La Maddukkelleng
La Maddukkelleng - Hallo semuanya Pembaca Berita, Pada postingan berita kali ini yang berjudul La Maddukkelleng, telah di posting di blog ini dengan lengkap dari awal lagi sampai akhir. mudah-mudahan berita ini dapat membantu anda semuanya. Baiklah, ini dia berita terbaru nya.
Judul Posting : La Maddukkelleng
Link : La Maddukkelleng
Anda sedang membaca posting tentang La Maddukkelleng dan berita ini url permalinknya adalah https://indodongeng.blogspot.com/2013/11/la-maddukkelleng.html Semoga info lowongan ini bisa bermanfaat.
Judul Posting : La Maddukkelleng
Link : La Maddukkelleng
La Maddukkelleng (lahir: Wajo, Sulawesi Selatan, 1700-wafat: Wajo, Sulawesi Selatan, 1765) adalah seorang ksatria dari Wajo, Sulawesi Selatan. Pada masa kecilnya hidup di lingkungan istana(Arung Matowa Wajo) Wajo. Menginjak masa remaja ia diajak oleh pamannya
mengikuti acara adu(sambung) ayam di kerajaan tetangganya Bone. Namun pada waktu itu terjadi ketidak adilan penyelenggaraan acara tersebut dimana orang Wajo
merasa dipihak yang teraniaya, La Maddukkelleng tidak menerima hal tersebut dan terjadilah perkelahian. Ia lalu kembali ke Wajo dalam pengejaran orang Bone, lalu
lewat Dewan Ade Pitue, ia memohon izin untuk merantau mencari ilmu. Dengan berbekal Tiga Ujung,(ujung mulut, ujung
tombak, dan ujung kemaluan) ia berhasil di negeri Pasir (Kalimantan)sampai ke Malaysia, dan merajai Selat Makassar,
hingga Belanda menjulukinya dengan Bajak Laut. Dia berhasil menikah dengan puteri Raja Pasir, dan salah seorang puterinya kawin dengan Raja Kutai. Dia bersama pengikutnya terus menerus melawan Belanda.
Setelah sepuluh tahun La
Maddukkelleng memerintah Pasir sebagai Sultan Pasir, datanglah utusan dari Arung Matowa Wajo La Salewangeng yang bernama
La Dalle Arung Taa menghadap Sultan Pasir dengan membawa surat yang isinya mengajak
kembali, karena Wajo dalam
ancaman Bone. La Maddukkelleng akhirnya
kembali lagi ke Tanah Wajo dan melalui suatu mufakat Arung Ennengnge (Dewan Adat), beliau diangkat sebagai Arung Matowa Wajo XXXIV. Dalam pemerintahannya, tercatat berhasil menciptakan strategi pemerintahan yang cemerlang yang terus menerus melawan dominasi Belanda dan membebaskan Wajo dari penjajahan diktean Kerajaan Bone, juga keberhasilan memperluas wilayah kekuasaan Kerajaan Wajo Petta Pamaradekangi Wajona To Wajoe Inilah La Maddukelleng : LA MADDUKKELLENG adalah putera dari Arung (Raja) Peneki La Mataesdso To Ma'dettia dan We Tenriangka Arung (Raja) Singkang, saudara Arung Matowa Wajo La Salewangeng To
Tenrirua (1713-1737). Karena
itulah La Maddukkelleng
sering disebut Arung
Singkang dan Arung Peneki. Pada tahun 1713, Raja Bone
La Patau Matanna Tikka
mengundang Arung Matowa
Wajo La Salewangeng untuk
menghadiri perayaan pelubangan telinga (pemasangan giwang)
puterinya I Wale di Cenrana
(daerah kerajaan Bone). La
Maddukkelleng ditugaskan
pamannya (dia putera saudara perempuan La Salewangeng) ikut serta dengan tugas memegang tempat sirih raja.
Sebagaimana lazimnya
dilakukan di setiap pesta
raja-raja Bugis-Makassar, diadakanlah ajang perlombaan perburuan rusa (maddenggeng) dan sambung ayam (mappabbitte). Pada saat berlangsungnya pesta sambung ayam tersebut, ayam putera Raja Bone mati dikalahkan oleh
ayam Arung Matowa Wajo.
Kemenangan itu tidak diakui oleh orang-orang Bone dan
mereka berpendapat bahw
pertarungan tersebut sama
kuatnya. Hal tersebutlah
yang menyebabkan terjadinya keributan. Pada saat itu La Maddukkelleng turut serta dalam perkelahian tersebut yang mengakibatkan korban di
pihak Bone lebih banyak
dibandingkan korban pihak Wajo. Lontarak Sukunna
Wajo menyatakan bahwa pada waktu terjadi perkelahian tersebut, terjadi tikam menikam antara orang-orang Wajo-Bone di Cenrana, saat itu La
Maddukkelleng baru saja
disunat dan belum sembuh
lukanya. Melihat kenyataan
tersebut (karena mereka di
wilayah kerajaan Bone), maka orang-orang Wajo segera melarikan diri melalui Sungai Walennae. Setibanya Arung Matowa Wajo La Salewangeng di
Tosora, maka datanglah utusan Raja Bone untuk meminta agar La Maddukkelleng diserahkan untuk mempertanggungjawabkan
perbuatannya (dianggap bersalah). Arung Matowa
Wajo mengatakan bahwa La
Maddukkelleng tidak kembali ke Wajo sejak peristiwa di Cenrana. Utusan raja Bone itu kembali
sekalipun ia yakin bahwa La
Maddukkelleng masih berada
di daerah Wajo, namun tidak dapat berbuat banyak
karena adanya ikrar antara
Bone, Soppeng dan Wajo di
Timurung pada tahun 1582,
bahwa tiga kerajaan itu
harus saling mempercayai. La Maddukkelleng datang menghadap dan meminta
restu Arung Matowa Wajo
dan Dewan Pemerintah Wajo
(arung bentempola) untuk
berlayar meninggalkan daerah Wajo. Saat itu bertepatan dengan selesainya pembangunan
gedung tempat penyimpanan harta kekayaan di sebelah timur masjid Tosora serta gedung padi di tiga limpo. Anggota Dewan pemerintah Kerajaan Wajo (La Tenri Wija Daeng Situju) berpesan agar
senantiasa mengingat negeri Wajo selama perantauan.
Lalu La Maddukkelleng
ditanya tentang bekal yang
akan dibawa, ia menjawab
bahwa ada tiga bekal yang
akan dibawa serta yaitu: pertama lemahnya lidahku,
kedua tajamnya ujung kerisku dan yang ketiga ujung kelaki-lakianku. Dengan disertai pengikut-pengikutnya La
Maddukkelleng berangkat
dari Peneki dengan menggunakan perahu layar
menuju Johor (Malaysia sekarang). Lontarak Sukunna Wajo memberitakan bahwa La
Maddukkelleng dalam perjalanan bertemu dengan
saudaranya bernama Daeng Matekko, seorang saudagar
kaya Johor. Hal ini membuktikan bahwa lama sebelumnya orang-orang Wajo sudah merambah jauh negeri orang. La Maddukkelleng diperkirakan
merantau pada masa akhir
pemerintahan Raja Bone La
Patauk Matanna Tikka
Nyilinna Walinonoe, yang
merangkap sebagai Datu Soppeng dan Ranreng Tuwa
Wajo, sekitar tahun 1714 La Maddukkelleng di Perantauan dan Asal Usul Kota Samarinda La Maddukkelleng bersama
We Tenriangka Arung singkang, dan pengikut-pengikutnya, mula-mula berlayar dan menetap di Tanah Malaka (Malaysia Barat), kemudian pindah dan
menetap di kerajaan Pasir,
Kaltim. Dalam perjalanan rombongan tersebut, masih memegang adat tata dan norma
kerajaan Wajo, La Maddukkelleng sebagai
pimpinan. La Maddukkelleng mengangkat To Assa sebagai
panglimanya. Mereka
membangun armada laut
yang terus mengacaukan
pelayaran di Selat Makassar.
Dalam perantauan ini juga La Maddukkelleng kawin dengan puteri Raja Pasir. Sementara itu salah seorang puterinya kawin dengan Raja Kutai (Sultan
Muhammad Idris). Pada saat itu, pemerintah Kutai dipimpin oleh raja bernama Adji Pangeran
Dipati Anom Panji Mendapat
Ingat Martadipura, yang kerap
pula disebut Adji Yang Begawan, memerintah pada tahun 1730 - 1732. setelah wafat, Adji Yang Begawan terkenal dengan sebutan Marhum Pemarangan. La
Maddukkelleng, mempunyai tiga orang putera, yang kemudian beranak cucu dan berkeluarga dengan raja-raja di Kaltim. Ketiga anakanya ialah, Petta To
Sibengngareng, yang turunannya kawin-mawin
dengan raja-raja Pasir dan
Kutai, Petta To Rawe, yang
turunannya kawin-mawin
dengan raja-raja Berau dan
Kutai, serta Petta To Siangka yang turunannya kawin-mawin dengan raja-raja Bulungan dan Sulawesi Tengah. Dalam rombongan La Maddukkelleng tersebut, ikut pula delapan orang bangsawan menengah, yaitu La Maohang Daeng
Mangkona, La pallawa Daeng Marowa, Puanna Dekke, La
Siaraje, Daeng Manambung,
La Manja Daeng Lebbi, La
Sawedi Daeng Sagala, dan La
Manrappi Daeng punggawa.
Karena tanah Wajo telah diduduki oleh kerajaan Bone,
banyak pula warga Wajo
yang meninggalkan kampung kelahirannya berlayar menuju Pasir dan menetap di Sungai Muara Kendilo. Tempat pemukiman
baru tersebut lambat laun
menjadi sesak akibat semakin bertambahnya migrasi dari tanah Wajo. Melihat hal itu, La Maddukkelleng mengadakan
perundingan dengan pengikutnya. Hasilnya antara
lain, diputuskan agar sebagian pengungsi Wajo itu mencari tempat pemukiman baru. Mereka pun memilih Kutai sebagai tanah
pemukiman baru. Ketika
rombongan itu sampai ke
Tanah Kutai, La Mohang
daeng Mangkona menghadap Raja Kutai Adji Pangeran
Dipati Anom Ing Martadipura
atau Marham Pemarangan. Ia
memohon agar diizinkan
menetap di tanah Kutai.
Tetapi, sang raja berfikir, mugkin saja orang-orang itu
malah akan membuat kesulitan seperti yang pernah dilakukan seorang temannya yang meminta hal serupa berpuluh tahun lampau. Pikir punya pikir,
raja Kutai akhirnya setuju
dengan satu syarat, agar
patuh pada perintah raja. La Mohang setuju dan berjanji apabila diberikan sebidang tanah ia akan mencari kehidupan di tanah Kutai, membangun daerah itu dan patuh pada titah raja. Disaksikan sejumlah pembesar kerajaan, sang raja bertitah "carilah sebidang tanah di wilayah kerajaanku ini di sebuah daerah berdaratan rendah dan diantara dataran rendah itu,terdapat sungai yang
arusnya tidak langsung
mengarah dari hulu ke hulir,
tetapi mengalir dan berputar
di antara dataran itu". Orang- orang bugis itu pun berlayar
sepanjang Sungai Mahakam
mencari tanah seperti yang
telah ditentukan raja. Setelah
beberapa lama berlayar
mengitari Tanah Kutai, akhirnya mereka menemukan tanah dataran rendah yang sesuai dengan titah raja. Di tempat inilah kemudian mereka
membangun rumah rakit, berada diatas air, dan ketinggian antara rumah yang satu dengan lainnya sama. Dengan rumah rakit yang berada di atas air, harus sama tinggi antara rumah satu dengan yang lainnya, melambangkan tidak ada perbedaan derajat apakah bangsawan atau tidak,
semua "sama" derajatnya
dengan lokasi yang berada di sekitar muara sungai yang
berulak, dan di kiri kanan
sungai daratan atau "rendah". Diperkirakan dari istilah inilah lokasi pemukiman baru tersebut dinamakan SAMARENDA atau lama-kelamaan ejaannya menjadi
"SAMARINDA". Tempat itu lalu menjadi pemukiman orang-orang bugis wajo. Letaknya tak jauh dari kampung Mangkupalas,
kampung tua di kecamatan
Samarinda Seberang bagian
tepi Sungai Mahakam, tempat pusaran air itu sekarang menjadi kompleks industri kayu lapis. Menurut cerita setempat, La Mohang Daeng Mangkona pengikut La Maddukkelleng itulah yang dianggap berjasa, mengembangkan Kampung
Mangkupalas. Sebuah kampung tua yang kemudian berkembang
menjadi Samarinda Seberang. Setelah sepuluh tahun La
Maddukkelleng memerintah
Pasir sebagai Sultan Pasir,
datanglah utusan dari Arung
Matowa Wajo La Salewangeng yang bernama La Dalle Arung Taa menghadap Sultan Pasir
dengan membawa surat yang isinya mengajak kembali, karena Wajo dalam ancaman Bone, tapi Wajo sudah siap dengan pasukan dan peralatan. Saat itu La Maddukkelleng menjadi
Sultan Pasir, bertekad kembali ke Wajo memenuhi panggilan tanah leluhurnya, meskipun menghadapi banyak pertempuran. Perjuangan dari Pasir kembali ke Wajo Setelah itu La Maddukkelleng mengumpulkan kekuatan
persenjataan dan armada
yang berkekuatan perahu
jenis bintak, perahu ini sengaja dipilih karena bisa cepat dan laju digerakkan. Perahu yang digunakan tersebut dilengkapi dengan meriam-meriam baru yang
dibelinya dari orang-orang
Inggris. Anggota pasukan La Maddukkelleng dibagi atas
dua kelompok, yaitu pasukan laut (marinir) yang dipimpin oleh La Banna To Assa (kapitang laut) dan pasukan darat dipimpin oleh Panglima Puanna Pabbola dan Panglima Cambang Balolo. Pasukan istimewa tersebut seluruhnya merupakan
orang-orang terlatih dan
sangat berpengalaman dalam pertempuran laut dan darat
di Semenanjung Malaya dan
perairan antara Johor dengan
Sulawesi. Pasukan ini terdiri
atas suku Bugis, Pasir, Kutai,
Makassar serta Bugis- Pagatan. Armada La Maddukkelleng
berangkat menuju Makassar
melalui Mandar dan kemudian terlebih dahulu mampir di Pulau Sabutung. Dalam Desertasi Noorduyn dipaparkan bahwa dalam perjalanan menuju Makassar, dua kali armada La
Maddukkelleng diserang oleh
armada Belanda yaitu pada
tanggal 8 Maret 1734 dan 12 Maret 1734. Dalam catatan
Raja Tallo diberitakan bahwa
armada Belanda yang terdiri
dari enam buah perahu perang dapat dipukul mundur, perang ini berlangsung selama dua hari. Lontarak Sukkuna Wajo
menyatakan bahwa ketika
armada La Maddukkelleng
sedang berlayar antara pulau
Lae-lae dan Rotterdam, pasukan Belanda yang berada di Benteng tersebut menembakinya dengan
meriam-meriam. Armada La
Maddukkelleng membalas
tembakan meriam itu dengan gencar. Gubernur Makassar, Johan Santijn (1733-1737) mengirim satu pasukan orang-orang Belanda yang ditemani oleh Ancak Baeda Kapitang Melayu menuju pulau Lae-lae. Hampir seluruh pasukan
tersebut ditewaskan oleh La
Maddukkelleng bersama
pasukannya. Melalui
pelabuhan Gowa dia diterima
oleh kawan seperjuangannya I
Mappasempek Daeng
Mamaro, Karaeng Bontolangkasa yang sebelumnya sudah dikirimi
surat. Lalu kemudian Tumabbicara Butta (Mangkubumi) Kerajaan
Gowa, I Megana juga datang
menemui La Maddukkelleng.
Kemudian diadakanlah
pertemuan yang membicarakan rencana strategis dan taktik
menghadapi tentara Belanda. Setelah armada VOC tidak
dapat mengalahkan armada
La Maddukkelleng, mereka
melanjutkan pelayaran menuju Bone dan tiba di Ujung Palette. Ratu Bone We Bataru Toja, yang
merangkap jabatan Datu Soppeng, sejak tahun 1667
menjadi sekutu Belanda,mengirim pasukan untuk menghadang armada La Maddukkelleng, dan
menyampaikan bahwa topasalanna Bone (orang bersalah terhadap Bone)dilarang masuk melalui
sungai Cenrana. Suruhan La Maddukkelleng menyampaikan balasan bahwa La Maddukkelleng,Sultan Pasir, menghormati raja perempuan dan tidak akan melalui sungai Cenrana, tetapi melalui Doping
(wilayah Wajo) ke Singkang.
Dalam Musyawarah dengan
Arum Pone (merangkap
Datu Soppeng), Arung
Matowa Wajo mendapat tekanan dari Raja Bone untuk menyerang dan tidak memberi kesempatan masuk. Arung Matowa Wajo menjawab bahwa
berdasarkan perjanjian pemerintahan di Lapaddeppa
antara Arung Saotanre La
Tiringeng To Taba dengan
rakyat Wajo (1476) yang berbunyi Wajo adalah negeri
mereka dimana hak-hak asasi rakyat dijamin. Dengan melalui proses negoisasi dan dengan
persiapan yang mantap, La
Maddukkelleng dengan pasukannya masuk melalui
Doping. Tanggal 24 Mei 1736 ditambah dengan tambahan
pasukan 100 (seratus) orang
Wajo, sehingga diperkirakan
kurang lebih 700 (tujuh ratus) orang ketika tiba di Singkang. Karena La Maddukkelleng masih
menghormati Hukum Adat Tellumpoccoe (persekutuan antara Wajo, Soppeng dan
Bone), dia berangkat ke Tosora untuk menghadiri persidangan dengan kawalan 1.000 orang. Tuduhan pun dibacakan yang isinya mengungkap tuduhan
perbuatan La Maddukkelleng
mulai dari sebab meninggalkan negeri Bugis sampai pertempuran yang dialaminya melawan Belanda. La Maddukkelleng lalu membela diri dengan alasan-alasan rasional dan menyadarkan akan posisi
orang Bugis di hadapan Belanda. Karena demikian
maka tidak mendapat tanggapan dari Majelis Pengadilan Tellumpoccoe. La Maddukkelleng kemudian
ke Peneki memangku jabatan Arung yang diwariskan ayahnya,namun dalam perjalanan tidak dapat dihindari terjadinya peperangan dengan kekalahan di pihak pasukan Bone. La Maddukkelleng dijuluki "Petta
Pamaradekangi Wajona To
Wajoe" yang artinya tuan/ orang yang memerdekakan
tanah Wajo dan rakyatnya.
Karena La Salewangeng
(pemangku Arung Matowa
Wajo) usianya sudah cukup
lanjut untuk menyelesaikan segala persoalan, maka
melalui suatu mufakat Arung Ennengnge (Dewan Adat), beliau diangkat sebagai Arung Matowa Wajo XXXIV. Pengangkatannya di Paria pada hari Selasa tanggal
8 November 1736. Dalam pengankatanya tercatat
berhasil menciptakan strategi pemerintahan yang cemerlang yang terus menerus melawan dominasi Belanda dan membebaskan Wajo dari penjajahan diktean Kerajaan Bone, juga keberhasilan memperluas wilayah kekuasaan Kerajaan Wajo Didahului oleh: Sultan Aji Muhammad Alamsyah Raja Pasir 1726-1736 Digantikan oleh: Sultan Sepuh I Alamsyah.
Demikianlah Info postingan berita La Maddukkelleng
terbaru yang sangat heboh ini La Maddukkelleng, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sekian info artikel kali ini.
Anda sedang membaca posting tentang La Maddukkelleng dan berita ini url permalinknya adalah https://indodongeng.blogspot.com/2013/11/la-maddukkelleng.html Semoga info lowongan ini bisa bermanfaat.