17 Kumpulan Cerita Humor Lucu Dan Kocak Orang Madura

17 Kumpulan Cerita Humor Lucu Dan Kocak Orang Madura - Hallo semuanya Pembaca Berita, Pada postingan berita kali ini yang berjudul 17 Kumpulan Cerita Humor Lucu Dan Kocak Orang Madura, telah di posting di blog ini dengan lengkap dari awal lagi sampai akhir. mudah-mudahan berita ini dapat membantu anda semuanya. Baiklah, ini dia berita terbaru nya.

Judul Posting : 17 Kumpulan Cerita Humor Lucu Dan Kocak Orang Madura
Link : 17 Kumpulan Cerita Humor Lucu Dan Kocak Orang Madura

17 Kumpulan Humor Kocak Orang Madura



1. Mo Nyalon Kades, Apa Mo Kawin Lagi?

Oleh: Feri Dwi Sampurno

Suatu sore, ada seorang Bapak yang sudah agak sepuh silaturahmi ke rumah dan ngobrol sama Bapak saya. Dalam obrolan itu, dia mengomentari suasana menjelang Pilkades (pemilihan kepala desa) di desa tetangga. Dia bilang bahwa ada satu calon yang kayaknya mengalami penolakan dari masyarakatnya. Bapak saya nanya kenapa sampai masyarakat resisten sama calon itu. Dengan enteng sang Bapak tadi menjawab,
“Masak belum jadi kepala desa aja udah mo kawin lagi! Gimana kalo udah jadi, entar apa gak tambah lagi?” tentunya pakai bahasa Madura yang medok.
“Ah, masak, sih, Pak? Saya kok nggak dengar ya?” Bapak saya mengernyitkan dahi sambil berujar.
“Dari mana sampeyan tahu kalo dia mau kawin lagi? Lah, saya saja nggak dengar tuh?” tanya Bapak lagi yang benar-benar bingung dengan cerita Pak Tua tadi karena sang calon kepala desa yang diceritakan itu masih saudara, mana mungkin kita nggak tahu kalau dia mau kawin lagi.
“Lho, semua orang juga tahu kalo dia mau kawin lagi!” Pak Tua menjawab dengan wajah tak bersalah.
“Masak, sih?” Bapak saya mencoba meyakinkan diri.
“Coba lihat saja poster dia, di mana-mana dia sudah minta doa restu! Itu ‘kan sudah tanda dia mo kawin lagi!!” Pak Tua dengan enteng kemudian menjelaskan.
Dengan tersenyum kecut Bapak mulai paham maksud Pak Tua, ternyata kata-kata Mohon Doa Restu itu dipahami oleh masyarakat Madura di desa saya hanya sebagai bentuk minta dukungan untuk kawin lagi dan bukan untuk meminta dukungan maju dalam pencalonan kepala desa.
Makanya hati-hati kalau Anda mau jadi Caleg atau Cabup di wilayah masyarakat Madura. Hindari untuk minta doa restu! To the point saja kalau minta dukungan!

2. Rambu-Rambu

Apa pun profesinya, orang Madura selalu cerdas dalam menjawab pertanyaan.
Suatu ketika seorang tukang becak, yang juga orang Madura, mengayuh becaknya melintasi seruas jalan yang cukup padat.
“Priiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiitttt!” Bunyi peluit polantas menghentikan kayuhan si tukang becak.
“Booo, ada appaaa, Pak?” tanyanya pada polisi agak kesal
“Sampian ini gimana, lihat tanda itu, nggak?!” Tanya sang polisi sambil menunjuk rambu-rambu bergambar becak yang disilang.
“Iya!”
“Kok masih lewat sini?”
“Abboooo. Itu ‘kan becak yang nggak bawa penumpang!”
***


3. Syarat Menguasai Bahasa Madura

Tahun 1993 saya Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Kalisari, Kecamatan Banyuglugur, Kabupaten Situbondo. Letak desa tersebut kurang lebih 15km dari jalan provinsi yang menghubungkan Probolinggo, Situbondo, dan Banyuwangi. Posisinya di atas Gunung Kapur, di sebelah selatan PLTU Paiton Probolinggo.
Untuk mencapai desa tersebut, kendaraan umum satu-satunya adalah pick-up yang jumlahnya hanya lima buah. Maksimal jam delapan pagi kendaraan tersebut meninggalkan Kalisari menuju Pasar Besuki, dan maksimal jam dua siang pick-up tersebut kembali ke desa. Kalau lebih dari itu, maka terpaksa jalan kaki kalau tidak ada kendaraan.
Kalau mau naik motor, medannya cukup sulit karena jalanan beraspal cuma sepanjang 3km, sisanya macadam. Untuk menuju ke sana pun harus melewati hutan jati yang kalau musim kemarau daunnya berguguran sehigga panasnya luar biasa, minta ampun. Sedangkan di musim hujan, hutannya jadi gelap dan rimbun.
Saking sulitnya medan, sampai-sampai dosen pembimbing kami hanya sekali ke sana, yaitu saat mengantarkan kami pertama kali, selanjutnya tidak pernah mau dengan berbagai alasan. Bahkan ketika pak kades tempat kami menginap meninggal, pak dosen pembimbing tetap bergeming tidak mau menjenguk.
Mulanya kami tidak mengira di atas pegunungan kapur yang gersang itu ada kehidupan, lalu akhirnya kami tahu kalau ternyata di desa tersebut ada penduduknya, yang konon katanya mereka mengungsi saat perang melawan Belanda. Bahkan ada sebuah jembatan yang letaknya jauh di ngarai desa tersebut dan sangat bersejarah karena pernah dijadikan tempat pertempuran antara pasukan Indonesia dan Jepang.
Mayoritas 99,9 persen penduduknya adalah etnis Madura. Dan uniknya, seperti penuturan sang sekretaris desa, di sana penduduknya hanya dewasa dan anak-anak, tidak ada remaja!
Mau tahu mengapa?
Karena sebagian besar warganya menikah begitu lulus SD. Hanya satu dua orang saja yang melanjutkan ke pesantren di kota.
Yang uniknya lagi, sebagian besar, sekitar 90% warganya tidak bisa Bahasa Indonesia, hanya perangkat desa saja yang bisa!
Kalau pun perangkat desa bisa, sebagian masih berbahasa Indonesia dengan pola kalimat Madura, jadi kadang-kadang terdengar aneh dan lucu. Selain itu, kosakatanya juga sangat minim sehingga jadi banyak kejadian lucu gara-gara bahasa ini!
Dalam kelompok kami yang jumlahnya 10 orang, hanya 1 orang yang bisa berkomunikasi dengan bahasa Madura aktif, sedangkan 3 orang hanya bisa secara pasif, termasuk saya.
Kondisi ini kami jelaskan pada seorang perangkat desa sehari setelah kami sampai di desa tersebut. Bapak tersebut berusaha membesarkan hati kami dengan berkata,
“Wah, bahasa Madura itu gampang kok. Kalo Bapak-Bapak** nggak punya kemaluan, pasti cepat bisa,“
“Waakkkk? Nggak punya kemaluan?” batin kami sambil tersenyum-senyum penuh kemaluan
***
**Mereka biasa memanggil Bapak/Ibu pada mahasiswa KKN. Mungkin sudah kelihatan tua kali


4. Habis!

Oleh: Feri Dwi Sampurno

Sebelum Ayah saya menjabat sebagai kepala desa, Ibu saya lebih dulu menduduki posisi itu, bahkan hingga dua periode, yaitu sejak 1983 sampai 2002. Wah, lama juga, ya! Pada awal masa jabatan sebagai Kades, penguasaan Bahasa Indonesia orang-orang di kampung saya lumayan memprihatinkan.
Saking memprihatinkannya, Ibu saya pernah ditegur oleh Camat Kalisat pada saat koordinasi antar aparat Muspika dan kepala desa. Pak Camat menganggap Ibu tidak becus mengajarkan Bahasa Indonesia kepada anak buahnya, terutama perangkat desa.
Dengan penasaran dan menahan rasa malu, Ibu bertanya kepada Pak Camat, kesalahan apa gerangan yang telah dilakukan oleh Sekdesnya hingga membuat sang Camat kebakaran jenggot.
Sejurus kemudian Pak Camat menjelaskan semua permasalahannya hingga akhirnya Ibu terpaksa tersenyum kecut sambil mengelus dada.
Suatu hari Pak Camat datang ke Balai Desa Sumberkalong untuk suatu keperluan, tapi dia hanya bertemu dengan Pak Sekdes, sementara Ibu sebagai kepala desa sedang tidak di tempat. Lantas Pak Camat bertanya kepada Pak Sekdes,
“Ibu kades ke mana, Pak?”
“Oh, Ibu Kades habis, Pak!” Dengan santainya sang Sekdes menjawab.
Sontak wajah Pak Camat menjadi merah, sementara si Sekdes dengan tanpa rasa bersalah meneruskan aktivitasnya.
“Habis, habis, emang makanan bisa habis!” Gerutu Pak Camat.
***

Tahukah Anda, Saudara? Bahasa Madura hanya punya satu kosakata untuk mengatakan tidak ada dan habis yaitu tadek (kasar) dan sobbung (halus). Nah, sialnya Pak Sekdes tahunya cuma satu kosakata dalam Bahasa Indonesia untuk dua kata yang berbeda itu.
Oalaa...


5. Kaki Kiri!

Oleh: Asmualik (Ketua JPMI Malang Raya)

Suatu hari, ada orang Madura naik bis. Ketika sudah hampir sampai tujuan, dia berdiri dan berjalan mendekati sang kenek bus dan mengatakan di mana dia akan turun.
“Kaki kiri dulu, Pak, kalo turun,” begitu pesan sang kenek.
“Kenapa?”
“Kalo kaki kanan dulu, sampean terpelanting.”
Beberapa saat kemudian.
“Ya, depan kiri…!” Begitu seru sang kenek pada sopir bus.
“Ayo, Pak, siap-siap kaki kiri dulu,” sang kenek mengingatkan Pak Tua lagi.
“Hup. Wadooooooooh….!” Begitu teriak sang penumpang ketika turun dari bis. Badannya terpelanting.
“Lho. Sampean ini gimana, sih, Pak! Wong disuruh kaki kiri dulu, sampean pake kaki kanan!” Gerutu sang kenek sambil menolong penumpangnya yang jatuh tersungkur.
“Sampean ini juga gimana! Saya sudah pake kaki kanan saja bisa jatuh, apalagi pake kaki kiri, bisa nyungsep saya!” Bentak sang penumpang tak kalah sengit.
“Mboh wes Pak. Sakarepmu (Udah Pak. Terserah Kamu)!” Gerutu sang kenek sambil meninggalkan penumpangnya.
***

6. Nilai Seekor Ayam

Sekitar tahun 2004 saya mengantar istri pelatihan di Sawangan Depok. Untuk sampai ke sana, kami naik bis malam dari Lawang. Dalam perjalanan, ada dua orang penumpang yang membawa tiga atau empat sangkar burung yang ditutupi kain.
Melihat hal itu, sang kondektur bercerita, kalau beberapa waktu sebelumnya dalam perjalanan ke Surabaya dari Jakarta, ada seorang Madura yang membawa ayam, kalau nggak salah ayam aduan. Ayamnya diletakkan dalam sebuah kurungan kecil.
Ketika malam tiba, si penumpang meletakkan ayam tersebut di kursi tempat dia duduk, sementara sang empunya tidur di bawah kursi. Melihat hal itu sang kondektur menegur.
“Pak..Pak...kok Sampean tidur di bawah?”
“Lho, memang nggak boleh?” jawab sang penumpang dengan logat Madura yang kental
“Bukan nggak boleh, tapi kok Sampean yang tidur di bawah? Kok nggak ayamnya saja. Belum lagi nanti kotoran ayamnya kena kursi.”
“Lho, Saya ‘kan sudah bayarin kursi ini, mau saya pake tidur ato mau saya buat ayam saya ‘kan terserah Saya. Sampean itu kondektur nggak usah ngurus-ngurus, yang penting saya bayar, ‘kan sudah!” Gertak si penumpang.
“Wah, ya sudah!” Gerutu sang kondektur.

7. Waduh, Saya Terlibat!

Oleh: M. Gharib (Pengajar MIN Malang 2)
Suatu ketika, ada orang Madura hendak pergi ke Singosari (Malang) dari Surabaya. Sejak sang kondektur menarik karcis, sang penumpang sudah mewanti-wanti.
“Mas, Saya turun di Singosari, setelah pasar, bukan di Arjosari!” Begitu pesannya. Yang dimaksud Arjosari adalah terminal Arjosari, Malang.
“Iya, Pak, beres!” Kata kondektur sambil memberikan karcis padanya.
“Beres, beres, awas sampe lupa!”
“Wah, Sampean ini, masak gak percaya Saya?!”
Beberapa saat kemudian sang penumpang tertidur.
“Ayoo, Ayoo, Arjosari terakhir, Arjosari terakhir. Periksa barang-barang Anda jangan sampai ketinggalan!” Begitu teriak seorang pedagang asongan, yang berdiri di samping si penumpang Madura, begitu masuk pintu gerbang Kota Malang.
Sontak sang penumpang tadi bangun dan berkata, “Mas, sampe mana ini?”
“Dah mau masuk Arjosari, Pak,” jawab sang pedagang.
“Haaahh! Arjosari??!” Teriak sang penumpang sambil segera bergegas pindah dari tempat duduknya dan bergerak mendekati pintu keluar.
“STOOOP... STOOOP, PIR..STOOP, Pak Sopir ..!” Teriaknya sambil tergopoh-gopoh.
“Ada apa, sih, Pak? Mo turun kok mendadak-dadak. ‘Kan bisa sekalian di terminal saja, di sini bisa ditilang polisi!” Seru sang kenek dan sopirnya bergantian.
“Hadoooh, sampean ini gimana. Saya sudah terlibat jauh ini. Stop..stop!” Serunya lagi.
“Terlibat...terlibat apa siiih?” gerutu sang kenek.
“Lha, Saya sudah pesan kondektur turun Singosari. Lha ini sudah sampe Arjosari!”
“Lha, Sampean kok nggak bilang. Tadi Saya pas di Singosari sudah kasih tau.”
“Hadoohh, Saya tertidur, tak iye. Wong tidur kok nggak dibangunin. Di mana kondektur Sampean itu?”
“Wah, itu ya salah Sampean. Dah, turun di depan saja, trus naik angkot ke Singosari!” Kata sang kenek
***
Catatan
Dalam bahasa Madura, tidak ada konsonan W. Setiap konsonan W akan diganti B, biasanya huruf B-nya didobel (tasdid kalo dalam ilmu tajwid) dan terkadang huruf vokalnya juga ikut berubah, makanya kata terlewat jatuhnya jadi terlibat.
Contoh lainnya:
Sawah — > Sabbeh (Madura)
Kawat — > Kabbek (Madura)
Bawang — > Bebbeng(Madura)
dan seterusnya



8. Kurban Sapi!

Oleh : Asmualik (Ketua JPMI Malang Raya)

Suatu ketika ada seorang Madura yang kaya ingin melaksanakan ibadah kurban. Dibelinya seekor sapi besar dan mahal dan diserahkannya kepada panitia kurban di dekat rumahnya.
“Ini Saya mau kurban untuk keluarga Saya,” katanya kepada ketua panitia penyembelihan kurban.
“Iya, Pak, Insya Allah kami laksanakan, tapi kami minta nama-nama orang yang mengurbankan sapi ini.”
“Iya, nih catet!” Katanya sambil menyebutkan 8 nama.
“Lho, kok 8 orang, Pak? ‘Kan kurban sapi hanya untuk 7 orang?”
“Sampian ini gimana. Ya pokoknya itu untuk semua keluarga Saya. Ini sapinya besar, jadi cukup untuk 8 orang kalo nanti kita naik bareng di akhirat!” Jawabnya berkeras.
“Ya, tapi ‘kan aturan fiqih-nya sapi itu hanya untuk 7 orang, Pak!”
“Nggak bisa, kalo 7 orang nanti ‘kan kasihan anak Saya yang satu, gak bisa bareng-bareng dengan yang laen!”
“Wah, gimana ya, Pak, tapi syariatnya cuma buat 7 orang!” Begitu keluh sang panitia.
“Ada apa, ada apa ini kok ribut-ribut?” kata seseorang menengahi mereka.
“Wah, Pak Kiayi, ini Saya mau kurban sapi untuk keluarga Saya, eh, panitia bilang kalo sapi hanya untuk 7 orang. Lha ‘kan kasian anak Saya, kalo nggak bisa bareng-bareng nanti di akhirat?”

“Oooo begitu…!” Kata Pak Kiayi sambil tersenyum.
“Nggak boleh, ‘kan, Pak Kiayi?” celetuk sang panitia.
“Begini, anak Sampean itu sudah besar atau masih kecil?” tanya Pak Kiayi tanpa menghiraukan pertanyaan sang panitia.
“Masih kecil, Pak Kiayi!”
“Seberapa besarnya? Kalo naik punggung sapi ini bisa?”
“Ya masih kecil, nggak bisa kalo dia naik punggung sapi ini!”
“Nah, daripada nanti kalo dia naik sapi ini jatuh, maka Sampean harus ngasih tangga agar dia bisa naik sapi ini!”
“Jadi Saya beli tangga, Pak Kiayi?”
“Lho, masak tangga mau dikurbankan, emang tangga bisa dijadikan kurban?” tanya Pak kiayi.
“Ya enggak, yang bisa ‘kan kambing, sapi, unta!” Jawabnya.
“Nah, makanya coba cari salah satunya!”
“Gitu ya, Pak Kiayi?”
“Iya!”
“Iya deh, Saya carikan kambing yang besar biar dia bisa naik sapi ini.”
“Iya, begitu saja, bisa ‘kan?”
“Iya, Pak Kiayi, Siap! Segera Saya beli kambing yang paling besar!”
***


9. Bukan Artis!

Oleh: M. Gharib (Pengajar MIN Malang 2)

Suatu hari ada seorang Madura mengeluh sakit. Keluarganya menyarankan untuk periksa ke rumah sakit. Setelah menjalani tes urine, maka bertemulah dia dengan dokter.
“Hmmm, menurut hasil tes ini, Bapak ini menderita diabetes,” jelas sang dokter.
“Aappa, diabet itu, Dok?”
“Diabet itu kencing manis, Pak!”
“Aabbooo, yang bener Sampian ini, Dok!!” Kata sang pasien terperanjat hampir jatuh dari kursinya.
“Iya, berdasarkan hasil uji laboratorium ini, Bapak terkena diabet.”
“Haaabbooo, kok bisa kena kencing manis? Lha wong saya bukan artis. Booo abooo, Sampian ngarang, Dok!!” Kata sang pasien tidak percaya.
“Lho, benar, Pak, diabet bisa menjangkiti siapa saja, gak peduli artis atau bukan.”
“Aabbooo, iyaaa kalo artis banyak duitnya, Dok. Lha kallo sayya pesse deri dimma*?”
***
*) Pesse deri dimma: uang dari mana?

10. Langit Juga Kelihatan!

Suatu hari ada seorang wisatawan yang hendak menggunakan jasa seorang tukang becak.
“Becak….Becak!” Serunya pada seorang tukang becak yang mangkal di alun-alun.
Sejenak kemudian sang tukang becak sudah di depan sang wisatawan.
“Pasar Besar berapa, Pak?” tanyanya.
“Lemak ebu aja!” Jawab sang tukang becak dalam bahasa Madura.
“Apa lemak lembu?” tanya sang wisatawan kaget.
“Aabboo. Lemak ebu itu lima rebu!” Jelas sang tukang becak.
“Haduhh, lima ribu? Wong tempatnya kelihatan dari sini..!” Keluh sang wisatawan.
“Langit juga kelihatan dari sini!” Jawab sang tukang becak dengan santai.
***

11. Habibie vs Orang Madura

Konon ketika B.J. Habibie menjabat sebagai Menristek pernah melakukan kunjungan kerja ke Madura.
Salah satu tempat yang dikunjungi adalah sebuah sekolah. Ada yang menarik di sekolah tersebut, yaitu tiang benderanya lebih tinggi daripada tiang bendera pada umumnya.
“Berapa tingginya tiang bendera itu?” tanya Habibie pada hadirin. Salah seorang pejabat yang hadir segera meminta pihak sekolah menjawabnya.
“Sebentar, Pak, biar diukur dulu!” Kata kepala sekolah sambil menyuruh salah seorang tukang kebunnya memenuhi permintaan Habibie.
Tanpa banyak tanya, orang tersebut segera naik tiang bendara tersebut dan membawa meteran.
“Lima belas meter, Pak!” Teriaknya dari atas tiang bendera.
Sementara Habibie heran dengan cara orang tadi mengetahui tinggi tiang bendera tersebut.
“Mengapa tidak direbahkan saja tiang itu, kemudian diukur, ‘kan Anda tahu tingginya?” tanyanya begitu orang tersebut sudah sampai menginjakkan kaki ke tanah.
“Kalo direbahkan itu bukan tinggi namanya, tapi panjang!”
***


12. Istri Habibie vs Anak TK di Madura

Oleh: M. Gharib

(Pengajar di MIN Malang 2)
Konon, ketika mendampingi suaminya, BJ. Habibie, berkunjung ke Madura, beliau menyempatkan diri untuk berkunjung ke TK yang berada di lokasi kunjungan dan menyempatkan diri bercengkerama dengan anak-anak murid TK tersebut.
“Siapa namanya?”
“eMad, Bu..!” Jawab seorang anak lelaki kecil yang berkulit agak gelap dengan cuek.
“Sudah kelas berapa?”
“ebBe, TK eBbe !” Sekali lagi dijawabnya dengan percaya diri.
“Mad, sudah bisa nyanyi?”
“Ya, bisa!”
“Coba, Ibu pengin dengar?”
Sejurus kemudian si bocah maju ke depan kelas.
“Mau nyanyi apa, Mad?”
“Lapendu, Bu..!”
“Lapendu?” gumam Istri Habibie. Beliau berpikir ini pasti lagu daerah. “Iya, gak pa pa!”
“Saya ajak teman-teman nyanyi juga ya, Bu?”
“Boleh!”

“Man, teman, ayo kita nyanyi Lapendu. Ambil suara!”
“Laaa….” Jawab temannya serempak.
“Tu, wa, ga!”
“Garuda Pancasila...Aku lapendu-kungmu….!”
****


13. Polisi vs Tukang Becak

Di sebuah perempatan ketika lampu Lalin merah menyala, seorang tukang becak dengan santainya mengayuh melintasi perempatan. Polisi yang kebetulan berjaga di sana sontak kaget dan berlari mengejar tukang becak sambil membunyikan peluitnya. “Priit…Priiiiiiiiiit...Hoooiii…Becaaakkkkk…Brentiii….Priiiiiiiiiiiitttt” Si tukang becak berhenti dan meminggirkan becaknya. “Kamu ini tahu nggak sih artinya lampu merah?” “Ooo, mirah tadi ya, Pak?” “Wuahhh, kamu ini dasar goblok, wong lampu merah kok tetep jalan, lha kalo ketabrak mobil dari timur tadi gimana?” “Ya paling jatuh, Pak. Kalo kenceng mobilnya, ya mati.” “Lha sudah tahu gitu kok terus. Dasar Goblok!” “Aabboo bener piyan, Pak, kalo saya pinter udah jadi polisi.” “Grrggghgrrrghhrrrgggg...” “Sudah ya, Pak, slamolekum…!” Seru sang tukang becak sambil mengayuh becaknya meninggalkan polisi yang geregetan.
****

14. Dokter Spesialis

Pada suatu siang, seorang dokter spesialis, masih dengan jas putihnya, keluar untuk makan siang ke sebuah kedai di samping rumah sakit. Setelah selesai makan, dia tertarik dengan mangga yang dijajakan di samping pintu gerbang rumah sakit.
“Ini mangga apa, Pak?” tanyanya pada penjual mangga yang orang Madura.
“Kalo yang ini mangga Gadung, Pak. Ini masak pohon, manis.”
“Berapa sekilo?”
“Gadung lima ribu!”
“Kalo yang ini apa?” tanya dia menunjuk sebuah mangga yang lebih besar.
“Ini Manalagi. Asli, masak pohon juga. Sekilo tujuh ribu!”
“Hmmm, lain kali aja ya Pak,” kata sang dokter sambil membalikkan badan beranjak hendak pergi.
“Aabboo, sebentar, Pak!” Seru sang penjual.
“Ada apa?” tanya sang dokter.
“Lima ribu, Pak!”
“Lho, Saya ‘kan nggak beli!” Protes sang dokter.
“Iya, Sampian nggak beli, tapi ‘kan tanya-tanya harga!” Jawab sang penjual santai.
“Lho, memang tanya aja bayar?” protes sang dokter.

“Abboo mak deiye. Sayya dulu priksa ke Sampian, cuma tanya-tanya. Pian minta bayaran lima puluh rebu. Saya cuma minta lima ribu. Lebih murah ta iye..” “grhhhrhglklrrrsrsrsrlkgr”
****

15. Macet Lapindo

Suatu ketika ada seorang Madura yang hendak bepergian ke Malang dengan menggunakan bis Patas ber-AC.
Begitu sampai di Porong Sidoarjo, seperti biasa, bis yang ditumpanginya harus antri di daerah luapan lumpur Lapindo karena arus padat di akhir pekan.
Dan seperti biasa pula, macetnya melebihi satu jam. Sang Bapak Madura ini mulai resah. Pasalnya, menunggu terlalu lama dan tidak melakukan apa-apa membuatnya tidak tahan untuk merokok, sementara bisnya ber-AC.
Setelah macetnya sudah hampir mencapai 2 jam, penumpang pada resah terutama yang membawa bayi, sementara Bapak Madura sudah tidak tahan, lalu mengeluarkan sebatang rokok dan segera menyulutnya. Ia pun menghisap rokoknya dalam-dalam.
Wusssssssssssssssss....Asap segera mengepul dari mulutnya.
Sontak beberapa penumpang memandangnya dengan amarah, termasuk salah satu Ibu yang membawa anaknya.
“Pak, kok merokok? Ini ‘kan bis AC!” Tegurnya sambil menenangkan bayinya yang menangis.
“Abboooo, Saya nggak tahhann kalo ma-lama gini tak merokok!”
“Kalo Bapak ngerokok terus. si kecil ini nggak tahan, Pak!” Jelas sang Ibu muda itu dengan menunjuk bayinya yang masih menangis.
“Iyya. Iyya..!” Kata sang Bapak Madura.
Sementara si bayi tetap menangis dan Ibu muda itu akhirnya berdiri di atas bis yang macet karena anaknya masih menangis. Dia berusaha menenangkan bayinya dengan menyusui sang bayi.

“Abbooo, Mbak, Sampian kok gitu, nggak boleh!” Kata Pak Madura protes.
“Lho, anak ini nangis, Pak, mungkin haus. Saya lupa bawa botol!”
“’Kan nggak boleh mengeluarkan anggota badan!” Kata Bapak Madura tadi sambil menunjuk sebuah stiker di kaca bis “DILARANG MENGELUARKAN ANGGOTA BADAN!”

****
Sumber cerita dari Widia Iswara / Trainer di Balai Diklat Kemenag Jatim


16. Gerah!

Suatu ketika ada orang Madura pergi melaksanakan ibadah umroh.
Ketika tiba di kamar hotel, dia merasa sangat kegerahan. Setelah dicari penyebabnya, dia mendapati kalau AC kamarnya mati. Segera dia melapor ke petugas hotel.
Tapi dia kebingungan bagaimana harus menjelaskannya.
Akhirnya dia melihat AC di ruang resepsionis, sambil menunjuk AC tersebut dia berkata,
“Hadza, Innalillahi wa innailahi rojiun!” Katanya mantab.
Sang resepsionis bingung apa yang dimaksudkan oleh orang Madura itu.
“Ana naar naar...” lanjut orang Madura tadi sambil mengibas-ngibaskan koran ke tubuhnya.
Akhirnya sang resepsionis tersebut pun paham.


17. Cerdasnya Orang Madura!

Rasanya saya sudah lama nggak update tentang humor orang Madura. Salah satu sebabnya adalah nggak ada inspirasi atau ide yang dituliskan, tetapi alhamdulillah pas ke Jakarta beberapa waktu lalu, saya sering udpate status pakai hape, dan dari situ salah seorang sahabat saya yang hebat dan asli orang Madura selalu memberi komentar update status saya. Yang hebatnya lagi, komentar-komentarnya selalu cerdas.
Nggak percaya?
Coba baca yang berikut ini:
****
Heri Cahyo: Alhamdulillah mendung, moga gak banjir.., Sabtu [12/03/2011] jam 10:16
Herman Setia: Mendung tdk akan bawa banjir P.Heri, kalo bawa hujan iya.
Heri Cahyo: Pak Herman memang tetep cerdas spt yg dulu..
Herman Setia: Kalo itu sdh byk orang yang tahu, tapi tdk perlu didengung-dengungkan, sy merasa gak enak.
Heri Cahyo: Wkwk gitu ya, kalo diumumin kan enak tambah terkenal.,
Herman Setia: Jgn P.Heri, nanti dianggap riak, kan agama melarang kita riak.
Heri Cahyo: Lho ini bukan masalah riak tapi kata org Personal Branding…
Herman Setia: Kadang ilmu marketing bertentangan dg aqidah. Tp kalo ini dianggap tdk masalah ya tidak apa2. Yg saya khawatirkan sy takut kewalahan menerima undangan sbg pemateri.
Heri Cahyo: Hahaha mantaB pak her
Herman Setia: Baru kali ini ada laki2 yg bilang mantab sm sy.
Heri Cahyo: Waks!




Demikianlah Info postingan berita 17 Kumpulan Cerita Humor Lucu Dan Kocak Orang Madura

terbaru yang sangat heboh ini 17 Kumpulan Cerita Humor Lucu Dan Kocak Orang Madura, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sekian info artikel kali ini.

Anda sedang membaca posting tentang 17 Kumpulan Cerita Humor Lucu Dan Kocak Orang Madura dan berita ini url permalinknya adalah https://indodongeng.blogspot.com/2016/12/17-kumpulan-cerita-humor-lucu-dan-kocak.html Semoga info lowongan ini bisa bermanfaat.

Subscribe to receive free email updates: