Cerpen Angkringan A. Zakky Zulhazmi

Cerpen Angkringan A. Zakky Zulhazmi - Hallo semuanya Pembaca Berita, Pada postingan berita kali ini yang berjudul Cerpen Angkringan A. Zakky Zulhazmi, telah di posting di blog ini dengan lengkap dari awal lagi sampai akhir. mudah-mudahan berita ini dapat membantu anda semuanya. Baiklah, ini dia berita terbaru nya.

Judul Posting : Cerpen Angkringan A. Zakky Zulhazmi
Link : Cerpen Angkringan A. Zakky Zulhazmi
Cerpen Angkringan A. Zakky Zulhazmi



Di kota saya sekarang ini angkringan semakin banyak. Bak panu di punggung orang jarang mandi. Angkringan ada di mana-mana: di depan kantor, sekolah, tempat ibadah, pusat perbelanjaan. Dekat rumah saya juga ada angkringan. Penjualnya bernama Mas Satrio. Seorang duda beranak satu. Di depan sebuah dealer motor Mas Satrio berjualan. Setiap hari ia menggelar dagangannya pukul lima sore dan tutup ketika hari hampir subuh. Saya mengenal Mas Satrio sebagai penjual angkringan yang rajin dan supel. Beberapa kali saya juga mendapati lawakan segar Mas Satrio.

Saya sering jajan di angkringan Mas Satrio. Biasanya saya memesan susu jahe. Lalu mencomot tahu bacem, sate usus dan tempe goreng. Mas Satrio sudah hapal, yang saya comot tadi dibakarnya. Tak lupa diolesi kecap biar tambah lezat. Saya duduk meleseh di samping gerobak. Menunggu senja turun bersama orang -orang yang sudah sejak tadi berada di sana. Lik Gnowo yang tukang becak, Pak Wiro ketua RT dan Mas Cepuk penjaga kedai pulsa, merekalah pelanggan setia Mas Satrio.

Namun, beberapa hari terkahir timbul masalah dengan angkringan Mas Satrio. Angkringannya tak seramai dulu. Tepatnya setelah muncul angkringan baru di seberang jalan. Di depan sebuah toko bangunan. Berjarak sekitar 200 meter dari angkringan Mas Satrio. Atas berdirinya angkringan baru itu, Mas Satrio punya komentarnya sendiri.

“Aku sebenarnya ndak masalah punya saingan baru itu. Tapi mbok ya deklit penutup angkringan jangan sama-

sama warna merah. Angkringan deklit merah itu sudah menjadi ciri khas angkringanku,” ujar Mas Satrio berapi-api.

Saya jadi bingung. Apa salahnya kalau deklit penutup berwarna sama?

“Memangnya kenapa Mas kalau deklitnya sama?” tanya saya sambil meraih susu jahe yang disodorkan Mas Satrio.

Sambil sibuk membuat kopi Mas Satrio menjawab. “Pelangganku jadi bingung. Kemarin saja waktu aku

libur jualan Lik Gnowo tanya, Mas Satrio angkringannya pindah depan toko bangunan ya? Lha kalau semua berpikiran begitu, orang-orang pasti jadi salah kira dan pelangganku lama-lama akan habis,” terang Mas Satrio masih dengan nada sedikit meninggi.

Saya mafhum. Mengangguk-angguk pelan. Mas Satrio mengambil piring berisi jajanan saya yang harus dibakarnya. Lalu kembali berujar.


“Penjual angkringan itu mau jualan satu meter di samping angkringanku ayo aja, aku berani bersaing, tapi jangan pakai deklit merah!”

Saya tak berani komentar. Mas Satrio sedang panas hatinya. Saya cuma menerka-nerka, ada apa dengan deklit penutup warna merah? Apa dengan menggunakan deklit warna merah maka peruntungannya bagus? Banyak rezekinya? Lalu jika ada pesaing yang menggunakan deklit sama warna merah rezekinya akan menguap? Ah, saya masih bingung.

Dua hari setelah berbincang dengan Mas Satrio tentang keberadaan angkringan baru itu, Mas Satrio jatuh sakit. Angkringannya tutup beberapa hari. Terpaksa saya menyambangi angkringan baru di seberang jalan. Lewat obrolan di angkringan seberang jalan itu belakangan saya tahu penjualnya bernama Kang Nanang. Dia tampak masih muda. Perkiraan saya dia berusia sekitar tiga puluh tahun. Badannya tegap dan sorot matanya tajam. Kang Nanang tak kalah ramah dengan Mas Satrio.

Di angkringan Kang Nanang sudah ada Lik Gnowo dan Pak Wiro. Mereka tak bisa jauh dari suasana hangat angkringan tampaknya. Saya ikut nimbrung saja. Obrolan masih seputar harga barang-barang di pasar yang mulai naik. Lalu membicarakan masalah renovasi masjid yang tak kunjung selesai. Beranjak kemudian tentang perpolitikan tanah air. Percakapan sederhana seperti ini biasa ditemani minuman hangat dan jajanan sederhana di hadapan kami.

“Mas, sudah pernah makan sate di angkringannya Mas Satrio?” Tanya Kang Nanang pada saya, membuka percakapan sore itu. Angkringan sedang ramai pengunjung.

“Sudah, Kang. Tapi tidak sering. Memang kenapa?” “Em…bagaimana ya? Saya yakin sampeyan pasti

memperhatikan mana yang halal dan mana yang haram, iya tho?” Kang Nanang berucap begitu dengan dahi mengernyit seolah berpikir keras. Tangannya sibuk mengaduk kopi susu pesanan Pak Wiro.

“Sampai sekarang saya masih selalu hati-hati dalam urusan makanan, Kang.”

“Nah, kalau menurut sampeyan tikus itu halal atau haram? Boleh tidak dimakan?”

“Wah, ya ndak boleh tho. Masak tikus dimakan? Kecuali dalam keadaan darurat sekali. Kalau saya, meski dalam keadaan darurat sekalipun tetap tak mau makan tikus. Jijik!”

“Em… saya tak punya maksud apa-apa. Tapi mas-mas sudah tahu belum kalau sate di angkringan Mas Satrio itu sebenarnya adalah sate daging tikus?” Tanya Kang Nanang agak gugup tapi tatap matanya meyakinkan.

“Kang Nanang, sampeyan hati-hati kalau bicara! Masak Satrio tega jual sate tikus?” Pak Wiro coba mengingatkan.

“Dagang ya dagang, Kang. Tapi mbok ya jangan menjatuhkan begitu. Ndak baik.” Mas Cepuk menimpali, sedikit tak terima. Sejatinya dia masih saudara jauh Mas Satrio.


“Lho, saya tidak sedang menjatuhkan. Saya kenal kok siapa yang setiap hari nitip sate di angkringan Mas Satrio itu.


Namanya Pak Jembling, dia jual mie ayam juga di dekat terminal. Belum lama mie ayamnya ditutup karena ketahuan menggunakan daging tikus. Pak Jembling mau nitip sate juga di sini. Tapi saya menolak. Soalnya saya sudah tahu kelakauan Pak Jembling.”

Suasana mendadak hening. Informasi Kang Nanang yang entah benar entah salah itu tak ada yang menanggapi. Semua sibuk dengan kecamuk pikiran masing- masing. Mas Cepuk terlihat yang paling bersungut-sungut. Ada geram yang coba disimpannya.

Saya bimbang juga sejujurnya. Rasa jijik tiba-tiba terasa manakala membayangkan Mas Satrio benar-benar menjual sate daging tikus. Tapi setega itukah dia? Demi keuntungan yang barangkali tak seberapa besar?

Setelah tutup agak lama, Mas Satrio kembali buka. Saat saya baru datang dan menyapa Mas Satrio, Mas Cepuk sudah di sana dengan Pak Wiro. Asyik menikmati kopi cangkir kecil. Sepi pengunjung. Lengang.

Mas Satrio menyerahkan pesanan saya lalu bergabung ikut duduk bersama kami. Dia menyulut rokok.

“Nanang itu harus aku beri pelajaran. Sama -sama cari duit kok main nggak bersih. Pakai bilang aku jual sate tikus lagi. Tukang fitnah! Aku gorok lehernya tahu rasa dia.”

Saya hampir tersedak mendengar kemarahan Mas Satrio yang meletup. Dari mana dia tahu kalau di angkringan Kang Nanang dia digosipkan menjual sate tikus? Apa mungkin dari Mas Cepuk? Ah, embuh!

Dini hari ini saya harus menjemput seorang teman lama di terminal. Waktu melewati angkringan Kang Nanang penglihatan saya terganggu dengan keributan kecil di sana. Sekilas saya melihat beberapa preman mabuk. Entah bagaimana awalnya, kericuhan itu mendadak membesar. Preman-preman mengobrak-abrik apa saja di gerobak angkringan. Gelas-gelas pecah. Jajanan berantakan. Kacau. Kang Nanang berteriak-teriak.

“Kalian pasti suruhan Satrio ya? Hayo ngaku!” Percuma. Preman-preman itu justru kian mengamuk. Saya

bergidik ngeri. Terpaksa saya mengambil jalan memutar ke terminal. Menghindari keributan.

Di angkringan Mas Satrio, sore itu beberapa orang membicarakan pengrusakan angkringan Kang Nanang. Termasuk saya, Mas Cepuk dan Pak Wiro. Sementara itu Mas Sartio sibuk membuat pembelaan.

“Lha wong preman mabuk minta rokok sebatang kok ndak dikasih, ya jelas ngamuk!”

Tiba- tiba saja dua motor bebek yang melaju kencang berhenti di depan angkringan Mas Satrio. Tiap motor mengangkut dua penumpang. Jelas sekali saya melihat, mereka menyalakan molotov. Mereka yang berpakaian serba hitam itu tepat melempar molotov di deklit pelindung angkringan. Molotov dari botol kecap itu pecah. Kontan deklit terbakar. Api merambat cepat. Disulut minyak dalam botol. Kian membesar. Semua pengunjung kalang kabut. Saya tak berani menduga ulah siapa ini. Tahu-tahu dua sepeda motor itu telah menghilang.

“Kejar! Kejar!” orang-orang yang terbakar emosi matanya merah, dadanya panas, hidungnya kembang kempis. Marah.

Saya lebih memilih pulang. Terpekur di beranda rumah. Menyadari bahwa segala sesuatunya terjadi begitu cepat tanpa dapat dibayangkan. Inikah wajah dendam? Apakah ini tamsil dari bahaya mulut?

Saya belum tahu. Yang saya tahu, untuk beberapa hari ke depan, baik angkringan Mas Satrio ataupun Kang Nanang tentu akan tutup. Dan saya malas mencari angkringan lain yang lebih jauh.





Demikianlah Info postingan berita Cerpen Angkringan A. Zakky Zulhazmi

terbaru yang sangat heboh ini Cerpen Angkringan A. Zakky Zulhazmi, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sekian info artikel kali ini.

Anda sedang membaca posting tentang Cerpen Angkringan A. Zakky Zulhazmi dan berita ini url permalinknya adalah https://indodongeng.blogspot.com/2017/01/cerpen-angkringan-zakky-zulhazmi.html Semoga info lowongan ini bisa bermanfaat.

Subscribe to receive free email updates: