutnya yang tanpa tedeng aling-aling meminta untuk segera diisi.

Seakan-akan tahu akan pikiran sang pemuda, kakek Gu pun berkata, "Jangan kuatir anak Yo, nenek Po ini memang suka menggoda orang. Tapi walaupun demikian sup buatannya tak ada tandingannya di daerah tiga empat sungai dari sini."

Berseri wajah nenek Po mendengar pujian kakek Gu akan makanannya. Sudah menjadi suatu kekurangan pada manusia bahwa kadang mereka suka dipuji. Sebenarnya hal itu tidaklah salah, asalkan tidak berlebihan dan menjadi melakukan segala sesuatu karena ingin memperoleh pujian.

Bergegas nenek Po kemudian mengambil sup yang sejak tadi sudah tercium keharumannya. Diambilnya semangkok besar. Porsi dua orang. Lalu ia kemudian kembali ke dekat tempat sang pemuda berbaring dan menotok beberapa jalan darah dan juga mengambil beberapa jarum halus yang tadinya ditusukkan di beberapa titik di kepala sang pemuda.

"Bangunlan dan coba makan..," ucapnya.

Sang pemuda tampak ragu-ragu mengingat tadi ia hampir terjatuh saat mencoba bangun.

"Tak usah takut, tadi engkau pusing saat bangun karena beberapa jalan darahmu sedang diarahkan ke tempat lain, agar mempercepat kesembuhanmu. Setelah dipindahkan kembali engkau tidak akan kehilangan keseimbangan saat bangun," jelas nenek Po yang ternyata mengetahui bahwa sang pemuda telah mencoba bangun tadi.

Dengan malu-malu karena kembali pikirannya dapat ditebak orang, sang pemuda mencoba duduk. Pertama-tama perlahan-lahan, karena ia masih kuatir akan pusing dan kehilangan keseimbangan seperti tadi saat ia mencoba duduk. Setelah merasa yakin dengan sedikit mengangkat tubuhnya bahwa ia tidak lagi pusing, ia pun mendudukkan dirinya di atas tempat ia tadi berbaring.

Saat ia masih ragu-ragu untuk menggapai mangkuk sup yang dibuat oleh nenek Po itu, kakek Gu dengan sigap mengambilkannya dan meletakkannya di atas tangan pemuda itu. "Makanlah pelan-pelan.., jika mampu habiskan. Ini mengandung banyak obat-obatan dan ramuan untuk kesembuhanmu."

Pemuda itu mengangguk dan mulai mencoba menyuap makanan yang disiapkan untuknya itu. Dimasukkannya perlahan sesuap sup yang masih mengepul panas itu. Harumnya yang merebak memacu gemuruh perutnya semakin kerap. Rasa hangat pun mulai menyebar dalam tubuh sesaat sesuap demi sesuap sup buatan nenek Po memasuki tubuhnya. Tak terasa sudah setengah isi dari mangkok ukuran jumbo itu pindah ke perutnya.

Saat sang pemuda menyantap makanan itu, kedua orang tua dihadapannya tak habis-habisnya memperhatikan dirinya. Mau tak mau terasa pula jengahnya, seakan-akan ada yang salah pada wajah atau dirinya. Ia sampai mencari-cari dengan jarinya apa ada sisa-sisa sayur dalam sup yang nyangkut di gigi atau nempel dekat pipinya akibat giatnya ia menyantap sup itu setelah isi mangkuknya kurang dari setengahnya.

Melihat kekikukkannya itu, kedua orang tua itu tertawa hampir berbarengan. Ketawa yang ramah dan hangat. "Kakek Gu, kita tinggalkan dulu anak Yo-mu ini. Tak tertelan nanti kalau kita pelototi terus-menerus," seraya nenek Po beranjak dari situ untuk mengerjakan sesuatu di sudut ruang sana.

Kakek Gu pun beranjak dari sana ia mengambil tempat di seberang tempat pemuda itu duduk dan mengasolah ia. Cepat, tak lama, ia pun segera tertidur. Napasnya yang keluar masuk dengan teratur menandakan ia sudah lelap. Lelah setelah bertempur dengan Su-Mo dan juga memanggul pemuda itu serta mencari bahan-bahan untuk mengobatinya.

Setelah habis semangkut sup yang lezat dan juga berkasiat itu, pemuda yang terus saja dipanggil anak Yo oleh kakek Gu, merasa dirinya lebih enekan. Ia kemudian mencoba untuk merebahkan dirinya. Tak terasa ia pun terlelap. Menyusul Kakek Gu yang telah pergi lebih dahulu ke dunia mimpi.

***

"Hiaattt!! Haahh!" begitu bentakan Sarini saat ia membacok Rakrakrak, perambok bertubuh subur dan berkulit gelap itu. Walaupun cukup gemuk, Rakrakrak dapat dengan lincah meloncat sana-sini untuk menghindari tangan Sarini. Tak lupa celoteh ganjen dan centil dilontarkan Rakrakrak untuk menggoda Sarini yang makin lama makin merah bagai kepiting rebus pipinya itu.

"Duh, dada yang ranum, mari sini ke dalam dekapanku!!" ucapnya sambil kembali menyerang Sarini dengan kepalan tangannya yang besar-besar itu. Sesekali dikenakannya juga tangannya agak bersinggungan dengan tangan Sarini yang halus dan mulus. Malah sang gadis yang berusaha untuk menghindar. Ia berusaha hanya menyentuh bagian-bagian lemah dari Rakrakrak dengan tangannya. Jijik rasanya bila harus menyentuh bagian tubuh dari orang yang berkeringat dan ceriwis itu.

"Pinggang molek, kaki jenjang, pujaan hati..!" kembali Rakrakrak mengeluarkan celoteh untuk mengganggu Sarini dan juga mengeluarkan hasrat hatinya yang telah membayangkan suatu saat akan dapat mendekap dara yang memikat hatinya itu. Bagi mereka, para perampok, jarang-jarang mendapat rejeki bertarung dengan dara semanis Sarini di dekat tempat tinggal mereka. Umumnya bila ingin bertemu dengan wanita, mereka harus perg jauh merampok desa atau pelesir ke kota.

Suatu saat Sarini bergerak lambat sehingga pergelangan tangannya dapat tertangkap oleh Rakrakrak. Girang sudah wajah perampok gembul itu. Dibayangkannya dara itu dalam pelukannya setelah tangan itu ditariknya mendekat. Dan memang dengan sentakan yang kuat dara itu tertari memutar ke arah dekapannya, tetapi bukan untuk dipeluk melainkan untuk melancarkan gerakan menyerang. Ilmu Sabetan dan Tangkapan Tangan adalah ilmu tangan kosong yang penuh dengan tipu-tipu. Kedudukan yang lemah dapat menjadi suatu titik awal serangan yang kuat apabila tahu memanfaatkannya.

Sarini sebagai putri Arasan, jelas-jelas menguasai ilmu itu dengan amat baik. Ini yang tidak diketahui oleh Rakrakrak, bahwa ia masuk perangkap dalam gerakan itu. Saat berpusing, Sarini tidak diam pasrah di bawa masuk dalam lingkaran tangan Rakrakrak melainkan berputar searah putaran yang menariknya, tapi lebih cepat sehingga ia bisa mengambil celah kosong dari persendian Rakrakrak yang saat itu tidak menyadarinya, berbalik dan berganti memiting tangan Rakrakrak sampai batas sendinya. Dan tidak tanggung-tanggung, ia terus menggerakkan sampai melalui batas putaran sendi umumnya. Akibatnya, "krakkk!!" patahlah tangan kanan Rakrakrak yang sempat terlena sehingga tidak waspada itu.

Kejadian itu sudah tentu mengejutkan kawan-kawannya. Lima orang yang lain pun menjadi marah. Rupanya mereka tadi telah dibohongi oleh dara itu untuk bertarung tangan kosong. Suatu teknik yang dimahiri oleh sang gadis. Akan tetapi saat kelimanya ingin menyerang setelah meraup senjata masing-masing dalam genggamannya, Walinggih berseru, "tahan!!"

"Orang tua, mau apa lagi engkau? Sekarang tidak ada lagi permainan-permaian, apa yang telah muridmu lakukan itu akan dibayar dengan darahmu dan juga gadis itu," kata seorang dari mereka.

"Apa hubungan kalian dengan Asasin?" tanya Walinggih. Sekarang ia teringat adanya kesamaan ciri-ciri orang-orang itu dengan orang-orang Asasin. Orang-orang yang telah berkali-kali berupaya membunuh dirinya.

Terkejut pula keenam orang itu atas pertanyaan yang diajukan Walinggih. Tak banyak orang yang tahu bahwa mereka ada bekas anggota Asasin. Mereka telah lama tidak lagi bekerja pada kelompok pembunuh bayaran itu karena ketidakdisiplinannya dan juga kurang dapat menjaga rahasia.

"Siapa kamu? Apa hubunganmu dengan Asasin?" balas bertanya seorang dari mereka.

"Hehehe," tertawa Walinggih mendengar pertanyaan itu, "Siapa aku? Tak perlu engkau tahu. Asal aku sekarang sudah yakin siapa kalian sebenarnya, bisa lega aku memulangkan kalian."

Mendengar itu keenam orang itu menjadi pucat wajahnya. Selama ini ternyata kakek dan gadis itu masih menahan diri untuk tidak menghabisi mereka. Setelah tahu bahwa mereka adalah Asasin atau tepatnya bekas anggota kelompok itu, malah mereka menjadi terdorong untuk melepaskan tangan kejam.

"Nan..., nanti dulu!" jawab seorang dari mereka dengan cepat, "Sudah lama, lebih dari satu tahun kami tidak lagi turut pada kegiatan Asasin. Kami bukan lagi Asasin." Berusaha orang itu untuk membela dirinya.

"Satu tahun. Belum lama," jawab Walinggih, "Biar kalian tak penasaran, aku sebutkan satu tempat. Desa Batu Barat dan Timur."

Mendengar nama tempat itu, pucatlah keenam orang itu, mereka tentu telah mendengar nama tempat yang menjadi salah satu dan mungkin satu-satunya kegagalan pekerjaan yang diemban Asasin dari para pemesannya. Di sana mereka bertemu dengan orang yang pilih tanding. Hakim Haus Darah.

"Engkau... Hakim Haus Darah..!!" ujar seorang dari mereka pucat.

Tanpa mengangguk Walinggih pun memegang posisi pedangnya sedemikian rupa. Posisi untuk mengeluarkan gerakan Kadal Pelangi Makan Pagi, suatu gerakan yang ditiru dari kadal-kadal pelangi saat mereka mencari makan di batu-batu yang diperciki buih-buih air.

Menyadari bahwa tak ada gunanya lagi untuk berdepat keenamnya langsung mengambil posisi mengurung Walinggih. Sarini pun mengambil langkah mundur dan melihat dari kejauhan. Rakrakrak yang sebelah tangannya telah dipatahkan oleh Sarini tampak memegang senjatanya dengan tangannya yang lain. Keenamnya pun bersiap untuk mempertahankan satu-satunya nyawa mereka.

Tak perlu waktu terlalu lama bagi Walinggih untuk menumbangkan mereka. Satu persatu dari mereka tersungkur di atas tanah dengan tubuh terpotong. Tidak lagi terbelah dua seperti dahulu ia menggunakan gerakan Sabetan Tunggal Menuai Dua, gerakan Kadal Pelangi Makan Pagi lebih menitikberatkan pada loncatan-loncatan berbalik yang membingunkan lawan. Sabetannya tidaklah seindah gerakan Sabetan Tunggal Menuai Dua akan tetapi lebih efesien dan telak.

Termangu tampak Walinggih setelah keenam orang lawannya itu tidak lagi bernyawa, ingatan masa lalu akan keluarganya, anak dan istrinya yang terbunuh kembali datang. Ditepisnya rasa sedih yang kembali menjelang, juga amarah untuk selalu membalas dendam dan menghukum orang-orang yang berseteru. Ia telah berubah. Bukan lagi Walinggih si Hakim Haus Darah.

Tak terasa sebuah tangan menepuk bahunya. Tangan kecil dan halus milik Sarini. "Paman, sudahlah. Jangan lagi paman bersedih atas perginya bibi dan adik. Mereka-mereka ini memang patut untuk dibasmi."

Mengangguk sedikit Walinggih mendengar hiburan Sarini. Lalu ia mengisyaratkan agar mereka menggali sebuah lubang yang cukup besar untuk menguburkan keenam orang itu. Senjata-senjata mereka pun dimakamkan bersama-sama dengan jasadnya. Setelah itu sebuah batu besar dipotong Sarini untuk diletakkan di atas makam itu. Digoreskannya di atas batu tersebut

"Makam enam perampok mantan Asasin.

Salah seorang bernama Rakrakrak."

Hanya itu saja, karena ia tidak tahu nama-nama mereka kecuali Rakrakrak tadi. Setelah itu mereka berdua kembali meneruskan perjalan mereka ke arah utara untuk menjumpai orang tua Telaga untuk memberitahukan mengenai perjodohan Telaga dan Sarini.

***

"Maaf, bila sedari tadi engkau kupanggil terus dengan anak Yo," kata kakek Gu kepada pemuda yang menolongnya dari serangan Su-Mo.

"Tidak apa-apa, paman!" balasnya, "Malah saya pikir paman cerdik sekali pada saat itu, tanpa ba-bi-bu langsung menyapa saya seakan-akan kita telah kenal sehingga mereka kena dikadali."

"Ah, tidak terlalu berarti jika engkau tidak selihai itu ilmu beladirinya. Sayang sekali akibatnya engkau jadi menderita luka seperti ini," ucap kakek Gu sedih.

"Ini juga salahku, paman. Aku belum memahami jurus Jarum Terbang Debu Pasir dengan baik tetapi telah mencoba-coba," jelas pemuda itu.

Mengangguk-angguk kakek Gu mendengar penjelasan pemuda itu. "Omong-omong, tenagamu itu boleh juga, benar-benar menunjukkan penguasaan Tenaga Tanah yang sudah mumpuni," puji kakek Gu.

"Ah, paman bisa saja. Saya juga baru belajar dari para Troll," jelas pemuda itu sambil lalu menjelaskan kisahnya di mana ia mempelajari Tenaga Tanah itu.

Nenek Po yang sedari tadi sedang membaca-baca buku-buku pengobatan di mejanya, mengguman-gumam, "Tidak baik, tidak baik! Hukum alam tidak boleh dibolak-balik..!"

Gumaman itu memecah pembicaraan antara kakek Gu dan pemuda itu. "Nenek Po, apa maksudmu?"

"Ah, aku kembali ngomong sendiri ya?" ucapnya malu. "Ini dalam buku ini tertulis bahwa hukum-hukum alam sebaiknya tidak dicoba-coba untuk dilawan. Konsekuensinya berat."

Melihat tatapan bingung dari kedua orang di depannya itu, nenek Po pun tersenyum. Lalu lanjutnya, "Anak muda ini.. telah menggunakan Tenaga Tanah untuk memanipulasi gaya berat. Itu melawan alam. Alam ini terdiri dari materi. Ada empat unsur air, tanah, udara dan api. Semunya punya isi. Dan semuanya patuh pada gaya berat. Dengan mengubah-ubah gaya berat, keseimbangan akan terganggu. Terutama aliran hawa dalam tubuh."

Kedua orang itu pun mengangguk-angguk, baru ngeh dengan apa yang dijelaskan oleh nenek Po.

"Nak Paras Tampan, boleh-boleh saja engkau menggunakan jurus Jarum Terbang Debu Pasir, tapi dengan perhitungan tentunya. Jangan semua tenagamu dikerahkan ke sana. Sisakan untuk mengembalikan aliran hawamu ke sirkulasinya semula."

Lalu dijelaskannya bahwa apa yang barusan dilakukan oleh Paras Tampan adalah dengan mengubah kerapatan benda-benda disekelilingnya atau juga disekitarnya sehingga debu-debu dan pasir dapat bergerak seperti keinginannya. Lain dengan benda-benda yang berukuran cukup besar sehingga kekuatan dapat dipusatkan, benda-benda seperti pasir dan debu amatlah kecil dan banyak, sehingga tenaga yang dikeluarkan pun harus ekstra besar dan tersebar. Belum lagi upaya untuk membuat mereka terbang dan berurutan sehingga berbentuk jarum-jarum padat. Setelah hawa dikeluarkan untuk mengendalikan butiran-butiran itu, tubuh menjadi kosong. Tenaga alami alam yang terdiri dari empat unsur itu berebut masuk untuk mengisi kekosongan itu. Oleh karena itu perlu ada tenaga yang dicadangkan untuk menghalangi luapan tenaga yang ingin mengisi hawa tubuh yang kosong itu. Itulah yang terjadi sehingga tubuh Paras Tampan saat itu melupa terisikan tenaga alami dan mengalami luka dalam.

Menjadi jelas sekarang bagi Paras Tampan perihal ilmu yang baru dipelajarinya itu. Ia pun berjanji untuk lebih hati-hati dalam merapal ilmu itu. Jika tidak benar-benar diperlukan tidak akan digunakannya. Selain berbahaya bagi lawan, ilmu itu juga berbahaya bagi sang perapalnya sendiri, bila menggunakannya dengan benar.

Sudah seminggu Paras Tampan tinggal di pondok nenek Po. Kakek Gu pun tinggal di sana menemaninya. Kakek Gu sendiri sebenarnya punya rumah, tapi tak tak bisa dibilang benar-benar rumah mengingat letaknya yang di atas pohon dan dibangun sekenanya. Cukup asal nyaman untuk tidur dan tidak kepanasan saat hari cerah dan tidak kehujanan saat hari hujan, ditambah tidak kedinginan saat malam hari.

Dalam seminggu itu sudah banyak perubahan dalam kesehatannya. Tubuhnya berangsur-angsur membaik dan juga ia memperoleh banyak cerita, baik dari nenek Po maupun kakek Gu.

Kakek Gu yang bernama Gu Ming itu ternyata adalah masih saudara jauh dari seorang pengujar terkenal Gu Long. Pengujar yang banyak menghasilkan karya-karya cerita tentang kehidupan orang-orang di rimba persilatan. Diceritakan bahwa Gu Long adalah seorang yang cerdas akan tetapi agak nyeleneh. Tidak seperti kebanyakan orang yang umumnya bekerja setelah tamat belajar, ia malah berandai-andai dahulu dan berusaha menjadi seorang penulis di kotanya. Hidup sederhana seperti pengujar Tao Yuan Ming (penyair jaman dinasti Han dari Tlatah Tengah).

Gu Long adala seorang yang cerdas, ia telah dapat menulis kisah pada usia yang amat muda. Sekitar 12 tahun. Dan bisa memperoleh penghasilan pertama saat berusia 19 tahun. Kakek Gu kemudian menceritakan bahwa saudara tuanya itu, hampir selalu menceritakakan sesuatu yang berkaitan dengan cinta. Sampai suatu saat ia mendapat saran untuk menulis mengenai orang-orang rimba persilatan. Walaupun demikian, unsur cintanya tetap kental dalam kisah-kisah orang-orang rimba persilatan.

Saat itu terdapat empat pengujar besar penghasil cerita orang-orang rimba persilatan di Tlatah Tengah Sempalan (Taiwan), yaitu Chu Qing Yun, Wu Lung Sheng dan Shi Ma Ling, serta Gu Long sendiri.

Kakek Gu sendiri sampai merantau ke sana ke mari karena terinsipirasi atas karya-karya para pengujar-pengujar tersebut, yang menceritakan keanekaragaman dunia dalam kisah-kisah persilatan.

Sayangnya saudara tuanya itu mempunyai suatu sifat jelek, yaitu gemar minum dan mabuk-mabukkan. Kerap sekali sehingga jatuh sakit. Setelah sembuh ia sempat beberapa saat terbebas dari arak, akan tetapi tidak lama. Bila sedih ia minum arak. Kebiasaan ini datang kembali sehingga akhirnya membuat kesehatannya menjadi semakin parah dan akhirnya ia meninggal. Saat ia meninggal kakek Gu sedang merantau sehingga tidak dapat menjenguk saudara tua yang dikaguminya itu.

Paras Tampan dapat merasakan keharuan kakek Gu saat menceritakan kisah saudaranya itu. Ia melihat kekaguman kakek Gu pada sosok pengujar Gu Long. Ia sendiri pernah mendengar, tapi belum pernah membaca hasil karya atau pun cerita mengenai orang itu.

"Ada seorang pengujar dari Tlatah Tengah Sempalan, Gu Long namanya. Karyanya amat gemilang tentang orang-orang rimba persilatan di Tlatah Tengah. Tapi apa-apa tentang cinta yang ditulisnya tidak dapat diwujudkannya dalam dunia nyata. Ia hidup tidak bahagia. Tidak sebahagia tokoh-tokoh rekaannya," jelas Ki Tapa suatu saat pada Paras Tampan. "Sebaiknya seimbang, apa yang kita tuangkan dalam karya, ucapan dan pelaksanaan. Itu yang terbaik."

Paras Tampan tidak tahu mengapa Ki Tapa menceritakan perihal pengujar Gu Long padanya saat itu. Setelah lama baru disadari bahwa Ki Tapa ingin mengingatkan bahwa apa-apa yang dihadapi haruslah diresapi. Jangan terlalu berhadap atau terlena seperti dalam kisah-kisah. Sifat Paras Tampan yang cenderung romantis mungkin mengundang kekuatiran sendiri pada Ki Tapa sehingga ia menceritakan tentang kisah itu.

***

Lantang mengambil satu buah ubi dan sejumput rempah. Digigitnya ubi, dikunyahnya perlahan, lalu rempah-rempah. Ubi itu untuk membuat agar rempah-rempah yang mengandung obat itu dapat termakan. Tanpa ubi mungkin akan termuntahkan kembali.

Tak terasa setengah rempah-rempah obat yang harus dimakannya telah mengisi perutnya. Ubinya tinggal sebuah. Tidak cukup kiranya untuk memakan rempah-rempah yang tersisa. Lantang pun celingak-celinguk mencari-cari dengan matanya, apa-apa yang bisa menggantikan ubi untuk memakan rempah-rempah itu.

Tiba-tiba bahunya ditepuk. Xyra yang tadinya tertidur telah bangun. Rambutnya yang awut-awutan tampak manis menghias wajahnya. Khas kecantikan seorang Undinden.

Ia tampak mengangsurkan beberapa buah pisang.

"Makanlah untuk teman rempah-rempah," katanya pelan.

Lantang pun mengangguk diambilnya dua buah pisang. Segigit pisang dan rempah-rempah. Segigit lagi dan juga rempah-rempah sampai akhirnya takaran yang harus dimakannya habis. Pindah mengisi lambungnya.

Xyra tampak senang melihat hal itu. Ia mengeluarkan nada tinggi, nada khas Undinen apabila hatinya gembira. Gembira bahwa Lantang akan kembali sehat.

"Di mana orang tua itu tadi?" tanya Lantang tiba-tiba. Ia teringat pada orang tua yang tadi memasakkannya obat.

"Wananggo, maksudmu?" tanya Xyra.

"Kakek itu bernama Wananggo?" balik bertanya Lantang.

"Ia memperkenalkan diri dengan nama itu," jelas Xyra. "Ia tadi pergi sebentar. Akan kembali untuk menengok kesehatanmu. Ada sesuatu yang harus dicarinya. Ditunggu saja sambil beristirahat."

Lantang pun menurut. Sambil berbaring ia minta Xyra untuk mengisahkan perjalanannya dan mengapa saat ia ingin pamit Xyra tidak bisa ditemuinya di Danau Tengah Gunung.

Dengan perlahan sambil tertunduk malu Xyra pun menceritakan bahwa ia dulu merasa marah dan sedih, bahwa Lantang akan meninggalkan tempat di mana mereka bertemu. Ia menyangka Lantang membenci dirinya dan meninggalkan dirinya. Oleh karena itu ia tidak mau menemui Lantang. Akan tetapi jauh setelah Lantang pergi Xyra pun merasa kehilangan. Dan ia menemui Ki dan Nyi Sura untuk minta penjelasan keamana perginya Lantang. Setelah tahu ia pun pergi mengikuti. Dengan kemampuannya berbicara pada binatang-binatang air, Xyra memperoleh keterangan ke arah mana Lantang berlalu. Setelah menemukan, ia pun membayangi sosok yang dirindukannya itu dengan diam-diam. Saat Lantang menderita sakit, ia pun tidak tahan dan memunculkan diri untuk membantu Wananggo merawat pemuda itu.



Terharu Lantang mendengar penjelasan sang Undinen. Tak terasa tangannya menggenggam dan mengelus lembut telapak tangan Xyra yang berhasil digapainya. Xyra hanya tertunduk semakin dalam sambil memainkan rambutnya dengan tangannya yang lain.

Keduanya pun terdiam. Perasaan dalam hati masing-masing bergolak. Menggelora jiwa muda. Jiwa yang ingin berpadu dan dekat selalu.




Demikianlah Info postingan berita Kehidupan Para Pendekar

terbaru yang sangat heboh ini Kehidupan Para Pendekar, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sekian info artikel kali ini.

Anda sedang membaca posting tentang Kehidupan Para Pendekar dan berita ini url permalinknya adalah https://indodongeng.blogspot.com/2013/11/kehidupan-para-pendekar.html Semoga info lowongan ini bisa bermanfaat.

Subscribe to receive free email updates: