Ini (hanya) Puisi

Ini (hanya) Puisi - Hallo semuanya Pembaca Berita, Pada postingan berita kali ini yang berjudul Ini (hanya) Puisi, telah di posting di blog ini dengan lengkap dari awal lagi sampai akhir. mudah-mudahan berita ini dapat membantu anda semuanya. Baiklah, ini dia berita terbaru nya.

Judul Posting : Ini (hanya) Puisi
Link : Ini (hanya) Puisi
Cerpen Ari Setya Ardhi

.... lihat, pandanglah tunas bertaburan gemulai menebar keasrian, merebakkan wangi cuaca memberikan harmoni rampak basamo diiringi gemersik langgam dagang menumpang kita tak perlu lagi memperhitungkan sengketa, lantaran sumpah kematian itu telah lebur pada kesementaraan jasad
“Hanya ini,” Kami hanya mampu mengangguk dalam kediaman dengan tatapan yang sarat kepasrahan. Peluh yang semula tertunda desah angin tiba-tiba saja meluncur tanpa pemikiran. Sementara dalam benak kami berbagai tanda tanya seakan mengangsurkan stereo yang sangat pepak.
“Untuk apa,”rungut bu Jangan Pergi menuntut keheranan. Tangan kirinya yang berlumuran santan tampak bergetar hebat ketika membalikkan secarik kertas yang terlanjur kami tawarkan itu. Suasana warung miliknya sepi, terik matahari menjadi pahlawan yang tak pernah ingkar janji, melepaskan cahaya membara di kelusuhan tungku kepala. Lagi-lagi kami mengangguk. Hanya saja, bebayangan pepohonan yang semula terasa teduh itu terbongkar lewat deru traktor di dalam sanubari terdalam. Kami melihat tanah-tanah telah menjadi sengketa yang hanya memperebutkan kesementaraan dunia, sedangkan lapangan golf seperti membangun pekuburan bagi kekalahan manusia, mengejek sepenuh kesadaran.
“Hanya ini,”sambung bu Jangan Pergi masih dengan nada yang sama. Kami tetap tekun membungkam. Mempertimbangan harapan yang masih tersisa sebagai suatu nafas kehidupan yang harus kami tumbuhkan tanpa henti.
“Ya, hanya itu,”sahut kami dengan suara serak. Terasa himpitan yang muncul bagaikan sebuah perjalanan panjang yang dititipkan isteri kami dari rumah semenjak pagi tadi.
“Tapi itu adalah genggaman cahaya dari kebenaran hari nurani kita,”tambah kami dengan kegundahan yang membangun keriuhan pasar dalam sekujur raga. Lambat-laun kami mulai menunduk sembari menelan ludah.
“Tapi tidak bisa terus menerus begini. Ibu hanya pedagang kecil, puisi ini tak bisa selalu ibu tampung untuk ditukar dengan beras atau lainnya,” suara bu Jangan Pergi menurun penuh keprihatinan yang sebenarnya tidak perlu. Lantaran dalam kehidupan ibu Jangan Pergi sendiri tak pernah mampu melepaskan kejenuhan terhadap keterbatasan yang selalu menghantui kehidupannya.Hanya saja, bagi kami, kalimat-kalimat yang dilontarkan ibu Jangan Pergi bagaikan ledakan senyawa yang menikamkan pecahan beling yang melunglaikan belulangan kecemasan yang semenjak semula bercokol.
“Jadi, kita harus bagaimana bu. Betapapun puisi itu adalah harga yang telah menjadi nilai dari segenap kesementaraan nyawa kami. Kita tetap memiliki kemustahilan untuk memperjuangan hakekad itu.”suara kami seperti putus asa, meski semangat tetap harus terjaga dalam bara yang memang menjadi pilihan tanpa perdebatan. Ibu Jangan Pergi mengangkat kedua bahu, tangan kiri yang memegang secarik kertas yang merupakan pendaran jiwa kami itu terangkat mengusap sedikit peluh yang meleleh di dahi. Sementara kami merasa letupan-letupan yang semula berderu menjengkelkan seakan-akan hanyut dalam kederasan arus tak bertepi.
“Ini masalah kepercayaan istri kami, mereka terlanjur meyakini puisi sebagai kesakralan yang tengah kita persiapan sepenuh semangat dan tentu saja menjadi pegangan yang mendalam dari rasa cinta yang tumbuh dalam kamar pelaminan kita,”jawab kami lewat bisikan angin dalam derai yang nyaris lumat dalam pendengaran bu Jangan Pergi.
“Lantas apa yang bisa menjadi tukar menukar penawaran ini,”balas bu Jangan Pergi meneduhkan, membangkitkan bebayangan kasih ibunda yang selama ini nyaris tak pernah jadi perhitungan.
Sontak semangat kami meraja dengan sepenuh kesempurnaan.
“Beras. Kita selalu setia dengan beras bu. Meski Dolog kebanjiran beras, kita selalu tak mampu menjadi bagian dari keutuhan yang ada,”seru kami dengan nada suara yang menggema dari relung-relung perut kelaparan yang terkadang menjadi kebanggaan.
Ibu Jangan Pergi terlihat menghela nafas, namun senyum tulusnya mengembang sepenuh kerindangan pohon marindau.
“Baiklah. Tapi kali ini berbeda, ibu ingin puisi ini dibacakan,”ujar bu Jangan Pergi sembari mengangsurkan secarik kertas berisi puisi itu.Kami menyambutnya lega, menikmati getaran kemurahhatian ibu Jangan Pergi yang mengalir dalam darah dan semangat kami.
“Terima kasih bu. Sekurangnya ibu telah memperjuangan biografi,”tukas kami mantap.
Sekejap saja, dalam bayang-bayang bola mata, kami terbang dalam sebuah biografi yang menyejukkan. Di atas langit kami melihat mega berayun-ayun membuai puncak cakrawala meninabobokkan panorama. Kami menyaksikan gunung-gunung melambai dalam tawa lepas kami yang bergema sepanjang kebahagiaan yang tiada tertara. Meski akhirnya kami terjatuh dalam keterasingan yang menggulirkan kata demi bait dalam barisan puisi yang kami tawarkan lewat penghargaan polos ibu Jangan Pergi

telah kuperam dosa embun itu, ketika kami mengkafani pelaminan tanpa melawati kesucian telapak mawarmu menerobos gerbang yang membuka impian kamboja dan meninggalkan geriap rambut kecemasan yang selalu melambaikan ketulusanmu hingga darah pertikaian yang mengaliri langkah kami membatu sepanjang batanghari o, gemuruh badai tak akan mampu menebus sesal kami bersujud, merinci setiap sudut sajadah kelahiran ............... (sajak Mempersembahkan Sajadah)
“Inilah dosa yang harus kita pikul,”suara kami seakan berhembus melewati pertikaian kenangan segegap kesetiaan menerima berbagai konsekuensi yang menjadi pilihan tanpa memiliki kepastian menentukan pertarungan nasib. Istri kami, Malam Gerhana hanya menggeraikan rambutnya sekilas. Jemari lentiknya mulai memilin-pilin dada kami.
“Beras ini merupakan bukti yang tetap harus kita pikul sebagai keyakinan itu,”sambung kami. Malam Gerhana berdesah. Namun dari sudut dadanya kami melihatnya tengah merajut benang-benang yang diuntainya dengan aliran darah. Perlahan-lahan rajutan itu membesar menjadi kekuatan yang membangun ketabahan kerinduan.
“Tapi kita tak bisa menerus menjadikan kepasrahan itu sebagai pilihan,”protes Malam Gerhana. Giginya berkilau menyeret cahaya yang tak akan pernah kami lupakan sepanjang peradaban.
“Kita sudah terusir Malam. Gerhana hanya menjadi penengah yang terkadang tak menghasilkan apa-apa,”tukas kami.
“Jangan salahkan siapa-siapa,”sahut Malam Gerhana.
“Tidak,”ketus kami berapi.
“Kita tak boleh menyerah, dan kita tidak akan pernah mau kalah,”kata kami sembari mengepalkan tangan keras-keras. Kerinduan yang semula terlupakan itu tiba-tiba saja menjadi kecamuk yang tak pernah berkesudahan.
“Tak perlu disesali,”bisik Malam Gerhana galau. Kami segera merengkuh dan membawa kepala Malam Gerhana menyusup ke dasar-dasar keleluasaan dada kami.
“Biarkan saja impian itu menjadi kekosongan waktu yang tak perlu tercatat,”bisik kami.
“Namun, pilihan itu telah berkarat, menebar dan tersebar di segenap lahan-lahan yang pernah menjadi milik kita,”suara Malam Gerhana masih bergemuruh dari kegelisahan butir-butir bening yang terus berkilau menghajar kepala kami.
“Yakinlah. Ini puisi bukan hanya,”
“Kalau sekedarnya?”
“Tidak bisa. Ini adalah nyawa. Roh yang harus melindapkan tempat secara tetap,”
“Nyawa perlu mengisi kehidupan dengan kenikmatan,”kali ini suara Malam Gerhana bak jeritan kelelawar yang berkepak mengusung dahaga. Kami terlempar memasuki ruang-ruang tak bercelah. Dinding-dinding putih mengepung, manusia bertopeng warna-warni tampak bersikeras memperjuangan diri masing-masing. Salah seorang dengan lantang mengiterupsi dengan kalimat yang masih juga membawa kemanusiaannya sendiri.
“Interupsi. Sebaiknya diperiksa, dipanggil. Kalau perlu pecat saja. Banyak yang siap menggantikan posisinya,”. Yang segera saja ditimpali sosok lain.
“Memangnya tak ada yang lain,”.
“Kalau perlu gantung, biar habis,”suara lain meninggi.
“Voting saja,”tambah sosok disebelahnya tak kalah seru.
“Tak bisa. Kita punya hukum, pengadilan harus ditegakkan, karena keadilan sudah biasa untuk dibayar,”kata sosok yang berada di atas mimbar. Yang lain baru terdiam, sebelum akhirnya saling bertukar pandang mata segegap ketakjuban.
“Kita disini karena dipilih kami, aku, saya, dia dan lain-lain. Tapi bukan berarti kita harus selalu beraspirasi terhadap dukungan itu. Melainkan kita harus lebih focus untuk membawa kita memasuki ruang-ruang kemungkinan yang lebih gelap lagi. Disini, terlampau terang dan bersih,”lagi-lagi sosok di atas mimbar bersuara serak penuh kekelaman yang misterius.
Menangkap dialog yang bakal 'deadlock' itu, mendadak saja kami merasakan kemuakan mempermainkan dunia nyata dan selalu bertimbal balik terhadap berbagai pemungkiran serta pengingkaran. Dosa selalu diciptakan untuk memperbaiki keseimbangan fana. Hingga realitas itu benar-benar membuat kami tersedak. Kemarahan yang menyesak benar-benar memenuhi rongga jasad, kami benar-benar terhina tiada berbanding. Namun lagi-lagi kami terlontar dan kembali saling berdepan-depanan dengan Malam Gerhana yang memandang wajah kami sekerut kecurigaan mendalam. Kami hanya mampu tergagap diantara keniscayaan.
“Hidup bukan untuk dipercayai, cukup dijadikan sebagai pembelajaran terhadap kebodohan,”tukas kami dengan dengus yang berapi. Malam Gerhana hanya mampu menatap dengan sorot mata yang berkilau dalam percikan kepolosan yang sulit terabaikan.


Kami hanya mampu terpana dengan sejuta pesona yang tak mampu kami mengerti. Ketika tiba-tiba air bah bersimaharaja menggulung pelosokan desa. Berhektar-hektar air seakan-akan mencoba memuaskan dahaga yang senantiasa tak pernah terpuaskan.Ladang-ladang, sawah jadi mata air, hutan belantara serta rimba raya menjelma di bawah riak-riak yang bergelombang, menelan panorama seluruh ketegasan yang tak bisa ditolak. Bahkan kami hanya mampu ternganga ketika rumah-rumah mulai tertimbun longsoran tanah yang begitu saja menyapa lewat kekuatan yang kerap terlupakan. Lagi-lagi kami dirundung kesima mendalam, ketika peluru, granat dan mortir mulai merambah suara jangkrik. Membungkam ribuan nama yang mengisi kesia-siaan pekuburan. Tinggal desah lirih dahan kamboja seakan-akan mengalunkan rintihan saudara-saudara manusia yang kerap kali melalaikan silsilahnya sendiri. Hanya saja, keterperanjatan baru memaksa kami bereaksi, saat gulungan air mengarahkan muntahan muara kepada kami. Disusul gemuruh tanah menderu melontarkan bergumpal-gumpal kerikil dan karang. Sementara dengan kerusuhan membuta, berlaksa peluru saling berkejaran mencecar sisa kesedihan kami. Terancam kesumat membara itu, kami kehilangan kenyamanan, taka ada lagi keamanan yang bisa jadi jaminan di pegadaian. Maka, dengan kecemasan beragam, bergegas kami melangkah seribu, kencang melaju. Kami berlari dengan deras. Memacu keringat sepenat kemampuan yang ada. Hingga kami tak kuasa lagi memperhitungkan perjalanan yang selalu dikalahkan waktu. Namun, upaya kami sia-sia. Gelombang air serta longsoran begitu setia memburu di belakang punggung kami. Sementara desing mesiu yang bersliweran telah menjadi desahan yang berkibar dari tiang-tiang bendera, berkelebat menampar-tampar kuduk kengerian kami. Kami benar-benar putus asa. Kami sudah tak mampu memperhitungkan dosa-dosa, karena kematian itu sama sekali sudah tidak berharga.Yang terpenting lagi, kami juga sudah kehilangan kelaparan, semenjak harta benda menjadi sejarah yang selalu mengulang puing-puing keabadian. Kami terus berkencang urat, dengan nafas yang tak mampu tertakar, kami seakan-akan terus menerus menghela kemiskinan dalam paru kami, udara seperti tersengal memikul beban di atas luka kami.

“Kenapa,..?”tanya kami menyapa ketertegunan. Lalu, dalam bilik jantung kami pelacur-pelacur berdesah menghidupkan birahi, memukul-pukul kesibukan nafsunya sendiri, karena syahwat sudah tak mampu terbeli. Disusul dengus perampok, pencoleng dan penjahat maupun kesesatan orang-orang mengembik bersama larutan keberanian yang sia-sia. Kami betul-betul tak kuasa melepaskan diri dari kejaran yang terus bersimaharajakan petaka. Kami tersungkur, kaki kami tenggelam dalam tangisan sungai-sungai, dada kami terkubur diantara kemarahan tanah, kepala kami ditembus dendam peluru yang sama-sama tak mampu lagi mempertimbangkan keadilan. Sekujur tubuh kami telah terbakar ketimpangan undang-undang yang memang tak mementingkan kepatuhan.

“Tobat...”pekik histeris kami bersahut guman tak jelas. Kami benar-benar tiada berdaya. Namun, mendadak saja harapan itu datang. Siluet kelentikan sosok istri kami, Malam Gerhana melintas dengan kegemulaian yang begitu syahdu tepat di hadapan wajah derita kami. Malam Gerhana siap membeberkan bantuan sedaya asmara yang terbina. Anehnya, nilai kebahagian yang ditawarkan Malam Gerhana, malah membuat kami semakin tersuruk. Namun, dengan guratan senyum ketabahan yang ada, segera saja Malam Gerhana bertindak memberikan harapan pertama dengan menyumbat kebebalan ombak pembebat kedua kaki kami, membangun bendungan lewat kegemetaran kalung, cincin, gelang dan gemercing perhiasan di penjuru tubuhnya. Namun kebuasan air masih tak juga berkenan melepaskan kedua kaki kami. Malah, sepuas keliaran yang penuh kepalsuan, geliat air terus meronta membelit sepenuh nurani kebendaan. Sekejap Malam Gerhana kehilangan kepala, sebelum akhirnya memilih untuk melepas segenap busana yang dikenakan. Mujarab, air bah seperti tersirap. Sejenak kami merasakan kemabukan yang menggoda. Darah candu menggelegak, menggeliat-geliatkan nadi-nadi yang menyala. Lampu-lampu dalam belulang perih kami riang berkerlip mengikuti alunan suara air yang gemuruh menghantam pantai dan berdebur melalap pesisir. Gema rumah terbenam, disusul suara api yang membakar atap-atap perdamaian jadi musik pengiring yang membuat kami tak mampu meredam pusat kesadaran. Kami bergoyang-goyang, tubuh kami menari, kaki kami mulai bersalsa. Otak kami berdansa. O, gairah itu menimang-nimang sukma dan pikiran, berjoget menampung ilusi-ilusi yang terus melompat-lompat dalam kepala kami. Sayangnya, kejutan yang menawarkan klimaks eksotik itu tiba-tiba menjadi hambar. Kehilangan dan kesunyian kembali menelikung kepasrahan yang ada. Akibatnya, Malam Gerhana limbung, Malam Gerhana tersentak bingung. Keringat berpelangi menerobos segenap pori. wajahnya nan rupawan yang mendadak mengerutkan keriput berabad-abad, dadanya yang montok seakan-akan dirontokkan hisapan bayi-bayi papa yang penuh keharaman. Sementara pinggulnya yang bahenol, terus menerus mengeluarkan suara anus yang tersendat-sendat menahan kepiluan. Malam Gerhana tidak salah. Kegelisahan air kembali menggeliat dan menembus bendungan-bendungan yang dibangunnya. Lagi-lagi keangkuhan air kembali menguasai derita kami. Dengan tatapan memelas, kami menatap Malam Gerhana lewat binar-binar asmara, mengalirkan sejarah bersama lintasan kerinduan yang abadi. Malam Gerhana menundukkan kepala. Bayang-bayang tubuhnya seakan sulit dijinakkan dari panggung-panggung striptease. Kegagalan bukan harus menyerah! Walau, akhirnya tubuh Malam Gerhana mengejang dengan ekstase hebat. Merasa tertantang, Malam Gerhana melolong kekuatan sekuat tekad. Kemudian, dengan gerakan-gerakan kasar Malam Gerhana mencabut seluruh kuku kakinya yang tak pernah berterimakasih terhadap sepatu. Fantastis! Meski meraung penuh kemalangan, Malam Gerhana memantapkan tangan mencukil kuku kakinya. Dengan irama kacau Malam Gerhana mulai menyendoki serpihan tanah dan menciduk timbunan batu-batu yang membenam dadaku. Malam Gerhana melemparkan pabrik-pabrik dari jantungku, menepis kekhilafan hotel-hotel dan kondominium yang selalu memperlengkap jejak pendosa, membuang kabel-kabel yang selalu mengalahkan manusia. Semakin lama, semakin dalam kuburan tanah menganga di sekitar dada kami. Ada kelegaan yang menyelinap menawarkan penyesalan, membawa pijar masa depan yang sama sekali tak sempat dijadikan skenario film-film. Sekilas, kursi-kursi di gedung parlemen maupun singgasana dalam berbagai istana menerawangi kepepakkan pandangan kami. Tanpa dinyana, aroma kekuasaan membawa kami mengarungi mukzizat peradaban. Memperkenalkan kami membangun kasta-kasta komunikasi, dan mengantarkan kami menampung warisan kesombongan dunia. Kami tertawa. Kami bisa menyusun peraturan yang melindungi kepentingan, kami tak dilarang melanggar peraturan yang memang milik kami. Gelak kami membahana, suara kepuasan bergema dalam belantara peta-peta yang kami bagi-bagi tanpa mementingkan arah dan kemampuan garis-garis skala yang kehilangan kota-kota tujuan. Namun, belum lagi sampai kepuasan itu melumpuhkan kami. Malam Gerhana serenta menghentikan kerja terpaksa yang memang diharuskan oleh ketidakpahaman itu.Belum lagi mata Malam Gerhana berkedip, bungkahan-bungkahan pekuburan seperti tebaran hujan yang runtuh dari langit. Dada kami lebih terhimpit merusuk kekalahan nasib yang menyala-nyala dari bias pelangi yang selalu misteri dalam kemustahilan. Cercah keputusasaan kian tegas merapatkan paras kegagal kali kedua.

“Tidakkkk........!”jeritan Malam Gerhana bagai perjumpaan gempa yang menautkan sungai dan laut yang membangun delta-delta yang terpecah-pecah. Kami hanya sanggup menatap Malam Gerhana lewat sapaan yang sulit diterjemahkan tehnologi manapun.Terkadang, kebekuan cinta itu lebih mempersatukan keabadian dingin yang hanya mampu dilelehkan kesepakatan bercumbu rayu mengalir begitu saja. Malam Gerhana berdesah. Memasrahkan Keranuman bibir di atas dagu yang bak bulan sabit terbelah tanpa gairah yang kami kenal. Kami semakin jauh tenggelam. Perbatasan daratan dan kepulauan sudah menghadirkan kematian yang sangat sempurna. Mengulang-ulang keletihan waktu yang selalu menjadi tradisi kehampaan. Kami memang pasrah. Malam gerhana merelakan ketidakberdayaan yang dimiliki. Maut bukan lagi hakekat menakutkan. Maut sekedar penghalang yang setia menangkal berbagai kemapanan. Dari kekalutan, kami mendengar ombak berdebur memecahi dermaga, tak ada lagi persinggahan yang mampu memberikan tambatan kedamaian. Dari belakang, gemertak tanah terus menderu, berpesta membangun lapangan pemakaman, memendam sisa-sisa keangkaran yang masih saja didewasakan. Jasad Malam Gerhana lunglai bertelekan kerapuhan sepanjang zaman. Bias kengerian berselimutkan kekelaman mencekam membius kami. Sunyi menabur ketidakberdayaan kami. Hingga kelengang berlapis kenangan itu pelan-pelan mulai lenyap dari pemikiran kami. Benak kami sudah merapatkan berbagai tujuan yang menjadi batas akhir. Bahkan harapan tidak lagi menjadi gairah yang mampu melebarkan kemungkinan-kemungkinan fana. Di tengah-tengah kekuasaan sang maut, tiba-tiba angin keras menerpa dalam sepoi kesejukan yang jatuh ke lubuk jiwa kami.

“Masih banyak puisi yang sulit dipahami,”sebuah suara yang terdengar tidak asing terasa merasuk lewat sentakan tajam. Kami hanya menunggu, karena hanya penantian yang masih menjadi milik kami yang tiada ternilai. Sementara Malam Gerhana tercekat kemustahilan, bebayangan keraguan menjalar dengan lekas.
“Namun, memahami kehidupan itu diperlukan puisi,”kali ini suara itu tidak asing lagi bagi kami. Semangat kami serentak meradang. Namun, kami membisu, keraguan masih menyapu segenap kekecewaan yang ada.
“Jangan salahkan kekecewaan itu,”kalimat itu mengalun penuh kerinduan yang sangat jauh sekali. Meski kecemasan silih berganti menggantung kerapuhan kami.
“Kalah-menang bukan lagi ukuran kekuatan. Kepasrahan yang seringkali bersifat menentukan,” Kami tersentak. Malam Gerhana terpekur, merapatkan keyakinan yang dimiliki kepada kami.

“Ya tidak salah,”sahut suara yang memang sangat akrab sekali dengan kami itu. Entah dari mana, mendadak saja kami merasakan belitan air di kaki kami mulai berpusar dalam gerakan perlahan. Lalu, kaki kami terasa mulai mampu membebaskan jemari keikhlasan yang semula terbelenggu penindasan air. Seperti tak mempercayai kebeningan bola matanya, Malam Gerhana mengusapkan air menyapu kekusutan wajahnya.
“Menampung derita tidak harus memasrahkan kekacauan sebagai penyelesaian. Namun terimalah tantangan itu sebagai hakekat keseimbangan,”tambah suara lembut itu penuh keharuan yang berbeda. Kami hanya menyambut dengan pencarian yang tak pernah selesai. Kami terlampau buta membedakan kaca mata yang membingkai kasih sayang, melalaikan anugerah sebagai kewajaran belaka.
“Jagalah kekhilafan itu agar menjadi kelebihan yang tak perlu disesalkan,”suara lembut itu terdengar agak menyayup. Sontak saja kami merasakan pekuburan yang menimbun, tersedot kekuatan langit tiada tara. Dada kami seperti melepaskan beban kekalahan yang sebetulnya sama sekali tidak perlu.

“Barangkali, ini memang hanya puisi. Tapi puisi bakal terus hidup mengisi berbagai perhitungan yang tak akan pernah selesai,”sayup-sayup suara lembut berada pada frekuensi ketiadaan yang beriringan menjauh. Belum lagi keterpesonaan kami lenyap, muncratan darah kesetiaan Malam Gerhana yang semula berceceran seperti tersihir kekuatan aneh yang menyergap langsung tepat ke bagian kepala kami. Tanpa perlu memahami keheranan, kami merasakan kebekuan darah Malam Gerhana, kembali mengisi batok kepala kami yang berlubang, lalu bergumpal memadatkan keterbatasan kulit sekaligus kebiadaban daging yang tiada bisa dipertentangkan.Kami tercekat. Kekeluan menjajah setegar pertempuran masa lalu.
“Bu Jangan Pergi,”jerit kami setelah menguasai kesadaran untuk memperjuangkan keutuhan. Malam Gerhana hanya mendongak dengan raut lusuh. Bilur-bilur keriangan kembali mengisi kerupawanan sejati yang diwariskan dunia.
“Jangan pergi,..bu Jangan Pergi....”pekikan kami beralih raungan keras membahana. Kami tersedak, terkapar memasuki penyesalan yang tak pernah dapat dimengerti. Tak bersambut. Kami kehilangan bu Jangan Pergi, pemilik suara lembut tadi. Kami mengerang sejadi-jadinya. Meronta, menggapai dan memanggil-manggil kepercumaan. Sementara Malam Gerhana yang mulai pulih, merengkuh kami dengan segenap ketulusan yang tak pernah terkubur diantara kesibukan almanak. Derap waktu tersentak dalam kejut-kejut perjanjian yang memang tak bisa ditepati. Di kejauhan kami masih melihat debu-debu beterbangan, asap mengepul. Gema lahar mencakar, meninggikan atap rumah tanpa kerangka, mengarak berkas-berkas badai yang mengirimkan kapal-kapal tanpa penumpang. Hingga di ujung cakrawala, kegundahan mayat-mayat menautkan aroma bangkai, menyemerbakkan rahasia ketiadaan keranda. Kami terus terpukau. Kegamangan tetap bertahta menepikan kesadaran penunda kehancuran.
“Bu Jangan Pergi,...”pekik kami melampaui kecintaan yang tak bisa dibelanjakan, akan tetapi mampu memperjelas nilai-nilai kedamaian yang abadi.


“Bu Jangan Pergi,...”
“Hei sadarlah. Matahari sudah mulai mengantuk,”lamat-lamat suara lembut Malam Gerhana menelikung. Kami merasakan guncangan lembut mendera sekujur tubuh.
“Hei, bersahutlah. Hei,..jangan biarkan saja kehadiran senja tanpa membukakan pintu bagi rembulan,”tambah Malam Gerhana yang membuat kami tersentak. Kami terpekik. Malam Gerhana tampak cemas memandangi kami. “Kenapa?”sebut kami keheranan.
“Mengigau atau mempertegas bunga tidur?” balas Malam Gerhana. Sejenak akal sehat dalam kepala kami mencari-cari kebenaran peradaban. Sampai akhirnya pembebasan itu mulai memberikan pencerahan yang sulit didefinisikan. Tanpa mengacuhkan Malam Gerhana yang masih diliputi simalakama, kami bergegas menjenguk jendela yang terbuka di samping kiri ranjang paling mawar. Kami melihat bu Jangan Pergi tengah sibuk membenahi perkakas di warungnya.

“Tadi bu Jangan Pergi menghantarkan beras kesini,”tukas Malam Gerhana seakan menjawab kebingungan ruang.
“Tapi itu hanya puisi,”kata-kata kami terasa ngambang. Namun buru-buru kami potong, lewat keberpuraan mengatupkan jendela.
“Maksudnya?”kejar Malam Gerhana sembari melompat ke punggung dan menggelendoti tubuh kami semesra kemanjaan.
“Ah,...tidak,...”balas kami.
Dari balik celah jendela yang mulai terkatup, kami melihat bu Jangan Pergi telah usai menutup warungnya. Kesetiaan itu jadi begitu bening menjaga kedamaian. Langkah-langkah kecil bu Jangan Pergi yang beringsut meninggalkan warung, seakan-akan membekaskan bungkah kegemuruhan para pemegang kekuasaan yang mengagungkan ambisi.Sementara, dalam warung mungilnya, bu Jangan Pergi lebih banyak mengajarkan pengaturan kekuasaan secara naluri. Seakan-akan, bu Jangan Pergi dengan keluguan yang dimiliki telah mengajarkan sesama untuk selalu memantapkan kemurnian kesederhanaan yang bukan jarang terlanjur menciptakan penolakan.


Demikianlah Info postingan berita Ini (hanya) Puisi

terbaru yang sangat heboh ini Ini (hanya) Puisi, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sekian info artikel kali ini.

Anda sedang membaca posting tentang Ini (hanya) Puisi dan berita ini url permalinknya adalah https://indodongeng.blogspot.com/2013/11/ini-hanya-puisi.html Semoga info lowongan ini bisa bermanfaat.

Subscribe to receive free email updates: