Duka di Balik Senyum

Duka di Balik Senyum - Hallo semuanya Pembaca Berita, Pada postingan berita kali ini yang berjudul Duka di Balik Senyum, telah di posting di blog ini dengan lengkap dari awal lagi sampai akhir. mudah-mudahan berita ini dapat membantu anda semuanya. Baiklah, ini dia berita terbaru nya.

Judul Posting : Duka di Balik Senyum
Link : Duka di Balik Senyum
Pagi yang cerah itu Rina agak kesal. Sudah tiga hari sampah di depan
rumahnya belum diangkut oleh pasukan kuning. Empat tas kresek ukuran
sedang bertengger di depan rumahnya. Bau busuk mulai menyebar. Maklum
baru memasak udang kemarin.

Ditengohnya Imron, suaminya, sedang membaca koran pagi yang baru datang.
Seperti biasa ia tak dapat diganggu kalau sedang membaca. Sebagai isteri
yang mulai memahami sifat suaminya, Rina tak ingin mengusik.

"Mas, sudah tiga hari sampah kita belum juga diambil," kata Rina ketika
suaminya sudah selesai membaca.
"Lho, yang belum diambil khan bukan hanya punya kita," sahut suaminya.
"Ya ! Tapi sampah kita sudah banyak, bau lagi. Buang donk...Mas," rengek
Rina.
"Buangnya di mana ?" tanya Imron suaminya dengan nada segan.
"Ya di tempat sampah ujung jalan sana."
"Buat apa jauh-jauh. Buang saja di got depan rumah," kata Imron bercanda.
Rina sebal sekali. Apalagi dilihatnya Imron sudah rapi, siap berangkat
kerja. Tapi ia tak bisa berkata apa-apa sampai suaminya pergi.

Sampai hari kelimah sampah itu belum diambil juga. Tetangga depan dan
samping rumah sudah mulai menegurnya. Rina sebal dan kesal sekali. Ya
kepada tukang sampah ya kepada suaminya. Dengan rasa sedikit dongkol
dipanggilnya becak. Rupanya cobaan belum juga usai. Tukang becak pun
tak mau mengangkut sampat dengan alasan sampah itu nanti akan mengotori
becaknya.

Masya Allah...Rina menghela nafasnya. Terpaksa ia bolak-balik di pinggir
jalan. Yah, lumayan juga capeknya.
Rina mencoba menenangkan hatinya. Tapi tak bisa. Kekesalannya meledak
dengan tangis. Kebiasaan waktu kecil yang tak bisa ditinggalkannya.
Ia memang cenderung menggunakan perasaannya dalam menyelesaikan masalah.

Rina duduk bersandar di kursi, merenungi masa-masa pernikahannya. Imron
yang tak pernah dikenalnya telah menjadi jodohnya. Masa-masa awal
pernikahannya terasa kikuk tapi menyenangkan. Mereka mencoba saling
memahami sifat dan kekurangan masing-masing. Namun sampai bulan keempat
ini, ia masih merasa sulit memahami sifat dan sikap suaminya. Ia yang
semenjak kecil selalu dididik rapi dan disiplin merasa sulit beradaptasi
dengan sikap suaminya yang cuek dan suka berbuat semaunya sendiri. Imron
anak bungsu dari suatu keluarga yang cukup mampu. Tak ada yang bisa
dilakukannya di rumah kecuali membaca dan membaca. Tak pernah ia membantu
pekerjaan dalam rumah seperti mengepel, menguras kamar mandi atau apalah,
asal bisa sedikit mengurangi bebannya.

Tok ! Tok ! Tok !
"Assalamu'alaikum...."
Rina terperanjat. Ada tamu ! Segera ia merapikan kerudungnya.
"Evi !" Jerit Rina begitu tahu siapa yang datang. "Alaikum salam...."
Evi tersenyum. Bayi yang digendongnya menguap lebar. Rina mencubit lembut
bayi itu dengan gemas.
"Silakan masuk, Ummu Ja'far," kata Rina menggoda.
"Aku ke dalam dulu ya."
"Nggak usah repot-repot, Rin."
"Beres...."
Evi mengeluarkan selimut plastiknya dari dalam tas dan membentangkannya di
atas sofa. Kemudian dibaringkannya bayi di situ.
"Ditidurkan di dalam saja, Ev," ujar Rina setelah menyuguhkan hidangan.
"Biar di sini saja menemani kita ngobrol."
Rina tersenyum mengiyakan.
"Afwan, Rin. Aku tak bisa datang waktu walimahanmu."
"Bagaimana Rin ? Kau bahagia bukan ? Tentunya kau mendapat lelaki yang
sholeh sebagai pendampingmu."
Rina terdiam tapi matanya tiba-tiba berkaca-kaca. Lalu kesedihan yang
memenuhi dadanya menjadi isak tangis.
"Ada apa, Rin ? Ada yang salah dalam ucapanku tadi ?"
Rina tertunduk. Berat rasanya memaparkan masalah yang dihadapinya kepada
orang lain. Tapi Evi bukan orang lain baginya. Sahabatnya sejak di SMA
itulah yang telah mengajaknya ke jalan Islam
"Tidak, Ev. Tidak ada yang salah. Mas Imron memang laki-laki yang sholeh.
Tapi aku belum bisa menyesuaikan diri dengan sifatnya," kata Rina dengan
hati-hati. Ia lalu menumpahkan unek-uneknya.
"Bagaimana menurutmu, Ev, bila lantai yang baru saja aku pel bersih menjadi
kotor karena sepatu yang tak dilepas. Buku-buku yang diatur menjadi berantakan
seketika. Koran-koran berserakan di mana-mana. Dan kalau aku peringatkan,
jawabnya ringan sekali, Afwan, lupa, nanti dirapikan, sekali-kali. Itu tidak
sekali dua kali, tapi berkali-kali. Mas Imron tak membantu. Aku kan capek."
Evi tersenyum menenangkan sahabatnya.
"Sabar, Rin. Setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan. Itu harus kita
sadari. Begitulah tugas ibu rumah tangga. Apalagi nanti kalau sudah punya
jundi. Kau akan tampak repot. Yang penting di antara kalan berdua harus ada
keterbukaan supaya dapat menyelesaikan masalah bersama-sama."

(insyaAllah bersambung)

(dari Majalah Inthilaq, oleh Miftachudin)

Title: Duka di Balik Senyum---bag 2
From: Nies
Date: Sat Oct 14


Sudah dua bulan Rina terbaring di rumah sakit. Wajahnya pucat dan
sekali-kali merintih kesakitan. Ia baru saja keguguran kandungannya
yang baru berusia 3 bulan. Evi dan suaminya datang menjenguk, beberapa
menit setelah ia dipindahkan dari kamar bersalin. Mereka datang lebih
awal setelah mendapat informasi dari tetangga Rina. Mereka yang ingin
bertemu segera ke rumah sakit.

Rina tersenyum ketika Evi menggenggam tangannya. Hatinya sedikit terhibur.

Di luar Imron ditemani Arif, suami Evi. Arif mencoba menghibur hati Imron
sambil bertukar pandangan.
"Memang pekerjaan isteri di rumah itu berat. Bayangkan, dari setelah
bangun tidur dia sudah harus bekerja. Menyiapkan sarapan, menyiapkan
keperluan suaminya dan pekerjaan lainnya yang selalu ada. Ke pasar,
memasak, mencuci, setrika, membersihkan rumah....baru malam hari ia bisa
istirahat. Esok harinya ia harus menghadapi pekerjaan rutin dan harus
memutar otak untuk membelanjakan uang yang terbatas agar menu makan
dapat bervariasi. Rutinitas seperti itu lebih terasa membosankan karena
ruang geraknya hanya dibatasi dinding-dinding rumah yang terkadang sempit.
Apalagi kalau sudah punya anak. Akan tambah capek dan repot isteri kita.
Coba bandingkan dengan keadaan kita sebagai suaminya. Kita selalu berada
di luar rumah dengan situasi yang berganti-ganti sehingga kita tidak cepat
bosan. Apalagi isteri di rumah sudah menyediakan keperluan kita."
Arif mengemukakan pandangannya dengan nada hati-hati dan tenang. Ia tak
ingin Imron menjadi semakin merasa bersalah. Ini jelas akan memperburuk
keadaan.

Imron tercenung. Dicermatinya kata-kata Arif. Selama ini ia tak pernah
berpikir sejauh itu.

"Memang semua itu tugas isteri, tapi mungkin yang sering kita lupakan adalah
rasa saling menghargai. Apa salahnya kita sesekali memuji masakan isteri,
mengajaknya rihlah. [rekreasi, red] Atau yang sepele saja, seperti tidak
membuatnya jengkel. Alhamdulillah, jika kita bisa membantu pekerjaan rumah
kalau ada waktu. Itu akan mengurangi kebosanan dan akan lebih membahagiakan-
nya," lanjut Arif.

Imron tertunduk. Apa yang dikatakan Arif benar-benar membuatnya sadar. Ah....
ia merasa begitu egois.

Ketika Arif dan Evi pulang, dilihatnya isterinya tidur dengan tenang. Ketika
menatap wajah isterinya yang pucat, tak terasa matanya berkaca-kaca. Ia
merasa melupakan rahmat dari Allah SWT yang telah mengaruniai isteri yang
sholihah, ikhlash dengan keadaannya dan patuh. Dalam hati ia berjanji akan
berbuat yang lebih baik.

Ya Allah, bisik Imron. Berilah aku kesabarn untuk selalu membahagiakannya.

(Alhamdulillah tammat)
----------------------

(dari majalah Inthilaq, oleh Miftachudin)



Demikianlah Info postingan berita Duka di Balik Senyum

terbaru yang sangat heboh ini Duka di Balik Senyum, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sekian info artikel kali ini.

Anda sedang membaca posting tentang Duka di Balik Senyum dan berita ini url permalinknya adalah https://indodongeng.blogspot.com/2013/10/duka-di-balik-senyum.html Semoga info lowongan ini bisa bermanfaat.

Subscribe to receive free email updates: